ADA yang mengaum, ada yang beteriak, ada yang merintih, ada yang membanting kursi, ada yang berdendang, ada yang membawa jaelangkung, ada yang cool-cool saja. Begitulah aksi panggung para ‘penyair Nusantara’ dalam perhelatan Pesta Penyair Indonesia, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering, di Medan, 25-28 Mei 2007 lalu.
Tampil pada malam ketiga, penyair Pekanbaru, Fakhrunnas MA Jabbar, mendengdangkan lagu pedih nasib Riau yang terus diterpa perubahan zaman, melalui ‘sajak seri’-nya, Riau 1 dan Riau 2. Bagi sastrawan yang juga deputi direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper ini, Riau adalah ‘harta karun’ budaya yang harus disayangi, namun ia tidak dapat mencegahnya ketika Riau terus dieksploitasi kekayaan alamnya:
sungguh aku tak bisa beri dikau permata
bebatuan purba tertanam jauh di lembah-lembah
semua orang menambang uang dan logam
biar kutambang perahu saja
sungguh aku tak bisa beri dikau mutiara
kerang dan tripang tertanam jauh di laut dalam
semua orang memetik mawar
biar aku saja memetik senyummu yang ramah
Beragam gaya dan beragam tema. Begitulah sajak-sajak para penyair Nusantara yang terkumpul dalam buku antologi puisi Medan Waktu (dieditori oleh Afrion Medan, Antilan Purba, dan M Yunus Rangkuti) yang melengkapi perhelatan tersebut. Maka, beragam pula gaya penampilan mereka di panggung. Binhad Nurrohmat pun membanting kursi, untuk memunculkan sensasi teateral. Tapi, Krismalyanti, cool-cool saja ketika membaca sajak Jerat Kering.
Sebelum mereka, penyair Malaysia yang juga aktor ternama, Khalid Salleh, seperti mengaum ketika meneriakkan sajak Merdeka di Tangan Siapa? — sebuah sajak lugas yang berbicara tentang makna kemerdekaan:
merdeka adalah kebebasan melakukan dan menyatakan erti kebenaran memberi dan menerima kebaikan mengusulkan pandangan untuk kebaikan bersama membuka semangat untuk kesedaran — berbangsa, beragama, dan bernegara
Sekitar 100 penyair dari berbagai penjuru kawasan Nusantara — Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan — adu kebolehan membaca sajak di atas panggung selama empat malam berturut-turut, 25-28 Mei 2007. Tiga malam pertama berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, dan malam terakhir di Garuda Plaza Hotel.
Dari Brunei, penyair yang tampil membaca sajak, antara lain Zefri Ariff, Adi Swara dan Sheikh Mansor. Dari Malaysia, antara lain SM Zakir, Khalid Salleh, DR Ibrahim Ghaffar, Mohammad Saleeh Rahamad, DR Ahmad Razali Yusuf, Muhammad Lutfi Ishak, Shamsudin Othman, Nasury Ibrahim, Rahimidin Zahari, Ijamala MN, Saring Sirad, Amirul Fakir, Amran Daud dan Saifulizan Yahya.
Paling banyak, tentu, dari Indonesia, antara lain Korrie Layun Rampan (Kutai Barat), Shantined (Balik Papan), Micky Hidayat (Banjarmasin), Dinullah Rayes (Mataram), Doel CP Allisah (Aceh), Idris Pasaribu (Medan), Hasan Bisri BFC (Bogor), Khoirul Anwar (Kediri), Sarah Serena (Jakarta), Epri Saqib (Depok), Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka (Lampung), Harta Pinem dan M Raudah Jambak (Medan).
Selain mereka, penyair yang ikut meramaikan pentas baca sajak, antara lain Viddy AD Daery (Lamongan), Fikar W Eda (Aceh), R Galuh Angger Mahesa (Medan), Syaifuddin Ghani (Kendari), Doddy SH (Bojonegoro), Leonowens SP (Jakarta), Hasan Al Banna, Nurhilmi Daulay, Mihar Harahap, Koko Bhairawa, Dini Usman, Raswin Hasibuan (Medan), A Aris Abeba (Pekanbaru), dan Amin Setiamin (Labuhan Batu).
Jika pada malam pembukaan dimeriahkan musikalisasi puisi dan tari, panggung puisi pada malam penutupan makin seru dengan tampilnya Bupati Langkat H Syamsul Arifin SE. Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu ini membacakan sajak-sajak Amir Hamzah dengan penuh penghayatan. Bahkan, beberapa penyair Malaysia dan Indonesia masih membaca sajak sambil membentuk lingkaran mengelilingi meja, meski acara telah ditutup oleh Kepala Disbudpar Medan H Syarifuddin SH.
Pesta penyair yang dilenggarakan oleh Laboratorium Sastra Medan bekerja sama dengan Disbudpar setempat ini tentu tidak hanya diisi ‘pesta sajak’. Pada siang hari para peserta suntuk mengikuti workshop (pagi) dan diskusi sastra (siang). Pada hari kedua (pagi) sempat digelar pula silaturahmi Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang diprakarsai oleh Ketua KSI Cabang Medan, Idris Pasaribu.
Diskusi sastra membahas khasanah puisi Nusantara dan kesastraan Indonesia mutakhir, dengan pembicara Suyadi San (Medan), Moh Saleeh Rahamat, SM Zakir (Malaysia), Zefri Ariff (Brunei), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), dan Isbedy Stiawan ZS (Lampung). Sedangkan sesi proses kreatif menampilkan Viddy AD Daery, Binhad Nurrohmat, Rahimidin Zahari (Malaysia), dan Sheikh Mansor (Brunei).
Puncak pesta penyair ini adalah gathering di Garuda Plaza Hotel, yang diawali dialog budaya bersama Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Depbudpar RI, DR Mukhlis Pa’Eni. Berbagai isu kebudayaan mutakhir, seperti makin terpinggirkannya seni tradisi, dibahas oleh doktor antropologi sosial ini.
Usai dialog, gathering diisi musyawarah untuk membahas kemungkinan dibentuknya forum bersama penyair Nusantara. Seperti diakui oleh ketua panitia, Afrion Medan, sempat menguat rencana untuk membentuk sebuah jaringan kerja dengan nama Komunitas Sastra Nusantara.
Sidang pleno yang dipimpin oleh Ahmadun YH, Viddy AD Daery dan Idris Pasaribu, akhirnya menyepakati event tahunan Pesta Penyair Nusantara, Sempena The International Poetry Gathering sebagai forum bersama penyair Nusantara untuk bermusyawarah sambil berapresiasi dan mengekspresikan karya.
Pesta penyair tersebut akan diadakan secara bergilir di kota-kota negara peserta, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Thailand. Disepakati, Pesta Penyair Nusantara 2008 akan diadakan di Kediri, Jawa Timur.
Maka, ”sampai bertemu di Kediri tahun depan!” kata beberapa penyair Malaysia, sambil melambaikan tangan ke beberapa penyair Indonesia di depan Hotel Srideli, tempat mereka menginap.
Pesta Penyair Model Gotong Royong
Kini menjadi semacam kelaziman bahwa event sastra se Nusantara, baik di Indonesia maupun di negeri jiran, diadakan secara bergotong royong — biaya peserta ditanggung bersama.
Demikian pula pesta penyair se-Nusantara di Medan ini. Panitia hanya menyediakan akomodasi selama acara berlangsung. Sedangkan transport dari kota asal peserta, baik sebagai pembicara, pembaca puisi, maupun penggembira, ditanggung sendiri. Karena itu, sebelum acara, para calon peserta biasanya sibuk mencari bantuan dana.
Berungtunglah, ada saja lembaga pemerintah dan swasta yang peduli pada sastra dengan membantu keberangkatan peserta. Salah satunya adalah PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). “Tentu, kami sangat peduli pada acara seperti itu, karena sangat penting untuk meningkatkan prestasi budaya bangsa,” kata Dirut PT RAPP DR Rudi Fajar.
Menurut Rudi, acara semacam pesta penyair di Medan itu sejalan dengan program peduli budaya yang dilaksanakan oleh produsen pulp dan kertas ini. Salah satu program yang kini sedang digalakkannya adalah pendirian taman bacaan di desa-desa yang kini telah mencapai lebih dari 110 desa di Riau. (ika/ayh)
Pernah dimuat di Republika, 10 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar