Tampilkan postingan dengan label ESAI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ESAI. Tampilkan semua postingan

Pergeseran Konstelasi Sastra Indonesia

Munculnya kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra sejak awal 1990-an telah membuat kekuatan dan potensi sastra Indonesia tidak lagi terpusat di Jakarta. Konstelasi sastra Indonesia terpecah (terdekonstruksi) ke dalam kelompok-kelompok besar dan kecil yang masing-masing menyumbangkan sekaligus mencoba mempengaruhi perkembangan serta kecenderungan estetik sastra Indonesia kontemporer.
Kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra itu mulai berlahiran ketika semangat melawan pusat — Jakarta dengan TIM dan Horison-nya — menguat pada awal 1990-an, setelah didorong oleh oponi-opini kritis dan keras dari sastrawan-sastrawan muda daerah terkemuka saat itu, terutama Emha Ainun Najib, sejak akhir 1980-an.

Sejak didirikan pada awal 1970-an, DKJ dengan TIM-nya, yang masih menjadi satu-satunya dewan kesenian di Indonesia, memang berhasil mencitrakan diri sebagai ‘pusat sastra’ nasional yang berwibawa. Para sastrawan seakan belum dianggap berkelas nasional jika belum ‘dibaptis’ (ditampilkan) oleh DKJ di TIM. Demikian juga majalah Horison, sebelum sastra koran ‘membagi’ perannya, dianggap sebagai satu-satunya ‘kiblat kualitatif’ sastra Indonesia.

Bersamaan dengan mengendorkan selektivitas pengurus DKJ, wibawa TIM sebagai pusat sastra pada awal 1990-an sebenarnya sudah mulai runtuh. Begitu juga halnya dengan Horison, yang pisisinya sebagai kiblat sastra berangsur bergeser ketika rubrik sastra koran-koran Jakarta ikut mengambil bagian perannya. Tetapi, untuk mengubah pandangan para sastrawan daerah terhadap pusat tidaklah gampang, sehingga mereka tetap bermimpi dan berebut masuk ke sana. Sementara, diam-diam, pusat-pusat sastra itu juga tidak mau kehilangan perannya begitu saja.

Dari situlah kemudian muncul semacam ‘gerakan penyadaran’ bahwa DKJ-TM bukanlah segalanya. Pusat-pusat lain bisa saja dimunculkan dengan kemungkinan akses ke media massa yang tidak kalah dibanding DKJ-TIM. Peran pusat nilai sastra harus dibagi, sehingga peluang bagi para penulis daerah dan Jakarta sendiri terbuka semakin luas untuk diakui secara nasional.

Awal Gerakan

Gerakan untuk membentuk kekuatan tandingan dimulai oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas (Semarang) dengan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman pada akhir 1980-an. Kemudian, pada awal 1990-an lahir Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Gorong-gorong, Teater Utan Kayu (TUK), dan komunitas-komunitas lain yang menebar di kota-kota besar di Tanah Air.

Belakangan, dari majalah cerpen Annida, lahir juga Forum Lingkar Pena yang mewadahi para penulis fiksi remaja Islami, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) dengan situs web (web site) sastranya, dan Rumah Dunia yang mendenyutkan kehidupan sastra di Banten.

Menebarnya konstelasi sastra tersebut, selain disemangati keinginan untuk menumbuhkan pusat-pusat sastra baru, juga untuk membuka ruang-ruang alternatif baru bagi pemasyarakatan karya-karya mereka, terutama yang merasa tidak tertampung oleh pusat. Kegiatan utama yang mereka selenggarakan, terutama meliputi,
Pertama, mengadakan forum-forum sastra untuk menampilkan para sastrawan dan penulis karya kreatif yang menjadi anggota dan kolega kelompok, baik forum diskusi, kajian karya, temu sastrawan maupun pentas karya sastra.

Kedua, menerbitkan jurnal-jurnal dan antologi karya sastra, terutama untuk menampung karya-karya anggota dan kolega mereka, seperti dilakukan KSI, TUK, Rumah Dunia, dan FLP.

Ketiga, membuka media sastra saiber sebagai media publikasi karya yang bebas dan terbuka untuk mendorong budaya cinta menulis, seperti dilakukan YMS melalui Cybersastra.net.

Dan, keempat, membuka dan membangun jaringan sastra baru sampai ke luar negeri, sehingga untuk tampil di luar negeri tidak lagi tergantung pada rekomendasi DKJ.

Pada perkembangannya kemudian, dominasi dan otoritas yang mereka lawan, pada akhirnya tidak hanya DKJ-TIM dan Horison, tapi juga otoritas sastra koran yang makin hari makin menggeser peran Horison sebagai kiblat sastra Indonesia. Cybersastra.net yang dikelola YMS, misalnya, antara lain dibuka untuk mengimbangi dominasi sastra koran sekaligus menampung karya-karya sastra yang makin membanjir.

Sementara, rubrik sastra koran sendiri, diam-diam, juga dikelola untuk membagi beban majalah Horison yang begitu berat dan gagap dalam menanggapi perkembangan sastra Indonesia mutakhir.

Konstelasi estetik

Menebarnya konstelasi sastra Indonesia pada akhirnya juga mengubah peta potensi dan kekuatan estetika sastra. Ketika Horison masih menjadi kiblat estetik, yang oleh Emha dituding mengembangkan anutan tunggal, kekuatan-kekuatan estetik individual sastrawan menumpuk atau bermuara ke majalah sastra tersebut. Ketika sastra koran berhasil membagi peran Horison, muara kekuatan estetik itu bermuara ke banyak media. Tetapi sebaliknya, kekuatan-kekuatan estetik individual mengelompok ke komunitas-komunitas sastra.

Perubahan konstelasi tersebut juga mengubah sumber pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia. Ketika Horison masih menjadi kiblat, majalah ini juga sekaligus menjadi sumber pengaruh perkembangan estetika sastra Indonesia, terutama estetika puisi. Ketika rubrik puisi Horison masih dipegang Sapardi Djoko Damono, tampak sekali berkembang apa yang disebut Emha sebagai anutan tunggal.

Sajak imajis bergaya Sapardi banyak diambil sebagai gaya para penyair muda pada dasawarsa 1980-an. Namun, setelah kiblat sastra menyebar ke koran-koran Jakarta, anutan tunggal itu pun mencair. Bahkan, sebenarnya, sejak 1980-an, Abdul Hadi WM sudah merintis estetika alternatif (sufistik) melalui rubrik Dialog Berita Buana.

Saat ini, ketika peran komunitas bergeser — tidak lagi untuk mendekonstruksi dominasi pusat — dan makin menguat pada pengembangan kecenderungan sastra, sumber pengaruh pun terbagi ke komunitas-komunitas sastra tersebut. KSI yang dekat dengan komunitas buruh, misalnya, diam-diam ‘mengembangkan’ sastra humanisme-sosial sekaligus sosial religius. Sementara, komunitas TUK lebih cenderung ke humanisme-liberal. Ada juga komunitas baru yang membawa bendera CWI, yang mencoba mengembangkan humanisme-psikologis, namun terjebak ke imaji-imaji yang masokistik.

Di antara komunitas-komunitas yang ada saat ini, yang paling berhasil memberikan pengaruh luas sebenarnya adalah FLP dengan fiksi Islaminya. Buku-buku fiksi Islami dari penulis-penulis FLP tidak hanya laris, tapi juga mempengaruhi banyak penulis di luar FLP untuk ikut-ikutan menulis fiksi Islami.

Kecenderungan itu bahkan menjadi lahan baru bagi para penerbit kecil maupun besar untuk berbisnis buku fiksi Islami. Namun, kita juga tidak dapat menafikan luasnya pengaruh humanisme-liberal, terutama yang bersemangat feminisme-liberal. Setidaknya, karya-karya mereka cukup menarik perhatian dan mengundang banyak polemik.

Di tengah iklim kebebasan dan keterbukaan saat ini, tampaknya, sulit muncul lagi kekuatan sastra yang dapat mengendalikan perkembangan sastra dengan anutan tunggalnya. Kelompok-kelompok ataupun pusat-pusat kekuatan sastra akan gampang terpecah dan bergeser. Apalagi, ketika para kapitalis industri bubaya (penerbitan karya sastra) ikut bermain dalam kondisi pasar yang sangat dinamis, suatu kecenderungan sastra akan gampang cepat berubah. Lihat saja, kecenderungan fiksi seksual kini pun sudah mulai surut.

Intervensi para kapitalis di tengah pusat-pusat yang menyebar dan kecenderungan pasar sastra yang begitu dinamis, memang menjadi tantangan berat bagi para penulis kreatif. Yang tidak mampu cepat menangkap peluang, akan gampang tertinggal dan terlupakan. Apalagi, ketika para pengelola produksi buku dan media sastra juga tertarik untuk mengikuti fenomena dan peristiwa yang terjadi di luar sastra, seperti reformasi dan tsunami.

Penulis yang tidak memanfaatkan peluang itu, setidaknya untuk sesaat, akan terlupakan. Tapi, yakinlah, karya sastra yang besar tidak sepenuhnya bergantung pada momentum-momentum sesaat seperti itu.
Tulisan ini merupakan prasaran untuk Diskusi Sastra Tengah Bulanan, Rumah Dunia, Serang, 22 Mei 2005.
Baca Lengkapnya....

Sastra Daerah di Panggung Festival

Hingga kini, kita masih mewarisi begitu banyak sastra (di) daerah, yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Sastra-sastra daerah tersebut mengendap di dasar memori kolektif suku-suku setempat, dalam bentuknya yang tradisional, seperti puisi (pantun, geguritan, parikan), prosa (cerita rakyat, dongeng, hikayat, legenda). Di dalam sastra-sastra daerah tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal, yang tidak jarang dimensinya universal.
Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.

Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.

Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.

Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.

Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.

DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.

Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.

Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.

Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.

Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).

Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.

Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.
Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber)
Baca Lengkapnya....

Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.

Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis. Helvy tentu tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.

Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni Pertemuan di Taman Hening, dan ditutup dengan cerpen, Jaring-jaring Merah, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen Kivu Bukavu, hlm 193) juga berupa baris-baris yang sangat puitis:
Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen Pertemuan di Taman Hening, selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm 2). Sementara, cerpen Jaring-Jaring Merah (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:
Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen Lelaki, Kabut, dan Boneka (hlm 11), Idis (hlm 21), Dara Hitam (hlm 69), Ketika Cinta Menemukanmu (hlm 119), Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin (hlm 129), Lelaki Semesta (hlm 151), Pulang (hlm 183), dan Kivu Bukavu (hlm. 193).

Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak ‘sisipan’ narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: Kivu, kaulah yang terindah! Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam? (Cerpen Kivu Bukavu, alinea 1-2, hlm 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari kutipan tidak langsung sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen Jaring-Jaring Merah berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara. Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (Jaring-Jaring Merah), bom Bali (Lelaki, Kabut, dan Boneka), dan perang saudara di Rwanda (Kivu Bukavu).

Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.

Pada salah satu bagian cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:
Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen Kivu Bukavu berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta Lelaki, Kabut dan Boneka berlatar tragedi bom Bali.

Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh ‘aku’ dalam Jaring-Jaring Merah, siapa Kivu dalam Kivu Bukavu, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam Lelaki Kabut dan Boneka, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri.

Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.
Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.


*) Redaktur Sastra Republika
Baca Lengkapnya....

Geliat Seni Aceh Pasca-Tsunami

Dilanda konflik disintegrasi selama puluhan tahun, dan diterjang tsunami pada 28 Desember 2004, seni-budaya Aceh tidak lantas punah. Pasca-tsunami, seni-budaya Serambi Mekah justru menggeliat bangkit. Begitu juga kehidupan sastranya. Ribuan karya kembali ditulis dan ratusan buku sastra terbit pasca-tsunami. Seni khas Aceh pun berkali-kali dipertunjukkan kembali dalam berbagai iven kesenian.
Belum lama ini, 10-13 Desember 2007, dengan tajuk Piasan Sastra Aceh, karya-karya sastra dan seni-budaya Aceh dipamerkan serta dipertunjukkan di kampus FIB UI Depok, dan dilanjutkan dengan Mini Festival Film Aceh di Studio Megaplex, Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, pada 14-16 Desember 2007.
”Kegiatan ini memperlihatkan sisi Aceh yang lain. Bukan lagi sosok beraroma konflik atau tsunami yang mengharu biru perasaan jutaan orang. Kami ingin menyajikan ‘hidangan’ dengan menu seni-budaya, yang selama ini hampir tak memiliki ruang yang lebar untuk mempertunjukkan dan membicarakannya,” kata penyair Fikar W Eda, ketua panitia Piasan Sastra Aceh 2007.

Fikar mencontohkan seorang pemain rapa’i di Aceh yang lama gusar, karena tak kuasa lagi memainkan kemahirannya menabuh rapa’i. ”Konflik bersenjata telah merampas kemerdekaannya. Rapa’i itu kemudian dijadikan wadah menampung air hujan di rumahnya. Tak lama berselang, datang pula tsunami, yang menghanyutkan rumah dan rapainya,” katanya. ”Piasan Sastra Aceh ini memungut rapai itu dan memainkannya kembali,” tambahnya.

Tentu tidak hanya ada permainan rapa’i yang eksotik di tengah-tengah Piasan Sastra Aceh di FIB UI. Gelar seni-budaya sepekan ini seakan ingin mempertontonkan semua potensi seni-budaya Serambi Mekah, meskipun tidak seluruhnya mendapat tempat. Dari seni tradisi, misalnya, ditampilkan tari seudati, tari saman dan seni sebuku dari Gayo Lues, serta tari rubbani wahed dari Samalanga. Dipamerkan pula foto-foto panorama alam dan pertunjukan seni serta benda-benda budaya Aceh, di lobi Auditorium FIB UI.

Guna menunjukkan perkembangan sastra Aceh terkini, diluncurkan dan dipamerkan pula buku-buku karya para sastrawan Aceh yang terbit pasca-tsunami. Dan, sebagai forum aktualisasi diri, sepuluh lebih sastrawan dan penulis Aceh Azhari, Reza Idria, Fozan Santa, Salman Yoga, Ibrahim Kadir, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, D Kemalawati, Rosni Idham, Wina SW1, Rani Angraini, Ines Somellera, Ubiet, dan Zulaikha tampil untuk membacakan sajak-sajak mereka di panggung Auditorium FIB UI.

Beberapa penyair asal Aceh yang tinggal di Jakarta, serta beberapa penyair tamu, seperti Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Debra H Yatim, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan Dato Kemala (Malaysia) ikut meramaikan panggung pertunjukan. Pentas makin marak dengan pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Kelompok Musik Qanun, pembacaan Hikayat Prang Sabil dan Syeh Idris, serta pertunjukan seni didong dan sebuku yang unik.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Sajak (Seniman Aceh se-Jabotabek) bekerja sama dengan Pusat Tamadun Melayu UI dan FIB UI ini juga diisi pemutaran film-film tentang Aceh, serta temu pembuat dan pengisi film tentang Aceh, bersama Cristine Hakim dan Berliana Febrianti.

Sesi yang tidak kalah pentingnya adalah seminar yang mengkaji potensi dan perkembangan seni-budaya Aceh, khususnya sastra, sejak masa Hamzah fansuri hingga pasca-tsunami. Sebanyak 26 sastrawan dan pengamat sastra, seperti Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Dato Kemala, Tommi Christomi, Tommy F Awuy, Agus Nuramal, Muhammad Iqbal, Muhammad Lutfi, Arafat Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Debra H Yatim, Rosni Idham, Azhari, Mustafa Ismail, Fozan Santa, Wina SW, Nurdin AR, Muhammad Nazar, Reza Idria, Ibrahim Kadir, Yusza Nur Nadia, Salman Yoga, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, dan Mukhlis A Hamid, tampil sebagai pembicara dalam enam sesi diskusi.

Pembukaan acara ini, yang didahului dengan pawai seni di FIB UI, serta pidato pembukaan oleh Rektor UI, Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, berlangsung cukup meriah. Begitu juga penutupannya, yang dimeriahkan pertunjukan tari rubbani wahed dari Desa Sangso, Samalanga, Kabupaten Bireuen. ”Rubbani wahed adalah tarian sufi yang hanya hidup dan berkembang di desa tersebut,” kata Fikar.

Upacara penutupan Piasan Sastra Aceh di FIB UI juga dimeriahkan pertunjukan grup musik Qanun, seni sebuku dari Gayo, pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, pembacaan hikayat Prang Sabil dan peluncuran buku kumpulan puisi karya 19 penyair perempuan Aceh, Lampion, serta sambutan penutupan oleh Ketua Pusat Tamadun Melayu, Dr Zulhasir Nasir.

Pada sambutannya, Zulhasir Nasir mengatakan gembira karena Piasan Sastra Aceh bisa dihadirkan di UI. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan tersebut. ”Publik menjadi lebih paham tentang kekayaan dan keberagaman seni-budaya Aceh,” katanya.

Menurut Fikar, Piasan Sastra Aceh merupakan kegiatan sastra Aceh yang paling besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Jakarta. Sayangnya, acara ini kurang berhasil meraih pengunjung yang maksimal dari kalangan mahasiswa UI, karena mereka sedang bertarung dalam ujian semester.
Baca Lengkapnya....

Ketika Musik Melawan Narkoba

Musik, di kalangan anak muda perkotaan, kerap tak terpisahkan dari miras dan narkoba. Tapi, kali ini benar-benar beda: musik justru dijadikan media untuk melawan miras dan narkoba. Inilah yang dilakukan oleh Himpunan Musisi Jakarta (HMJ).
Berkolaborasi dengan Creative Writing Institute (CWI) dan Majelis Dzikir Nurul Mustofa, mereka menggelar pertunjukan spektakuler di Plasa Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Senayan, Jakarta. Menegpora Adhyaksa Dault, yang melihat gerakan anak-anak muda itu sejalan dengan program lembaga yang dipimpinnya, mendukung penuh gerakan tersebut.

Adalah Ketua HMJ Romi Kurniawan, Leader HMJ Mey Suyana, dan Direktur CWI Hudan Hidayat yang memotori pertunjukan itu, dengan dukungan penuh Menegpora Adhyaksa Dault dan pimpinan Majelis Dzikir Nurul Mustofa Habib Hasan bin Dja’far Assegaff. Mereka memanfaatkan even tahunan, Festival Kreativitas Pemuda 2006, yang digelar oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI.

Sambil menutup tahun 2006, pertunjukan musik digelar di hadapan sekitar 10 ribu penonton, pada 23 dan 24 Desember 2006, sebagai puncak even tahunan tersebut. ”Pertunjukan yang memadukan seni musik, sastra dan dzikir, baru pertama kali ini diadakan,” kata Hudan. ”Acara ini menjadi puncak Festival Kreativitas Pemuda 2006,” kata Asdep Bidang Pengembangan Wawasan dan Kreativitas Pemuda, Dasril Anwar.
Pada hari pertama, acara dimulai dengan konvoi sepeda motor dari Pasarminggu menuju komplek Kemenegpora di Senayan. Sampai di gerbang komplek, rombongan konvoi menyalakan kembang api. Mereka pun disambut oleh Menegpora beserta jajarannya, dan puluhan ribu jamaah yang memadati plasa Kemenegpora.

Sebagai novelis pecinta musik, Hudan melihat pentingnya untuk memadukan sastra, musik, dzikir, dan semangat kebangsaan. ”Ini agar aktivitas sastra dan musik selalu disemangati oleh nilai-nilai agama untuk kemaslahatan bersama,” katanya mengantarkan acara.

Menegpora Adhyaksa Dault kemudian menyambung acara dengan sepatah kata dan harapan-harapannya. Dzikir dan doa bersama untuk keselamatan bangsa yang dipimpin oleh Habib Hasan bin Dja’far Assegaff lantas memberi sentuhan religius yang sangat kental. ”Kita membutuhkan doa-doa dan dzikir seperti ini untuk menyelamatkan bangsa,” kata Adhyaksa.

Uniknya, di sela-sela renungan, dzikir dan doa, Habib Hasan melantunkan shalawat Nabi dengan iringan musik rebana, sehingga siraman rokhaninya menjadi terasa musikal. Sebelum dzikir dan doa, suasana musikal pun sudah tercipta ketika grup marawis dan nasyid dari Majlis Dzikir Nurul Mustofa ‘membasahkan’ malam dengan shalawat dan lagu-lagu religius.

Suasana plasa Kemenegpora makin terasa musikal sepanjang hari kedua. Panggung diisi pertunjukan musik sejak pagi hingga tengah malam. Di tengah-tengahnya juga terlantun sajak dan fragmen cerpen. Puncaknya adalah pentas The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sekitar satu jam The Upstairs memukau penonton dengan lagu-lagu bernuansa musik 1970-an.

Pada hari kedua panggung memang lebih berat pada kesenian. Sejak pagi diisi 65 grup band dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Mereka adalah grup-grup yang masuk grand final festival band yang terjaring melalui sistem recording dan performance. ”Mereka terseleksi melalui audisi di Jakarta, Bogor, Bandung, Bandarlampung, dan Palembang,” kata Romi Kurniawan.

Setelah bertarung ketat, grup Medusa dari Jakarta Timur terpilih sebagai juara pertama. Juara kedua diraih oleh Mineral dari Jakarta Pusat, dan juara ketiga Klavinosa dari Depok. Sedangkan The Upstairs mendapat penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 yang diserahkan oleh Sekretaris Menegpora Prof Dr Thoha Cholik Muthohir.

Persaingan ketat juga terjadi antar-finalis grup nasyid dan para cerpenis muda dari seantero Tanah Air yang juga menjadi bagian dari Festival Kreativitas Pemuda 2006. Lomba nasyid dimenangkan oleh Grup Sahara dari Jakarta, sedangkan lomba cerpen dimenangkan oleh M Badri dari Bogor. Hadiah untuk para juara diserahkan malam itu juga, antara lain oleh Deputi Bidang Pemberdayaan dan Kewirausahaan Pemuda Syahyan Asmara, dan staf khusus Menegpora Rafli Effendi.

Ditutup oleh Thoho Cholik Muthohir, panggung lantas dihentakkan pertunjukan musik The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sampai larut malam, penonton seperti enggan terhenyak, meski pertunjukan telah usai.

Bermusik dengan Pendekatan Agama

Tewasnya seorang anak band akibat over dosis, menyadarkan Romi Kurniawan dan kawan-kawannya untuk mencari pendekatan baru dalam bermusik. Dan, yang dipilihnya adalah pendekatan agama. ”Dengan pendekatan agama, kami yakin para musisi dapat terhindar dari miras dan narkoba,” katanya.

Pendekatan ini, tambah leader HMJ Mey Suyana, dapat menghindarkan generasi muda pecinta musik dari pengaruh miras dan narkoba. Karena itu, Himpunan Musisi Jakarta (HMJ), yang kini diketuai Romi, tidak hanya berorientasi komersial dalam merancang kegiatan-kegiatannya.

Selain berkolaborasi dengan majelis dzikir, HMJ juga kerap menggelar konser-konser amal anti-kekerasan dan narkoba, seperti yang diadakan di Bulungan belum lama ini. ”Even-even yang kami adakan lebih untuk mencari kebermanfaatan,” kata Mey, yang memang bertugas menyiapkan even.

Salah satu even penting yang telah dirancang HMJ adalah konser amal pada Maret 2007 nanti. Dana yang
terkumpul dari konser ini, kata Romi, akan disumbangkan ke pondok pesantren, yayasan yatim piatu, dan majelis dzikir, antara lain Ponpes Annadliyah Surabaya.
Baca Lengkapnya....

Membincang Sastra Dalam Deru Ombak

SEPERTI terinspirasi Temu Sastra I Mitra Praja Utama (MPU) yang digelar di Pantai Anyer Banten, pekan lalu Temu Sastra II MPU digelar di tepi Pantai Sanur, Bali. Di aula terbuka Hotel Inna Sindhu Beach, sekitar 20 meter dari garis pantai, diskusi dan pentas sastra dilaksanakan, dalam iringan deru angin dan ombak. Di malam hari, deru ombak makin terdengar nyata, mengiringi suara pembicara dan pembaca sajak.
Tempat makan dan rehat pun ditata nyaris di bibir pantai, di bawah rindang pohon-pohon kelapa. Sehingga, sambil menyantap hidangan bermenu khas Bali, para peserta bisa memandang riak ombak dan hamparan laut lepas yang kebiruan. Suasana tamasya sangat terasa pada even sastra yang diikuti 10 provinsi anggota MPU itu.

Digelar selama empat hari (12-15 Desember 2006), even dua tahunan itu didesain untuk meningkatkan kemitraan yang lebih sinergis antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat kesenian. Berbagai persoalan pemasyarakatan serta peran sastra dalam membangkitkan harkat dan martabat bangsa dibicarakan bersama untuk dicarikan soluisi terbaiknya.

Diikuti sekitar 100 peserta, sebagian besar angota delegasi dari 10 provinsi anggota MPU — DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur — Temu Sastra II MPU dibuka oleh Gubernur Bali Dewa Made Baratha dengan pemukulan gong. Pementasan tari Bali dan pembacaan sajak memeriahkan acara pembukaan.

Dibingkai dalam tema Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa, berbagai topik menarik dibahas pada sesi-sesi diskusi yang berlangsung sejak pagi hingga larut malam. Sesi pertama mengevaluasi strategi pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Dendy Sugono dan Joko Pinurbo. Sesi kedua tentang membangun religiusitas melalui sastra, dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan ZS dan D Zawawi Imron.

Sesi berikutnya membahas peran komunitas sastra dalam pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Raudal Tanjung Banua dan Ahmadun Yosi Herfanda. Sesi keempat membahas tentang multikultur dan sastra lintas budaya dengan pembicara Yasraf Amir Piliang dan Triyanto Triwikromo. Sesi kelima membahas tentang Bali dalam konteks sastra nasional dan global dengan pembicara Jean Couteau dan Darma Putra. Sesi terakhir tentang posisi sastrawan dalam pembangunan kebudayaan dengan pembicara Slamet Sukirnanto dan Soemardi.

Pelaksanaan Temu Sastra II MPU di Bali dipercayakan kepada Forum Pecinta Sastra se-Bali (FPSB) yang diketuai oleh Drs IB Darmasuta, yang sekaligus dipercaya sebagaui ketua panitia, atas dukungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Menurut Ketua Sekber MPU Moerdiman, Temu Sastra MPU merupakan salah satu wujud kegiatan kerja sama 10 provinsi yang tergabung dalam wadah MPU. Wadah kerja sama MPU menggarap hampir semua sektor pemberdayaan masyarakat, sejak ekonomi, kesehatan, sampai seni-budaya. Program MPU untuk bidang seni-budaya, selain temu sastra, adalah Duta Seni Pelajar yang dilaksanakan tiap tahun — tahun 2005 di Yogyakarta, tahun 2006 di Banten, dan tahun 2007 di Jakarta.

Temu Sastra MPU 2006 menghasilkan beberapa kesepakatan dan rekomendasi penting. Temu sastra MPU disepakati menjadi agenda dua tahunan yang pendanaannya disiapkan oleh masing-masing provinsi anggota MPU. Temu sastra MPU dilaksanakan secara bergilir berdasarkan kesepakatan bersama, serta harus melibatkan sastrawan, akademisi sastra, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat.

Sidang pleno juga menyepakati bahwa sastra dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Delegasi yang akan mengikuti Temu Sastra MPU setidaknya dapat merepresentasikan kualitas daerahnya masing-masing. Dan, secara khusus Propinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara MPU III 2008.

Temu Sastra MPU II juga merekomendasikan agar Menteri Pendidikan Nasional RI menugaskan kepada Pusat Bahasa untuk mendukung penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan menerbitkan karya sastra yang direkomendasikan dalam sidang Temu Sastra MPU. Rekomendasi serupa juga ditujukan kepada Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya RI, agar menugaskan kepada Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film untuk mendukung Temu Sastra MPU.

Dua rekomendasi lain ditujukan kepada para gubernur provinsi anggota MPU, yakni agar gubernur menganggarkan dana untuk penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan melaksanakan kegiatan sastra lainnya yang nantinya akan dapat mendukung dan bermuara pada Temu Sastra MPU. Selain itu, gubernur juga direkomendasikan agar menyosialisasikan seluas-luasnya kesepakatan pengembangan dan pemasyarakatan sastra di wilayah kerja masing-masing.

Sisi menarik lainnya dari Temu Sastra MPU II Bali adalah pertunjukan sastra. Pada malam pertama, tampil D Zawawi Imron (Madura), Wan Anwar (Banten), Acep Zamzam Noor (Bandung), Diah Hadaning (Jakarta), Inggit Patria Marga (Lampung), serta beberapa penyair Bali, seperti Pranita Dewi, Abu Bakar, Sindu Putra dan Wayan Sunarta.

Pada malam berikutnya, antara lain tampil Ahmad Tohari (Jawa Tengah), Slamet Sukirnanto, Miranda Putri, Rara Gendis, dan Hamsad Rangkuti (Jakarta), serta Dinullah Rayes (NTB). Tampil juga Joko Pinurbo (Yogyakarta), Isbedi Stiawan ZS (Lampung), Slamet Rahardjo Rais dan Endang Supriadi (Jakarta), serta Oka Rusmini, Ngurah Parsua, Samar Gantang, dan Putu Satria Kusuma (Bali).

Pada hari ketiga, peserta mengikuti ‘wisata budaya’ mengunjungi objek-objek wisata terpenting di Bali. Hari keempat diisi sidang perumusan, dan upacara penutupan. Meski kental nuansa wisata, Temu Sastra MPU menjadi bagian dari upaya untuk membantu mewujudkan cita-cita mulia membangun bangsa melalui sastra. Pesan mendasarnya adalah agar pemerintah tidak hanya mengutamakan pembangunan fisk dan materi, tapi juga pembangunan nilai-nilai budaya melalui sastra guna memperkuat jati diri bangsa.
DKI Dukung Temu Sastra MPU

Temu Sastra MPU merupakan even yang sangat penting untuk dijadikan forum bertukar pikiran antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, dan birokrat kesenian, guna mencari pemecahan atas persoalan-persoalan sastra terkini. Dengan solusi itu, diharapkan pemasyarakatan dan pengembangan sastra dapat dilakukan bersama secara lebih intensif lagi.

Karena itu, menurut Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Agung Widodo, Pemda Provinsi DKI Jakarta serius mendukung pelaksanaan temu sastra tersebut. ”Salah satu buktinya, DKI mengirimkan delegasi terbanyak ke Temu Sastra MPU II Bali,” kata Agung Widodo, ketua delegasi DKI Jakarta.

Dikoordinir oleh Kasubdis Pembinaan Seni Budaya Yusuf Sugito, delegasi DKI terdiri dari Hamsad Rangkuti, Slamet Rahardjo Rais, Sunu Wasono, Endo Senggono, Ahmadun YH, Endang Supriadi, Miranda Putri, Pudji Isdriani, Rara Gendis, Ima Rahmawati, serta beberapa staf Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Selain mereka, beberapa sastrawan dan akademisi sastra Jakarta, seperti Dendy Sugono, Slamet Soekirnanto, dan Soemardi, berangkat melalui Pusat Bahasa Depdiknas. Sementara, Provinsi Banten, tempat MPU pertama digelar, antara lain mengirimkan Wowok Hesti Prabowo, Wan Anwar dan Rubby Ach Baedawy. (ahmadun yh)

Esai ini pernah dimuat di Republika, 24 Des 2006
Baca Lengkapnya....

Mengembalikan Sastra ke Kekuatan Teks

SECARA umum, selain karya-karya sastra yang mengalami ‘pembesaran’ oleh media massa dan mendapatkan ‘perpanjangan lidah’ karena kontroversi yang dibawanya, pada tahun-tahun terakhir ini kekuatan teks sastra Indonesia memang terkesan cenderung melemah. Ada beberapa faktor yang layak dicurigai sebagai penyebabnya.
Pertama, pertumbuhan kualitas sastra Indonesia, baik secara estetik maupun tematik, memang mandeg. Artinya, secara estetik maupun tematik, karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi, cenderung stereotip sehingga sekadar menjadi media reproduksi karya-karya sebelumnya dengan sentuhan pembaruan yang tidak signifikan. Jadi, melimpahnya produksi karya sastra belum dibarengi peningkatan kualitas secara memadai. Namun, kecurigaan ini masih layak diperdebatkan, karena belum didasarkan pada penelitian yang mendalam dan komprehensif.

Kedua, masih terjadi krisis kritikus, sehingga karya-karya sastra yang unggul tidak terjembatani untuk sampai ke publik pembacanya secara baik. Sementara, rasa haus pembaca khususnya pengamat serta pecinta sastrauntuk berburu karya-karya sastra yang unggul masih terhambat sempitnya waktu dan relatif makin rendahnya daya beli mereka akibat makin mahalnya harga buku-buku karya sastra. Sedangkan untuk membaca semua karya sastra terkini yang dimuat di media massa dan majalah sastra kemungkinannya juga kecil.

Ketiga, kegiatan ‘politik sastra non-teks’ atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks memang cenderung meningkat. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai ‘strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra’ tapi lebih sebagai ‘strategi pemasyarakatan diri atau kelompok’ tanpa mempertimbangkan kekuatan karya.
Kalaupun ada pertimbangan, lebih pertimbangan ideologis, gang, atau kepentingan-kepentingan lain non-sastra. Akibatnya, orientasi teks tergusur oleh orientasi non-teks alias non-sastra, seperti kepentingan ‘oknum’, kelompok, ideologi, aliran sumber dana, dan kekuasaan gang.

Dan, keempat, karakter pergaulan sastra kita terseret oleh karakter koran ingat saat ini kita masih berada dalam era sastra koran yang memang cenderung lebih memberi tempat pada isu-isu permukaan, sensasi dan kontroversi. Akibatnya, isu-isu dari ‘politik sastra non-teks’ lebih mendapat ruang di media massa (koran). Begitu juga isu dari karya-karya sastra yang sensasional dan melawan arus (kontroversial).

Kalaupun kadang-kadang tetap melihat teks, maka lebih ke pertimbangan ideologis dan kepentingan pasar, sehingga teks sastra tersebut mengalami ‘pembesaran media’ meskipun kualitasnya masih layak diperdebatkan. Akibatnya, karya-karya sastra yang bisa jadi lebih potensial menjadi kanon malah terkubur oleh isu-isu dan wacana yang berasal dari teks-teks tersebut di atas.

Sementara, tingkat apresiasi sastra masyarakat rata-rata juga belum cukup memadai untuk memilih teks-teks sastra yang memang berkualitas dan layak ‘dikonsumsi’ sehingga mereka cenderung ikut larut ke dalam isu-isu dan wacana ‘sastra permukaan’ seperti dimaksud di atas.

Mengembalikan tradisi sastra pada ‘kekuatan teks’ jelas menjadi cita-cita kita bersama. Tapi, dalam situasi seperti sekarang, diera ‘pasar bebas sastra’ kita memang tidak cukup mengandalkan begitu saja pada ‘kekuatan teks’. Perlu ada ‘politik sastra’ yang lebih sehat dan lebih berorientasi pada teks, agar karya-karya sastra yang memang unggul, dapat dibaca dan didorong untuk menjadi kanon serta menjadi bagian terpenting sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang kiranya perlu dipertimbangkan. Pertama, menguatkan jaringan sosialisasi sastra dengan disertai pemberian penghargaan khusus pada karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dan dipilih secara objektif untuk kepentingan sastra itu sendiri.

Kedua, menghidupkan kembali tradisi kritik sastra yang profesional dan hanya mendasarkan pada keunggulan teks, bukan hal lain di luar teks sastra. Ketiga, meningkatkan penerbitan karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dengan pemberian penghargaan tahunan berdasarkan penilaian yang benar-benar objektif dan semata untuk kepentingan sastra.

Keempat, meningkatkan apresiasi sastra masyarakat agar memiliki rasa cinta sekaligus sikap kritis terhadap karya sastra, sehingga mampu menengarai mana karya sastra yang bagus, dan mana yang buruk serta tidak layak ‘dikonsumsi’. Kelima, meningkatkan kualitas sistem seleksi karya pada rubrik-rubrik sastra di media massa (surat kabar), serta media-media khusus sastra, dengan tetap memelihara semangat multikultural, dan tanpa melupakan misi pembinaan serta kaderisasi.

Keenam, meningkatkan kesadaran atas keberagaman corak estetik dan tema karya sastra tanpa melupakan pentingnya kualitas. Jadi, membangun semacam demokratisasi sastra yang sehat dan selektif, serta berorientasi pada kualitas. Dengan langkah-langkah di atas, barangkali kita pelan-pelan dapat mengembalikan tradisi sastra kita pada kekuatan teks. Bukan pada kekuatan lobi, provokasi, selera pasar semata, maupun kepentingan gang, idiologi dan mafia komunitas.

Pernah dimuat di Republika, 23 Des 2007
Baca Lengkapnya....

Buku, Ombak, dan Laut

DI sekitar peringatan empat tahun bencana tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya (28 Desember), beberapa buku tentang laut dan ombak diluncurkan. Ada buku yang secara khusus mengangkat bencana tsunami Aceh. Ada pula yang membahas laut sebagai sumber daya alam yang sangat kaya dan belum dikelola secara maksimal.
Dua di antara buku-buku tersebut adalah novel Aotar atau Amuk Ombak Tanah Rencong karya Chavchay Syaifullah, serta Pemuda dan Kelautan karya Dr Adhyaksa Dault MSi keduanya diluncurkan di Jakarta, pekan lalu.Perpusat pada upaya para relawan tsunami Aceh dalam mengevakuasi mayat-mayat dan para korban yang selamat, novel Aotar< tidak hanya mengangkat bencana alam maha dahsyat tersebut sebagai latar utama cerita, tapi juga mengorek sejarah pergulatan rakyat Aceh sejak masa kerajaan, masa kolonial, masa penindasan pada era Daerah Operasi Militer (DOM), sampai menjelang tsunami.

Novel ketiga Chavchay itu juga menjadi semacam postcriptum yang kembali merangsang pembacanya untuk mengorek nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa sebelum dan di balik bencana alam tersebut. Prediksi sejumlah ahli bencana alam sebelum tsunami terjadi yang diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat pun dihadirkannya sebagai peringatan bagi kita agar tidak abai lagi pada prediksi dan gejala alam yang terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya menimpa.

Buku Adhyaksa Dault tentu berbeda dengan novel Chavchay. Novel Aotar jelas fiksi yang diangkat dari realitas dan kisah nyata di seputar bencana tsunami Aceh. Sedangkan buku Adhyaksa adalah sebuah wacana ilmiah yang mengangkat potensi kelautan kita yang sangat kaya.

Dan, sebagai menteri pemuda dan olahraga, tentu wacana utama yang dikemukakan Adhyaksa adalah bagaimana menyiapkan para pemuda sebagai SDM yang terampil dan berwawasan luas dalam mengelola kekayaan sumber daya kelautan kita. Di sinilah, Adhyaksa menampakkan kepakarannya dalam pemberdayaan pemuda dan pengelolaan potensi kelautan kita.

Dimulai dari wacana tentang peran pemuda secara umum dan peran pemuda dalam membangun laut di Nusantara, Adhyaksa lantas menguraikan secara detail sekaligus panjang lebar tentang berbagai potensi dan kekayaan laut kita serta pengelolaannya selama ini dan bagaimana seharusnya pengelolaan untuk masa yang akan datang.

Laut adalah sumber daya besar kita yang selama ini belum dikelola dan dieksplorasi secara baik. Sebagaian besar wilayah Indonesia pun terdiri dari laut. Tapi, sumber devisa negara kita selama ini lebih banyak bergantung pada daratan. Pengembangan kekuatan militer kita pun lebih terfokus pada angkatan darat. Sehingga, penjagaan keamanan laut kita kurang memadai. Tak heran, jika penyelundupan lewat laut meraja-lela, dan pulau-pulau terpencil kita satu demi satu diklaim orang lain.

Agak aneh, memang, wacana-wacana tentang kelautan kita selama ini jarang terdengar. Dan, anehnya lagi, yang rajin melontarkan wacana tentang kelautan kita justru seorang penyair, yakni WS Rendra, dalam banyak forum diskusi dan seminar. Menurut Rendra, budaya Mataram yang banyak menjadi kiblat Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat potensi besar kelautan kita agak terlupa.

Sebagaimana masa Kerajaan Mataram, kultur ekonomi yang dominan pada masa Orde Baru adalah ekonomi pertanian. Memang cukup berhasil dengan program swasembada beras. Tapi, potensi laut menjadi terbengkelai, dan kekuatan angkatan bersenjata kita pun lebih terkonsentrasi di darat, sehingga kekuatan angkatan laut kita menjadi rapuh, dan sumber daya kelautan kita pun agak terlupakan.

Di tengah kenyataan itu yang kurang menggembirakan itu, kita layak menyambut gembira hadirnya buku Pemuda dan Kelautan karya Adhyaksa Dault itu. Buku ini tidak hanya mewacanakan peran pemuda dan potensi kelautan kita, tapi juga mencoba mengajak kita untuk mulai lebih peduli pada masalah kelautan. Sebab, di laut, ribuan triliun kekayaan kita masih terpendam dan menunggu untuk dikelola bagi kesejahteraan bersama.

Laut yang mengamuk lewat gelombang ombak raksasanya, seperti tergambar pada novel Aotar, dan terjadi pada tsunami Aceh empat tahun lalu (28 Desember 2004), adalah ‘pembunuh’ yang tak kenal ampun. Betapa tidak. Lewat satu sapuan gelombang tsunami, Aceh dan sekitarnya porak-poranda dan sekitar 200 ribu nyawa menjadi korbannya.

Tetapi, laut yang tenang adalah sahabat bagi nelayan dan siapa saja yang ingin mencicipi kekayaan dan keindahannya. Melalui bukunya itu, Adhyaksa membeberkan potensi kekayaan lautan kita sekaligus tantangan untuk meraup dan mendayagunakannya bagi kesejahteraan anak-anak bangsa.

Esai ini pernah dimuat di Republika, 28 Des 2008
Baca Lengkapnya....

Souvenir Fiksi Islami

Suatu hari, pada tahun 2003, saya menerima buku kumpulan cerpen 20 Tahun Cinta. Saat itu, saya merasa gembira sekaligus terkesima. Buku kumpulan cerpen terbitan Senayan Abadi Publishing itu tidak hanya dikemas secara elegan dengan desain grafis yang cantik, tapi juga memuat cerpen-cerpen karya para cerpenis ternama yang beberapa di antaranya dikenal sebagai penulis buku-buku bestseller.
Spontan saya memprediksi, buku tersebut akan laris. Dan, kabarnya, cetakan pertama buku tersebut habis tidak sampai sebulan. Saya melihat, buku kumpulan cerpen seperti 20 Tahun Cinta tidak hanya pantas untuk dimiliki oleh pecinta fiksi Indonesia, tetapi juga cukup bernilai — dan PD — untuk menjadi souvenir, hadiah ulang tahun, dan bahkan kado pernikahan. Tentu, begitu juga buku-buku serupa yang terbit berikutnya.

Misalnya, Mengetuk Cintamu, Wajah di Balik Jendela, Sembilan Kuntum Adelweis dan Pipit tak Selamanya Luka. Desain cover-nya yang indah, dengan huruf dan ilustrasi timbul, membuat buku-buku tersebut juga elok untuk dipajang di ruang tamu. Tentu juga novel Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman el-Shirazy, yang menjadi mega bestseller, dan karya-karya Gola Gong, yang rata-rata juga laris manis.

Selain mereka, cerpenis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja juga dikenal sebagai penulis buku fiksi bestseller. Buku Asma, Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, dalam tiga pekan sudah mengalami cetak ulang dua kali. Sedangkan Gola Gong sudah dikenal lama sebagai penulis bestseller dengan serial novel trilogi PadaMu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan Tempatku di SisiMu (DAR Mizan), serta serial Kupu-Kupu Pelangi. Sedangkan Pipiet Senja memiliki novel bestseller bertajuk Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim).

Masih banyak cerpenis lain yang sempat ikut mengisi khasanah fiksi Islami, dan ikut menghadirkan souvenir-souvenir sastra yang bermakna, seperti Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Kurnia Effendi, Teguh Winarsho AS, Isbedy Stiawan ZS, Fahrunnas MA Jabbar, Khairul Jasmi, Novia Syahidah, Fahri Aziza, Yus R Ismail, Nurul F Huda, Irwan Kelana, Arlen Ara Guci, dan M Arman AZ.

Di antara jenis-jenis karya sastra modern yang dikenal masyarakat, fiksi — baik cerpen maupun novel — memang merupakan jenis karya sastra yang paling diminati masyarakat. Indikasinya, sangat banyak buku kumpulan cerpen maupun novel yang menjadi bestseller. Di luar fiksi Islami, novel Saman karya Ayu Utami, dan Super Nova karya Dewi ‘Dee’ Lestari, juga bestseller.

Rubrik-rubrik cerpen maupun novel (dalam bentuk cerita bersambung) di surat kabar juga sangat diminati dan memiliki rating pembaca cukup tinggi. Majalah khusus cerpen, Annida, juga mampu mencapai oplah di atas 70 ribu eksemplar, jauh di atas oplah Majalah Horison dan majalah berita yang ada di Indonesia.

Di tingkat global, kita mengenal buku-buku novel maupun kisah serial yang bestseller di hampir seluruh pelosok dunia dan dicetak sampai puluhan juta eksemplar. Serial Harry Potter misalnya, selalu ditunggu seri terbarunya oleh puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia. Novel-novel detektif karya John Grisham juga selalu bestseller. Begitu juga novel-novel Dean Koontz, novelis AS paling ternama AS saat ini, seperti The Husband.

Realitas di atas menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya menyimpan potensi bisnis yang tinggi, tapi juga potensi pencerahan rokhani yang besar. Daya sugesti fiksi yang kuat, dengan peredarannya yang luas, sangat potensial mempengaruhi sifat dan karakter pembacanya. Dengan kata lain, fiksi dapat ikut mempengaruhi proses perubahan sosial.

Dan, di sinilah diperlukannya fiksi-fiksi Islami untuk dapat ikut mendorong proses perubahan masyarakat ke arah yang tercerahkan. Larisnya buku-buku fiksi Islami — bahkan sempat booming sepanjang tahun 1999-2006 — membuktikan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memang membutuhkan fiksi-fiksi Islami sebagai bacaan yang tidak hanya menghibur, tapi juga aman dan mencerahkan.

Fiksi Islami, secara sederhana dimaksudkan sebagai fiksi yang secara tematik (isinya) bersemangat Islami, dan secara estetik (disajikan) secara Islami pula. Namun, tidak berarti harus dipenuhi simbol-simbol Islam formal, seperti masjid, kalimat syahadat, takbir, dan istighfar.

Untuk dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, guna memberikan pencerahan secara lebih luas, yang ideal adalah novel Islami secara substansial. Tapi, jika memang diperlukan sebagai latar (setting), tentu tidak perlu ragu-ragu untuk menampilkan realitas dunia Islam dalam fiksi-fiksi kita. Fiksi-fiksi yang menuntun perjalanan rokhani menjadi hamba yang bertauhid dan cinta Allah SWT tetap penting juga.

Karena Islam bersifat universal, maka fiksi-fiksi Islami dapat mengeksplorasi tema-tema yang beragam, sejak kisah cinta, keluarga, politik, perang dan tragedi kemanusiaan, sampai ketakwaan pada Tuhan. Yang penting, bagaimana menghidupkan nilai-nilai Islami dalam fiksi, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan pembacanya. Sebab, fungsi terpenting kebudayaan, termasuk sastra, adalah meningkatkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Bukan sebaliknya.

Karena itu, marilah kita jadikan buku fiksi Islami sebagai souvenir yang benar-benar indah dan bermakna.

Pernah dimuat di Republika 19 Agus 2007
Baca Lengkapnya....

Sajak Kritik Sosial di Tengah ‘Tarung Penyair’

stafku, stafku
ada yang bekerja setengah hati
ada yang bekerja semaunya sendiri
ada yang tak suka apel pagi
ada yang pagi-pagi sudah di kedai kopi
ada yang takut diminta mewakili
stafku, stafku
bila aku ada, banyak yang setor muka
bila aku ke luar kota,
ada yang tak masuk kerja…

Jika sajak-sajak kritik sosial di Indonesia selama ini rata-rata mengeritik penguasa dan atasan, beda dengan sajak karya Suryatati A Manan di atas: mengeritik bawahan. Maklum, penulisnya seorang walikota (Tanjungpinang), yang memang ingin meluruskan ‘budaya kerja’ bawahannya.

Dan, meski kritik Suryatati tajam, tak ada yang marah, karena disampaikan melalui puisi. Hadirin justru tertawa-tawa saat sajak panjang berjudul Stafku tersebut dibacakan di tengah acara Tarung Penyair Panggung di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, Kota Tanjungpinang, Rabu (27/8) malam lalu.

Malam itu, 10 penyair unggulan Tanjungpinang memang sedang diadu keandalan mereka dalam membaca sajak di panggung. Suryatati tidak ikut bertarung, tapi sajak-sajak kritik sosialnya bertabur di panggung. Selain dibacakan sendiri (puisi di atas), ke-10 petarung juga membacakan masing-masing satu puisi karya Suryatati selain membacakan satu karya mereka sendiri.

Sepuluh penyair terkemuka Tanjungpinang yang bertarung itu adalah Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Hoesnizar Hood, Lawen Newal, Teja Alhabd, Bhinneka Surya, Efiar M Amin, Said Parman, Safaruddin dan Heru Untung Laksono. Mereka dipertemukan dalam satu panggung untuk menguji kemampuan mereka dalam membaca puisi.

Sama-sama hebat, dengan karakter puisi dan tampilan masing-masing. Dan, seperti dikatakan ketua panitianya, Asrizal Nur, itulah beda antara penyair-penyair Tanjungpinang dengan penyair-penyair daerah lain. Penyair dari daerah lain, meski karyanya bagus, belum tentu terampil membaca sajak di depan publik, sedangkan para penyair Negeri Pantun itu rata-rata bagus.

Tak salah mereka tumbuh di kampung halaman presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang memang memiliki tradisi lisan yang sangat kuat, yakni tradisi berpantun. “Wah, bagus semua. Sulit memilih siapa yang terbaik,” kata Hamsad Rangkuti, ketua dewan juri tarung penyair itu.

Tetapi, karena ini pertarungan, alias lomba, harus ada yang menang dan ada yang kalah. Dewan juri harus menentukan siapa juaranya. Maka terpilihnya Teja Alhabd sebagai juara pertama, disusul Hoesnizar Hood (juara kedua), dan Tusiran Susena (juara ketiga). Sedangkan Lawen Newal dan Machzumi Dawood terpilih sebagai juara harapan. Selain juara kedua, Hoesnizar juga terpilih sebagai juara favorit pilihan penonton.

Sebagai sang juara, Teja mendapatkan hadiah Rp 10.000.000, Hoesnizar Rp 8.000.000, dan Tusiran Rp 6.000.000. Para juara harapan menerima masing-masing Rp 4.000.000. Uniknya, peserta yang kalah pun mendapatkan hadiah, yakni uang tunai masing-masing Rp 3.000.000. Dan, sebagai juara favorit, Hoesnizar mendapat tambahan Rp 5.000.000. Sang walikota agaknya memang sengaja ingin memberikan apresiasi yang layak kepada semua peserta, para penyair yang selama ini ikut memajukan tradisi sastra di Tanjungpinang.

Dipimpin oleh seorang walikota yang juga penyair, tradisi bersastra di Tanjungpinang memang menjadi sangat hidup. Penyair, sastrawan dan birokrat, bersinergi untuk memajukan seni-budaya daerahnya. Tradisi berpantun juga sangat hidup dan marak di masyarakat, sehingga belum lama ini Tanjungpinang mendeklarasikan diri sebagai Negeri Pantun.

Sebagai kota yang kental dengan kebudayaan Melayu, Tanjungpinang tak henti-hentinya menggelar kegiatan sastra-budaya, tidak hanya tingkat lokal, tapi juga nasional, dan bahkan internasional, seperti Festival Pantun Serumpun. Apalagi, Tanjungpinang memiliki sastrawan legendaris, yakni Raja Ali Haji, sang pencipta Gurindam Duabelas, yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Menurut Asrizal Nur, tarung penyair ini dilaksanakan atas apresiasi pemerintah kota Tanjungpinang terhadap dedikasi penyair dan sekaligus merangsang giatnya kembali tradisi pembacaan puisi yang atraktif, yang dulu telah dimulai oleh Sutardji Calzoum Bachri dan almarhum Ibrahim Sattah, dua penyair besar dari Kepulauan Riau (Kepri) yang pernah tinggal di Tanjungpinang.

Selain tarung 10 penyair, panggung juga dimeriahkan baca puisi jemputan oleh Hj Suryatati A Manan (walikota Tanjungpinang), Aida Ismed (anggota DPD asal Kepri), Bobby Jayanto (ketua DPRD Tanjungpinang), dan Mastur Taher (wakil bupati Bintan) — yang ternyata juga para pembaca puisi yang jempolan.

Sinergi antara penyair dan birokrat, serta saling apresiasi antar-kedua pihak, terasa sekali dalam acara ini. Para penyair mengakui peran walikotanya dalam memajukan sastra, dan sang walikota mengakui peran penyair dalam ikut melempangkan jalan birokrasi dan politik di daerahnya. Kata-kata John F Kennedy bahwa bila politik bengkok maka puisi akan meluruskannya, terasa sekali di Tanjungpinang.

Karena Tanjungpinang memiliki banyak penyair, aku Suryatati, politik yang bengkok bisa diluruskan, sehingga iklim politik dan birokrasi dapat berjalan dengan baik-baik saja.

Esai ini pernah dimuat di Republika, 14 Sep 2008
Baca Lengkapnya....

Sastra, Planet Senen, dan Potret Buram Bangsa

MESKI bergerak ke arah perbaikan, negeri ini masih banyak menyisakan potret buram. Dan, itulah yang disorot oleh sastrawan Taufiq Ismail pada orasi sastranya dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka di plasa Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di Planet Senen, Jumat, 29 Agustus 2008, yang lalu.
“Sesudah enam puluh tiga tahun merdeka, apabila kita berharap akan keadilan, masih bisakah saudaraku menemukan keadilan di Indonesia hari ini, setelah pincang, tersaruk digebrak krisis, dihantam bencana, dan kehabisan angka kita menghitungnya,” katanya. Ungkapan Taufiq itu tentu bukan untuk membuat kita pesimis, tapi menyadarkan kita betapa masih banyaknya pekerjaan yang harus kita selesaikan untuk mengisi kemerdekaan, betapa masih banyak tugas para pemimpin bangsa untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan, keadilan dan kemakmuran.

Setelah dilanda krisis dan berbagai kerusuhan pada masa akhir kekuasaan Soeharto, bertubi-tubi negeri ini dilanda bencana alam yang dahsyat, sejak tsunami Aceh hingga gempa Yogya. Belum lagi berbagai kasus korupsi dan penggelapan uang negara dalam kasus BLBI dan dana BI misalnya.Melonjaknya harga minyak dunia pun ikut melonjakkan harga BBM dalam negeri yang berakibat makin tergencetnya nasib rakyat oleh kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara, beban hutang negara Rp 1.600 triliun pun menjadi beban tersendiri, yang menyita hampir 40 persen APBN untuk mencicilnya.

Jadinya memang tidak mudah untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman kebangkrutan ekonomi dan kehancuran budaya. Seperti disorot oleh Taufiq pada orasinya itu, akhlak berbagai kalangan masyarakat juga mengalami kemerosotan, termasuk kalangan anggota Dewan, pejabat, penegak hukum, dan sastrawan. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan melanda Dewan, sementara dari kalangan sastrawan banyak yang mengagungkan kebebasan seks dengan dalih kebebasan berekspresi.

“Akhlak merosot, budaya permisif serba boleh menjadi-jadi. Narkoba, alkohol, nikotin, dan pornografi. Hak pakai alat kelamin di badan orang lain tak dihormati. VCD biru dalam kata-kata menjadi gaya fiksi masa kini, asyik dengan masalah selangkangan dan sekitar ini, diusung dengan rasa kagum kronis pada teori-teori neo-liberalisme,” kata Taufiq. Pada akhir orasinya, Taufiq bertanya, masih adakah harapan bagi kita, manusia Indonesia? Dan, ia menjawabnya sendiri, “Mudah-mudahan masih ada. Ya, masih ada. Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa, dari atas sampai ke bawah. Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa. Semoga Indonesia kita tetap disayangiNya, selalu dilindungiNya.”

Kawasan Planet Senen, yang pada tahun 1960-an menjadi semacam oase budaya bagi kota Jakarta, dan banyak melahirkan seniman besar, belakangan pun terkena polusi moral. Kawasan tempat nongkrong dan tumbuhnya Wim Umboh, Sukarno M Nur, Misbah Yusa Biran, Hamsad Rangkuti, Ajip Rosyidi dan SM Ardan itu belakangan kehilangan citranya sebagai oase budaya. Citra yang melekat pada kawasan Senen, tinggal kawasan bisnis, premanisme dan pelacuran.

Kesadaran untuk merevitalisasi fungsi kultural Planet Senen dan mengembalikan citranya sebagai salah satu oase budaya bagi kota Jakarta, akhir-akhir ini mencul dari beberapa penyair seperti Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu dan Giyanto Subagio. Mereka mencoba mendenyutkan kembali aktivitas kesenian sastra, tari, lukis, dan teater — dari Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang menempati kawasan Planet Senen.

Untuk mendukung upaya itu pula Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka digelar di plasa gelanggang remaja tersebut, atas kerja sama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Planet Senen (KoPS), serta dukungan penuh Dedy Mizwar, Misbah Yusa Biran dan Taufiq Ismail. “Senen dulu banyak melahirkan seniman besar. Di sini pula dimulainya teater modern Indonesia,” kata Misbah.

“Kegiatan ini positif sekali untuk mengembalikan citra dan fungsi kawasan Senen, bukan hanya sebagai kawasan bisnis, tapi juga oase kesenian bagi kota Jakarta,” kata walikota Jakarta Pusat Dr Hj Sylviana Murni pada sambutan yang dibacakan wakilnya, Dadang Effendi. “Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini,” tambah Kasubdin Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Pusat, Bambang Subekti.

Diawali dengan diskusi bertajuk Sastra Urban dan Kemerdekaan dengan pembicara Irman Syah, Helvy Tiana Rosa, dan Agus R Sarjono, acara dipuncaki orasi sastra oleh Taufiq Ismail. Sebelum orasi, panggung diisi pentas baca puisi oleh Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono, Diah Hadaning, Aby Nuh, Medy Loekito, Misbah Yusa Biran, Jamal D Rahman, Giyanto Subagio, dan Viddy AD Daery, serta baca cerpen oleh Yohana Gabe Threenov Siahaan.

Panggung yang dipasang di sebelah patung perjuangan kemudian diisi baca puisi, antara lain oleh Rukmi Wisnu Wardani, Mustafa Ismail, Sihar Ramses Simatupang, Amien Kamil, A Badri AQT, dan baca cerpen oleh Hamsad Rangkuti. Sejumlah penyair, seperti Imam Maarif, sempat naik ke atas balkon patung untuk membacakan sajaknya. Sejumlah grup musik, seperti Prasta dari Bogor pimpinan Uthe dengan vokalis Irma, serta performance arts Asep Sutajaya dan Abah Bopeng, menyempurnakan acara hingga larut malam.

Kesenian telah kembali menggeliat di Planet Senen, kembali menghamparkan oase sejuk di tengah kota Jakarta yang makin gerah, bising, sibuk, macet, dan penuh dekadensi moral. Semoga saja, kesenian-kesenian yang digelar di Senen adalah seni yang menjaga moral, yang mencerahkan hati nurani, dan menyempurnakan harkat serta martabat kemanusiaan publiknya, bukan yang sebaliknya.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Sep 2008
Baca Lengkapnya....

Aksi Panggung para Penyair Nusantara

ADA yang mengaum, ada yang beteriak, ada yang merintih, ada yang membanting kursi, ada yang berdendang, ada yang membawa jaelangkung, ada yang cool-cool saja. Begitulah aksi panggung para ‘penyair Nusantara’ dalam perhelatan Pesta Penyair Indonesia, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering, di Medan, 25-28 Mei 2007 lalu.
Tampil pada malam ketiga, penyair Pekanbaru, Fakhrunnas MA Jabbar, mendengdangkan lagu pedih nasib Riau yang terus diterpa perubahan zaman, melalui ‘sajak seri’-nya, Riau 1 dan Riau 2. Bagi sastrawan yang juga deputi direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper ini, Riau adalah ‘harta karun’ budaya yang harus disayangi, namun ia tidak dapat mencegahnya ketika Riau terus dieksploitasi kekayaan alamnya:

sungguh aku tak bisa beri dikau permata
bebatuan purba tertanam jauh di lembah-lembah
semua orang menambang uang dan logam
biar kutambang perahu saja
sungguh aku tak bisa beri dikau mutiara
kerang dan tripang tertanam jauh di laut dalam
semua orang memetik mawar
biar aku saja memetik senyummu yang ramah

Beragam gaya dan beragam tema. Begitulah sajak-sajak para penyair Nusantara yang terkumpul dalam buku antologi puisi Medan Waktu (dieditori oleh Afrion Medan, Antilan Purba, dan M Yunus Rangkuti) yang melengkapi perhelatan tersebut. Maka, beragam pula gaya penampilan mereka di panggung. Binhad Nurrohmat pun membanting kursi, untuk memunculkan sensasi teateral. Tapi, Krismalyanti, cool-cool saja ketika membaca sajak Jerat Kering.

Sebelum mereka, penyair Malaysia yang juga aktor ternama, Khalid Salleh, seperti mengaum ketika meneriakkan sajak Merdeka di Tangan Siapa? — sebuah sajak lugas yang berbicara tentang makna kemerdekaan:

merdeka adalah kebebasan melakukan dan menyatakan erti kebenaran memberi dan menerima kebaikan mengusulkan pandangan untuk kebaikan bersama membuka semangat untuk kesedaran — berbangsa, beragama, dan bernegara

Sekitar 100 penyair dari berbagai penjuru kawasan Nusantara — Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan — adu kebolehan membaca sajak di atas panggung selama empat malam berturut-turut, 25-28 Mei 2007. Tiga malam pertama berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, dan malam terakhir di Garuda Plaza Hotel.

Dari Brunei, penyair yang tampil membaca sajak, antara lain Zefri Ariff, Adi Swara dan Sheikh Mansor. Dari Malaysia, antara lain SM Zakir, Khalid Salleh, DR Ibrahim Ghaffar, Mohammad Saleeh Rahamad, DR Ahmad Razali Yusuf, Muhammad Lutfi Ishak, Shamsudin Othman, Nasury Ibrahim, Rahimidin Zahari, Ijamala MN, Saring Sirad, Amirul Fakir, Amran Daud dan Saifulizan Yahya.

Paling banyak, tentu, dari Indonesia, antara lain Korrie Layun Rampan (Kutai Barat), Shantined (Balik Papan), Micky Hidayat (Banjarmasin), Dinullah Rayes (Mataram), Doel CP Allisah (Aceh), Idris Pasaribu (Medan), Hasan Bisri BFC (Bogor), Khoirul Anwar (Kediri), Sarah Serena (Jakarta), Epri Saqib (Depok), Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka (Lampung), Harta Pinem dan M Raudah Jambak (Medan).
Selain mereka, penyair yang ikut meramaikan pentas baca sajak, antara lain Viddy AD Daery (Lamongan), Fikar W Eda (Aceh), R Galuh Angger Mahesa (Medan), Syaifuddin Ghani (Kendari), Doddy SH (Bojonegoro), Leonowens SP (Jakarta), Hasan Al Banna, Nurhilmi Daulay, Mihar Harahap, Koko Bhairawa, Dini Usman, Raswin Hasibuan (Medan), A Aris Abeba (Pekanbaru), dan Amin Setiamin (Labuhan Batu).

Jika pada malam pembukaan dimeriahkan musikalisasi puisi dan tari, panggung puisi pada malam penutupan makin seru dengan tampilnya Bupati Langkat H Syamsul Arifin SE. Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu ini membacakan sajak-sajak Amir Hamzah dengan penuh penghayatan. Bahkan, beberapa penyair Malaysia dan Indonesia masih membaca sajak sambil membentuk lingkaran mengelilingi meja, meski acara telah ditutup oleh Kepala Disbudpar Medan H Syarifuddin SH.

Pesta penyair yang dilenggarakan oleh Laboratorium Sastra Medan bekerja sama dengan Disbudpar setempat ini tentu tidak hanya diisi ‘pesta sajak’. Pada siang hari para peserta suntuk mengikuti workshop (pagi) dan diskusi sastra (siang). Pada hari kedua (pagi) sempat digelar pula silaturahmi Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang diprakarsai oleh Ketua KSI Cabang Medan, Idris Pasaribu.

Diskusi sastra membahas khasanah puisi Nusantara dan kesastraan Indonesia mutakhir, dengan pembicara Suyadi San (Medan), Moh Saleeh Rahamat, SM Zakir (Malaysia), Zefri Ariff (Brunei), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), dan Isbedy Stiawan ZS (Lampung). Sedangkan sesi proses kreatif menampilkan Viddy AD Daery, Binhad Nurrohmat, Rahimidin Zahari (Malaysia), dan Sheikh Mansor (Brunei).

Puncak pesta penyair ini adalah gathering di Garuda Plaza Hotel, yang diawali dialog budaya bersama Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Depbudpar RI, DR Mukhlis Pa’Eni. Berbagai isu kebudayaan mutakhir, seperti makin terpinggirkannya seni tradisi, dibahas oleh doktor antropologi sosial ini.

Usai dialog, gathering diisi musyawarah untuk membahas kemungkinan dibentuknya forum bersama penyair Nusantara. Seperti diakui oleh ketua panitia, Afrion Medan, sempat menguat rencana untuk membentuk sebuah jaringan kerja dengan nama Komunitas Sastra Nusantara.

Sidang pleno yang dipimpin oleh Ahmadun YH, Viddy AD Daery dan Idris Pasaribu, akhirnya menyepakati event tahunan Pesta Penyair Nusantara, Sempena The International Poetry Gathering sebagai forum bersama penyair Nusantara untuk bermusyawarah sambil berapresiasi dan mengekspresikan karya.

Pesta penyair tersebut akan diadakan secara bergilir di kota-kota negara peserta, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Thailand. Disepakati, Pesta Penyair Nusantara 2008 akan diadakan di Kediri, Jawa Timur.

Maka, ”sampai bertemu di Kediri tahun depan!” kata beberapa penyair Malaysia, sambil melambaikan tangan ke beberapa penyair Indonesia di depan Hotel Srideli, tempat mereka menginap.

Pesta Penyair Model Gotong Royong

Kini menjadi semacam kelaziman bahwa event sastra se Nusantara, baik di Indonesia maupun di negeri jiran, diadakan secara bergotong royong — biaya peserta ditanggung bersama.

Demikian pula pesta penyair se-Nusantara di Medan ini. Panitia hanya menyediakan akomodasi selama acara berlangsung. Sedangkan transport dari kota asal peserta, baik sebagai pembicara, pembaca puisi, maupun penggembira, ditanggung sendiri. Karena itu, sebelum acara, para calon peserta biasanya sibuk mencari bantuan dana.

Berungtunglah, ada saja lembaga pemerintah dan swasta yang peduli pada sastra dengan membantu keberangkatan peserta. Salah satunya adalah PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). “Tentu, kami sangat peduli pada acara seperti itu, karena sangat penting untuk meningkatkan prestasi budaya bangsa,” kata Dirut PT RAPP DR Rudi Fajar.

Menurut Rudi, acara semacam pesta penyair di Medan itu sejalan dengan program peduli budaya yang dilaksanakan oleh produsen pulp dan kertas ini. Salah satu program yang kini sedang digalakkannya adalah pendirian taman bacaan di desa-desa yang kini telah mencapai lebih dari 110 desa di Riau. (ika/ayh)

Pernah dimuat di Republika, 10 Juni 2007
Baca Lengkapnya....

Kebermaknaan Sajak-sajak Dhenok dan Nana

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ketua Komite Sastra DKJ

Seseorang yang memiliki bakat dan kecerdasan puitik, biasanya akan tergoda untuk menuliskan kegelisahan pikiran dan perasaannya, serta apapun yang mengesankan dan menggugah rasa empatinya, secara puitis. Puisi atau “metode puisi” (puitika), setidaknya kalimat-kalimat yang puitis, akan menjadi media perekam, sejak detik-detik yang paling indah dan mengesankan, sampai saat-saat yang paling mencemaskan, hingga perasaan religius yang mengharukan, dalam hidupnya. Maka, apakah dia dengan sadar memanfaatkan metode puisi ataupun tidak (spontan), biasanya semua yang ditulisnya itu akan menjadi puisi yang indah dan bermakna.

Lalu, apa sebenarnya yang disebut sebagai puisi? Secara singkat, tokoh gerakan romantik Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849),  menyebut puisi sebagai kata-kata yang disusun secara indah, berirama dan bermakna. Terkesan sederhana, tetapi di dalam definisi Allan Poe itu sebenarnya terkandung teori atau konsep puitika yang cukup rumit. Kata kunci pertama, yakni indah, misalnya, mengandung pesan tentang pentingnya estetika bahasa, atau susunan bahasa dengan metafor tertentu, agar puisi menjadi indah. Begitu juga kata kunci kedua, berirama, menyimpan pesan tentang pentingnya unsur-unsur pembentuk irama dalam sajak, sejak konsep tentang persamaan bunyi (rima) sampai metode pengelompokan kata dan paralelisme serta repetitio untuk membangun irama bahasa agar sebuah sajak terasa indah saat dibaca.  Sedangkan kata kunci ketiga, bermakna, mengandung pesan bahwa bahasa puisi yang indah itu hendaknya tetaplah bermakna atau menyampaikan pesan tertentu yang bermanfaat bagi pembaca.

Banyak definisi lain tentang puisi, sejak definisi dari zaman romantik sampai pasca-modern, sejak yang rumit sampai yang sederhana. Di antara yang sederhana itu, yang  nyaris tanpa pesan konseptual tentang puitika, adalah definisi yang dikemukakan oleh penyair romantik Ingris, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, dan percintaan. Pada sajak-sajak kontemporer, atau era pasca-modern, seperti terlihat pada sebagian besar sajak yang dimuat di Majalah Sastra Horison, dan Bentara Kompas, konsep rima dan ritme yang ketat pun sudah ditinggalkan. Keindahan sajak lebih banyak dibangun oleh cintraan-citraan yang hidup, unik, dan (syukur) juga membangun susunan imaji yang indah.

Sajak-sajak dalam buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini ditulis oleh dua penyair dari era 1980-an, kebetulan keduanya berjenis kelamin perempuan, Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati. Karena keduanya menyebut karya-karya mereka sebagai puisi, dan sengaja menyiapkannya untuk sebuah buku antologi puisi, maka karya-karya mereka itu memang ditulis dengan sengaja sebagai puisi. Bukan sekadar penggalan-penggalan catatan harian, ataupun sekadar catatan perjalanan, meskipun banyak di antara sajak-sajak keduanya berupa catatan harian dan catatan perjalanan yang puitis.

Dan, memang, catatan-catatan puitis mereka sering menembus dimensi ruang dan waktu, menembus kenangan jauh ke masa lalu, untuk kemudian melesat ke depan, kadang disertai perenungan yang dalam hingga menyentuh relung-relung religiusitas, dengan upaya pemaknaan atas berbagai fenomena kehidupan di sekitar mereka secara empatik dan imajinatif, sekaligus kritis terhadap kecenderungan sikap hidup yang kurang benar. Coba kita simak kutipan dua sajak religius Dhenok dan Nana berikut ini:

Dua ribu pengunjung gereja memainkan satu peran:
    Meski serigala mengaum di dada,
    mari kenakan bulu domba!

Mereka berpakaian putih bersih,
penutup kemaluan yang kian legam

Yesus tersalib di podium gereja
Ia tundukkan kepala,
Ia pejamkan mata, berdoa :
“Ya, Abba! Kasihanilah mereka!”

Orang-orang menerima komuni
Mencabik, menyayat daging Sang Kristus
untuk sarapan pagi hari

Darah pencuci dosa
menetes-netes dari hati-Nya yang luka
Umat nadahkan cawan dengan nafsu membara
Minum, dan mabuklah mereka :
    “Sepotong daging, seteguk darah Kristus
    belum usir laparku, dahagaku
    Mana dagingmu? Mana darahmu?
    Berikan padaku!”

Di podium gereja Yesus tersalib
Ia palingkan wajah,
Ia sembunyikan mata-Nya yang basah

(Sajak “Minggu Pagi di Suatu Gereja” karya Dhenok Kristianti)

Terasa langit tak terlalu tinggi dan membahana
Terasa lautan tak terlalu dalam dan luas
Terasa cintaku tak terlalu besar padamu
Karena pada-MU segala-galanya
Yang aku miliki, milik-MU

Begitu lama aku menyusuri gang-gang panjang
Bau apek, sampah, asap rokok, kemelaratan dan sakit hati.
Lama sekali aku berkubang dalam kubangan tanpa dimensi
Menyebut nama-MU tanpa berbalas, gema berbalas gema
Airmata tidak cukup pantas untuk diucapkan
Terlampau  sederhana untuk mengungkapkan permintaan

Sekarang aku lebih mengerti
Mengapa langit harus putih
Mengapa matahari di barat, mengapa dia juga ada di timur,
Mengapa lazuardi tetap lurus
Mengapa tiap cinta harus teguh
Aku mencintaimu
Tapi aku kini lebih mencintai-MU

Aku tidak berhenti berjalan, dengan kegagahan kakiku
Dengan kesombonganku yang akhirnya
Terpatahkan
Dengan tangan dan kaki terbelenggu
Aku sudah semakin dekat
Aku tidak ingin tak menampak-MU

(Sajak “Pengakuan” karya Nana Ernawati)

Meskipun tidak menampakkan upaya untuk mencoba konsep estetika puisi (puitika) yang rumit, jika dirujukkan pada definisi Allan Poe, sajak-sajak di atas setidaknya cukup memenuhi kata kunci indah dan bermakna. Memang, dari zaman romantik hingga sekarang, yang disebut puisi yang bagus atau yang berkualitas adalah puisi yang indah dan bermakna, atau kebermaknaan dalam keindahan, keindahan dalam kebermaknaan. Hanya, citarasa keindahan itu yang sering bergeser (berkembang) sesuai tuntutan zaman dan citarasa masyarakat tempatan. Pada zaman sastra Melayu lama, misalnya, puisi yang bagus adalah yang berbentuk pantun, dengan pola persajakan yang ketat. Pada zaman Pujangga Baru, pola puisi berubah karena pengaruh sonata, seperti tampak pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan ada pula yang mulai bebas seperti sajak-sajak J.E. Tatengkeng. Bentuk sajak makin bebas pada era pra-kemerdekaan (1940-an), seperti terlihat pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Dan, kini bentuk dan pola pengucapan puisi-puisi Indonesia makin beragam karena berbagai pengaruh dan upaya pencarian bentuk-bentuk puitika baru, sejak yang rumit dan gelap semisal sajak-sajak Afrizal Malna sampai yang lugas dan sederhana semisal sajak-sajak Diah Hadaning dan Taufiq Ismail. Ada pula yang penuh perlambang (simbolik) semacam sajak-sajak Abdul Hadi WM dan Subagio Sastrowardoyo, dan ada pula yang imajis semisal sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Dorothea Rosa Herliany. Dari sini, dengan mudah, pembaca dapat melihat ada di mana kecenderungan puitik sajak-sajak Dhenok dan Nana yang terkumpul dalam buku ini.

Terlihat, sajak-sajak Dhenok dan Nana umumnya memiliki bahasa yang cenderung lugas dan sederhana (komunikatif) dengan pola puitika yang sering tidak terlalu ketat, sehingga cukup pas jika dirujukkan pada definisi puisi Shelley. Memang, seperti kebanyakan perempuan penyair dari era 1970-an dan 1980-an, semisal Diah Hadaning,  Medy Loekito, dan Lastri Fardani Sukarton,  sajak-sajak Dhenok dan Nana mengesankan penyairnya percaya bahwa untuk menciptakan keindahan dalam sajak tidak perlu melalui bahasa yang rumit dan gelap serta penuh lambang-lambang yang sulit ditebak maknanya. Mereka percaya, bahwa keindahan sajak dapat juga dibangun dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana, komunikatif, dan akrab dengan pembaca.

Meskipun begitu, banyak juga sajak-sajak mereka yang menghadirkan metafor-metafor yang segar, dengan citraan-citraan yang hidup, unik dan indah. Coba kita simak kutipan sajak Dhenok dan Nana berikut ini.

Aku mau jadi garam yang larut dalam tiap masakan
Memberi rasa sedap bagi siapa saja yang mencecap
Garam tak peduli ujud kristalnya sirna,
ia hanya ingin memberi tanpa meminta

Aku mau jadi garam yang mengawetkan ikan-ikan
agar tidak cepat rusak di tempat penyimpanan
Bisakah aku seperti garam yang mencegah kehancuran?

Aku mau jadi garam,
yang tak pernah bertanya masakan apa yang harus diasinkan
Aku mau jadi garam,
yang tak memilih untuk mengawetkan apa atau siapa

Sungguh, aku mau jadi garam
karena garam mengerti untuk apa ia dicipta

(Dhenok Kristianti, “Aku Mau Jadi Garam”)

Aku kepompong yang tak pernah jadi kupu, mungkin metamorfosaku
Tidak berjalan semestinya,
Aku bergulung, menggeliat, di dalam ruang ringan, rapuh itu
Ujudnya tidak berubah
Tetap buruk, melingkar, lembek tanpa tulang
Sampai kapan aku sembunyi di sini, menghitung kegagalan demi kegagalan
Kepedihan, kegetiran, atau canda hari Minggu tanpa kesudahan.
Aku kepompong yang tak ingin jadi kupu
Kegelisahan itu membahagiakan
Ketakutan itu menghidupkan seluruh otot, nafas kehidupan

(Nana Ernawati, “Aku tak Ingin Jadi Kupu”)

Kita adalah sekumpulan serigala lapar,
yang lebih buruk dari serigala
kita makan apa saja, juga bangkai sahabat kita

Kita adalah penari topeng,
yang lebih buruk dari penari topeng
kita pakai topeng siapa saja
dan tidak pernah mengembalikannya

Kita adalah air bah yang marah
yang lebih buruk dari air bah
kita terjang siang dan malam
segala waktu buat keserakahan yang tiada habisnya

(Nana Ernawati, “Sajak Pengakuan”)

Dengan uraian dan contoh-contoh puisi tersebut di atas, pengantar ini memang sengaja hanya melihat keunggulan-keunggulan dan potensi-potensi positif sajak-sajak yang terkumpul dalam buku antologi puisi Dhenok dan Nana ini. Tentu, ada sejumlah kelemahan di dalamnya, seperti terlalu lugasnya beberapa sajak mereka, sehingga terkesan asal ditulis begitu saja tanpa dibungkus kaca prisma estetika. Tapi, bukanlah tugas seorang pemberi kata pengantar untuk mengkritisinya. Biarlah itu nanti menjadi pekerjaan para kritikus sastra yang membacanya.

Lebih dari itu, ada hal lain – non-literer -- yang menarik pada buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini, yakni menyatunya dua perempuan yang berbeda agama dalam satu buku. Dhenok adalah seorang Kristiani, sedangkan Nana adalah seorang Muslimah yang kini berjilbab. Puisi telah menyatukan dua hati yang berbeda keyakinan ke dalam sebuah buku kumpulan sajak yang penuh isyarat rasa persaudaraan, dengan binar-binar hikmah dan pencerahan.

Memang, pada banyak momentum dan kesempatan, puisi berpeluang untuk membuka dialog antar-budaya dan antar-keyakinan yang berbeda, untuk kemudian meminimalisir perbedaan itu, guna membangun rasa saling memahami dan saling menghormati satu sama lainnya. Di sinilah puisi dapat berperan untuk ikut menciptakan perdamaian dalam keharmonisan hidup umat manusia.***

Jakarta, 28 Maret 2011
Baca Lengkapnya....

PSN dan Energi Baru Sastrawan

Sebagai forum sastra negara-negara serumpun Melayu, PSN selama ini, seperti diakui oleh Sekretaris Majelis PSN Prof Madya Tan Sri Ismail Hussein, lebih diutamakan sebagai forum bersilaturahmi, berinteraksi, dan bertukar informasi antarsastrawan.

Meskipun begitu, seperti diakui penyair Taufiq Ismail, tiap PSN selalu dapat membangkitkan gairah baru bagi para sastrawan untuk berkarya. Karena itu, ia melihat PSN XIII di Surabaya ibarat //charge// dengan dinamo yang besar bagi para sastrawan.

Menurut tokoh Angkatan 66 ini, banyak persoalan yang mesti dipecahkan di even kesusastraan tingkat Asia Tenggara itu. Salah satu persoalan yang perlu dicarikan jalan keluarnya adalah lalu lintas buku-buku sastra yang selama ini belum lancar. Dan, ini pula yang dikeluhkan oleh Tan Sri Ismail Hussein.


''Saya memimpikan ke depan hendaknya karya-karta sastra yang ditelurkan para sastrawan di Malaysia, Singapura, serta Brunai Darussalam dan negara lain akan dengan mudah didapatkan toko-toko buku di Indonesia. Itu belum terjadi di saat sekarang ini,'' kata Taufiq dalam sambutan pembukaan PSN XIII di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Senin (27/09) malam.

Ada kabar pelaksanaan PSN XIII ini nyaris gagal karena dana. ''Sampai seminggu menjelang pelaksanaan belum ada dana sama sekali, sementara hanya sekitar 40 persen peserta yang mau membayar,'' kata Ketua SC PSN XIII Dr Setya Yuwana Sudikan. ''Pusat Bahasa juga sama sekali tidak mau menyumbang dana. Untung, akhirnya Pemda Provinsi Jatim dan Jawa Pos bersedia menaggung pembiayaan,'' tambah Ketua Panitia M Shoim Anwar.

Peresmian PSN XIII ditandai dengan pemukulan gong oleh Gubrnur Jatim Imam Utomo didampingi Taufiq Ismail dan Tan Sri Ismail Hussein. Prosesi pembukaan dimulai dengan sajian tari Zafin oleh Raff Dance Company. Menutup acara pembukaan, sekitar 20 penari dari Sanggar Sastra Bali pimpinan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang muncul di panggung dengan gaya penari kecak, kemudian secara serempak mengucapkan "Pertemuan Sastrawan Nuswantoro".

Sebagai pamungkas kegiatan PSN XIII, panitia mengajak sejumlah peserta mengunjungi Museum Purbakala di Trowulan Mojokerto. Dengan dipandu penyair Viddy AD Daery, rombongan satu bus yang terdiri atas 15 peserta dan sekitar 30 partisipan melakukan napak tilas sejarah Majapahit melalui studi lapangan dan pustaka.

Rombongan juga sempat dijamu makan siang di rumah dinas Wali Kota Abdul Gani Suhartono. Ketua DKM Kristri Nugraheni Bachtiar ikut menyambut mereka. Sementara, sejumlah anggota DKM menyajika teaterikalisasi puisi berbahasa Jawa karya Ismaniasita.n ayh
Baca Lengkapnya....

Identitas Melayu dalam Sastra Serumpun

Sastra, menurut Umar Kayam, adalah refleksi dari masyarakatnya. Karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat dilihat pada karya sastranya. Atau, sebaliknya, ketika suatu bangsa membutuhkan penguatan identitas, karya sastra berpeluang untuk memberikannya.

Maka, ketika suatu bangsa terancam kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global (Barat), revitalisasi nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting. Tetapi, karena nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas.

Dan, itulah yang sesungguhnya saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang menebar di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Karena itu, ketika sebuah forum sastra besar bernama //Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII// melupakan masalah itu, penyair Binhad Nurrohmat mengingatkannya. ''Forum seperti ini lebih berguna dipakai untuk merumuskan identitas Melayu, daripada sekadar romantisme antarsastrawan,'' katanya dalam seminar internasional PSN XIII di Graha Pena Surabaya, pekan lalu.

Pada forum dua tahunan yang berlangsung pada 27-30 September 2004 itu memang tidak ada sesi yang secara eksplisit ditujukan untuk mengkaji dan merumuskan identitas Melayu. Jelasnya, PSN tidak dengan terus-terang dipakai sebagai forum peneguhan 'politik identitas' seperti dikehendaki Binhad dan beberapa peserta lain.

Tetapi, dengan rutinnya diselenggarakan PSN dan banyak ditampilkannya karya-karya para sastrawan negara-negara serumpun, sejak yang berpola pantun sampai yang kontemporer, sebenarnya secara tidak langsung PSN telah menjadi ajang peneguhan politik identitas itu. Apalagi, para sastrawan Malaysia, Singapura dan Brunei, selalu getol membacakan pantun-pantun (Melayu) kontemporer hampir pada tiap pentas seni PSN, seperti yang terjadi di Surabaya.

Pertunjukan-pertunjukan seni PSN XIII di Taman Budaya Surabaya, seperti teaterikalisasi puisi oleh sanggar sastra asuhan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang yang terpengaruh tari kecak Bali, tari zafin Raff Dance Company, musikalisasi //Bledhek Sigar// Bengkel Muda Surabaya, drama //Daerah Perbatasan// Teater Gapus, pembacaan puisi Diah Hadaning, Rusli Marzuki Saria, Aming Aminudin, D Zawawi Imron, dan Masruri, serta buku-buku sastra yang dipamerkan di lobi Graha Pena, barangkali juga dapat dianggap sebagai bagian dari proses peneguhan identitas Melayu itu.

***

Meskipun tidak eksplisit dan konseptual, persoalan identitas Melayu juga terbaca pada makalah-makalah yang disajikan dalam sesi seminar dua hari di Graha Pena Jawa Pos yang diikuti sekitar 200 sastrawan negara-negara serumpun itu. Sebab, selain membahas tema-tema universal yang menjadi persoalan bersama, seminar juga mengkaji tema-tema lokal yang menjadi perhatian masing-masing negara, bahkan kelompok etnis di dalam negara itu.

Dari penyair Negeri Singa Jamal Tukimin, misalnya, kita dapat melihat tradisi nusantara dalam sastra Singapura, yang sangat beridentitas Melayu. ''Pengaruh paling besar dan berkesan dalam perjuangan kreativiti dan penulisan sastera di Singapura adalah tradisi kemelayuan,'' kata Jamal Tukimin. ''Sastrawan Singapura yang lebih tua, seperti Suratman Markasan, juga meletakkan isu kemelayuan sebagai //subject matter// karya-karya mereka. Begitu juga sastrawan yang lebih muda, yang kini sedang membina citra Melayu Baru,'' tambahnya.

Identitas Melayu dalam sastra Singapura juga diungkap Mohd Pitchay Gani MA, dan Masruri SM. Sementara tentang identitas Melayu dalam sastra Brunei dibeberkan oleh Awang Kamis Hj Tua, Dr Hj Hashim bin Hj Abd Hamid, Dr Ampuan Hj Brahim bin Ampuan Hj Tengah, Hj Jawawi bin Hj Ahmad, dan Dr Hj Morsidi bin Muhammad. ''Genre sastra modern para penulis Brunei tetap mengakar kepada jati diri bangsa Melayu yang mempunyai pegangan ketuanan Melayu dengan tradisi agungnya sebagai sebuah negara Kesultanan Melayu Islam,'' tutur Hj Hashim bin Hj Abd Hamid.

Agak berbeda dengan sastrawan Singapura yang sedang membangun identitas Melayu dan sastrawan Brunei yang kukuh pada tradisi ketuanan Melayu, para sastrawan Malaysia justru lebih banyak memotret berbagai pergeseran nilai akibat perubahan zaman. Ini terbaca pada prasaran-prasaran Dr Noriah Mohamed, Dr Siti Zainon Ismail, Prof Dr Dato Zainal Kling, Dato Dr Hj Ahmad Kamal Abdullah, Prof Zainal Abidin Borhan, dan Dr Hashim Ismail. Bahkan, menurut Kamal Abdullah, puisi-puisi Malaysia kontemporer cenderung menantang tradisi, dan kini terancam terpinggirkan oleh sastra Ingris Malaysia. Sementara, Siti Zainon melihat bergesernya pandangan para penyair perempuan Malaysia tentang etika dan budi pekerti.

Tema yang lebih beragam diangkat oleh para pembicara dari Indonesia. Abidah el Khalieqy, misalnya, membahas gagasan-gagasan feminin dalam sastra Indonesia. Sementara, Sri Widati lebih menukik pada feminisme dalam sastra Jawa, Viddy AD Daery mengungkap sastra zaman Majapahit dan zaman kesunanan Jawa, Akhudiat membahas sastra lisan pesisiran, D Zawawi Imron menyorot sastra pesantren, dan Taufik Ikram Jamil membahas pengaruh kelisanan dalam sastra Indonesia modern.

Pembicara lain, Ayu Sutarto membahas cerita-cerita rakyat Jawa Timur, dan Roell Sanre mengupas pemetaan sastra Melayu di Sulawesi Selatan, Taufiq Ismail membahas masalah sastra dan dunia pendidikan, Dendy Sugono membahas tentang sastra dan identitas bangsa, Budi Darma tentang sastra multikultural, dan Ahmadun Yosi Herfanda membahas tentang evolusi, genre dan realitas sastra koran.

***

Beragamnya tema yang diangkat, dan tidak adanya satu alur untuk merumuskan satu identitas bersama, memang mengakibatkan identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun menjadi menebar dan kabur. Barangkali, baru anugerah kesamaan bahasa, yakni bahasa Melayu, seperti dikatakan Taufiq Ismail, yang menyatukan atau membingkai identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun.

Tetapi, di Malaysia, seperti diungkap oleh Kamal Abdullah, identitas bahasa itupun kini terancam oleh makin menguatnya tradisi sastra Ingris Malaysia. Karena itu, memang ada benarnya usulan untuk mengemas PSN menjadi forum yang lebih serius dan terarah dalam membahas persoalan bersama guna merumuskan identitas bersama (Melayu) itu.

Identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru yang mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi etnis. Akan lebih konyol jika pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu mestilah bersifat dinamis dan heterogen. n ahmadun yh
Baca Lengkapnya....

Evolusi, ‘Genre’ dan realitas sastra koran*

Sebelum beranjak jauh, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu dua istilah kunci dalam bahasan ini, yakni ‘genre’ dan ‘sastra koran’. Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, ‘genre’ berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘jenis’ atau ‘ragam’, dan  dalam bahasa Ingris disebut ‘type’.1 Jadi, genre sastra adalah jenis karya sastra yang memiliki bentuk (pola), teknik estetik, atau isi (tematik) yang bersifat tetap dalam suatu ragam sastra.
Sedangkan ‘sastra koran’ adalah istilah yang digunakan untuk menyebut karya-karya sastra, baik cerpen, novel, puisi maupun esei, yang dimuat (dipubli-kasikan) di surat kabar.2 Dengan demikian, sebenarnya istilah ‘sastra koran’ tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya sebuah genre sastra, tapi menunjuk karya-karya sastra yang memanfaatkan koran sebagai media publikasi pertama. Istilah ini sejajar dengan istilah ‘sastra saiber’ (cyber) yang sejauh ini masih hanya menunjuk ruang saiber (cyber space, internet) sebagai media publikasi karya.
Sebab, sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan menemukan adanya ciri-ciri spesifik dan signifikan terhadap sastra koran – juga sastra saiber -- untuk membedakannya dengan ‘sastra buku’ sehingga dapat disebut sebagai ‘genre’ tersendiri, seperti misalnya ‘genre novel pop’  atau ‘genre fiksi Islami’ yang dikembangkan oleh para penulis Annida dan mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.
Tetapi, betulkah sastra koran tidak menunjukkan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sastra buku atau sastra majalah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu lebih dulu mengungkap realitas sastra koran, baik realitas estetik maupun tematiknya, yang menebar di berbagai surat kabar harian maupun mingguan, khususnya yang terbit di Indonesia,3 dan lebih khusus sejak dasawarsa 1970-an ketika koran-koran di Indonesia makin dimaraki karya-karya sastra terbaru dan menjadi rujukan alternatif pemikiran sastra.

Evolusi Sastra Koran
Di dalam rentang panjang sejarah sastra Indonesia (Melayu), evolusi sastra koran dapat dilacak sejak masa pra-sastra Indonesia modern. Buku-buku sejarah kesastraan Indonesia menyebut novel Si Djamin dan Si Djohan hasil saduran Merari Siregar dari novel Jan Smees karya Justus van Maurik sebagai novel Indonesia pertama yang terbit pada awal abad ke-20 (l9l9). Baru kemudian lahir novel asli Indonesia yang pertama (?), Azab dan Sengsara (l920), juga karya Merari Siregar.
Tetapi, sebelum Merari Siregar, pada akhir abad ke-l9, sebenarnya telah cukup banyak muncul prosa-prosa 'penceritaan kembali' yang dikerjakan oleh orang-orang Cina-Melayu dan Indo-Belanda, seperti Sobat Anak-anak (l884) oleh Lie Kim Hok, dan Seribu Satu Malam (l886) yang dikerjakan oleh Kim Hok dan wartawan F. Wiggers, serta puluhan buku novel saduran lainnya dari Cina dan Eropa. Baru mulai tahun l890 terbit novel-novel asli Melayu dalam bahasa Melayu-Cina yang ditulis oleh kaum wartawan, seperti Nyai Isah karya F. Wiggers, Nona Leonie karya H.F.R. Kommer, dan Rosina karya F.D.J. Pangemanan, serta Nyai Dasima karya G. Francis.4
Dari contoh-contoh karya di atas, dapat disebut bahwa sebelum masa Pujangga Baru, pada akhir abad ke-l9, kehidupan sastra berbahasa Melayu -- masa awal sastra Indonesia modern -- memang sangat ditopang oleh penerbitan buku. Namun, surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan sastra Melayu-Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan.
Memasuki masa Pujangga Baru, dalam dasawarsa l930-an, selain penerbitan buku, majalah-majalah khusus, seperti majalah Poedjangga Baroe, Wasita dan Pusara, mulai ikut mengambil peranan itu, bersama surat kabar (Pewarta Deli dan Suara Indonesia). Tokoh-tokoh sastra Indonesia modern, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, mulai dikenal luas, selain melalui buku-buku novelnya, juga melalui pemikiran-pemikirannya yang dilansir dalam majalah-majalah tersebut.
Memanfaatkan majalah dan surat kabar itu pula sebuah tonggak pemikiran kebudayaan Indonesia modern dibangun melalui sebuah polemik panjang yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan -- polemik pertama tentang kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam tahun l935 sampai l936 dan diulang pada tahun l939.
Memasuki dasawarsa l940-an (masa Angkatan 45), majalah sastra menampakkan peranan yang makin dominan dalam membangun tradisi sastra Indonesia modern, termasuk pemikiran-pemikiran tentang kesastraan. Pemikiran-pemikiran 'wali penjaga sastra Indonesia' H.B. Jassin, misalnya, banyak disosialisasikan melalui majalah-majalah (sastra), seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah dan Sastra.
Dari tulisan-tulisan lepas dimajalah-majalah itu buku-buku Jassin umumnya lahir. Buku Tifa Penyair dan Daerahnya, misalnya, merupakan kumpulan tulisan Jassin yang dimuat di Mimbar Indonesia. melalui majalah-majalah itu pula, terutama arus pemikiran dan kecenderungan sastra Indonesia dibangun, termasuk 'penobatan' penyair Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh Jassin. Majalah sastra/budaya mulai tumbuh menjadi semacam pusat sekaligus kiblat pertumbuhan sastra Indonesia.
Masa kekuasaan 'rezim majalah sastra' itu berlangsung sampai pada era majalah Horison (perlu disebut juga majalah Budaya Jaya dan Basis) yang terbit pertama kali pada tahun l966. Sejak terbit, terutama sepanjang l970-an sampai awal l980-an, Horison mampu membangun citra dirinya sebagai majalah sastra yang benar-benar berwibawa. Para penyair, cerpenis, eseis/kritikus dan pengamat sastra pada umumnya, seperti kurang lengkap referensi bacaannya jika tidak membaca Horison. Keberadaan mereka -- penyair, cerpenis, eseis dan kritikus sastra -- juga seperti belum sah jika belum mampu menembus gawang Horison untuk mempublikasikan karya-karya mereka di majalah tersebut. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki, Horison menjadi semacam forum legitimasi (penobatan), karena disanalah, menurut anggapan banyak penyair daerah, para 'dewa sastra' bersemayam.
Jadilah, Horison, ketika itu, tidak hanya menjadi kiblat atau standar kualitatif karya sastra, tapi juga menjadi pusat nilai-nilai sastra -- estetik maupun tematik -- yang mampu melahirkan mainstream ataupun narasi besar (grand narration) sastra Indonesia. Munculnya fenomena sajak-sajak imajis pada akhir l970-an dan hampir sepanjang dasawarsa l980-an yang dituding Emha Ainun Najib sebagai 'rezim anutan tunggal' misalnya, tidak terlepas dari kecenderungan Sapardi Djoko Damono selaku penjaga gawang puisi Horison untuk lebih banyak menurunkan sajak-sajak bergaya demikian.
Namun, memasuki dasawarsa l980-an (sudah terasa gejalanya sejak l970-an), peranan majalah sastra mulai terbagi oleh rubrik-rubrik sastra yang menjamur di hampir semua surat kabar pusat dan daerah. Bukan hanya koran-koran mingguan yang menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, esei sastra dan novel (cerita bersambung), tapi juga surat-surat kabar harian seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas5, Sinar Harapan, dan Media Indonesia. Di tangan 'Presiden Malioboro' Umbu Landu Paranggi, Pelopor Yogya bahkan telah memulai tradisi sastra koran sejak l970-an dan sempat ikut mengantarkan nama-nama besar seperti Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan dan Linus Suryadi AG.
Koran-koran nasional terkemuka, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Tempo, Republika6, Pelita, dan Berita Buana7,  menyediakan sedikitnya sehalaman penuh tiap edisi Ahad untuk sastra. Kompas bahkan masih menambah rubrik Bentara untuk sastra tiap Rabu, seperti pernah juga dilakukan oleh Republik dengan Siesta-nya tiap Sabtu. Halaman untuk sastra juga disediakan oleh hampir semua surat kabar daerah, seperti Suara Merdeka (Semarang), Kedalatan Rakyat (Yogyakarta), Jawa Pos (Surabaya), Bali Post (Denpasar), Pikiran Rakyat (Bandung), Lampung Post (Lampung), dan Banjarmasin Post (Banjarmasin). Koran-koran mingguan, seperti Minggu Pagi, Simponi dan Swadesi8 bahkan menjadikan halaman sastra sebagai salah satu konten andalan.9
Dasawarsa l980-an sampai awal l990-an benar-benar menjadi era kekuasaan 'rezim sastra koran'.10 Rubrik sastra surat kabar yang seperti mengambil alih fungsi-fungsi penting majalah sastra, termasuk menobatkan penyair muda untuk diakui keberadaannya secara nasional. Horison dan Basis dengan 'susah payah' memang tetap terbit. Tapi, kesediaan surat kabar untuk memberikan honor yang relatif lebih besar dibanding majalah sastra, dan frekuensi terbitnya yang jauh lebih tinggi, menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyair, eseis/kritikus maupun cerpenis, untuk mempublikasikan karya-karya mereka ke rubrik sastra di surat kabar.
Seperti halnya Horison, rubrik sastra di surat kabar juga mampu mempengaruhi munculnya mainstream atau kecenderungan dominan dalam sastra. Surat kabar tidak hanya berperan memberikan informasi tentang berbagai peristiwa sastra, tidak juga hanya memuat karya-karya sastra terpilih dari para pengirimnya, tapi juga turut membangun suatu fenomena dan mendorong 'arus besar' dalam perkembangan sastra.

‘Genre’ Sastra Koran
Dari uraian di atas, sudah terlihat bahwa koran atau surat kabar, dan media massa cetak pada umumnya, memiliki peran yang cukup sentral dalam sejarah perkembangan sastra di Nusantara. Di Indonesia, media massa cetak -- sejak koran sampai majalah -– bahkan cukup 'memanjakan' karya sastra. Hampir semua media massa cetak yang terbit di Indonesia -– juga akhbar-akhbar di Malaysia -- menyediakan ruang khusus untuk karya sastra. Paling tidak, ada ruang untuk cerita pendek dan roman/novel.11
Peran media massa cetak di Indonesia, khususnya koran, dalam menyiarkan karya dan pemikiran sastra bahkan  jauh lebih besar daripada peran majalah khusus sastra seperti Horison12. Dan,  tentu juga dalam ikut mendorong pertumbuhan sastra, termasuk memunculkan fenomena ataupun mainstream baru. Mainstream sastra (puisi) sufistik, misalnya, dipompa oleh penyair Abdul Hadi WM melalui rubrik Dialog di Harian Berita Buana hampir sepanjang dasawarsa 1980-an. Fenomena puisi gelap juga ‘ditemukan’ melalui polemik di Harian Republika. Begitu juga ketika kita menyebut cerpen-cerpen seksual belakangan ini, banyak yang lahir di koran. Tentu kita juga tidak dapat menafikan peran koran Kompas, Media Indonesia, dan Tempo dalam mempengaruhi kecenderunan estetik cerpen-cerpen mutakhir Indonesia. 
 Melihat dominannya peran koran itu, maka sebenarnya sastra Indonesia lebih merupakan ‘sastra koran’13 -- bukan ‘sastra majalah’.  Juga bukan ‘sastra buku’, mengingat sebagian besar karya sastra Indonesia yang dibukukan adalah karya-karya yang lebih dulu dipublikasikan di koran, dan ‘koran kecil’ (tabloid). Untuk buku-buku kumpulan cerpen yang terbit di Indonesia dewasa ini, misalnya, berdasarkan perhitungan kasar, sekitar 80 persen cerpen di dalamnya berasal dari  cerpen yang dimuat di koran. Hanya sekitar 20 persen yang pernah dimuat di majalah (termasuk Horison dan Annida) dan sedikit cerpen yang belum pernah dipublikasikan.14 Bahkan banyak buku kumpulan cerpen yang 100 persen cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran.15 Sementara, untuk buku-buku kumpulan puisi penyair ternama, rata-rata sekitar 60 persen pernah dimuat di surat kabar. 
Pertanyaannya, apakah dominannya ‘sastra koran’ dalam pertumbuhan sastra Indonesia itu telah melahirkan sebuah genre tersendiri, dengan ciri-ciri yang khas yang berbeda dengan sastra majalah dan sastra buku, sehingga pantas disebut ‘genre sastra koran’? Juga, apakah genre itu telah membangun kecenderungan besar dalam sastra Indonesia? Ataukah koran hanya  menjadi media perluasan sosialisasi karya, agar lebih cepat menjangkau publiknya, karena keterbatasan jangkauan media buku dan majalah?
Berdasarkan pengamatan yang cukup seksama, agak sulit untuk menyebut ‘sastra koran’ sebagai ‘genre’ tersendiri, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kesulitan ini terjadi karena beberapa faktor, sbb.
Pertama, ciri ‘sastra koran’ sangat beragam, tergantung segmen pembacanya, ‘ideologi’ media yang menjadi dasar filosofinya, serta selera dan visi estetik redakturnya. Untuk puisi, misalnya, sajak-sajak yang masuk ke Bentara Kompas, Republika  atau Media Indonesia (MI), misalnya, relatif berdeda dengan sajak-sajak yang masuk ke Koran mingguan seperti Simponi dan Swadesi. Kompas, Republika  dan MI menerapkan standar estetik relatif ketat, karena untuk kalangan pembaca yang berkelas. Sedangkan Simponi dan Swadesi relatif longgar, sehingga banyak puisi remaja, atau yang baru belajar menulis sajak, dapat dimuat, karena memang untuk segmen pembaca remaja. Begitu juga untuk cerpen.
Keberagaman juga dipengaruhi oleh ideologi media yang bersangkutan. Koran yang berediologi Islam seperti Republika, akan cenderung memilih karya-karya sastra yang Islami. Meskipun tetap dapat memuat karya-karya bertema humanisme-universal, tapi akan tegas menghindari karya-karya sastra masokis, serta sastra seksual yang vulgar dan serba terbuka, seperti misalnya cerpen-cerpen Hudan Hidayat, Djenar Maesa Ayu, dan sajak-sajak Binhad Nurrahmad. Meskipun, bisa saja karya-karya mereka masuk ke Koran yang lebih liberal, seperti Media Indonesia.16 Hal ini juga mempengaruhi pemilihan tema karya sastra yang dimuat. Begitu juga selera dan visi estetik redakturnya. Kompas, Suara Pembaruan dan Republika, misalnya, cenderung lebih menyukai cerpen-cerpen realistic. Sementara MI, cenderung ke cerpen-cerpen eksperimental.17
Kedua, ciri-ciri estetik maupun tematik ‘sastra koran’ relatif tidak dapat dibedakan dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Rata-rata cerpenis atau penyair, misalnya, cenderung tidak membedakan karyanya yang dikirim ke majalah sastra Horison, misalnya, dengan yang dikirim ke koran harian seperti Kompas, Suara Pembaruan, atau Tempo. Dan, karya-karya,  terutama cerpen, yang sudah dimuat di Koran dan majalah sastra itulah umumnya yang kemudian mereka terbitkan menjadi buku. Kalau mau dicari perbedaannya, barangkali, hanya terletak pada kepadatan dan kepanjangannya. Khusus untuk Republika, karena keterbatasan ruang, hanya dapat memuat cerpen sepanjang sekitar 8-9 ribu karakter. Sedangkan untuk majalah Horison bisa 14 ribu karakter. Tetapi, cerpen sepanjang sekitar 12 ribu karakter juga dapat muncul di Kompas dan Suara Pembaruan. Jadi, dari sisi inipun tidak ada perbedaan yang signifikan.  
Ketiga, belum tampak adanya semangat bersama dari para redaktur sastra koran  untuk menjadikan rubriknya sebagai ‘media sastra garda depan’ (avant gardei) guna membangun ciri estetik secara kuat dan konsisten agar menjadi mainstream baru sastra Indonesia. Barangkali, memang ada di antara redaktur sastra koran yang bervisi estetik seperti itu, tetapi karena kurang konsisten atau hanya berjuang sendiri, maka perjuangan estetiknya kurang berpengaruh luas pada perkembangan sastra Indonesia, dan karena itu tidak mampu membangun sastra koran menjadi genre sastra tersendiri.
Dan, keempat, rata-rata redaktur sastra koran, barangkali, memang sengaja bersikap moderat dan terbuka terhadap keberagaman (berbagai kemungkinan) estetik dan tematik karya-karya sastra yang dimuatnya. Dia tidak ingin memaksakan selera dan visi estetiknya sendiri terhadap karya-karya sastra yang dipilih untuk dimuatnya, dan sengaja membiarkan rubrik sastra yang dikelolanya sebagai semacam ‘taman bunga’ yang ditumbuhi aneka macam dan warna bunga yang berbeda-beda tapi sama-sama harum dan indahnya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka akan sulit untuk menarik garis tegas tentang ciri-ciri khas sastra koran untuk dapat disebut sebagai sebuah genre tersendiri, karena tidak ada ciri yang bersifat tetap, baik mengenai bentuk, teknik estetik, maupun isi (tematik), pada sastra koran, yang membedakannya dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kalaupun ada yang menyebut ‘kepadatan’ dan ‘kependekan’ sebagai ciri umum ‘sastra koran’ – pada cerpen maupun puisi – ciri yang hanya bersifat teknis ini kurang signifikan untuk menyebutnya sebagai genre tersendiri. Apalagi, kini cerpen maupun puisi yang dimuat Horison dan terkumpul dalam buku juga cenderung pendek-pendek, sehingga relatif tidak berbeda dengan puisi dan cerpen koran.

Penutup
Di atas telah diuraikan secara panjang lebar bahwa koran memiliki peran yang sangat besar dan sentral dalam ikut menumbuh-kembangkan sastra Indonesia. Tetapi, tidak ditemukan indikasi yang signifikan pada sastra koran untuk membangun ciri-ciri khas yang kuat agar sastra koran dapat disebut sebagai genre tersendiri.
Dengan kecenderungan seperti itu, di satu sisi, sastra koran kurang memiliki kekuatan untuk membangun mainstream estetik tertentu yang dominan dalam tradisi kreatif sastra Indonesia. Tetapi, di sisi lain, kecenderungan yang mengarah ke heterogenitas sastra itu justru menguntungkan, karena berbagai kemungkinan pencapaian estetik baru tetap akan terbuka dalam iklim kreatif sastra Indonesia. Kita tinggal memanfaatkan peluang estetik yang sangat terbuka itu, dan berharap akan berlahiran masterpiece-masterpiece baru sastra Indonesia.***  
                  Jakarta, 2004/2005

Daftar Rujukan:
1. Ayu, Djenar Maesa, Mereka Bilang Saya Monyet, kumpulan cerpen, Gramedia, Jakarta, 2002.
2. Darma, Budi, Prof., Dr., Kritik Cerpen: Seni, esei di Kompas edisi Minggu, 8 Juni 2003.
3. Effendi, Kurnia, Bercinta di Bawah Bulan, kumpulan cerpen, MataBaca, Jakarta, 2004.
4. Hasanuddin WS, Prof., Dr., Ensiklopedi Sastra Indonesi, Titian Ilmu, Bandung, 2004.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, Dari Rezim Sastra Koran ke Sastra Digital, dalam buku Panorama Sastra Nusantara, Taufiq Ismail dkk., ed., Balai Pustaka, Jakarta, 1997, halaman 375-392.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, Badai Laut Biru,  kumpulan  cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
8. Hidayat, Hudan, Keluarga Gila, kumpulan cerpen, CWI, Jakarta, 2004.
Sudjiman, Panuti, ed., Kamus Istilah Sastra, Gramedia, Jakarta, 1984.
9. Kelana, Irwan, Kelopak Mawar Terakhir, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
10. Sumardjo, Jakob, Drs., Segi Sosiologi Novel Indonesia, Pustaka Prima, Bandung, 1981.
11. Berbagai koran, majalah, dan tabloid terbitan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

------------- biografi -------------

AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak tahun 1979 banyak menulis cerpen, puisi dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi karya yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), Paradoks Kilas Balik (kumpulan cerpen, Radio Nederland, 1989), Pagelaran (kumpulan cerpen, Bentang, 1993), Lukisan Matahari (antologi cerpen, Bernas, 1993), Secreets Need Words (antologi puisi, Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (antologi puisi dunia, Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda).

Tahun 1992 ia memenangkan sayembara menulis cerpen (juara pertama) Suara Merdeka Awards, dan juara pertama lomba menulis puisi Islami Yayasan Iqra Jakarta. Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. Tahun 2003 ia menjadi pembicara dalam Temu Sastra Jakarta di TIM. Dan, tahun 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya.

Ahmadun juga sering diundang untuk menjadi panelis dalam berbagai diskusi dan seminar sastra lainnya di berbagai kota di Tanah Air. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),  Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004) dan The Worshipping Grass (puisi dwi-bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2004).

Selain menulis dan menjalani profesi sebagai wartawan, alumnus sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta ini juga aktif di berbagai organisasi. Antara lain, di HMI dan ICMI. Ia juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002), dewan pendiri Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) dan anggota Dewan Penasihat Forum Lingkar Pena (FLP). Sehari-hari kini ia redaktur sastra Harian Umum Republika. Karya-karya dan tentang dirinya, kini juga dapat ditemukan di www.poetry.com, www.google.com, www.yahoo.com, dan www.cybersastra.net.  Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Mobile: 081315382096. Email: ahmadun21@yahoo.com.*
Baca Lengkapnya....