SUATU hari, para pemuda dari 31 provinsi di Indonesia berkumpul di atas KRI Sangkurilang. Sambil berlayar mengarungi Laut Jawa, mereka mempertunjukkan berbagai atraksi seni-budaya — dan tentu juga mempelajari masalah-masalah kelautan.
Meski bertajuk Kapal Pemuda Nusantara, acara dalam rangka Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari yang popular sebagai Festival Bahari itu penuh sentuhan seni-budaya. “Di dalam kapal, mereka juga melakukan semacam pertukaran budaya. Pemuda dari Ambon, misalnya, memakai pakaian Jawa dan memainkan tari Jawa,” kata Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI DR Adhyaksa Dault.
Tampaknya, Adhyaksa Dault, meski harus mengurus olahraga, tidak melupakan peran seni-budaya untuk membangun jati diri bangsa. Sebab, kebudayaan merupakan aspek penting nation and character building. “Kebudayaan menjadi jembatan pemersatu kita,” ujarnya dalam ‘diskusi terbatas’ di Jakarta, Kamis (26/4) lalu.
DR Adhyaksa membeberkan betapa pentingnya nilai-nilai kebudayaan nasional untuk diwariskan kepada generasi muda agar tetap memiliki akar budaya yang kuat. Sebab, menurutnya, tak bisa ada kebangkitan pemuda tanpa akar budaya yang kuat. “Gimana pemuda mau bangkit kalau akar budayanya hilang,” katanya.
Untuk itulah selama ini acara-acara yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga selalu kental nuansa seni budaya. Bahkan, ada even-even khusus seni budaya yang digelar secara rutin setahun sekali, misalnya Festival Kreativitas Pemuda.
Selainkan pertunjukan berbagai kesenian oleh anak-anak muda pada puncak acara, festival dalam rangka Sumpah Pemuda ini juga menggelar berbagai lomba yang dibuka sejak awal tahun, seperti festival musik, festival nasyid dan sayembara menulis cerpen untuk pemuda. Khusus untuk lomba menulis cerpen, dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI).
“Kesenian, termasuk sastra, sangat efektif untuk memberdayakan pemuda. Karena itu, kami berkomitmen untuk mengadakan sayembara menulis cerpen ini tiap tahun,” kata Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Drs H Syahyan Asmara MSp, pada acara terpisah.
Even-even lain, yang sebenarnya bukan acara kesenian, juga tidak pernah sepi dari acara kesenian. Festival Bahari 2006, yang berlangsung di Makassar pada Agustus-September lalu, misalnya, dimeriahkan berbagai pertunjukan budaya tradisi bahari dan kesenian-kesenian etnis lainnya, seperti upacara Appanaung Ri Jane, musik tradisional Makassar, dan tari-tari dari empat etnis lain, seperti barongsae.
Festival Bahari 2007 yang akan digelar di Padang, 29 Juli – 8 Agustus 2007, juga akan diwarnai banyak acara kesenian. ”Ini merupakan festival multieven kepemudaan, keolahragaan, dan kepariwisataan yang dikemas dalam lomba internasional olahraga bahari,” kata Adhyaksa Dault.
Even internasional pemuda dan olahraga itu akan melibatkan empat lembaga negara, yakni Kantor Menegpora, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Departemen Komunikasi dan Informatika.
Baik festival pemuda maupun olahraganya akan diwarnai banyak sentuhan budaya, sehingga mirip festival budaya. Karena, akan banyak digelar lomba olahraga tradisi, seperti lomba perahu naga, sampan, perahu pincalang, layar, layang-layang dan pencak silat. Juga lomba selancar, selam, renang pulau, jetski, gantole, voli pantai, sepak takraw, dan lari 10K.
Sedangkan untuk festival pemuda, antara lain berupa Kapal Pemuda Nusantara, kemah pemuda, Pramuka Saka Bahari, lomba foto, dan penulisan jurnalistik wisata, seni, dan olahraga, serta temu karya ilmiah iptek olahraga. Juga akan diadakan festival musik dan tari untuk lebih memberi sentuhan budaya.
Bahkan, akan ada beberapa pemecahan rekor MURI, seperti pemecahan rekor tari gelombang dengan peserta terbanyak, pemecahan rekor layang-layang raksasa, dan pemecahan rekor melamang (membuat makanan lemang) terpanjang, yakni sepanjang dua kilometre.
Saat ini, menurut Adhyaksa, upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa muda makin penting untuk
menguatkan akar budaya pemuda sekaligus menyelamatkan budaya bangsa dari serbuan budaya asing yang makin meminggirkan budaya-budaya tradisi yang diperlukan untuk nation and character building tadi.
Dalam situasi ‘perang informasi’ saat ini, menurut Adhyaksa, juga terjadi ‘perang wacana budaya’. Nilai-nilai dan produk budaya asing terus menyudutkan kebudayaan nasional, terutama budaya tradisi, dalam posisi yang makin tidak berdaya. “Perang informasi juga menyudutkan kita dalam fenomena mcdonalisasi,” katanya.
Mcdonalisasi, menurutnya, adalah kecenderungan yang serba cepat dan serba makmur, namun lupa pada budaya sendiri. Jadi, semua produk budaya, dan gaya hidup masyarakat, menjadi serba instan dan kehilangan akar. Dia mencontohkan sinetron-sinetron drama dan sinetron remaja di televisi, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak memiliki wawasan budaya. Juga novel-novel chicklit serta teenlit yang mengadopsi begitu saja gaya hidup remaja Amerika.
Kecenderungan seperti itu, terutama terjadi karena kuatnya orientasi bisnis dalam ‘industri budaya’ kita. Orientasi bisnis, menurutnya, tetap penting agar kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri dan tidak hanya bergantung pada subsidi pemerintah. Tetapi, tetap harus seimbang dengan orientasi nilai budaya, agar produk-produk kesenian tidak malah merusak.
Adhyaksa menyebut film Nagabonar dan November 1828 sebagai contoh produk budaya yang ideal. “Keduanya kental nilai sejarah dan punya akar budaya, tapi juga ada sentuhan orientasi bisnis, sehingga bisa laku. Kenapa sineas yang lain tidak mencontoh seperti itu?” katanya.
Guna mendorong tradisi berseni-budaya yang lebih sehat di masyarakat, Menegpora pun memberikan penghargaan seni. Misalnya, penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 kepada grup musik The Upstairs dan Menpora Award kepada Deddy Mizwar. Adhyaksa juga sering hadir di tengah acara-acara kesenian, seperti membaca puisi di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, dan pada 19 Mei 2007 nanti akan membaca puisi serta berorasi dalam acara Kenduri Cinta-nya Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki.
Peradaban masyarakat kita saat ini, terutama masyarakat perkotaan, sudah sangat parah karena melupakan akar budaya. Karena itu, menurut Adhyaksa, sudah saatnya, semua unsur bangsa bersinergi untuk membangun kembali kebudayaan nasional agar tumbuh lebih sehat dan pas dengan kebutuhan zaman.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 29 April 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar