Tampilkan postingan dengan label DIKTAT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DIKTAT. Tampilkan semua postingan

Kreativitas Guru, Tumpuan Pengajaran Sastra



Saya selalu merasa bahagia tiap kali membaca karya-karya siswa SMU, puisi maupun cerpen, yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison. Meskipun di satu sisi, suplemen tersebut kerap dianggap memerosotkan wibawa majalah tersebut, tetapi di sisi lain suplemen tersebut cukup menggairahkan budaya menulis kreatif di kalangan siswa. Suplemen tersebut juga menjadi bukti makin banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Jika dikaitkan dengan persoalan pengajaran sastra, yang selama ini sering dikeluhkan, karya-karya siswa SMU pada suplemen tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, dikutip dari Jawa Pos).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah masih kurangnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra.

Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya — persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, bertumpu pada kreativitas guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Namun, sembari menunggu kebijakan ‘pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa’ yang belum jelas akan disetujui atau tidak alangkah baiknya jika para guru bahasa dapat memaksimalkan pengajaran sastra di sekolah masing-masing. Meskipun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi.

Langkah sederhananya adalah mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan pada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin. Sementara, siswa-siswa yang berbakat menulis kreatif dapat dipupuk melalui kegiatan ekstra kurikuler di luar jam pelajaran resmi.

Tradisi kompetitif dengan memberi penghargaan pada karya siswa, baik resensi sastra maupun karya kreatif (cerpen dan puisi), dapat juga dipilih untuk merangsang budaya baca dan tulis siswa. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam mengajarkan sastra menjadi tumpuan utama. Hanya dengan kesungguhan, kecintaan, dan kreativitas guru, kualitas pengajaran sastra di sekolah dapat didongkrak secepatnya, agar apresiasi sastra kaum terpelajar kita bisa ditingkatkan lagi.
Baca Lengkapnya....

`Macdonalisasi` Produk Budaya Serba Instant

SUATU hari, para pemuda dari 31 provinsi di Indonesia berkumpul di atas KRI Sangkurilang. Sambil berlayar mengarungi Laut Jawa, mereka mempertunjukkan berbagai atraksi seni-budaya — dan tentu juga mempelajari masalah-masalah kelautan.
Meski bertajuk Kapal Pemuda Nusantara, acara dalam rangka Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari yang popular sebagai Festival Bahari itu penuh sentuhan seni-budaya. “Di dalam kapal, mereka juga melakukan semacam pertukaran budaya. Pemuda dari Ambon, misalnya, memakai pakaian Jawa dan memainkan tari Jawa,” kata Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI DR Adhyaksa Dault.

Tampaknya, Adhyaksa Dault, meski harus mengurus olahraga, tidak melupakan peran seni-budaya untuk membangun jati diri bangsa. Sebab, kebudayaan merupakan aspek penting nation and character building. “Kebudayaan menjadi jembatan pemersatu kita,” ujarnya dalam ‘diskusi terbatas’ di Jakarta, Kamis (26/4) lalu.

DR Adhyaksa membeberkan betapa pentingnya nilai-nilai kebudayaan nasional untuk diwariskan kepada generasi muda agar tetap memiliki akar budaya yang kuat. Sebab, menurutnya, tak bisa ada kebangkitan pemuda tanpa akar budaya yang kuat. “Gimana pemuda mau bangkit kalau akar budayanya hilang,” katanya.

Untuk itulah selama ini acara-acara yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga selalu kental nuansa seni budaya. Bahkan, ada even-even khusus seni budaya yang digelar secara rutin setahun sekali, misalnya Festival Kreativitas Pemuda.

Selainkan pertunjukan berbagai kesenian oleh anak-anak muda pada puncak acara, festival dalam rangka Sumpah Pemuda ini juga menggelar berbagai lomba yang dibuka sejak awal tahun, seperti festival musik, festival nasyid dan sayembara menulis cerpen untuk pemuda. Khusus untuk lomba menulis cerpen, dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI).

“Kesenian, termasuk sastra, sangat efektif untuk memberdayakan pemuda. Karena itu, kami berkomitmen untuk mengadakan sayembara menulis cerpen ini tiap tahun,” kata Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Drs H Syahyan Asmara MSp, pada acara terpisah.

Even-even lain, yang sebenarnya bukan acara kesenian, juga tidak pernah sepi dari acara kesenian. Festival Bahari 2006, yang berlangsung di Makassar pada Agustus-September lalu, misalnya, dimeriahkan berbagai pertunjukan budaya tradisi bahari dan kesenian-kesenian etnis lainnya, seperti upacara Appanaung Ri Jane, musik tradisional Makassar, dan tari-tari dari empat etnis lain, seperti barongsae.

Festival Bahari 2007 yang akan digelar di Padang, 29 Juli – 8 Agustus 2007, juga akan diwarnai banyak acara kesenian. ”Ini merupakan festival multieven kepemudaan, keolahragaan, dan kepariwisataan yang dikemas dalam lomba internasional olahraga bahari,” kata Adhyaksa Dault.

Even internasional pemuda dan olahraga itu akan melibatkan empat lembaga negara, yakni Kantor Menegpora, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

Baik festival pemuda maupun olahraganya akan diwarnai banyak sentuhan budaya, sehingga mirip festival budaya. Karena, akan banyak digelar lomba olahraga tradisi, seperti lomba perahu naga, sampan, perahu pincalang, layar, layang-layang dan pencak silat. Juga lomba selancar, selam, renang pulau, jetski, gantole, voli pantai, sepak takraw, dan lari 10K.

Sedangkan untuk festival pemuda, antara lain berupa Kapal Pemuda Nusantara, kemah pemuda, Pramuka Saka Bahari, lomba foto, dan penulisan jurnalistik wisata, seni, dan olahraga, serta temu karya ilmiah iptek olahraga. Juga akan diadakan festival musik dan tari untuk lebih memberi sentuhan budaya.

Bahkan, akan ada beberapa pemecahan rekor MURI, seperti pemecahan rekor tari gelombang dengan peserta terbanyak, pemecahan rekor layang-layang raksasa, dan pemecahan rekor melamang (membuat makanan lemang) terpanjang, yakni sepanjang dua kilometre.

Saat ini, menurut Adhyaksa, upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa muda makin penting untuk
menguatkan akar budaya pemuda sekaligus menyelamatkan budaya bangsa dari serbuan budaya asing yang makin meminggirkan budaya-budaya tradisi yang diperlukan untuk nation and character building tadi.

Dalam situasi ‘perang informasi’ saat ini, menurut Adhyaksa, juga terjadi ‘perang wacana budaya’. Nilai-nilai dan produk budaya asing terus menyudutkan kebudayaan nasional, terutama budaya tradisi, dalam posisi yang makin tidak berdaya. “Perang informasi juga menyudutkan kita dalam fenomena mcdonalisasi,” katanya.
Mcdonalisasi, menurutnya, adalah kecenderungan yang serba cepat dan serba makmur, namun lupa pada budaya sendiri. Jadi, semua produk budaya, dan gaya hidup masyarakat, menjadi serba instan dan kehilangan akar. Dia mencontohkan sinetron-sinetron drama dan sinetron remaja di televisi, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak memiliki wawasan budaya. Juga novel-novel chicklit serta teenlit yang mengadopsi begitu saja gaya hidup remaja Amerika.

Kecenderungan seperti itu, terutama terjadi karena kuatnya orientasi bisnis dalam ‘industri budaya’ kita. Orientasi bisnis, menurutnya, tetap penting agar kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri dan tidak hanya bergantung pada subsidi pemerintah. Tetapi, tetap harus seimbang dengan orientasi nilai budaya, agar produk-produk kesenian tidak malah merusak.

Adhyaksa menyebut film Nagabonar dan November 1828 sebagai contoh produk budaya yang ideal. “Keduanya kental nilai sejarah dan punya akar budaya, tapi juga ada sentuhan orientasi bisnis, sehingga bisa laku. Kenapa sineas yang lain tidak mencontoh seperti itu?” katanya.

Guna mendorong tradisi berseni-budaya yang lebih sehat di masyarakat, Menegpora pun memberikan penghargaan seni. Misalnya, penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 kepada grup musik The Upstairs dan Menpora Award kepada Deddy Mizwar. Adhyaksa juga sering hadir di tengah acara-acara kesenian, seperti membaca puisi di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, dan pada 19 Mei 2007 nanti akan membaca puisi serta berorasi dalam acara Kenduri Cinta-nya Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki.

Peradaban masyarakat kita saat ini, terutama masyarakat perkotaan, sudah sangat parah karena melupakan akar budaya. Karena itu, menurut Adhyaksa, sudah saatnya, semua unsur bangsa bersinergi untuk membangun kembali kebudayaan nasional agar tumbuh lebih sehat dan pas dengan kebutuhan zaman.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 29 April 2007.
Baca Lengkapnya....

Menunggu ‘Godot’ Pengajaran Sastra Indonesia

Posted by PuJa on September 22, 2011



PERSOALAN utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah umum (SMU) adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada mata pelajarah bahasa (Indonesia). Persoalan utama ini sudah sering digugat oleh para akademisi sastra dan sastrawan, misalnya Suminto A Sayuti dan Taufiq Ismail, tapi masih saja berlangsung seperti itu.

Posisi pengajaran sastra yang melekat pada pelajaran bahasa Indonesia itu mengisyaratkan, bahwa pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa — aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang ini.

Dengan posisi melekat pada pelajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Karena memang berminat, sang guru akan terdorong untuk mengajarkan apresiasi sastra secara sungguh-sungguh dan kreatif mencari solusi atas sempitnya waktu yang tersedia.

Tetapi, jika sang guru bahasa Indonesia tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Apalagi, memperkaya materi pelajaran yang ada.

Dengan hanya menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, maka prestasi siswa dalam pengajaran sastra tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, tapi hanya menyumbang sedikit (kurang dari 20 persen) pada nilai bahasa Indonesia. Akibatnya, para siswa tidak terdorong untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti dan menguasai pelajaran sastra.

Cukup logis, jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya — persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Selain itu, pelajaran bahasa Indonesia juga banyak dibebani semacam ‘titipan’ pengetahuan bidang lain, seperti kesehatan, lingkungan, politik, dan budaya, bahkan transmigrasi, teknologi dan olahraga. Sehingga, yang muncul pada sub-sub judul buku pelajaran bahasa dan sastra bukan aspek-aspek bahasa dan sastra itu sendiri, tapi bidang-bidang pengetahuan yang lain.

Lihat saja, misalnya, buku Bahasa dan Sastra Indonesia susunan Dra N Sukartinah dkk (CV Thursina,
Bandung, 2003). Sub-sub judul yang dimunculkan pada buku ini 90 persen justru non-sastra dan non-bahasa, yakni Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Terja, Teknologi, Pendidikan, Pertanian, Transmigrasi, Lingkungan, Peristiwa, serta Olahraga. Sehingga, sepintas, kita malah bingung, itu buku pelajaran bahasa atau pengetahuan umum.

Keanehan itu, selain membuat siswa tidak terkonsentrasi pada masalah bahasa dan sastra, juga menutup peluang untuk meningkatkan sentuhan materi sastra dalam pengajaran bahasa. Untuk aspek membaca, mendengarkan dan berbicara, misalnya, bukan membaca, mendengarkan, dan berbicara dengan materi karya sastra, baik esei, cerpen, maupun puisi; tetapi dengan materi tentang kesehatan, lingkungan, teknologi, dan bidang-bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan sastra.

Mungkin, hal itu dilakukan agar pengajaran bahasa dapat diberikan secara menarik dan variatif topiknya, tapi bisa saja siswa malah bingung, itu pelajaran bahasa atau bukan. Akibatnya, fokus atau konsentrasi siswa pada pelajaran bahasa dan sastra juga malah terpecah ke bidang lain, sehingga malah mendangkalkan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia itu sendiri.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mendesakkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara yang paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai kelulusan siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itulah penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat di bidang sastra.

Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot. Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau seperti teriakan di tengah padang pasir. Barangkali diperlukan unjuk rasa besar-besaran oleh para guru sastra dan sastrawan untuk meloloskan ide pemisahan tersebut menjadi kebijakan pemerintah.

Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, sekali lagi, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasa Indonesia. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif.

Jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter seperti itu, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan demi kegagalan seperti selama ini. Maka, sekali lagi, tidak ada jalan lain untuk meningkatkan pengajaran apresiasi sastra di SMU dalam rangka ikut meningkatkan apresiasi sastra masyarakat kecuali memisahkan pelajaran sastra dari pelajaran bahasa!

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007. Tulisan ini pernah dimuat di Koran Republika, 6 Mei 200.
Baca Lengkapnya....

Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra

DENGAN merumuskan tujuan pengajaran apresiasi sastra ke TIU dan menjabarkannya ke TIK seperti di atas, target peningkatan apresiasi sastra siswa yang semula terkesan abstrak dan sulit diukur hasilnya, menjadi lebih jelas, operasional, dan terukur.
Namun, cara mengukur tingkat keberhasilannya tidak sama dengan aspek pengetahuan dan teori sastra. Dalam tes atau ujian untuk aspek pengetahuan (sejarah) sastra, pada lembar tes tinggal meminta siswa untuk menyebutkan, misalnya, tiga nama tokoh Angkatan 66.

Begitu juga lembar tes untuk teori sastra (puisi), tinggal meminta siswa untuk menyebutkan misalnya tiga fungsi tipografi dalam puisi. Lembar tes untuk aspek tersebut bahkan bisa berupa pilihan ganda (multiple choice). Jika siswa tidak dapat menjawab dengan benar, maka pengajaran aspek pengetahuan dan teori sastra itu dianggap gagal. Sementara, untuk tes atau ujian apresiasi sastra, pada lembar tes atau ujian harus dilampirkan teks karya sastra, baik puisi maupun fragmen cerpen atau novel.

Tingkat keberhasilan pengajaran aspek apresiasi sastra juga tidak cukup hanya dilihat pada hasil tes atau ujian akhir, tapi juga harus terbukti pada sikap apresiatif dan minat baca siswa setelah lulus kelak. Hasil tes atau ujian akhir hanya indikator keberhasilan pada aspek kognitif siswa, dan ini bisa bersifat sementara.

Sedangkan keberhasilan pada aspek afektif (kecintaan dan sikap apresiatif pada karya sastra) dan motorik (minat baca dan menulis karya sastra) baru dapat dilihat pada jangka panjang. Aspek-aspek terakhir inilah yang sering gagal dicapai, dengan indikator masih rendahnya rata-rata tingkat apresiasi dan minat baca lulusan SLTA terhadap karya sastra, seperti disinyalir oleh Taufiq Ismail.

Selain itu, mengajarkan apresiasi sastra pada siswa jelas lebih rumit dan membutuhkan waktu lebih panjang, dibanding mengajarkan aspek pengetahuan sastra. Dibutuhkan kesabaran dan wawasan pengetahuan yang memadai serta kecakapan khusus untuk itu, sehingga sering kurang mendapat perhatian para guru sekolah. Apalagi, kalau apresiasi terhadap novel, karena siswa memerlukan waktu khusus untuk membaca novel yang dijadikan objek apresiasi.

Untuk apresiasi puisi atau cerpen, mungkin bisa sepenuhnya dilaksanakan di kelas, karena teks-teks yang menjadi objek apresiasi sata-rata cukup pendek. Tapi, untuk apresiasi novel, siswa membutuhkan waktu untuk membaca novel yang menjadi objek apresiasi di rumah atau perpustakaan. Repotnya lagi jika jumlah eksemplar novel yang ada di perpustakaan sekolah terbatas, sehingga siswa harus membeli di toko atau memfoto-kopinya, dan biaya belajar siswa menjadi mahal. Sementara, untuk apresiasi puisi atau cerpen, rata-rata teksnya sudah tersedia di dalam buku pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Pengajaran apresiasi sastra juga mengisyaratkan agar guru mengenalkan atau menjelaskan lebih dulu teori-teori sastra secukupnya sesuai yang dibutuhkan untuk mengapresiasi suatu karya sastra. Untuk mengapresiasi puisi, misalnya, siswa perlu dikenalkan lebih dulu pada prinsip-prinsip estetika puisi atau yang juga disebut metode puisi, seperti tipografi sampai pencitraan, sehingga siswa memiliki alat yang secukupnya untuk mengapresiasi puisi tersebut. Begitu juga untuk mengapresiasi cerpen atau novel, siswa perlu dikenalkan secukupnya pada metode cerpen dan novel, sejak alur, penokohan, sampai ending.

Namun, porsi terbanyak pengajaran apresiasi sastra sebaiknya tetap pada karya sastra yang menjadi objek apresiasi. Artinya, proses belajar-mengajar di kelas tetap berpusat pada karya sastra. Karena, sambil mengapresiasi karya sastra pengetahuan tentang teori dan sejarah sastra dapat sekaligus diberikan (diperluas). Misalnya saja, ketika siswa diajak mengapresiasi puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM, pengetahuan siswa tentang fungsi pencitraan dapat ditambah, sekaligus pengetahuan tentang nama-nama sastrawan lain dari generasi Abdul Hadi WM.

Jika diamati benar, pengajaran sastra di SLTA, khususnya di SMU, sebenarnya sudah menampakkan beberapa kemajuan. Sudah banyak sekolah maupun guru sastra yang memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra. Begitu juga sikap wellcome hampir semua SMU di Tanah Air untuk menjadi ajang kegiatan ‘sastra masuk sekolah’ yang dimotori Majalah Horison serta diklat-diklat pengajaran sastra yang diadakan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Upaya untuk mengintensifkan pengajaran sastra sekaligus mengikuti perkembangan sastra terkini guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara, 2003), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama, 2005).

Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi bahan pelajaran juga karya-karya sastra terkini sampai karya sastrawan generasi 1990-an, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut.

Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin karena terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip.

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip dalam buku-buku tersebut.

Namun, beberapa upaya dan kemajuan tersebut di atas dianggap belum cukup berarti bagi upaya peningkatan apresiasi sastra dan minat baca siswa. Tujuan terpenting pengajaran sastra itu masih dianggap belum tercapai sesuai harapan, karena pengajaran sastra di sekolah belum terlaksana secara maksimal.

Dengan kata lain, meminjam istilah Taufiq Ismail, pengajaran sastra di sekolah masih gagal menanamkan sikap apresiatif dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Dan, yang paling dituding menjadi penyebab utama kegagalan tersebut adalah masih menyatunya pelajaran sastra dengan pelajaran bahasa Indonesia.
Selain itu, ada beberapa penyebab lain, seperti kurang cakapnya guru dalam mengajar, kurangnya pemahaman dan pengetahuan sastra guru karena umumnya tidak berasal dari disiplin ilmu sastra tapi disiplin bahasa, terbatasnya buku sastra yang tersedia di perpustakaan sekolah, rendahnya rata-rata kualitas buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk SMU, serta terbatasnya media pengajaran.

Namun, kekurangan-kekurangan tambahan tersebut sebenarnya akan dapat diminimalisir jika pelajaran sastra berdiri sendiri atau dipisahkan dari pelajaran bahasa.

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007. Pernah dipublikasikan di Koran Republika, 29 April 2007.
Baca Lengkapnya....

Menuju Format Baru Pengajaran Sastra

PENGAJARAN sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra mereka — meskipun aspek ini lebih mendapat perhatian dibanding aspek apresiasi sastra — umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Mereka, misalnya, umumnya lebih mengenal Britney Spears atau Westlife di negeri Paman Sam daripada Abdul Hadi WM di negeri sendiri.

Selain itu, juga tampak masih kuat kecenderungan minat baca mereka yang kurang terarah kepada karya-karya yang masuk dalam kategori sastra, tapi lebih ke fikfi-fikfi pop yang menghibur. Buku-buku chicklit, teenlit, dan fiksi seksual, misalnya, sangat laris di pasaran, tapi buku-buku sastra yang lebih serius dan mengandung nilai-nilai yang luhur, baik novel, kumpulan cerpen maupun puisi, masih kurang laku dan hanya berdebu di toko-toko buku atau menumpuk di gudang penerbit.

Secara umum, tingkat apresiasi sastra masyarakat kita — produk dari pendidikan formal sejak tingkat SLTP sampai perguruan tinggi — memang masih rendah. Hal ini, menurut beberapa pengamat dan akademisi sastra, juga disebabkan oleh kegagalan pengajaran sastra di sekolah, khususnya di jenjang SLTP dan SLTA.

Persoalan yang sudah dilansir oleh almarhum HB Jassin sejak 1970-an itu hingga kini agaknya belum bisa diatasi secara tuntas oleh pihak-pihak terkait, seperti penyusun kurikulum sekolah menengah dan guru sastra. Kurikulum terbaru, yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun belum menjamin keberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Begitu juga KPTS ( ) yang mulai diberlakukan tahun lalu. Sebab, pelajaran sastra masih menjadi bagian kecil (20 persen) dari pelajaran bahasa Indonesia.

Sejak zaman HB Jassin (1970-an) sampai sekarang, sebenarnya sudah tidak kurang sastrawan dan pakar pengajaran sastra yang mencoba mengusulkan perbaikan pengajaran sastra di sekolah itu. Dalam tahun 1980-an, misalnya, berkali-kali Suminto A Sayuti membahasnya dalam beberapa artikel di media cetak dan berbagai forum diskusi. Dalam tahun 1990-an dan 2000-an, penyair Taufiq Ismail juga berkali-kali mempersoalkannya.

Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII di Surabaya, 27 September 2004, misalnya, Taufiq Ismail masih mensinyalir bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya.

Akan tetapi, ibarat berteriak-teriak di tengah padang pasir, atau menyodok bukit kapur dengan tangkai sapu ijuk, usulan-usulan dan gagasan-gagasan perbaikan itu nyaris tidak berarti apa-apa, dan lenyap ditelah hiruk-pikuk isu politik yang masih malingkar-lingkar pada persoalan korupsi dan kekuasaan.

Gagasan-gagasan perbaikan yang sudah muncul sejak 30 tahun yang lalu itu sampai kini belum membuahkan perubahan yang berarti, apalagi radikal, dalam pengajaran sastra di sekolah, baik di tingkat kebijakan pemerintah maupun pada praktek pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra masih menjadi ‘bagian kecil’ dari pengajaran bahasa, sehingga tetap berjalan secara kurang maksimal.

Kualitas pengajaran sastra di sekolah penting untuk ditingkatkan, karena tidak hanya memiliki tujuan kurikuler yang bersifat jangka pendek untuk menyumbang nilai rapor atau NEM bagi kelulusan siswa. Tapi, juga memiliki tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk ikut menyiapkan generasi penerus, manusia Indonesia, yang unggul dan berbudaya. Tujuan ideal tersebut hanya bisa dicapai jika pengajaran sastra di sekolah berhasil meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

Karena itu, aspek apresiasi dan minat baca itulah idealnya yang diberi tekanan dalam praktek pengajaran sastra di sekolah. Sebab, hanya dengan tingkat apresiasi dan minat baca yang tinggi, nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dalam karya sastra dapat diwariskan kepada siswa, demi tercapainya tujuan ideal tersebut.
Jika hanya tujuan kurikuler yang ditekankan, sangat mungkin sebagian besar siswa tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran sastra secara sungguh-sungguh. Sebab, nilai pelajaran sastra hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara dan keterampilan mendengarkan.
Selain itu, juga aspek pengetahuan dan penguasaan ketatabahasaan. Akumulasi dari nilai tiap aspek kebahasaan itulah — ditambah dengan nilai pelajaran sastra — yang dimunculkan menjadi satu nilai pelajaran bahasa Indonesia pada rapor serta nilai Ebtanas (sekarang diganti namanya menjadi Ujian Akhir Nasional — UAN) siswa.

Hasil pengajaran sastra akan lebih parah lagi, jika pelajaran sastra diberikan secara monoton, tidak menarik, dengan kecakapan serta pengetahuan guru yang terbatas dan media serta fasilitas pendukung yang terbatas pula. Misalnya, guru hanya mengandalkan materi yang ada pada buku pelajaran, merenangkan pelajaran secara ala kadarnya dengan metode yang ala kadarnya, dan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah pun terbatas.

Secara garis besar, tujuan pengajaran sastra dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk membentuk karakter siswa. Rincian dari tujuan ini, antara lain, (1) membentuk karaktek siswa agar memiliki rasa keindahan dan peduli pada masalah-masalah keindahan; (2) menumbuhkan sifat-sifat mulia pada diri siswa, seperti kearifan, kesantunan, kerendah-hatian, ketuhanan, keadilan dan kepedulian pada nasib sesama; (3) mewariskan nilai-nilai luruh budaya bangsa untuk membentuk jati diri siswa sekaligus jati diri bangsa; (4) menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra, dan (5) menumbuhkan minat baca terhadap karya sastra.

Dan, kedua, tujuan praktis yang bersifat jangka pendek sesuai dengan yang tertera pada kurikulum. Berbeda dengan tujuan ideal yang lebih abstrak, berdimensi jangka panjang, dan sulit diukur hasilnya; tujuan yang bersifat praktis ini relatif dapat diukur hasilnya dan hasil akhirnya adalah nilai raport dan nilai UAN siswa.
Pada modul pelajaran yang disusun oleh guru, tujuan praktis itu biasa dijabarkan menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Contoh TIU untuk aspek pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia, misalnya saja, siswa memiliki pengetahuan yang cukup tentang angkatan-angkatan dalam sastra Indonesia. TIU tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya (1) siswa dapat menyebutkan nama-nama sastrawan Angkatan 66, dan (2) siswa dapat menyebutkan karya-karya sastrawan Angkatan 66.
Penjabaran dari TIU ke TIK juga dapat dilakukan pada modul untuk aspek pengetahuan tentang teori dan apresiasi sastra. TIU untuk teori sastra, misalnya, siswa memiliki pengetahuan yang memadai tentang prinsip-prinsip estetika puisi. TIU ini dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan empat dari lima metode puisi, (2) siswa dapat menyebutkan dua fungsi tipografi, serta (3) siswa dapat menyebutkan tiga macam citraan dan contohnya.

Sedangkan TIU untuk aspek apresiasi sastra, misalnya, siswa dapat memahami dan menghargai karya sastra. TIU ini dapat dijabarkan menjadi, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan tokoh protagonis dan antagonis novel X, (2) siswa dapat menyebutkan jenis alur novel X, (3) siswa dapat menyebutkan tema novel X, (4) siswa dapat menyebutkan jenis ending novel X, (5) siswa dapat menyebutkan gaya-gaya bahasa dalam novel X, dan (6) siswa dapat menyebutkan pesan-pesan moral novel X.

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007.
Baca Lengkapnya....

Bahasa Pers, Antara Ketaatan dan Pengingkaran*

Abstract:

As public reading, mass media, aspecially newspaper, is most intensive information media dialogue with society (reader). Newspaper not only presenting any important information, but also various ideas to smart and enableness of society. Added by control function, newspaper become important media to forming public opinion, and even agent change of social.

In running the function of as information media, media control and forming of public opinion, and also agent change of that social, national newspaper exploit Indonesian. In consequence, what until to reader not merely newspaper content, but also follow the example of or byword in have Indonesian. Realized or not, newspaper become one of the reference of is necessary for society in have correct and good Indonesian to.

Especial guidance of journalese, or which was often referred as " mass media Ianguage", is standard Indonesian. But, in practice him, each newspaper develop "language style" alone, so that expand immeasurable mass media Ianguage variant. That variant not only in elocution and presentation of article, but also in spelling, especially in writing of absorption words of foreign Ianguage, like Arab Ianguage, English, and Latin.

Difference of mass media Ianguage variant or style will immeasurable more and more if us perceive writing of absorption words of other foreign Ianguage. Also if us perceive news title stylistic which eliminating many suffix and prefixes, and also trespass principle forming of word (morphology). Not to mention if us perceive elocution in writing of news. So that, in mass media Ianguage variant found by variant again, typically the each newspaper.

So far, mass media circle tend to to assume that mass media Ianguage style as equity, with argument that mass media Ianguage is true as separate vaian. There is also from mass media circle assuming that setlement of Ianguage conducted by Pusat Bahasa Depdiknas tend to dropped behind, so that they intend placed x'self in " front line" development of Indonesian, including pioneering setlement of absorbent new terms of vernacular and foreign Ianguage.

Among them there even exist which isn't it " setlement" with his own principle. Is seen from Indonesian dynamics side as Ianguage which is life and continue to spring up, role of just the journalese of course the best of. But, seen from important side of him permanence of Indonesian, straggling of variation of in that mass media Ianguage variant of flange can bewilder society of Indonesian. And, what most harm is society which subscribe to newspaper which the was Indonesian of ugly mean or far below the mark correct and good Indonesian. On a long term, condition of like that potential to of course follow to destroy growth of Indonesian as a whole.

Because that ugly possibility, presumably Pusat Bahasa require to construction of Ianguage by intensive again to journalist circle and newspaper editor, to be more obedient them at principles have correct and good Indonesian. While to depress tendency and straggling of mass media Ianguage variation, circle organizer of national newspaper require to "formulation with" mass media Ianguage style having the national character, to become guidance with. Will far better if national mass media have Ianguage style which relative uniform and do not each other differing one another.


***





Pendahuluan

Istilah pers, menurut Haris Sumadiria, mengandung dua arti.1 Arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, yakni surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, istilah pers tidak hanya menunjuk pada media cetak berkala, tapi juga mencakup media elektronik auditif dan audiovisual berkala, yakni radio, dan televisi, serta media on line, yakni internet. Dalam arti luas, pers juga disebut media massa.

Karena itu, pengertian bahasa pers dalam arti luas juga menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang dipakai oleh media massa. Namun, karena terlalu luasnya ruang lingkup bahasa pers, maka pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada bahasa pers dalam pengertian sempit tersebut, yakni bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh media cetak berkala, seperti surat kabar, tabloid, dan majalah, khususnya surat-surat kabar nasional. Kalaupun dalam pembahasan nanti kadang-kadang juga menyebut bahasa Indonesia di media on line (internet), hanya dimaksudkan untuk memperluas cakupan pemakaian istilah tertentu guna melihat saling pengaruh ataupun dampak pemakaian bahasa tersebut secara lebih luas.

Dalam pengertian yang lebih spesifik, bahasa pers sering juga disebut bahasa jurnalistik.2 Istilah spesifik -- bahasa jurnalistik -- ini hanya menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik yang berupa berbagai tipologi berita, seperti berita langsung (straight news), berita investigatif (investigative news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita kisah (feature). Karena itu, pembicaraan tentang bahasa jurnalistik tidak pernah memasukkan tipologi tulisan di luar berita, seperti artikel ilmiah popular dan esei (opini), kolom, advertorial, serta fiksi (cerpen dan novel), yang juga banyak terdapat di media cetak.3

Pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas mencerabutnya dari bahasa Indonesia baku. Bagaimanapun, bahasa pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa Indonesia, bersama anggota-anggota keluarga lainnya, seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah, bahasa politik, bahasa gaul, dan bahasa komedi. Dengan kata lain, bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia. Karena itu, meskipun berkembang dengan karakter khas – singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif4 -- bahasa pers tetap berinduk pada bahasa Indonesia baku. Artinya, dalam pengembangannya, seprogresif apapun dalam memperkenalkan kosa-kosa kata baru, bahasa pers tetap harus menjadikan bahasa Indonesia baku sebagai rujukan utama, serta tetap harus taat pada kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.


Posisi bahasa pers

Posisi atau kedudukan bahasa pers dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi keudukannya terhadap bahasa Indonesia baku, bahasa pers adalah salah satu varian, di samping varian-varian yang lain, seperti bahasa sastra, bahasa gaul, bahasa ilmiah, bahasa politik, dan bahasa komedi. Sedangkan dari sisi kedudukannya di tengah masyarakat pemakai bahasa Indonesia, bahasa pers adalah salah satu rujukan penting, dan bahkan “guru bahasa” bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia yang baik dan benar. Dengan demikian, baik-buruknya perkembangan bahasa Indonesia di masyarakat juga ikut ditentukan oleh bahasa pers.

Posisi bahasa pers yang sangat strategis tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peran pers bagi masyarakat. Sebagai bacaan publik sehari-hari, media massa cetak, khususnya surat kabar, merupakan media informasi yang paling intensif berdialog dengan masyarakat (pembaca). Surat kabar tidak hanya menyajikan berbagai informasi penting, tapi juga berbagai gagasan pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah fungsi kontrol yang diembannya, surat kabar menjadi media penting pembentukan opini publik, dan bahkan agen perubahan sosial.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media kontrol dan pembentukan opini publik, serta agen perubahan sosial itu, surat kabar nasional memanfaatkan bahasa Indonesia. Karena itu, yang sampai kepada pembaca bukan hanya isi surat kabar bersangkutan, tapi juga contoh atau keteladanan dalam berbahasa Indonesia. Surat kabar akan menjadi salah satu rujukan penting bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Secara universal, dan diadopsi ke dalam UU Pokok Pers, pers memiliki lima fungsi utama. Pertama, fungsi informasi (to inform), yakni memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secepat-cepatnya. Kedua, fungsi edukasi (to educate), yakni apapun informasi yang disebarluaskan oleh pers hendaknya dalam rangka mendidik masyarakat.

Ketiga, fungsi koreksi (to influence) atau juga sering disebut fungsi kontrol, yakni ikut mengontrol kekuasaan legislatif, eksekitif, dan yudikatif, agar tetap berjalan pada rel (aturan main) yang benar. Keempat, fungsi rekreasi (to entertain), yakni pers juga harus bisa menjadi wahana hiburan yang sehat dan mencerahkan. Dan, kelima, fungsi mediasi (to mediate), yakni pers harus dapat menjadi mediator untuk menyampaikan kabar tentang berbagai peristiwa penting yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam kaitannya dengan fungsi edukasi itu pula pers dituntut untuk dapat mendidik pembacanya dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, fungsi edukasi tidak saja harus tercermin pada materi isi berita, gambar, fiksi dan artikel-artikelnya, tetapi juga harus tampak pada bahasanya. Dalam hal ini, pada tingkat wacana, semua pakar dan praktisi pers sepakat, bahwa bahasa yang dipakai oleh pers, ataupun media massa, harus merujuk pada bahasa Indonesia baku, yakni bahasa Indonesia resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa dan pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.5

Dewasa ini pers, dengan berbagai rubrikasinya, juga semakin dianggap sebagai salah satu sumber terpenting ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentu juga sumber ilmu pengetahuan bahasa sekaligus contoh praktek berhasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam posisi ini, dan dalam kaitannya dengan fungsi edukasi tadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pers adalah “guru bahasa” yang langsung mencontohkan praktek berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat luas, dan contoh prakteknya adalah bahasa pers itu sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya bahasa pers menempati posisi yang sangat strategis sebagai rujukan dan teladan berbahasa bagi masyarakat luas. Fungsi keteladanan bahasa pers akan semakin fital, jika mengingat intensitas dan frekuensinya yang tinggi dalam berdialog dengan masyarakat (pembaca). Karena itu, tidak ada kata lain bagi bahasa pers untuk tidak menaati kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kaidah yang dimaksud meliputi kaidah penyusunan kalimat yang benar (sintaksis), kaidah pembentukan kata yang benar (morfologi), sampai kaidah pengejaan dan pedoman pembentukan istilah serta penyerapan kata-kata dari bahasa asing. Sedangkan etika berbahasa menyangkut kesantunan berbahasa sesuai dengan cita rasa budaya Indonesia. Misalnya, menghindari kata-kata yang tidak sopan, vulgar, porno, dan berselera rendah.

Pada tingkat wacana, para pakar dan praktisi pers umumnya sepakat bahwa bahasa pers yang berkualitas adalah bahasa pers yang tetap taat pada kaidah-kaidah bahasa baku, selalu menaati prinsip-prinsip dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesepakatan ini sering kita dengar dalam berbagai forum pembahasan dan buku-buku tentang bahasa pers. Tetapi, dalam praktek masih sangat sering terlihat kenyataan yang berbeda: terjadi banyak pengingkaran terhadap kesepakatan ideal tersebut.


Jutaan kesalahan

Pada uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia, dan karena itu tetap harus taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Tesis tersebut juga mengisyaratkan bahwa bahasa pers adalah satu varian – bukan banyak varian – dari bahasa Indonesia. Dengan demikian, mestinya varian bahasa semua pers – semua surat kabar, semua tabloid, semua majalah, dan semua media on line – berada dalam satu varian bahasa yang sama, dan sama-sama taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku.

Namun, dalam prakteknya, masing-masing surat kabar mengembangkan “gaya bahasa”6 sendiri, termasuk dalam penulisan kata-kata serapan, sehingga berkembanglah varian bahasa pers yang beragam. Dengan kata lain, di dalam varian bahasa pers juga muncul varian-varian tersendiri, atau yang lebih tepat disebut sub varian. Sehingga, gaya bahasa tiap media massa cetak dan media massa on line cenderung berbeda-beda. Misalnya, ada “gaya bahasa” khas Republika, ada “gaya bahasa” khas Koran Tempo, ada “gaya bahasa” khas Kompas, dan bervariasi pula “gaya bahasa” media-media on line.

Keberagaman varian itu tidak hanya dalam gaya bertutur dan penyajian tulisan untuk memenuhi prinsip-prinsip bahasa pers -- singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif -- tetapi juga dalam ejaan, terutama dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, dan Latin. Dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing itu tidak ada keseragaman antar-pers, sehinga banyak kata-kata serapan yang ditulis dalam dua sampai tiga versi.

Ironisnya, sebagian besar penulisan kata-kata serapan itu tidak mengikuti pedoman pembentukan istilah yang telah dirumuskan oleh Pusat Bahasa Depdiknas. Bahkan, banyak yang melakukan pengejaan sendiri yang berbeda dengan ejaan kosa kata yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, banyak praktisi pers yang mengingkari komitmen untuk taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Jika dicari dan dihitung melalui google, jumlah pengingkaran (kesalahan) seperti itu bahkan dapat mencapai jutaan kasus.

Sebagai contoh aktual adalah dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni kata-kata yang sebenarnya telah dikenal selama berabad-abad dan menjadi keseharian masyarakat, seperti salat, takwa, wudu dan ustaz, masing-masing surat kabar memilih ejaan yang berbeda-beda. Untuk kata salat, misalnya, Koran Tempo dan Kompas, memilih cara penulisan yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni salat. Sedangkan Republika memilih mengembalikannya pada transliterasi7 langsung dari Arab ke Latin, yang lebih dekat dengan pengucapan Arabnya, yakni shalat. Bahkan, sejak bulan Ramadhan yang lalu, khususnya pada rubrik Dunia Islam, Republika menulis salat dengan sholat. Begitu juga untuk kata takwa, Koran Tempo dan Kompas mengikuti cara penulisan yang telah dibakukan dalam KBBI, yakni takwa. Sedangkan Republika, sama dengan kasus kata salat, memilih taqwa.8

Tetapi, Kompas dan Koran Tempo juga tidak selalu benar. Dalam penulisan kata ustaz justru yang benar (sesuai dengan yang dibakukan dalam KBBI) hanya Koran Sindo dan Suara Merdeka, yakni ustaz. Sedangkan Kompas dan Koran Tempo memilih ustad, dan Republika lagi-lagi berpedoman pada prinsip transliterasi Arab-Latin, yakni ustadz. Sedangkan untuk penulisan kata wudu, tidak ada satupun surat kabar yang mengikuti KBBI, dengan menulis wudu. Rata-rata surat kabar menulis wudhu, atau wudlu. Begitu juga media-media on line.9

Perbedaan gaya atau varian bahasa pers, atau lebih tepatnya ketidakseragaman penulisan kata-kata serapan, akan makin terlihat parah kalau kita mengamati penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing lainnya, terutama kata-kata asing yang berasal dari bahasa Inggris, seperti iven (event) dan gender, dua istilah yang relatif baru dan banyak dipakai di media massa. Rata-rata surat kabar menulis jender, padahal yang benar menurut KBBI adalah gender. Sedangak untuk kata iven – belum dibakukan dalam KBBI – hanya Republika yang menulis iven. Sedangkan Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos, memilih even.

Dari fakta-fakta tersebut di atas sudah terlihat betapa masih simpang siurnya sistem penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dan betapa banyak kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Jika dihitung, dalam sehari mungkin ada puluhan, bahkan ratusan, kesalahan penulisan kata serapan yang terjadi di pers atau media massa Indonesia. Sebab, pelacakan melalui google, dengan memilih pencarian dalam bahasa Indonesia, menemukan jutaan kesalahan penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, pada jutaan materi tulisan yang dapat diakses.

Untuk kata salat, misalnya, ditemukan 3.000.000 materi tulisan dengan kata shalat dan 746.000 materi tulisan dengan kata sholat, termasuk materi-materi tulisan yang dimuat Republika. Berarti ada 3.746.000 kesalahan penulisan kata salat. Untuk penulisan kata ustaz, ditemukan 2.280.0000 materi tulisan dengan kata ustad dan 694.000 materi tulisan dengan kata ustadz, termasuk materi tulisan di Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Berarti ada 2.974.000 kesalahan penulisan kata ustaz. Sedangkan untuk penulisan kata takwa, ditemukan 887.000 materi tulisan dengan kata taqwa. Dan, untuk penulisan kata wudu, ditemukan 331.000 materi tulisan dengan kata wudhu, dan 59.800 materi tulisan dengan kata wudlu.

Jika dijumlah, terhitung sampai tanggal 20 September 2008, ketika pencarian dilakukan, hanya dalam penulisan empat kata serapan saja – salat, ustaz, takwa, dan wudu – terjadi 7.997.000 (hampir delapan juta) kesalahan penulisan di berbagai media masaa cetak dan on line berbahasa Indonesia yang dapat diakses melalui google. Jumlah kesalahan penulisan kata serapan akan lebih banyak lagi jika ditambah semua kata serapan yang ada dalam bahasa Indonesia dan juga ditambah yang terjadi di media-media yang tidak dapat diakses melalui google.

Jika pengamatan diperluas lagi, akan banyak ditemukan lagi gaya penulisan judul berita yang banyak menghilangkan awalan dan akhiran, serta menyalahi kaidah pembentukan kata jadian (morfologi). Belum lagi kalau kita mengamati gaya bertutur dalam penulisan berita di berbagai surat kabar, yang sering dipenuhi kalimat-kalimat yang tidak logis dan tidak baku. Begitu juga kalau kita mencermati media-media cetak bersegmen remaja, yang ditaburi gaya bahasa gaul yang sama sekali tidak baku, tidak hanya pada kutipan langsung tapi juga pada narasi-narasi yang mestinya menggunakan bahasa Indonesia baku.

Ketidakbakuan, atau ketidakseragaman, menjadi parah terutama karena keterbatasan kemampuan wartawan dan redaktur masing-masing media massa dalam berbahasa tulis, serta kurangnya wawasan dan persepsi mereka tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang lebih banyak mereka sumbang bisa jadi adalah “kesalahan” berbahasa, tapi pembaca bisa jadi menganggapnya sebagai contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau bahasa Indonesia yang sedang tren, sehingga mereka tiru begitu saja. Dan, di sinilah letak bahayanya, karena tanpa sadar media massa dan masyarakat secara bersama-sama akan merusak bahasa Indonesia.


Penyebab dan solusi

Jika ditelusur dan dikaji dengan seksama, ada beberapa faktor penyebab terjadinya pengingkaran oleh kalangan pers terhadap kaidah bahasa Indonesia baku.

Pertama, perbedaan pedoman pembentukan istilah yang diserap dari bahasa asing, khususnya Arab, ke bahasa Indonesia. Beberapa surat kabar dan media on line, seperti Republika dan eramuslim.com, berpedoman pada kaidah transliterasi internasional, yakni sebatas penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, yakni dari abjad Arab ke abjad Latin. Jadi, kata-kata seperti sholat hanya diganti huruf-hurufnya dari abjad Arab ke abjad Latin, sehingga pengucapannya tetap dibiarkan dalam pengucapan bahasa aslinya. Dengan kata lain, kata-kata tersebut tidak diindonesiakan.

Sedangkan KBBI berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dengan semangat mengindonesiakan atau menyerap penuh kata-kata tersebut menjadi kata-kata dalam citarasa bahasa Indonesia. Karena dalam dalam EYD tidak dikenal gabungan konsonan sh, maka shalat ditulis salat. Tapi, karena Republika berpedoman pada prinsip transliterasi tadi, maka tetap menulisnya dengan shalat atau sholat. Jadi, kata tersebut tidak diindonesiakan, tapi hanya disalin abjadnya saja.

Kedua, KBBI mengubah cita rasa kata sholat dari cita rasa bahasa Arab ke cita rasa bahasa Indonesia, sehingga menulisnya dengan salat. Sedangkan Republika dan beberapa media lain, khususnya media yang sangat kental semangat Islamnya, tetap mempertahankan cita rasa bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, sehingga menulisnya dengan sholat.

Ketiga, ada semacam kekhawatiran di kalangan praktisi media Islam, dan sementara cendekiawan Muslim, jika kata sholat sepenuhnya diindonesiakan menjadi salat, maknanya akan terdistorsi, sehingga kesan sakralnya menjadi hilang. Jadi, ada semacam alasan ideologis di antara mereka. Begitu juga halnya dengan kata taqwa dan ramadhan, dengan alas an ideologis yang sama juga dipilih yang tetap memiliki cita rasa bahasa aslinya, tanpa sepenuhnya diindonesiakan. Belakangan, bahkan beberapa media massa Islam, cetak maupun on line, lebih memilih kata saum daripada puasa. Sedangkan Pusat Bahasa, dalam melakukan pembakuan ke dalam KBBI kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-kebahasaan tersebut, sehingga terlalu “nasionalis”.

Keempat, khusus untuk kata-kata serapan baru, yang dewasa ini bertaburan di media massa dan komunikasi masyarakat sehari-hari, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa gaul dan bahasa daerah, seperti iven (event), dan jomblo, Pusat Bahasa dengan KBBI, yang diperbaharui hanya lima tahun sekali, terkesan tertinggal atau terlambat, sehingga media massa melakukan pembakuan sendiri dengan cara masing-masing.

Dan, faktor penyebab kelima, tentu adalah kurangnya wawasan dan kemampuan para wartawan serta redaktur media massa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tulisan-tulisan mereka tidak mencerminkan sebagai contoh bahasa tulis yang baik dan benar.

Selain fator-faktor tersebut di atas, selama ini juga banyak kalangan pers yang cenderung menganggap bahwa keberagaman gaya bahasa pers sebagai kewajaran, dengan argumentasi bahwa bahasa pers memang merupakan vaian tersendiri yang dipraktekkan secara luwes, progresif dan kontekstual, agar bahasa pers selalu menarik dan sangat dekat dengan realitas bahasa yang berkembang di masyarakat. Dan, persoalan sering muncul, karena dalam praktek tersebut banyak kalangan pers yang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku..

Tidak kurang pula dari kalangan pers yang menganggap bahwa media massa memang merupakan “pelopor” pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia, sehingga mereka sengaja menempatkan diri di “garis depan” pengembangan bahasa Indonesia, termasuk memelopori pembakuan istilah-istilah baru yang diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah guna memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Hanya masalahnya, sekali lagi, mereka melakukan “pembakuan” dengan aturan sendiri, sehingga menyalahi prosedur pembakuan yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Dilihat dari sisi dinamika bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan terus bertumbuh, peran kebahasaan media massa yang progresif tersebut tentu baik-baik saja asal tetap berpedoman pada kaidah yang baku dan ada keseragaman antar-media massa. Jika tidak ada keseragaman, dilihat dari sisi pentingnya kebakuan bahasa Indonesia, keliaran variasi di dalam varian bahasa pers itu tentu dapat mengarah pada pijinisasi bahasa dan dapat membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Dan, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang berlangganan surat kabar yang bahasa Indonesianya rata-rata buruk atau jauh di bawah standar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena mengganggap bahasa surat kabar yang dibacanya adalah benar -- padahal penuh kesalahan -- maka bahasa Indonesia mereka bisa ikut rusak. Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu tentu potensial ikut merusak perkembangan bahasa Indonesia secara keseluruhan.

Karena kemungkinan buruk itulah, kiranya Pusat Bahasa perlu melakukan pembinaan bahasa secara lebih intensif lagi terhadap kalangan wartawan dan redaktur media massa, agar mereka lebih taat pada kaidah-kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk menekan kecenderungan pijinisasi dan keliaran variasi bahasa pers, kalangan pengelola media massa nasional juga perlu melakukan semacam “perumusan bersama” gaya bahasa pers yang bersifat nasional, untuk menjadi pedoman bersama.

Sedangkan untuk mengurangi ketertinggalan, kiranya Pusat Bahasa perlu memperpendek frekuensi pembakuan kata-kata serapan baru, yang semula lima tahun sekali menjadi setahun sekali. Hal ini sangat dimungkinkan dengan telah adanya KBBI on line, agar dapat menjadi rujukan yang tetap aktual bagi semua pemakai bahasa Indonesia, khususnya kalangan pers, guna menghindari kesimpangsiuran penulisan kata-kata seraan baru. Hal yang juga sangat penting adalah memasyarakatkan KBBI on line secara lebih luas dan intensif.


Penutup

Meskipun tetap diperlakukan sebagai varian bahasa tersendiri, tetap akan jauh lebih baik jika pers nasional memiliki gaya bahasa yang seragam, dan masing-masing surat kabar tidak mengembangkan gaya bahasanya sendiri yang saling berbeda satu sama lain. Tentu, gaya bahasa pers nasional yang disepakati bersama itu diupayakan betul-betul berdasarkan kaidah bahasa Indonesia baku, gaya bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Bagaimanapun, Pusat Bahasa telah bekerja keras selama puluhan tahun untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sangatlah tidak bertanggung jawab jika upaya tersebut malah diingkari oleh kalangan media massa, yang mestinya justru harus mendukung penuh upaya pembakuan tersebut.***

Jakarta, 20 September 2008



Daftar rujukan:

   1.

      Anderson, Douglas A., News Writing and Reporting for Today's Media, McGraw-Hill Inc, New York, 1994.
   2.

      Connery, Thomas B., A Sourcebook of American Literary Journalism, Greenwood Press, New York, 1992.
   3.

      Charity, Arthur, Doing Public Journalism, The Guilford Press, New York, 1995.
   4.

      Hadimaja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
   5.

      Mansoor, Sofia, dan Nik Solihin, Peristilahan, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
   6.

      Mappatoto, Andi Baso, Teknik Penulisan Feature, Gramedia, Jakarta, 1992.
   7.

      PWI Pusat, Pers Nasional, Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan, Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional, Jakarta, 1989.
   8.

      Provost, Gary, 100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda, Dahara Prize, Semarang, 1987.
   9.

      Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi III, 2008.
  10.

      Razak, Abdul, Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi, Gramedia, Jakarta, 1986.
  11.

      Republika, Redaksi, Gaya Bahasa Republika 2007, Republika, Jakarta, 2007.
  12.

      Rivers, William L., Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, Gramedia, Jakarta, 1997.
  13.

      Siregar, Ashadi dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Karya Unipress, Yogyakarta, 1982.
  14.

      Strentz, Herbert, Reporter dan Sumber Berita, Gramedia, Jakarta, 1993.
  15.

      Sudarsana, Gunawan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Indonesia Tera, Magelang, cetakan kelima, 2008.
  16.

      Sumadiria, AS Haris, Drs., MSi, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, Juli 2008.
  17.

      Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa, Angkasa, Bandung, 1983.
  18.

      Tim Pustaka Widyatama, EYD Lengkap, Pustaka Widiatama, Yogyakarta, cetakan pertama, 2008.














Biografi:
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Tahun 2007 terpilih menjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010), dan tahun 2008 terpilih sebagai ketua umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Sehari-hari kini ia menjadi redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta, dan tutor sastra Pusat Bahasa Depdiknas.

Selain puisi, Ahmadun juga banyak menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).

Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).

Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta iven sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.

Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering, Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Oktober 2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi pembicara dan ketua siding pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.

Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).

Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Sajak-sajak dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com. Mobile: 081315382096.*

1 Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, 2008, halaman 31.

2 Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadhily, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1992), jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.

3 Secara garis besar, berbagai macam tulisan di media massa cetak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni fakta (fact) berupa berbagai macam tipologi berita, opini (opinion) berupa artikel dan esei serta kolom, dan fiksi (fiction) berupa cerpen dan novel serta puisi. Hanya tulisan-tulisan dalam kelompok fakta yang dianggap menggunakan bahasa jurnalistik.

4 Dalam buku Jurnalistik Indonesia, AS Haris Sumadiria MSi, opcit, memberikan 11 ciri bahasa pers, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Pakar-pakar pers lain, seperti Ashadi Siregar, umumnya hanya menyebut lima ciri bahasa pers, yakni singkat, padat, jelas, lugas, dan menarik. Saya kira ada satu ciri lagi yang perlu ditambahkan pada bahasa pers, yakni progresif. Sebab, bahasa pers selama ini menunjukkan ciri yang sangat progresif dalam menggali dan memperkenalkan kosa-kosa kata baru, baik yang diambil dari bahasa daerah, bahasa serumpun, maupun bahasa asing.

5 Sumadiria, AS Haris, opcit., halaman 58-59.

6 Pemakaian istilah “gaya bahasa” di sini tidak dalam pengertian majas, tapi meliputi gaya penuturan sampai penulisan kata-kata serapan, seperti terlihat pada buku Gaya Bahasa Republika 2007, yang mengatur sejak gaya penulisan judul berita, teras berita, tubuh berita, kutipan, tanda baca, gelar dan nama diri, sampai penulisan partikel, pengejaan, tata kalimat, dan penulisan kata-kata serapan.

7 Transliterasi dalam konteks ini adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu (Arab) ke abjad yang lain (Latin), tanpa penyesuaian dengan kaidah pembentukan istilah bahasa yang bersangkutan.

8 Bukti-bukti penyimpangan ini dengan mudah dapat ditemukan melalui mesin pencari kata, google. Sedangkan untuk menguji kebakuannya, atau memilih kata mana yang baku, dapat memanfaatkan KBBI on line di pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi.

9 Bukti-bukti penyimpangan ini juga dengan gampang dapat ditemukan melalui google.
Baca Lengkapnya....

Membembentuk Karakter Siswa dengan Pengajaran Sastra

Kata kunci terpenting dalam prasaran ini adalah karakter – kata serapan dari bahasa Inggris, character, yang belum dibakukan oleh Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada dalam KBBI hanya padanannya, yakni watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Padanan dari watak, menurut KBBI, adalah budi pekerti dan tabiat. Kata karakter justru diakomodasi oleh  Leksikon Sastra Indonesia , dan dimaknai sebagai watak atau sifat-sifat kejiwaan (akhlak, budi pekerti, tabiat, etos) yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak  lahir (genetik), juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif  berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif, malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup) sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet, santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).

Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama” dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius, serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong (solider).

Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan karakter kolektif.  Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan, dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan nilai dan chaos.

Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar  karena tidak dapat bersikap tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman edan”   seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.

Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra,  menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.

Dulu, ketika masih ada pelajaran budi pekerti, pembentukan karakter siswa dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan, selain tentu juga melalui pelajaran agama dan Pancasila – yang sila-silanya merupakan intisari dari nilai-nilai agama. Pelajaran yang juga dapat diandalkan perannya dalam ikut membentuk karakter siswa adalah apresiasi sastra. Peran pelajaran sastra makin penting ketika pelajaran budi pekerti dan Pancasila tidak diberikan lagi di sekolah, sementara waktu yang tersedia untuk pelajaran agama juga sangat terbatas dan rata-rata guru agama hanya sempat memberikan pengetahuan secukupnya tentang agama sehingga pemahaman dan penghayatan agama siswa rata-rata masih kurang.

Pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Sebut saja ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:

Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.

Tentang potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya  –  meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk  menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan pragmatik  berkeyanikan  bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq berjuang keras agar siswa, dan kaum terpelajar bangsa ini, benar-benar melek sastra. Sementara, Kuntowijoyo, menggagas pentingnya dikembangan sastra profetik, yakni sastra yang membawa misi kenabian, atau sastra yang mencerahkan.

Lebih dari itu, kalangan pragmatik meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan. Orientasi penciptaan karya sastra, menurut Abrams (1981), memang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-literer. Dan, pandangan pragmatik itu sesuai dengan orientasi kedua  Abram yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart)  berkembang.

Pada orientasi kedua, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran social baru, seperti novel Max Havelar karya Multatuli  dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore  juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran  ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia. Karena itu, tidak berlebihan jika Mosye Dayan begitu takut pada sajak-sajak patriotik penyair Palestina, dan menangkapi penyair-penyair pejuang seperti Fatwa Tuqan.  Seperti diyakini GL Morino,  sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino tadi,   sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’ 

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama. Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya, termasuk kearifan sikap dan pemikirannya.

Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya, yang lebih baik.

Jika disarikan dan disederhanakan, maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran. Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.

Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya. Keenam,fungsi inspiratif,  karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan.  Ketujuh,  fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.

Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter  yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.

Membangun sikap apresiatif
Membangun sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran sastra. Apresiasi --  berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang didasarkan pada pemahaman.  Menurut Leksikon Sastra Indonesia,  apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.

Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.

Sebaliknya, seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali. Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru sendiri.

Sebagian orang berpendapat bahwa yang namanya minat seseorang, termasuk minat pada karya sastra, tidak dapat dipaksakan. Karena, minat datang dari dalam hati. Begitu juga minat siswa pada sastra, tidak dapat dipaksanakan. Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi bukan harga mati. Sebab, minat seseorang, seperti halnya selera, dapat dibangun secara pelan-pelan tapi pasti. Begitu juga minat siswa pada sastra, dapat dibangun melalui praktek pengajaran sastra yang benar dengan menciptakan situasi pengajaran yang mampu mendorong siswa pelan-pelan meminati karya sastra.

Langkah pertama, adalah menciptakan suasana belajar-mengajar yang menarik dan menyenangkan agar siswa merasa enjoy di dalamnya, atau dapat menikmati proses belajar sastra dengan menyenangkan. Penciptaan situasi yang demikian ini menuntut kreativitas guru dalam mengajar, dan tidak bias hanya bertumpu pada cara mengajar yang konvensional di depan kelas. Cara-cara sebagai berikut dapat dipertimbangkan:

1. Mengajak siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak daun  jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris kalimat yang puitis.

2. Belajar di luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.

3. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah. Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.

4. Dalam mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.

5. Setelah sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan sejarah sastra yang diperlukan.

Langkah kedua adalah memberi penghargaan pada siswa yang unggul dalam pelajaran sastra. Misalnya, memberi hadiah buku sastra pada siswa yang puisi atau cerpennya dinilai terbaik, juga pada siswa yang membaca puisi atau cerpennya dinilai paling bagus, serta pada siswa pembahasan atau pendapatnya paling pas saat membahas karya sastra. Nah, akan lebih seru lagi kalau dalam memilih yang terbaik itu melibatkan seluruh siswa. Misalnya, semua puisi siswa ditempel pada papan tulis dan semua siswa ikut menilainya.

Tapi, dalam menilai pembacaan puisi, tentu akan menghadapi problem waktu. Hal ini dapat diatasi dengan mengelompokkan siswa, misalnya ke dalam lima kelompok, dan masing-masing kelompok memilih seorang siswa wakilnya untuk beradu baca puisi dengan wakil kelompok lain. Dengan cara demikian, suasana bermain yang menyenangkan akan tercipta tanpa melupakan pokok pelajaran sastranya. Jadi, semi belajar sambil bermain.

Langkah ketiga adalah menyediakan ruang berekspresi bagi siswa yang berbakat di bidang sastra. Misalnya, menyediakan majalah dinding atau majalah sekolah untuk menampung karya-karya siswa, baik puisi, cerpen, esei, maupun resensi, dan yang karyanya dimuat mendapatkan hadiah buku sastra. Perlu juga diadakan lomba baca puisi tengah tahunan (menjelang libur atau awal liburan) untuk mendorong minat siswa dan menemukan bakat siswa dalam baca puisi.

Langkah berikutnya adalah meyakinkan pada siswa bahwa sastra itu penting untuk diapresiasi, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai positif yang penting diketahui dan dihayati oleh siswa. Yakinkan, bahwa manusia yang berbudaya adalah manusia yang cinta sastra, maka jika ingin dianggap manusia berbudaya, cintailah sastra dan bacalah karya-karya sastra. Yakinkan pula bagi yang berbakat menulis puisi atau cerpen agar terus menekuninya sebagai hobi yang positif, yang akan sangat bermanfaat dan member nilai plus bagi mereka kelak.

Selama ini, tampaknya pengajaran sastra di sekolah berlangsung kurang menarik, sehingga kurang mampu menumbuhkan minat siswa untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Mereka umumnya mengikuti pelajaran sastra ‘karena terpaksa’ hanya demi absensi. Pelajaran sastra juga cenderung dianggap sebagai momok, karena sulit, tapi tidak penting karena hasilnya tidak tercantum pada nilai rapor. Pelajaran sastra hanya merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia,  dan jika dipersentase nilai pelajaran sastra hanya menyumbang tidak sampai 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase lain disumbang oleh nilai keterampilan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, tata bahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya. Kecilnya persentase sumbangan nilai pelajaran sastra itu menjadi salah satu penyebab kurang bersungguh-sungguhnya siswa dalam mengikuti pelajaran sastra serta guru dalam mengajar apresiasi sastra.

Idealnya, seperti pernah diusulkan oleh Taufiq Ismail dan banyak sastrawan lain, pelajaran apresiasi sastra Indonesia dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, berdiri sendiri dan hasil prestasi belajar sastra siswa terwujud sebagai nilai tersendiri pada rapornya. Tetapi, ini memerlukan langkah besar yang dimulai dari kebijakan pemerintah pusat, yang memerlukan proses politik yang panjang. Karena itu, dari pada terus menerus ‘menunggu godot’ lebih baik kita mulai dari langkah-langkah kecil seperti di atas.

Indikator terpenting adanya sikap apresiatif  terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku. Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.

Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat. Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra. Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.

Memisahkan pengajaran sastra
Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan juga sekarang pada era KTSP – yang di Jawa sering diplesetkan menjadi kurikulum terapno sak penake dewe.

Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra, yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan.

Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot (tokoh absurd dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett). Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau bahkan seperti teriakan di tengah padang pasir.

Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada minat dan kreativitas serta kesungguhan guru bahasanya. Karena itu, sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra, dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal, dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa.***

Jakarta,  Februari 2011

Daftar Pustaka:
1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
2. Hasanuddin WS, Prof. Dr., dkk., Leksikon Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung, cetakan kedua, 2008.
3. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menyoal Pengajaran Seni dan Sastra di Sekolah”, makalah untuk Talk Show Pengajaran Seni dan Sastra dalam Tangerang Art Festival 2005.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Puisi dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Penulisan Puisi bagi Guru SMU, Pusat Bahasa, Jakarta, 2006.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Cerpen dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Menulis Cerpen bagi Guru SMU, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 2006.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Mengajarkan Apresiasi Sastra dengan Benar”, makalah untuk Diklat Pengajaran Apresiasi Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta, 2006.
7. Hatikah, Tika, dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005.
8. Kurniawati, Diyan, dkk, Bahasa Indonesia, Intan Pariwara, Solo, 2003.
9. Sukartinah, Dra., N, Bahasa dan Sastra Indonesia, untuk SMU Semester I, CV Thursina, Bandung, cetakan kedua, 2003.
10. Rendra, “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”, teks pidato saat menerima gelar Doktor Honoris Causa, di UGM, 4 Maret 2008.
11. Berbagai artikel di internet tentang pengembangan pengajaran sastra berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP).


Ahmadun Yosi Herfanda: Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia, Pasca-Sarjana Universitas Gunungjati, Cirebon, 19 Februari 2011.
Baca Lengkapnya....