Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.

Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya  beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis.
Helvy tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.
Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni “Pertemuan di Taman Hening”, dan ditutup dengan cerpen, “Jaring-jaring Merah”, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen “Kivu Bukavu”, hlm. 193) juga baris-baris yang sangat puitis:

Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen “Pertemuan di Taman Hening” selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm. 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm. 2). Sementara, cerpen “Jaring-Jaring Merah” (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:

Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen “Lelaki, Kabut, dan Boneka” (hlm. 11), “Idis” (hlm. 21), “Dara Hitam” (hlm. 69), “Ketika Cinta Menemukanmu” (hlm. 119), “Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin” (hlm. 129), “Lelaki Semesta” (hlm. 151), “Pulang” (hlm. 183), dan “Kivu Bukavu” (hlm. 193). Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak “sisipan” narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

 Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: “Kivu, kaulah yang terindah!”
Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam?
                (Cerpen “Kivu Bukavu”, alinea 1-2, hlm. 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari “kutipan tidak langsung” sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen “Jaring-Jaring Merah” berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (“Jaring-Jaring Merah”), bom Bali (“Lelaki, Kabut, dan Boneka”), dan perang saudara di Rwanda (“Kivu Bukavu”).
Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.
Pada salah satu bagian cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen “Kivu Bukavu” berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta “Lelaki, Kabut dan Boneka” berlatar tragedi bom Bali..
Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh “aku” dalam “Jaring-Jaring Merah”, siapa Kivu dalam “Kivu Bukavu”, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam “Lelaki Kabut dan Boneka”, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.
        ***

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri. Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.
Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

                                Pamulang, 8 Mei 2008

----- raster --------
Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.n red
Baca Lengkapnya....

GENDON

Karena lelaki itu hampir selalu menghabiskan sepanjang harinya untuk tidur mlungker di serambi masjid, orang pun menjulukinya Gendon. Ia adalah lelaki tunanetra yang tidak begitu jelas asal usulnya. Tiba-tiba saja dia sudah berada di masjid kampungku dan menyerahkan seluruh hidup matinya pada warga di sekeliling masjid.
    Tidak seorang pun tahu pukul berapa ia datang, diantar siapa, dan berasal dari mana. Orang-orang kampung hanya mencatat dalam ingatan masing-masing, bahwa pagi itu, ketika waktu Subuh tiba, mereka dikejutkan oleh suara azan yang sangat aneh dari mesjid tua itu.
    Suara azan yang dikumandangkan dengan bantuan corong dari seng itu segera membangunkan warga sekitar masjid kecil yang lebih layak disebut sebagai mushalla. Orang-orang kaget karena sudah cukup lama masjid itu sepi dari suara azan subuh. Bahkan, hampir tidak pernah digunakan untuk sembahyang berjamaah kecuali pada hari Jumat.
    Begitu azan terdengar, Bu Malik, menantu almarhum Kiai Solikhin yang rumahnya bersebelahan dengan masjid, langsung terbangun. Ia merasakan seperti ada suara malaikat yang bergetar keras di telinganya dan menghentak seluruh syarafnya. Suara azan yang melengking tinggi itu seperti mengiris-iris hatinya sampai ngilu.
    Bu Malik lantas menengok suaminya. Ia rupanya juga sudah terbangun oleh suara azan itu. Dalam keremangan cahaya listrik lima watt, Pak Malik, anak tertua Kiai Solikhin, tampak duduk memeluk lututnya sambil memperhatikan suara aneh itu. Akan tetapi, kemudian dia menguap dan tidur lagi sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
    Karena penasaran pada suara azan itu, Bu Malik keluar menuju masjid. Tanpa diduga, beberapa tetangganya yang tinggal di kanan kiri masjid juga ikut keluar untuk mengintip pemilik suara aneh yang menggetarkan hati itu.
    "Suara siapa itu, Bu," tanya seorang tetangganya.
    "Saya tidak tahu. Saya mau melihatnya," jawab Bu Anwar sambil bersijingkat ke jendela samping masjid.
    "Siapa, Bu?" tanya tetangganya lagi.
    Bu Malik hanya menggeleng.
    Para tetangganya kemudian ikut mengintip pemilik suara aneh itu. Namun, tidak seorangpun mengenal lelaki kurus bersarung dan berpeci lusuh yang dengan penuh perasaan mengalunkan azan Subuh.
    Selesai azan, lelaki itu membaca Shalawat Nabi. Cukup lama. Karena tidak ada seorang pun yang datang untuk berjamaah Subuh, baik imam maupun makmum, akhirnya lelaki itu mengumandangkan qomat.
    Bersamaan dengan geletar suara qomat, tiba-tiba muncul degupan aneh di dada Bu Malik. Degupan itu kemudian dengan begitu kuat menyeret langkahnya ke tempat wudu dan menggerakkan tangannya untuk berwudu serta melangkah kembali ke masjid. Ia lalu mengambil mukena di lemari masjid dan berdiri di belakang lelaki asing itu untuk menjadi makmumnya.
    Langkah Bu Malik rupanya diikuti oleh beberapa tetangganya yang ikut mengintip di jendela masjid. Mereka pun melakukan shalat Subuh untuk pertama kali di masjid itu sejak meninggalnya Kiai Solikhin dua tahun lalu.
    Usai shalat, orang asing itu menyalami Lek Sodikun, salah seorang tetangga Bu Malik yang ikut berjamaah. Mereka pun kaget melihat mata lelaki itu. Orang asing itu ternyata tuna netra.
    "Lho, Bapak tidak bisa melihat?" tanya Bu Malik.
    "Ya, Bu," jawab lelaki itu.
    "Bapak dari mana?" tanya Lek Sodikun.
    "Mengapa Bapak tiba-tiba ada di sini?" tanya yang lain.
    "Saya sendiri tidak tahu, saya ini berasal dari mana. Sejak kecil saya hidup dari masjid ke masjid. Sehabis sembahyang malam di masjid terakhir tempat saya tinggal yang tidak saya ketahui namanya dan daerah mana, tiba-tiba ada seseorang yang membawa saya. Saya di bawa naik mobil dan diturunkan di sini. Ketika saya tanya, siapa dia dan akan membawa saya ke mana, dia hanya bilang bahwa saya akan tahu sendiri nanti dan saya dilarang bertanya lagi. Setelah saya diturunkan dia hanya berkata, di sinilah tempatku yang baru," cerita lelaki buta itu.
    "Lantas, siapa namamu?" tanya Bu Malik.
    "Namaku Slamet, Bu."
    "Lalu, keluargamu di mana?"
    "Saya tidak punya siapa-siapa, Bu. Tidak punya keluarga, tidak ada yang tahu saya anak siapa. Sejak kecil saya buta dan sejak kecil pula saya tinggal dan hidup di masjid. Sejak kecil saya hidup dari belas kasihan orang-orang di sekitar masjid yang tiap hari secara bergiliran memberi makan saya," cerita Slamet.
    "Kalau begitu, tinggal saja di masjid ini. Sudah lama masjid ini tidak ada yang mengurus. Kalau waktu shalat tiba juga tidak ada yang azan. Soal makan, jangan khawatir. Saya akan memberimu setiap hari," kata Bu Malik.
    "Saya juga bersedia memberimu makan," sambung Lek Sodikun.
    "Saya juga," ujar yang lain.
    "Kalau begitu kami akan memberi makan secara bergiliran," ujar Bu Malik sambil menyentuh dengkul lelaki buta itu.
    Sejak hari itulah hidup mati Slamet menjadi tanggungan warga di sekitar masjid kampungku. Bu Malik mengatur giliran memberi makan Slamet sehari tiga kali. Mula-mula di mata warga setempat lelaki itu tampak menyenangkan. Ia sangat rajin mengurus masjid, azan tiap waktu shalat tiba dan mengaji hampir sepanjang hari. Masjid yang semula sepi dan terbengkelai itu menjadi ramai kembali.
    Anggapan masyarakat terhadap Slamet pun terus berkembang. Ia tidak lagi sekedar dianggap sebagai muazin dan pemakmur masjid, tetapi juga dianggap sebagai wali tiban. Orang-orang pun berebutan memberinya makan dan memanjakannya. Slamet semakin lama bertambah gemuk saja.
    Bukan begitu saja. Slamet, sebagai wali tiban, juga menjadi tempat tumpahan suka duka warga kampung. Bahkan, juga menjadi semacam konsultan agama, keluarga, dan segala macam persoalan kampung.
    Semakin lama Slamet makin sibuk melayani orang-orang kampung. Setiap hari selalu ada persoalan yang diadukan kepadanya. Bahkan, kemudian banyak juga yang menanyakan nomor buntut SDSB yang bakal keluar. Hal yang paling membuatnya tidak tahan adalah semakin banyaknya orang yang suka memancing-mancingnya untuk ngrasani warga kampung yang dianggap punya borok, ngrasani Lek Parto yang anaknya menjadi perawan tua, Surtiyem yang hamil tanpa suami, Pak Kasman yang kaya mendadak dan dianggap punya tuyul, Pak Kasno yang korupsi, atau Pak Kadus yang memanipulasi uang proyek irigasi, dan banyak lagi. Inilah yang membuat dia terpaksa memutuskan untuk menutup forum konsultasi gratisnya dan memilih tidur untuk mengisi waktu luangnya.
    Slamet segera minta tolong seorang pemuda kampung untuk menulis 'Mulai hari ini tidak terima tamu' pada selembar kertas karton. Kertas ini ia pasang pada dinding serambi masjid. Setiap habis makan pagi, makan siang, dan makan malam dia tidur di bawah tulisan itu. Ia hanya bangun tiap waktu azan tiba, kemudian sembahyang, makan dan tidur lagi. Ini berjalan sampai berbulan-bulan hingga warga kampung menjulukinya ‘Gendon’.
    "Untuk menghindari dosa lebih baik saya tidur," jawab Slamet ketika Bu Malik menanyakan perubahan kebiasaannya yang mendadak itu, tanpa mau menjelaskan dosa apa yang dimaksudnya.
    Semula orang-orang kampung maklum saja atas perubahan kebiasaan Slamet itu. Ini karena mereka terlanjur menganggapnya sebagai wali tiban. Mereka menganggap wajar, bahwa seorang wali kadang-kadang memang suka berbuat yang aneh-aneh. Mereka dengan suka rela tetap memberi makan pada Slamet sesuai giliran masing-masing. Sampai pada suatu ketika desa mereka dilanda musim paceklik, sawah-sawah diserang hama wereng, dan panen gagal total. Warga kampung mulai keberatan untuk memberi makan Slamet. Konflik tentang Slamet pun mulai muncul.
    "Maaf, Bu Malik, mulai besok saya tidak sanggup lagi memberi makan Slamet," kata Mbok Sodikun di serambi masjid seusai sembahyang Asar. "Sawah saya kena wereng semua, tidak bisa dipanen. Untuk makan sendiri saja repot, Bu."
    "Saya juga tidak bisa lagi, Bu," sambung Bu Pardi.
    "Saya juga tidak bisa," timpal yang lain lagi.
    "Aduh! Apa harus saya yang menanggung semuanya sekarang. Sawah saya juga kena wereng. Ibu-ibu ini bagaimana? Beban saya kan terlalu berat nanti. Apalagi sekarang Slamet makannya semakin banyak. Ibu-ibu dulu kan sudah sanggup untuk membantu," jawab Bu Malik dengan nada kecewa.
    "Habis bagaimana lagi, Bu. Keadaan kami sedang paceklik," kata Mbok Sodikun.
    "Bagaimana kalau Slamet kita suruh pindah saja ke masjid lain," usul Bu Pardi.
    "Ya, kita suruh pindah saja. Lagi pula dia sekarang kerjanya cuma tidur saja, mlungker seperti gendon," kata yang lain.
    "Apa tidak kasihan dia?"
    "Kasihan bagaimana? Kita sendiri sedang kekurangan makan."
    "Salah kita, dulu kita sanggup memberi makan dia."
    "Sudahlah! Biar saya saja yang memberi makan," kata Bu Malik akhirnya.
    Akan tetapi, keputusan Bu Malik itu menimbulkan konflik tersendiri dengan suaminya. Pak Malik keberatan untuk menanggung seluruh kebutuhan hidup lelaki tunanetra itu. Bahkan, Pak Malik kemudian memutuskan untuk memindahkan Slamet ke masjid lain.
    Sore itu, Pak Malik bermaksud 'membuang' Slamet ke luar kampung. Ia mengambil sepedanya untuk memboncengkan lelaki itu. Akan tetapi, begitu dia memegang stang sepedanya, tiba-tiba terdengar derum mobil yang berhenti di depan masjid. Sesaat kemudian, derum itu mengeras dan lenyap tiba-tiba.
    Pak Malik cepat-cepat memburu suara itu, tetapi tidak menemukan apa-apa di depan masjid. Dengan penasaran dia lantas menengok ke dalam masjid. Tidak ada siapa-siapa. Slamet, yang biasanya tidur di serambi masjid, juga tidak kelihatan lagi. Ia lantas mencarinya ke seluruh sudut masjid, WC, kamar mandi, dan tempat wudu. Tetap saja lelaki itu tidak ditemukan.
    "Bu, Slamet hilang!" teriak Pak Malik.
    Bu Malik pun segera ikut mencari Slamet, begitu juga orang-orang sekitar masjid. Bahkan, mereka juga mencarinya ke seluruh sudut kampung. Slamet tetap tidak ditemukan. Juga tidak ditemukan jejak ban mobil di depan masjid, padahal tanah di depan masjid basah karena baru saja turun hujan – hujan yang juga aneh karena tiba-tiba turun di tengah musim kemarau. Mereka makin terheran-heran ketika kemudian menemukan pesan Slamet tertulis pada selembar kertas yang tergeletak di pintu masjid:
    Bapak-Ibu tidak perlu repot-repot memikirkan makan saya lagi. Juga tidak perlu susah-susah memindahkan saya ke masjid lain. Sebab sang Gendon kini telah berubah menjadi Kwangwung. Dengan sayapnya kini sang Kwangwung terbang ke langit. Selamat tinggal. (Slamet)
    Warga kampungku semakin yakin bahwa lelaki tunanetra itu benar-benar wali tiban yang raib kembali karena tugasnya di masjid kampungku telah selesai.

Yogyakarta, 22 Maret 1992

*Cerpen ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Juni 1992, dan memenangkan juara harapan Suara Merdeka Awards ‘92.
Baca Lengkapnya....

LEK WAR

Semua warga kampungku yakin, lelaki bujang berusia 30 tahun itu buta. Matanya memang terbuka. Setiap orang yang menatapnya pasti hanya akan menangkap bulatan berselaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Namun, lelaki yang biasa dipanggil Lek War itu tidak pernah sedetikpun merasa buta. Dalam dirinya ada suatu keyakinan bahwa dunia ini memang gelap dan serba hitam.
    Ia sudah amat sering mendengar cerita ataupun penjelasan dari ayah-ibunya, saudara-saudara, dan para tetangganya tentang wajah dunia yang sebenarnya: tentang matahari yang bagai pijar panas menyilaukan, tentang laut dan langit yang berwarna kebiruan, tentang pohon-pohonan yang berdaun hijau, tentang kulitnya yang coklat kehitaman, tentang kucingnya yang berkaki empat dan berbulu putih kecoklat-coklatan, dan tentang apa saja yang ada disekelilingnya.
    Tapi, Lek War sama sekali tidak percaya itu semua. Ia menganggap semua itu hanyalah bayangan-bayangan mereka saja. Sama seperti ketika dia membayangkan nasi hangat yang dimakannya setiap hari berwarna merah kekuning-kuningan, telapak tangannya biru kehijau-hijauan, atau air kamar mandinya berwarna merah kecoklatan. Ia amat yakin yang ada hanyalah kegelapan. Dalam kegelapan itulah dia menganggap setiap orang bebas membayangkan bentuk dan warna apa saja tentang benda-benda yang dikenalnya sesuka hatinya. Orang bebas membayangkan telapak tangannya berwarna merah atau hijau, kakinya coklat atau biru, dan kepalanya hitam atau putih.
    Dengan keyakinan pada kemampuan penglihatannya itu Lek War merasa bisa bebas bergerak ke manapun tanpa bantuan orang lain. Ia juga sangat yakin mengenal bentuk setiap margasatwa dan liku-liku lingkungan di sekelilingnya melalui rabaan tangannya. Dengan keyakinan dan cara itulah dengan sangat cepat dia bisa mengenal keadaan dan hampir semua benda di rumahnya, bahkan situasi di sekitar rumahnya. Kemampuan ini membuatnya semakin yakin bahwa dirinya memang benar-benar tidak buta. Oleh karena itu, tiap pergi ke mana pun dia tidak mau dibimbing oleh siapa pun.
    "Anwar, kau harus diantar adikmu agar tidak tersesat, agar tidak menabrak-nabrak," kata ibunya ketika Lek War pamit untuk pergi ke masjid yang terletak sekitar dua ratus meter di seberang kampungnya.
    "Tidak usah, Bu. Aku sudah sering ke sana. Aku bisa berjalan sendiri," jawab Lek War yakin.
    "Lho, kamu ini buta, Anwar. Banyak parit dan selokan yang harus kamu lewati. Kalau kamu kecebur selokan, bagaimana?"
    "Ibu ini bagaimana? Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku ini tidak buta. Aku seperti ibu dan adik-adik. Aku bisa melihat masjid itu. Bisa melihat selokan. Bisa melihat semuanya. Sudahlah! Ibu jangan terlalu khawatir. Aku bukan anak kecil lagi!"
    "Ya sudah kalau tidak mau diantar. Tetapi pakailah tongkat ini untuk membantu perjalananmu agar tidak kecemplung selokan."
    "Wah, apalagi pakai tongkat, Bu. Aku malu. Apa memangnya aku sudah kakek-kakek, harus pakai tongkat segala. Aku kan masih muda. Lihat ini, aku belum bungkuk. Aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan dengan tegap," jawab lelaki buta itu sambil menegakkan tubuhnya. "Tongkatnya saya kempit saja, Bu," kata Lek War akhirnya setelah sang ibu berhasil memaksanya agar dia selalu membawa tongkat kayu bulat itu.
    Dengan langkah tegap sambil mengempit tongkat, Lek War pun berangkat menuju masjid di seberang kampung. Anak-anak kecil yang melihat segera menguntit dan menggodanya. Mereka tahu persis bahwa lelaki yang biasa mereka panggil Lek War itu paling marah kalau dikatakan atau disindir bahwa dirinya buta. Namun, mereka justru senang memancing kemarahan lelaki itu.
    "Lek War, sore-sore begini mau ke mana?" tanya seorang anak.
    "Saya tuntun ya, Lek War," kata yang lain sambil menggandeng pergelangan tangan lelaki itu.
    "Apa? Dituntun? Memangnya saya tidak bisa jalan sendiri! Memangnya saya ini buta!" jawab Lek War agak marah sambil melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman anak itu.
    "Banyak selokan lho, Lek War. Nanti kalau kecebur bagaimana?" anak itu menggoda lagi.
    "Apa? Kecebur selokan? Memangnya saya ini tidak bisa melihat selokan?"
    "Lho, Lek War sudah melihat selokan, ya? Selokan itu apa toh, Lek?"
    "Selokan itu kan tanah yang banyak rumputnya, toh?"
    "Wah, Lek War ngawur. Selokan itu yang banyak airnya, bukan banyak rumputnya."
    "Lha iya. Maksudku tadi ya banyak airnya. Tapi, kan banyak rumputnya juga toh?"
    "Benar juga, Lek. Di tepi selokan memang banyak rumputnya. Lek War ternyata pintar juga."
    "Memangnya kalian saja yang pintar. Sudah sana, kalian pulang saja. Jangan mengikuti aku terus. Nanti bisa-bisa aku dikira tukang topeng monyet! Kalau ada yang nanggap, apa kalian mau jadi monyetnya?!"
    “Wah, Lek War ngeledek. Masak kita disuruh jadi monyet!” sahut anak-anak.
    “Lho, jadi monyet kan enak, ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas!” timpal Lek War lagi.
    “Ngawur, Lek War! Masak, monyet ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas pula. Memangnya Lek War pernah melihat monyet?”
     “Sering! Aku sering melihat monyet pakai dasi dan jas kok!’’
     “Seperti apa?”
     “Ya kira-kira seperti kamulah!”
     “Lek War ngawur! Yang ke mana-mana naik mobil mewah, dan selalu pakai jas dan dasi itu konglomerat! Bukan monyet!’’
     “Jadi, monyet itu beda ya dengan konglomerat?”
     “Beda, Lek!”
     “Tapi, sama-sama suka merebut makanan orang lain, kan?”
     “Yang suka merebut makanan orang itu monyet, bukan konglomerat!”
     “La iya, sama, kan!”
     “Dasar…!”
     Sambil asyik berdebat dengan anak-anak, Lek War terus berjalan dengan langkah mantap lurus ke arah barat. Namun, baru berjalan sekitar lima puluh meter dia tercebur masuk selokan yang cukup dalam dan penuh air. Rupanya dia lupa bahwa jalan itu berbelok dan di tepinya ada selokan yang cukup lebar dan dalam.
    Kurang ajarnya, anak-anak tidak memperingatkan Lek War tentang adanya selokan itu. Mereka malah tertawa ngakak melihat Lek War terjerembab. Mereka segera mendekatinya untuk memberikan pertolongan sambil melihat reaksi lelaki itu. Tapi, dengan kepercayaan penuh pada kemampuannya sendiri, Lek War buru-buru bangkit dengan seluruh tubuh basah kuyup.
    "Lha, itu namanya selokan, Lek War," goda anak-anak.
    "Lha iya. Siapa bilang ini lapangan bola? Benar, kan, banyak airnya?"
    "Benar, Lek! Tetapi kenapa Lek War masuk selokan? Nggak melihat ya, Lek?"
    "Wah, kalian ini kok tidak tanggap. Saya kan memang mau mengukur dalamnya selokan ini dengan tongkat saya. Ternyata cukup dalam, ya? Lihat ini tongkat saya basah sampai ke pangkalnya. Tubuh saya juga ikut basah."
    "Wah, Lek War ini bagaimana toh? Sudah jelas-jelas kecebur selokan masih mungkir juga. Makanya, kalau dituntun jangan menolak!"
    "Kalian kok tidak percaya toh? Saya ini tidak kecemplung, tetapi memang sengaja menceburkan diri untuk menjajaki kedalaman selokan ini. Anak kecil jangan suka ngeyel toh!"
    Lelaki buta itu kemudian mencoba naik kembali ke jalan. Anak-anak itu membantunya dengan menarik tangan Lek War. Kali ini dia tidak menolak bantuan tersebut. Anak-anak juga membantu mengambilkan sandal jepitnya dan memasangkan di kakinya. Ia mulai tampak menggigil kedinginan karena hampir seluruh tubuhnya basah kuyup. Untung selokan itu tidak berisi air comberan, melainkan air irigasi untuk mengairi puluhan petak sawah di sebelah selatan kampungnya.
    "Pulang saja dulu, Lek War. Ganti pakaian dulu, nanti masuk angin," saran anak-anak itu.
    Kali ini Lek War menurutinya. Ia berjalan pulang ke rumahnya, tetap tidak mau dituntun. Bahkan, ditemani jalanpun ia tidak mau. Ia melangkah tegap dan mantap sendirian sambil mengempit tongkatnya seperti seorang pejabat militer yang sedang menginspeksi pasukan.
  Beberapa saat kemudian anak-anak menyadari bahaya baru mengancam Lek War. Arah jalannya tidak lurus ke rumahnya lagi, tetapi melenceng beberapa derajat ke kiri.
    "Lek War, awaaas! Menabrak pohon!" teriak anak-anak itu.
    Terlambat. Lelaki itu benar-benar manabrak pohon asam besar di tepi jalan. Ia terjatuh ke sisi pohon. Cepat-cepat ia berdiri dan merangkul pohon tersebut, bahkan kemudian memeluk pohon itu dengan kedua tangannya. Anak-anak kampung yang melihatnya tertawa dan segera merubungnya.
    "Lek War gimana toh? Wong jalan kok nabrak pohon?" goda anak-anak itu.
    "Nabrak dengkulmu! Aku hanya mau mengukur besarnya pohon ini dengan tanganku. Kalian tidak tahu ya. Pohon ini dulu yang menanam aku bersama bapakku, ketika aku masih kecil. Aku ingin tahu sekarang besarnya sudah seberapa."
    Sambil menutup keningnya yang sedikit terluka dan benjol akibat benturan itu dengan telapak tangan kirinya, Lek War berjalan lagi ke arah rumahnya. Anak-anak kampung mengikuti di belakangnya. Kali ini Lek War membisu saja, hanya sesekali tampak meringis kesakitan sambil memijit-mijit keningnya.
                             ***
    Semakin sering Lek War pergi ke luar rumah semakin sering dia mengalami kecelakaan yang menyedihkan sekaligus menggelikan. Hampir tiap hari ada-ada saja tragedi kecil yang menimpanya: tercebur selokan, tercebur ke sawah penuh lumpur, menabrak orang lewat, menabrak pagar, menabrak pohon, menabrak tiang listrik, menabrak orang yang sedang jongkok buang air besar di tepi selokan, tertabrak sepeda, terpeleset kulit pisang, digigit kucing karena menginjak ekornya, dan bahkan pernah menabrak penjual es dawet sampai dagangannya tumpah ruah di jalan.
    Namun, Lek War tidak kapok untuk tetap keluyuran kemana-mana dan tetap ngotot untuk berjalan sendiri dengan langkah tegap sambil mengempit tongkatnya. Hingga pada suatu hari warga sekampungnya geger karena tiba-tiba lelaki buta itu lenyap dari peredaran. Mula-mula ibunya yang dibuat kaget. Ketika terbangun pada dinihari dia sudah tidak melihat Lek War di tempat tidurnya, di ruang tengah rumah. Padahal, biasanya dia masih meringkuk di sana dan baru bangun sekitar pukul setengah lima pagi untuk mengumandangkan azan subuh di musala depan rumahnya.
    Bukan kebiasaan Lek War untuk keluyuran pada malam hari dan dinihari. Aktivitasnya di luar rumah selalu dimulai pada waktu subuh dengan menjadi muazin di musala kecil itu. Oleh karena itu, Mbok Partinah -- wanita kurus tua yang melahirkan Lek War --merasa terkejut dan agak cemas. Apalagi malam itu hujan deras. Ia segera mencarinya di kamar mandi, di WC, di dapur, di kolong tempat tidur, dan di lumbung padi. Siapa tahu dia ngelindur dan tersesat ke lumbung, pikirnya. Mbok Parti juga mencarinya di musala, gardu ronda, dan semua tempat yang biasa dipakai untuk nongkrong anaknya. Akan tetapi, ia tidak menemukan anaknya yang buta itu.
    Dengan tergopoh-gopoh wanita tua itu kembali ke gardu ronda dan membunyikan kentongan yang tergantung di terasnya keras-keras sambil berteriak "Tolong! Tolooong! Anakku hilang! Anakku hilaaang!"
    Beberapa saat kemudian orang kampung berbondong-bondong ke gardu ronda. Mereka mengerumuni Mbok Parti yang masih terus memukul kentongan keras-keras sambil berteriak-teriak histeris.
    "Ayo kita cari Lek War!" teriak seorang pemuda tiba-tiba di tengah kerumunan itu.
   “Ayo kita cariii!”
   Seperti dikomando, orang-orang kampung pun segera berpencar mencari Lek War. Mereka melacak lelaki buta itu ke seluruh sudut kampung. Bahkan, ke kuburan, selokan-selokan, sawah-sawah, dan sepanjang tanggul sungai yang sedang banjir.
    "Saya menemukan sandal di tepi kali! Jangan-jangan ini sandal Lek War! Jangan-jangan Lek War tenggelam di kali dan terseret banjir!" teriak seseorang tiba-tiba sambil menenteng sebuah sandal jepit yang putus talinya dan berjalan buru-buru ke arah beberapa orang yang masih mengerumuni Mbok Parti di gardu ronda. Begitu sampai dia langsung memperlihatkan sandal jepit itu pada Mbok Parti.
    "Ya, ini sandal anak saya," sahut wanita tua itu dengan nada sangat terkejut. "Anwar pasti hanyut di kali!"
    "Lek War hanyut di kali!" teriak yang lain ikut terkejut.
    "Tolong! Tolong! Anakku hanyut di kali! Tolooong! Tolooong!" teriak wanita itu lebih histeris sambil bangkit dan memukul kentongan lebih keras lagi.
    Orang-orang segera berbondong-bondong menuju tanggul sungai yang melintas di sebelah utara kampung itu. Kemudian, dengan bantuan petromaks, lampu senter, dan obor, mereka menyusur kali mencari Lek War. Beberapa orang yang pandai berenang langsung melepas pakaian dan mencebur ke kali. Dengan bantuan tali mereka menyelam ke dasar kali di sekitar tempat ditemukannya sandal jepit Lek War.
    Sampai matahari terbit, pencarian terhadap Lek War terus dilakukan. Beberapa polisi setempat juga sudah datang untuk ikut membantu pencarian. Bahkan, satu regu SAR Brimob dari kota juga ikut sibuk menyusur kali dengan perahu karet, tali panjang, dan peralatan selam. Seakan-akan pagi itu semua orang mencurahkan seluruh perhatian, daya, dan tenaganya untuk mencari Lek War. Hampir sepanjang tanggul sungai itu dipenuhi manusia. Semuanya mencemaskan nasib Lek War.
    Di puncak kecemasan Mbok Parti, ketika orang-orang mulai kelelahan mencari Lek War dan air banjir di kali itu sudah agak surut, tiba-tiba bayangan Lek War muncul di ujung jalan bagian timur kampung.
    "Itu Lek War!" teriak seseorang.
    "Itu Lek War!" teriak yang lain.
    ”Ya, itu Lek War!”
    Orang-orang pun berbondong-bondong ke arah Lek War yang sedang berjalan tegap dan mantap lurus ke rumahnya sambil mengempit tongkatnya, layaknya seorang komandan yang baru kembali dari medan perang yang dimenangkannya. Orang-orang langsung mengerumuninya.
    "Dari mana, Lek War?!" tanya orang-orang bagaikan koor.
    "Nonton wayang," jawab lelaki buta itu sambil nyengir dan terus berjalan tegap menuju rumahnya, tanpa mempedulikan orang-orang kampung yang mencemaskannya.
    Malam itu memang ada pergelaran wayang kulit semalam suntuk di kampung seberang, sekitar satu kilometer dari rumah Lek War.
    "Wong edan!" gerutu orang-orang kampung sambil ngeloyor pulang ke rumah masing-masing. Kali ini mereka merasa 'dikerjai' oleh lelaki buta itu.

Yogyakarta, 1992           

* Cerpen ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 10 Oktober 1992.
Baca Lengkapnya....

MATI TERTAWA

Lurah KRT Durna Diningrat merencanakan sesuatu yang aneh. Ia akan melarang warganya tertawa. Semua tontonan di desa yang bisa membuat para penontonnya tertawa pun akan dilarang. Ia akan membersihkan desanya dari lelucon-lelucon macam apa pun. Pokoknya, dia menginginkan desanya, Desa Konglorejo, bersih dari suara tawa yang dianggapnya mulai berbau subversif. Sekdes Raden Sastropetruk sangat terkejut ketika diminta lurahnya agar membuatkan eska larangan tertawa itu.
    Sastropetruk termenung sesaat sambil memandangi tubuh lurahnya yang sedang berjalan lamban meninggalkannya seperti seekor kerbau kekenyangan. Ia pandangi pantat lurahnya yang tepos dan pinggangnya yang hilang ditelan lemak perutnya yang gendut. Ia kemudian menatap secarik kertas di tangannya yang berisi perintah tertulis dengan tulisan tangan agar secepatnya membuatkan eska itu. Ia segera menyadari bahwa eska itu sangat penting dan mendesak, juga mengandung pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pribadi, sehingga lurahnya memerlukan datang sendiri padanya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak paham, mengapa tiba-tiba lurahnya akan melarang warganya tertawa.
    “Maaf, Pak Lurah, saya belum berhasil merumuskan alasan yang tepat mengapa tertawa dilarang dan dianggap subversif,” kata Sastropetruk keesokan harinya ketika menghadap.
    “Kamu ini bagaimana? Begitu saja tidak bisa!”
    “Masalahnya bukan hanya soal bisa atau tidak bisa, Pak! Tetapi, kita kan perlu memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada warga desa kita agar mereka benar-benar paham kenapa tertawa dilarang dan dianggap subversif!”
    Sastropetruk menanggapi lurahnya dengan nada tinggi dan agak emosional. Tampaknya, tanpa disadarinya, kedongkolannya pada lurahnya yang sudah lama berdenyut-denyut di dalam dadanya meledak saat itu. Semalaman dia memang tidak bisa tidur. Kepalanya pusing mencari rumusan tentang hubungan antara tertawa dan subversif. Stabilitas emosinya menjadi terganggu.
    “Coba jelaskan dulu, Pak, tertawa subversif itu yang bagaimana?”
    Lurah Durna tidak menjawab. Akan tetapi, tiba-tiba dia meringis kesakitan sambil mendekap rahang kanan dan kirinya dengan kedua telapak tangannya. Sastropetruk menjadi ingat bahwa lurahnya sangat alergi pada suara keras, suara orang marah, bentakan dan tawa yang terlalu keras. Penyakit gigi dan darah tingginya bisa kambuh seketika karena itu. Ia teringat peristiwa yang terjadi di balai desa dua minggu yang lalu ketika diadakan festifal dagelan se-pedesaan. Ada satu kelompok peserta yang kelucuannya benar-benar luar biasa, sehingga seluruh penonton tertawa terbahak-bahak sampai menggetarkan daun-daun pintu dan jendela-jendela balai desa. Ketika itulah, tiba-tiba lurah Durna berdiri sambil mengaduh keras dan mendekap rahangnya, lalu sempoyongan dan jatuh terkapar di tengah-tengah penonton.
    Sastropetruk segara menduga, barangkali karena peristiwa itulah lurahnya bermaksud melarang warganya tertawa. Akan tetapi, dia menjadi ngeri membayangkan, bagaimana kalau penyakit lurahnya semakin parah dan alergi terhadap suara apa pun. Ia tidak tahu apakah warganya juga akan dilarang mengeluarkan suara apa pun, termasuk menyanyi, bersiul, batuk-batuk dan berbicara. Bagaimana jadinya suasana desanya nanti. Desa yang semula penuh senyum dan tawa, penuh tegur sapa keramahan, tiba-tiba sunyi dan berubah menjadi desa yang penuh dengan orang-orang gagu.
    Sastropetruk keluar dari ruang kerja lurah, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Selama hampir satu jam dia merenung, tetapi tetap tidak sanggup membuat konsep eska larangan tertawa itu. Ia tidak berhasil merumuskan alasan yang masuk akal, yang menurut perhitungannya bisa diterima oleh warganya. Kepalanya malah pusing tujuh keliling. Akhirnya, dia pulang sebelum jam kerja habis, tanpa pamit pada lurahnya. Sampai di rumah dia langsung mengurung diri di dalam kamar. Esok harinya dia bolos tidak masuk kantor. Begitu juga esoknya, dan esoknya, sampai seminggu lebih.
    Sastropetruk kemudian merasa benar-benar terkejut. Ternyata eska larangan tertawa telah beredar. Eska itu telah dikirimkan ke setiap ketua erte di Desa Konglorejo. Banyak warganya yang mulai ribut, mengganggap larangan tertawa itu tidak masuk akal. Beberapa warga datang ke rumah Sastropetruk menanyakan kejelasan  eska larangan tertawa itu. Sastropetruk sangat terkejut melihat tanda tangannya telah dipalsukan pada eska itu. Tanda tangannya tertera jelas di kanan bawah eska itu. Padahal dia tidak pernah membuat dan menandatangani eska semacam itu.
    Ia buru-buru datang ke rumah ketua erte untuk mencegah agar eska itu tidak diumumkan dulu pada warga. Dia bermaksud melacak dulu siapa yang telah memalsukan tanda tangannya. Akan tetapi terlambat, ketua ertenya sudah terlanjur mengumpulkan warganya dan mengumumkan isi eska itu. Bahkan setiap kepala keluarga telah membawa pulang satu lembar fotokopi eska larangan tertawa itu. Sastropetruk buru-buru ke kantor kelurahan dan langsung menghadap lurahnya.
    “Pak Lurah ini bagaimana? Mengapa tanda tangan saya dipalsukan?”
    “Saya keburu pusing menunggumu. Disuruh membuat eska malah menghilang. Tidak ada jalan lain, saya suruh Kaur Kesra membuat dan memalsukan tanda tanganmu.”
    “Tetapi, mengapa tidak Bapak tanda tangani sendiri?”
    “Sejak semula sudah kukatakan, konsep eska pelarangan dan penjelasannya merupakan tanggung jawabmu, tetapi kau malah menghilang. Sudahlah. Relakan saja tanda tangan palsumu itu.”
    “Tetapi, bagaimana saya harus menjelaskan pada warga jika mereka bertanya tentang alasan larangan tertawa itu? Saya belum menemukan alasan paling pas. Saya khawatir, mereka akan bereaksi di luar perhitungan kita.”
    “Dikarang sajalah. Cari alasan yang kira-kira pas. Asal penyakit gigiku jangan dibawa-bawa.”
                ***   

     Benar juga dugaan Sastropetruk. Eska larangan tertawa itu cukup mengganggu stabilitas warga Konglorejo. Keresahan mulai muncul di mana-mana. Eska baru itu menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, dari atas tempat-tempat tidur sampai tempat-tempat kerja, dari warung-warung kaki lima sampai restoran-restoran kelas menengah, dari ranjang pelacur pinggir jalan sampai ranjang wanita panggilan. Para seniman segara mengadakan pertemuan khusus, sementara para gali, pencopet, pelajar dan mahasiswa segara melakukan unjuk rasa. Mereka berkumpul di depan kantor kelurahan.
    Selama hampir tiga jam para pengunjuk rasa itu dibiarkan duduk di atas rumput halaman depan gedung tua kantor kelurahan itu. Merasa tidak ditanggapi, emosi anak-anak muda pengunjuk rasa itu meluap. Seperti dikomando, tiba-tiba secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak sekeras-kerasnya. Tiba-tiba pula seseorang melemparkan batu ke kaca jendela kantor itu, “Pyarr!” kaca itu pun pecah berantakan. Seperti terpancing yang lain meledakkan kejengkelannya. Batu-batu, sandal, sepatu, botol minuman, dan apa saja yang ada di sekitar mereka tiba-tiba berhamburan menghantam kaca jendela serta pintu kantor tua itu.
   Lurah Durna, Sekdes Sastropetruk, dan semua aparat kelurahan itu segera berlindung di balik meja. Tiba-tiba Lurah Durna mendekap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, lalu mendekap rahangnya sambil mengaduh keras, lantas pingsan. Untung aparat keamanan segera turun tangan. Unjuk rasa itu dibubarkan. Sepuluh pemuda sempat ditangkap dan dimintai keterangan. Lurah Durna sendiri dan Sekdesnya sekeluarga diungsikan ke desa tetangga sampai situasi dianggap aman kembali.
    Kursi kepemimpinan desa menjadi kosong, dan dalam kekosongan inilah gejolak warga Konglorejo terus berkembang. Para cendikiawan, mahasiswa, seniman, budayawan, ulama, dan pastor berkumpul membahas hubungan antara tertawa dan subversif. Akhirnya, mereka mengambil suatu keputusan yang sangat controversial, bahkan dari kacamata ideologi bisa dianggap sangat ekstrem dan radikal, yakni membalik logika tertawa.
    “Kita selama ini sebenarnya hanya diperalat oleh sense of humor kita saja. Sebenarnya kita bisa saja bersikap sebaliknya, yakni bersikap serius terhadap hal-hal yang lucu dan tidak menertawakan segala macam humor. Sebaliknya, kita menertawakan hal-hal yang serius. Logika kita tentang tertawa sebaliknya kita balik saja secara total. Kita anggap segala macam dagelan dan humor sebagai sesuatu yang serius. Sebaliknya, menganggap segala yang serius dan doktriner, yang kultural edukatif, yang mengerutkan dahi, yang kontemplatif, atau apalah istilahnya, sebagai sesuatu yang menggelikan dan patut ditertawakan,” kata Robert Tukul, cendikiawan yang memimpin pertemuan itu, yang kebetulan baru saja meneliti hubungan antara tertawa dan logika manusia.
    Forum tampaknya menyetujui gagasan kontroversial itu. Mereka sepakat untuk membalik logika tertawa. Mereka bahkan akan menganggapnya sebagai bagian mendasar suatu gerakan budaya untuk menyehatkan kembali iklim keterbukaan dan demokrasi di desa tersebut. Kesepakatan itu kemudian dimasyarakatkan sampai ke tingkat erte. Dalam waktu singkat, semua warga Konglorejo pun menerima dan memahami gagasan itu. Bahkan, mereka bertekad untuk mengamalkannya.
    Karena segala macam lelucon tidak lagi mengundang tawa, orang akhirnya enggan melakukannya. Melucu, baik di pinggir jalan, di warung maupun di panggung dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia. Begitu pula segala macam nasihat, indoktrinasi, debat, diskusi, renungan, dan segala macam pembicaraan serius juga tidak dilakukan orang, karena hanya akan ditertawakan dan dianggap sia-sia. Desa Konglorejo benar-benar bersih dari suara tawa sekaligus bersih dari suasana serius. Suasana pergaulan terasa mengambang: lucu tidak, serius juga tidak.
    Bersihnya Konglorejo dari suara keras tawa itu dianggap merupakan kondisi paling aman bagi Lurah Durna dan Sekdesnya untuk kembali memegang tampuk pemerintahan. Untuk kembali merangkul para seniman dan menarik simpati para budayawan serta cendikiawan, Lurah Durna merencanakan pementasan ketoprak yang dari awal sampai akhir penuh nasihat-nasihat dan dikemas secara sangat serius. Ia ingin menunjukkan pada warganya bahwa itulah kesenian yang paling kultural edukatif. Sutradara pilihan dan sejumlah pemain andalan dilibatkan dalam pementasan. Di luar dugaan, balai desa tempat ketoprak itu digelar penuh sesak. Hampir semua warga ingin menyaksikan paket kesenian tersebut.
    Adegan pertama yang penuh dengan nasehat pun dimulai. Anehnya, hampir semua penonton, kecuali Lurah Durna, tertawa terbahak-bahak. Padahal, tidak ada satu adegan pun yang lucu. Lurah Durna bingung. Ia segera berdiri dan mencari sesuatu yang menjadi sasaran tertawaan orang. Akan tetapi, begitu dia berdiri tawa hadirin semakin membahana. Bahkan, deretan penonton di belakangnya sampai terpingkal-pingkal. Lurah Durna merasa dialah yang ditertawakan. Ia tidak tahu bahwa logika tertawa warganya telah terbalik. Ia mulai merasa tersinggung. Kepala dan giginya mulai terasa senut-senut. Sambil mendekap rahangnya, dia berjalan sempoyongan menuju mimbar yang terletak di sebelah kiri panggung. Ia bermaksud memarahi warganya.
    Begitu Lurah Durna sampai di mimbar, justru dia tertawa terbahak-bahak melihat konde palsu salah seorang pemain ketoprak copot dan menggelinding dari panggung menuju penonton, sementara pemiliknya jatuh terjerembab ketika bermaksud menangkap konde yang menggelinding cepat itu. Tawa Lurah Durna pun makin membahana bagai tidak terbendung. Bersamaan dengan itu, tawa penonton justru berhenti. Mereka bersikap serius sambil memandang lurah dan pemain wanita itu sacara bergantian dengan kening berkerut.
    Melihat penonton bersikap berlawanan dengan dirinya, Lurah Durna makin tersinggung. Namun, karena perasaan gelinya, ledakan tawanya benar-benar tidak bisa dibendung. Antara rasa geli dan marah akhirnya berbaur menjadi satu dalam dirinya. Ini justru membuat kepalanya semakin senut-senut dan sakit giginya terasa makin menggigit. Ia lalu berjalan sempoyongan meninggalkan mimbar seperti orang mabuk berat, sambil terus tertawa dan mengacungkan tangannya ke arah tubuh pemain wanita yang terjerembab itu.
   Tiba-tiba kaki sang lurah terperosok di anak tangga. Ia pun terjerembab keras. Dahinya membentur lantai semen. Aparat desanya segera menghambur ke arahnya. Mereka membalik tubuh lurahnya. Mereka meraba detak jantungnya. Detak jantung Lurah Durna sudah berhenti. Akan tetapi mulutnya masih tetap menganga seperti orang tertawa. Rupanya lurah yang membenci tawa itu justru mati sambil tertawa.

Yogyakarta, Februari 1991
*Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 3 Februari 1991
Baca Lengkapnya....

LEHER

Sejak membeli pesawat tivi, keluarga Barjo terserang penyakit aneh. Leher mereka seperti terganjal besi yang menegang dari pangkal tulang tengkorak sampai ke pangkal dada. Mereka terpaksa selalu mendongakkan kepala ke atas. Kepala mereka tidak bisa lagi ditundukkan ke bawah, ke depan, ke kanan, dan ke kiri. Mereka hanya bisa diam atau menggeleng sambil tetap mendongak ke langit.
    “Ini gara-gara Bapak memasang tivi di atap rumah,” kata Surti, putrinya, sambil terbatuk-batuk sehabis menuangkan minuman ke mulutnya.
    “Lalu harus di pasang di mana?” sahut Pak Barjo di bawah kepulan asap rokoknya dengan mata terpejam-pejam karena pegal. ”Dulu ketika akan kuletakkan di ruang tamu, kalian menolak. Katanya, belajar kalian terganggu. Lalu ketika akan kutaruh di ruang tengah, kalian juga protes. Katanya, mengganggu tidur. Lantas di mana? Rumah kita kan Cuma terdiri tiga ruangan ini,” sambungnya.
    “Tapi, ya jangan di atap, Pak. Masa tiap hari kita harus mendongak ke atas. Ini akibatnya. Kepala kita tidak bisa dikembalikan seperti semula. Mendongak ke atas terus. Ini lebih mengganggu belajar saya, Pak. Bahkan saya tidak dapat lagi belajar dengan baik, karena tangan saya tidak tahan harus secara terus-menerus mengangkat buku ke atas dan menghadapkannya ke bawah untuk dapat saya baca,” lanjut Surti sambil menuang lagi teh hangat ke mulutnya. Akan tetapi, karena kurang hati-hati, teh itu tertuang semua sehingga mbludak masuk ke hidungnya. Surti terbatuk-batuk keras, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya agar mulutnya bisa menghadap ke bawah dan teh itu tumpah ke lantai.
    Sejak sebulan yang lalu Surti memang tidak bisa lagi melihat ke bawah, apalagi melihat kakinya sendiri. Ini juga dialami Sutris, kakaknya. Sehingga, hampir setiap hari dia terbalik memasang sepatu atau sandal di kakinya. Bahkan, dia sering salah pasang. Kaki kiri memakai sandal merah, tetapi kaki kanan memakai sandal hijau. Repotnya lagi, kakinya tidak bisa lagi merasakan mana sandal mana sepatu. Sehingga pernah suatu hari teman-teman sekelasnya tertawa sampai terkencing-kencing gara-gara dia memakai sandal jepit dan sepatu secara bersama. Kaki kiri memakai sandal jepit, kaki kanan memakai sepatu.
                ***   

  Semula teman-teman Sutris dan Surti heran, kenapa tiba-tiba mereka selalu bergaya seperti Batara Narada, selalu mendongak ke atas. Ada yang menganggap mereka telah berubah menjadi congkak hanya karena ayah mereka telah membeli tv. Ada pula yang menduga, mereka terkena cultural shock gara-gara televisi. Baru setelah Surti dan Sutris mengajak mereka berkunjung ke rumahnya dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka paham bahwa keluarga Pak Barjo sedang terserang penyakit leher yang berat dan sulit disembuhkan.
    Perlakuan yang tidak kalah menyedihkan dialami Pak Barjo di lingkungan kantornya dan di dalam bus kota setiap akan berangkat ke kantor. Karena bus sering penuh, dia sering tidak bisa membungkukkan badannya untuk melihat ke depan dari dalam bus. Sehingga dia sering tidak tahu kalau bus yang ditumpangi telah jauh melewati kantornya, sehingga dia harus naik bus lagi berbalik arah menuju kantornya. Bahkan, dia sering kebablasan sampai ke terminal. Akibatnya, selain pengeluaran transportasinya naik tajam, dia juga amat sering terlambat masuk kantor.
    Sering pula Pak Barjo tanpa sengaja duduk di tempat duduk bus kota yang sudah ada penumpangnya, sehingga harus menerima dampratan yang menyakitkan. Bahkan, dia pernah dihajar seorang lelaki brewok gara-gara menduduki pangkuan istri lelaki itu tanpa sengaja. Ia langsung turun dari bus walau masih jauh dari kantornya. Akan tetapi, karena tergesa-gesa, begitu turun dari bus dia terjerembab masuk selokan.
    Banyak pula komentar miring dari teman-teman sekantornya. Ada yang meledek bahwa Pak Barjo terkena kutukan Tuhan karena terlalu sering menjilat atasannya, ada yang menyindir sebagai korban kecongkakannya sendiri, ada pula yang menilai sebagai korban ambisinya yang berlebihan sehingga tidak bisa lagi melihat ke bawah.
    “Mana mungkin saya punya ambisi menjadi direktur, wong ijasah saya saja cuma SD,” kata Pak Barjo membela diri. “Saya dan keluarga saya benar-benar terkena penyakit leher yang aneh ini,” tambahnya.
    Karena merasa kasihan, teman-teman Pak Barjo pernah membawanya ke ’bengkel manusia’ tempat praktik seorang dukun ahli tulang dan syaraf yang juga memiliki ilmu debus. Mula-mula leher barjo dikenteng dan kepalanya diluruskan. Akan tetapi, begitu tangan sang dukun dilepaskan, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas. Walau hal ini berulang kali dilakukan, selalu gagal. Saking jengkelnya, dia melepas kepala Barjo dan menyambung kembali sambil meluruskannya. Namun, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas.
    Barjo kemudian berobat kepada seorang dokter bersama anak dan istrinya. Dokter itu mengatakan bahwa mereka tidak sakit apa-apa. “Ini hanya soal kebiasaan, Pak. Hanya Bapak sendiri yang bisa mengobatinya dengan cara melawan kebiasaan itu,” kata dokter.
    “Kebiasaan bagaimana, Pak Dokter? Berani sumpah, sejak kecil saya tidak punya kebiasaan mendongak ke langit. Apalagi sampai menyuruh anak dan istri saya mengikuti kebiasaan buruk ini. Sejak tiga bulan yang lalu kami memang terpaksa nonton tivi tiap hari dengan mendongakkan kepala, karena tivi kami ditempatkan di atap rumah. Seminggu kemudian tiba-tiba leher kami seperti diganjal besi panjang. Kami tidak bisa lagi menganggukkan kepala. Kepala kami terus mendongak ke atas,” cerita Pak Barjo.
    “Nah, pasti tivi itu menjadi sumber penyebabnya. Sebaiknya dipindahkan saja, Pak. Jangan ditaruh di atas,” saran dokter.
    Sebelum memiliki tivi, keluarga Barjo memang normal-normal saja. Setidaknya, posisi kepala dan leher mereka. Mereka juga bukan tergolong keluarga yang congkak, karena memang tidak memiliki sesuatupun yang bisa dicongkakkan. Mereka tergolong keluarga miskin, keluarga pegawai rendah yang hanya menempati rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari tiga petak kecil. Karena itulah, setelah membeli pesawat tivi hitam putih 12 inci, mereka kerepotan untuk menempatkannya. Petak paling belakang sudah dipergunakan sebagai kamar tidur bersama istrinya, petak tengah untuk tidur kedua anaknya, sedang petak paling depan untuk ruang tamu sekaligus ruang belajar kedua anaknya.
    Ketiga petak kamar berukuran masing-masing 2x2 meter persegi itu pun sudah penuh berbagai barang. Teras belakang sudah dimanfaatkan untuk dapur darurat bersama tetangga belakang. Sedang kanan kiri rumahnya berhimpitan dengan rumah lain. Untuk mandi dan buang air, mereka memanfaatkan kamar mandi umum. Mereka memang tinggal di perkampungan yang kumuh dan sangat padat. Ruang yang masih agak kosong barangkali hanya teras depan yang berukuran sekitar 1x2 meter persegi. Namun, untuk menempatkan tivi di teras depan, dia takut kalau dianggap pamer oleh para tetangganya yang rata-rata bermulut usil. Akhirnya, Pak Barjo terpaksa menempatkan tivi itu di atap rumah dengan mengikatnya dan menghadapkan layar kacanya ke bawah. Tapi, akibatnya cukup fatal. Seluruh keluarganya terserang penyakit leher yang aneh itu.
    Bu Barjo barangkali yang bernasib paling buruk. Setiap pergi ke pasar hampir selalu dimaki dan diajak berkelahi dengan bakul-bakul pasar atau pengunjung lain, karena hampir selalu menabrak orang yang berpapasan dengannya. Suatu hari ia bahkan pernah menabrak bakul dawet sampai dawetnya tumpah ruah di tengah pasar. Bu Barjo sendiri terjerembab di atas tumpahan dawet itu, bertindihan dengan bakul dawet.
    Bu Barjo akhirnya menghindari kekonyolan-kekonyolan di pasar. Ia cukup berbelanja di warung tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Teman-teman sekolah Sutris dan Surti akhirnya juga bisa memahami keanehan yang menimpa mereka, begitu juga teman-teman kerja Pak Barjo. Bahkan, kru bus kota yang menjadi langganannya dan semua penumpang yang mengenalnya pun mulai memahami kelainan yang dideritanya. Mereka malah sering membantu Pak Barjo mencarikan tempat duduk yang kosong, menolongnya ketika naik dan turun dari bus, serta memberitahunya begitu bus yang ditumpanginya sampai di dekat kantornya.
    Anehnya, yang tidak mau memahami kelainan yang diderita keluarga Barjo justru para tetangga mereka. Hampir setiap hari mereka terlibat konflik serius dengan tetangga sendiri. Mereka juga selalu menjadi bahan pembicaraan yang nadanya selalu buruk. Karena itulah, justru di kampung sendiri mereka merasa seperti hidup di neraka.
    “Mereka kan cuma pura-pura saja tidak bisa menunduk. Masa hanya gara-gara nonton tivi bisa begitu,” Yu Tarmi membuka diskusi tentang keluarga Barjo di warung belanja Bu Parmin.
    “Barangkali hanya untuk menarik perhatian saja, Yu, agar kita tahu bahwa si Barjo itu telah membeli tivi,” sahut Mbok Kasmonah.
    “Bukan barangkali lagi, Yu. Memang iya!” Bu Parmin ikut-ikutan menimpali. “Coba saja bayangkan, Yu. Sudah berlagak mendongak begitu, masih suka nabrak-nabrak orang kalau berjalan. Kemarin saya hampir masuk selokan di depan itu gara-gara ditabrak Yu Barjo. Untung saja ada Dik Siyem yang cepat-cepat memegang tangan saya,” sambungnya sambil menunjuk selokan di tepi gang masuk ke warungnya.
    “Itu masih lumayan, Yu. Kepala saya dua hari yang lalu malah tersodok dengkulnya ketika saya sedang membungkuk membetulkan sandal jepit saya yang lepas talinya. Hampir saja saya tampar mukanya. Untung dia cepat-cepat merengek minta maaf,” cerita Mbok Kasmonah berapi-api.
    “Anak saya yang kecil tadi pagi juga menjadi korban tingkah si Barjo itu. Kakinya diinjak sampai menangis menjerit-jerit kesakitan. Coba bayangkan, Yu. Anak sekecil itu diinjak kakinya oleh orang sebesar Barjo. Sepatunya banyak pakunya lagi. Kaki anak saya sampai berdarah,” cerita Bu Parmi, tidak kalah emosionalnya. “Hampir saja Bapaknya anak-anak tadi berkelahi dengan si Barjo itu. Untung saja Pak RT segera datang melerai. Kalau tidak, mungkin leher si Barjo sudah dipuntir sama bapaknya anak-anak biar putus sekalian,” tambahnya sambil menggerakkan tangan menirukan seolah suaminya benar-benar memuntir leher Pak Barjo.
    “Wah, payah, ya, punya tetangga seperti itu. Hampir tiap hari bikin perkara.”
    “Bagaimana kalau kita usul saja sama Pak RT agar si Barjo dan keluarganya disuruh pindah ke kampung lain? Mereka di sini toh hanya kontrak. Saya dengar masa kontrak rumahnya juga hampir habis.”
    “Saya setuju itu.”
    “Kalau Pak RT tidak mau, kita usir saja ramai-ramai!”
    “Saya setuju!”
    “Saya juga setuju!”
 Ketika suhu pembicaraan di warung Bu Parmin semakin memanas, tiba-tiba terdengar jeritan anak kecil, disusul teriakan minta tolong … “Tolong! Tolong! Leher anak saya diinjak Pak Barjo! Tolong! Anak saya mau dibunuh! Tolong!”
    Diskusi di warung Bu Parmin pun bubar. Hampir seluruh warga kampung menghambur ke arah datangnya suara itu. Tampak Pak Barjo di tepi jalan sedang membopong anak kecil sambil duduk di tanah. Tangis anak itu telah berhenti. Tubuhnya terkulai, pingsan.
    Melihat orang-orang menghambur ke arahnya, Pak Barjo panik. “Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Tadi anak ini jatuh terpeleset dan secara tidak sengaja saya menginjaknya,” kata Pak Barjo pada ibu anak itu juga kepada orang-orang yang berdiri mengelilinginya.
    Ibu anak itu tidak menggubris kata-kata Pak Barjo. Ia merebut anaknya. Tiba-tiba anak itu siuman. Tangisnya meledak lagi. Kemarahan ibu itu tidak terbendung. Ia mencopot sandal plastiknya lalu memukulkannya ke kepala Pak Barjo. Ibu-ibu yang lain terpancing dengan kemarahan itu. Mereka menggebuki Pak Barjo beramai-ramai. Pak Barjo bangkit dan lari menuju rumahnya. Orang-orang pun terus memburunya.
    “Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak Pak Barjo.
    “Ayo! Hajar saja!”
    “Ampun! Ampun!”
    “Injak-injak saja lehernya biar lurus!”
    “Aduh! Tolong!”
    “Itu tivinya! Hancurkan saja sekalian!”
    Orang-orang kampung itu semakin kalap. Tivi 12 inci yang ditempatkan di atap rumah kecil itu ikut menjadi sasaran. Mereka merontokkan tivi itu dan menghancurkannya. Bu Barjo dan kedua anaknya juga ikut menjadi korban. Untung polisi segera datang. Pak Barjo, Bu Barjo, Sutris dan Surti segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang terlibat ‘main hakim sendiri’ itu diperiksa polisi. Lima orang ditahan dengan sangkaan menjadi penyulut peristiwa penganiayaan itu dan dianggap mengobarkan kebencian orang kampung terhadap keluarga Barjo yang malang.
    Anehnya, begitu pulang dari rumah sakit, leher mereka kembali normal. Tidak jelas penyebabnya, apakah karena telah diinjak-injak orang kampung, atau karena pesawat tivi penyebab penyakit leher itu sudah tidak ada lagi.

Yogyakarta, Maret 1991

* Cerpen ini memenangkan Suara Merdeka Awards 1992.
Baca Lengkapnya....

SEBUNGKUS NASI REFORMASI

Sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam menjerit kecil tergencet tubuh para demonstran yang roboh bertindihan di aspal jalanan. Peluru-peluru berdesingan menyusul serentetan suara tembakan yang membelah udara sore kota Jakarta.

‘’Awas nasinya, jangan sampai tumpah!’’ teriak seorang gadis kepada lelaki di depannya. Dalam posisi tiarap, ia sedikit mengangkat kepalanya. Sebutir peluru tiba-tiba mendesing, nyaris menyambar telinganya, dan sang gadis langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua lengannya.

Si lelaki, berjaket kuning kumal, sambil tetap bertiarap, menyelamatkan sebungkus nasi itu dari gencetan tubuh kawan-kawannya, lantas mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya. Tapi, sebutir peluru karet menyambar tangannya, sehingga bungkusan itu terpental ke tengah jalan raya. Dan, tragis sekali! Sepatu-sepatu tentara yang tebal dan berat menginjak bungkusan nasi itu, diikuti ratusan kaki demonstran yang cerai berai dirangsek satu resimen pasukan anti huru hara.

Sang gadis -- yang tangan kirinya kini diseret oleh seorang tentara -- sambil menunjuk-nunjuk kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu pun berteriak keras, ''Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang hampir mati kena sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!''. Tapi sang tentara tidak peduli pada kata-katanya, dan terus menyeretnya tanpa ampun.

Sepintas, ia pun sempat melihat, kawannya yang berjaket kuning kumal tadi, digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua tentara hingga terkapar, lalu dilempar ke dalam truk militer. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, “Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat, ini di lengan saya ada tanda palang merah!''

''Nggak bilang dari tadi!?! Diseret ikut aja! Memangnya enak ya diseret tentara? Brengsek!'' tentara itu melepas tangan sang gadis, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras, menjauh. ''Ambil tuh nasi kamu, udah jadi bubur diinjak-injak demonstran!''

Gadis itu sempoyongan, hampir terjatuh, menabrak serdadu yang lain, yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Khawatir akan diseret lagi seperti tadi, gadis itu langsung meminta maaf sambil membungkuk-bungkuk. ''Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka! Ini lihat tandanya!''

''Kopral, biarkan monyet jelek itu pergi!'' teriak tentara yang tadi menyeret gadis itu. Tampaknya ia salah seorang komandan lapangan. Sebenarnya, jengkel juga hati sang gadis dikatakan monyet jelek. Tapi, toh takkan ada gunanya kalau ia balik mengata-ngatainya.

Tentara yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya, dan terus melangkah lurus ke depan, ke arah para demonstran yang berhasil menjebol barikade aparat keamanan dan berlari ke arah gedung MPR, tanpa menoleh-noleh lagi, tanpa mempedulikan gadis itu, bagai robot-robot yang digerakkan oleh mesin otomatis yang dikendalikan dari jauh dengan remote controle.

Sang gadis lantas berjalan tertatih-tatih melawan arus massa. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo. Berkali-kali ia hampir menabrak arus massa, polisi dan tentara. Ia buru-buru menyelamatkan diri ke tepi, dengan mata tetap mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi.

Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi memang menjadi barang langka. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari warung tenda di depan stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, sang gadis berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi tadi.

Setelah berusaha keras sekitar seperempat jam, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Bungkusannya sudah gepeng, entah sudah diinjak oleh berapa ratus sepatu. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton tentara bergerak cepat melewati jalan tempat nasi itu tergeletak. ''Ya Ampuuun!'' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya, ketika melihat puluhan sepatu militer bergedebum menginjak-injak sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu.

Selewat tragedi  kecil tersebut, gadis yang di dadanya tertempel nama Hesti Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu, ingin memastikan apa yang terjadi dengan nasinya. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkusnya sama sekali tidak robek. Begitu juga kantung plastik hitam yang melindunginya.

Gadis itu tampak penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan nasi dan lauk-pauknya. Ia letakkan bungkusan gepeng itu di bibir pot bunga di tepi jalan. Dan, sambil duduk di bibir pot, pelan-pelan ia melepaskan karet pengikat bungkusan nasi itu. Dengan hati-hati pula ia membukanya, seperti seorang penjinak bom sedang melepas kabel-kabel bom waktu, seakan khawatir bungkusan itu akan meledak. Dan, begitu bungkusan tersebut terbuka, gadis itu lebih terbelalak lagi melihat telur rebusnya remuk, tahunya ringsek, sayur lodehnya lumat bersama sambal dan nasi. Benar kata tentara tadi, nasi itu telah menjadi bubur.

Sambil menyusupkan jari-jari tangan kirinya ke celah-celah rambut pendek di kepalanya, sang gadis memelototi nasi yang telah menjadi bubur itu. Pikirannya pun melayang kepada Dirwan, seorang pengunjuk rasa yang terkapar di salah satu sudut gedung MPR karena digerogoti sakit mag yang parah. ''Dirwan harus segera makan nasi dan obat agar sembuh. Nasi ini harus segera sampai padanya,'' gumamnya.

Ia lantas memeriksa bagian demi bagian nasi yang dibelinya di warung tenda di depan gedung TVRI Pusat itu, barangkali ada kotoran yang masuk. Setelah yakin seratus persen bersih -- yakin nasi itu belum tercemar kotoran sepatu tentara -- ia membungkusnya lagi, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam.
Gadis itu lantas berlari tertatih-tatih ke arah para tentara pergi memburu para demonstran. Tepatnya ke arah gedung MPR. Tapi, sebuah barikade berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa Panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.

Gadis itu tampak keder dan ragu-ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Dirwan, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali mengerang kesakitan. Tidak hanya obat anti mag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apapun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. “Jangan-jangan ia sudah pingsan,” pikirnya.
            ***

SUDAH tiga hari Dirwan menginap di gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang korup. Dan, saking bersemangatnya, ia lupa makan dan magnya pun kambuh. Sialnya, saat magnya kumat, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali mengerang-ngerang kesakitan. ''Tolong, carikan aku nasi dan obat mag. Jika tidak, aku bisa mati,'' rintih Dirwan sambil memegangi perutnya.

“Tenanglah, Dirwan. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu,” kata sang gadis ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran.

Ingat janji dan penderitaan sahabatnya itu, semangat gadis anggota PMI itu  berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang komandan PHH yang tadi ikut menyeretnya, dan minta agar diijinkan masuk ke komplek gedung MPR. ''Saya anggota PMI yang tadi, Pak. Lihat ini tandanya! Ada seseorang yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!'' katanya.

''Mau anggota PMI, mau anggota PMA, siapapun tak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini! Atau pengen diseret lagi kayak tadi?!'' jawab sang tentara, ketus.

''Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk?'' gadis itu merajuk lagi.

''Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak?'' kali ini sang tentara menodongkan senapan otomatis ke jidat sang gadis. Ia tidak tahu, isi senapan itu peluru karet atau peluru beneran. Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran. ''Kalaupun isi senapan itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini,'' pikirnya.

Sang gadis keder juga mengingat itu. Ia tidak ingin mati konyol terkena peluru tentara, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tiba-tiba muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke gedung MPR. Ada kabar beredar, malam itu ribuan mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat. ''Wah, bakal seru,'' pikir sang gadis. Ia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk.

Betul juga dugaan sang gadis. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali ditembakkan. Air dari mobil pemadam kebakaran pun disemprot-semprotkan ke barisan mahasiswa. Mereka kocar-kacir. Ada yang tiarap. Ada yang ambil langkah seribu. Ada yang terjungkal kena peluru. Ada yang kena pentung bertubi-tubi, meskipun sudah berteriak-teriak minta ampun. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.

Gadis itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk ikut lolos ke dalam. Bersama mahasiswa ia berlari menembus barikade tentara. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang komplek gedung MPR, kaki tentara bersepatu kulit tebal menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling dan bungkusan nasi di dalam kantung plastik hitam di tangannya terpental lagi ke jalan raya. Kali ini, giliran tubuhnya yang terinjak-injak sepatu tentara dan kaki-kaki mahasiswa yang berlarian tak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan terpaan keras air dari mobil pemadam kebakaran.

Berkali-kali ia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia ingat adalah puluhan sepatu tentara menginjan-injak perut dan dadanya yang kerempeng, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan gegelapan total memerangkap kesadarannya.
            ***

TIDAK jelas, berapa jam gadis itu pingsan. Ketika kesadarannya pulih kembali, hari sudah gelap. Bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Suasana jalan di depan komplek gedung MPR pun sudah agak lengang. Namun, yang pertama-tama ia ingat adalah sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam dan wajah cemas Dirwan yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Maka, dengan matanya ia mencoba menemukan kembali nasi bungkusnya itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin. “Itu pasti nasiku,” gumamnya.

Saat itulah, di depan sang gadis tersaji pemandangan yang cukup dramatis. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk ke komplek gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, tepatnya di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu mobil pemadam kebakaran juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.

Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi aktor yang sangat penting. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke komplek gedung MPR. Hesti membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan, lemparan bom gas air mata, atau semprotan air dari mobil pemadam kebakaran.

Dalam perasaan kecut, hesti tiba-tiba seperti mendengar rintihan parau, “Hesti, kenapa kamu lama sekali. Aku sudah sekarat. Rasanya sebentar lagi akan mati.” Ia yakin, itu suara Dirwan yang makin cemas menunggunya dengan lambung nyeri, tubuh menggigil, dan keringat dingin bercucuran.

Demi mendengar suara itu sang gadis mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya – yang basah kuyup terkena air dari mobil pemadam kebakaran – terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan kemaluannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara. Tapi, apa penyebab rasa nyeri pada kemaluannya? Ia tidak tahu, dan hanya bisa bergidik memikirkannya.

Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu tentara. Ketika ia menekan rusuknya, rasa nyeri makin menjadi-jadi dan ini membuatnya merintih kesakitan. Ia kemudian memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut meraba ada cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. “Kemaluanku berdarah!” batinnya.

Gadis itu bergidik. Ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana? Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan? Biadab sekali jika begitu. Ia jadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan gedung MPR dan dilempar begitu saja di tepi jalan. Ia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tembok berlumut, iapun menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di tepi jalan, di bawah tembok pembatas jalan tol Gatot Subroto.
Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam komplek gedung MPR. Komplek wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil menduduki komplek gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Dirwan? Makin cemas saja ia mengingatnya.

Dalam kecemasan dan ketidakberdayaan, gadis itu mulai bertanya-tanya, kenapa tidak ada yang menemukannya, menolongnya, atau mengangkatnya ke mobil tentara. Apakah semua orang sudah tidak peduli lagi pada nasib orang lain? Di mana pula tentara yang tadi menendang dan memukulnya? Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatnya? Apakah semua orang telah menganggapnya sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di tepi jalan raya, dan cukup menyerahkannya pada petugas kebersihan untuk melemparnya ke truk sampah?

Gadis itu mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padamu, maka kamulah yang harus menolong dirimu sendiri, batinnya. “Hidup ini keras, Hesti. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri,” kata ayahnya, suatu hari, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.

Apakah Dirwan juga sedang menghadapi ketidakpedulian yang sama? Jika begitu, siapa yang bisa menolongnya kalau ia benar-benar dalam keadaan sekarat? Ia makin cemas saja. Ia tahu, kata-kata ayahnya memang benar. Tapi ia sadar, tidak tiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasib Dirwan saat ini, juga nasib dirinya, dan itu pula alasannya masuk PMI, agar tiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya. Tapi, siapa kini yang bakal menolongnya?

Menyadari dirinya lebih tampak sebagai seonggok sampah dalam gelap malam, maka satu-satunya harapan gadis itu adalah datangnya para petugas kebersihan, seragam kuning yang biasa membersihkan kota Jakarta di tengah malam. Tapi, berapa jam lagi mereka akan datang? Ia tidak tahu, sebab di pergelangan tangannya kini tidak ada jam lagi. Dan, karena itu, ia hanya bisa menunggu sambil menggigil kedinginan, dengan seluruh tubuh pegal dan nyeri. Ia berharap belum pingsan ketika ditemukan, sehingga masih sempat memenuhi janjinya, membawakan sebungkus nasi dan satu kaplet obat mag untuk Dirwan, bagaimanapun keadaan sahabatnya itu kini.

Begitu ditemukan oleh petugas kebersihan, gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR sambil membawa sebungkus nasi yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada sahabatnya itu. Maka, begitu berhasil menerobos masuk ke komplek gedung wakil rakyat itu, ia langsung menuju ruangan tempat Dirwan tadi tergeletak dengan sakit magnya. Tapi, tidak ada lagi Dirwan di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat  spanduk dan poster.

Hesti ingin sekali bertanya pada mereka di mana Dirwan. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkan. Dan, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam, yang telah menempuh perjalanan panjang dan berliku, itu akhirnya cuma tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!

Jakarta,  Desember 2001
Baca Lengkapnya....

LEDAKAN DI RUMAH EMAK

LEDAKAN DI RUMAH EMAK

Telepon bedering ketika aku sudah akan mengunci pintu kamar untuk berlari ke jalan raya mencari taksi. Aku bangun agak terlambat, sehingga harus buru-buru ke kantor untuk menghindari ocehan kepala bagianku yang cerewet. Dan, suara di telepon itu benar-benar membuatku sangat panik….

''Elyah, ini Emak. Pulanglah sekarang juga! Ada yang....'' suara Emak di seberang, tapi tiba-tiba terputus oleh suara ledakan, ''blaaarrr!!!'' keras sekali hingga gagang teleponku terasa ikut bergetar, kemudian terdengar jeritan Emak, ''Allahu Akbar!'' dan telepon terputus.

''Emak, Emaaaak! Apa yang terjadi?! Emaaak!'' teriakku. ''Emak! Emaaak!'' tak ada jawaban, kecuali suara ''tut tut tut....'' Aku buru-buru meletakkan gagang telepon, lalu kuangkat lagi, dan kuputar nomor rumah Emak, 0651-773679, tak ada jawaban, kecuali suara mesin otomatis dari Telkom, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan, untuk sementara tidak dapat dihubungi.''

Kuletakkan lagi gagang telepon, kuangkat lagi, kuputar lagi nomor itu, berulang-ulang, tapi yang terdengar tetap jawaban mesin yang sama. Aku menjadi sangat panik. Apa yang terjadi dengan Emak? Apakah rumah Emak terkena mortir, atau lemparan granat tentara? Atau bom rakitan GAM? Dan Emak jadi korban? Ya Allah, apa yang menimpa Emak sepagi ini? Ya Allah, selamatkanlah Emak!

Aku benar-benar merasa sangat cemas. Aku ingat, dua hari yang lalu terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di ujung kampung, tak jauh dari rumah Emak. Tiga hari sebelumnya, rumah Emak juga sempat digeledah oleh tentara karena dicurigai menjadi tempat persembunyian anggota GAM. ''Semua kamar diobrak-abrik sama anggota. Juga kamar Kakak. Emak diseret ke markas tentara, diinterogasi selama tiga jam, bahkan sempat dipukuli sampai wajah Emak biru-biru. Tapi dilepaskan lagi,'' cerita adikku lewat telepon dua malam yang lalu.

Apakah Emak akan senasib dengan Ayah yang tewas secara misterius sebulan lalu? Jasad Ayah, juga kata adikku lewat telepon, ditemukan di pinggir jembatan dengan luka-luka bekas tusukan senjata tajam di leher, dan dadanya robek. ''Ngeri sekali, Kak, kami semua jadi takut!'' kata Cut Khasanah, adikku itu.
Keesokan harinya kubaca di koran Jakarta, ayahku tewas akibat penganiayaan berat. Jelasnya, ayahku menjadi korban pembunuhan -- salah satu korban dari tujuh korban 'pembunuhan misterius' yang ditemukan pada pekan itu. Emakku, juga aku, sangat terpukul atas kejadian itu. Apalagi, sehari setelah itu, Emak diseret ke bukit di belakang rumah oleh tiga orang bertopeng dan nyaris diperkosa. Untung, aparat kemanan yang sedang patroli, bersama beberapa tetanggku, berhasil memburu dan menyelamatkannya. Orang-orang bertopeng itu menghilang dan Emak ditemukan terkapar pingsan di jalan setapak dengan pakaian robek-robek nyaris telanjang.

Emakku kini harus menjanda dengan empat anak, dan mengalami tekanan psikologis yang sangat berat berat. Sering mimpi buruk dan menjerit-jerit sendiri di tengah tidurnya. Hidup kami juga menjadi tidak tenang, seperti terus diintai oleh tangan-tangan maut yang entah berasal dari mana. Rumah emak dijaga ketat oleh tentara, dan Tjut Khasanah – satu-satunya adik perempuanku – diungsikan ke rumah saudara Ayah di Banda Aceh. Sedang aku sendiri menjadi takut pulang, dan hidup penuh was-was di Jakarta. Tapi, siapa pembunuh ayahku? Siapa tiga orang bertopeng yang nyaris memperkosa dan membunuh Emak? Polisi belum dapat menyingkapnya dengan jelas. Apalagi menangkap mereka.
                ***

Berlarutnya konflik di Serambi Mekah memang membuat 'negeri Fansuri' -- tempat kami lahir dan dibesarkan -- seperti menjadi rimba tak bertuan dan tanpa hukum yang pasti. Orang seakan dengan gampang dapat membunuh siapa saja atas nama apa saja. Tentara dengan gampang dapat melenyapkan seseorang atau sekelompok orang atas nama tugas negara, sementara mereka yang mengaku GAM -- dan dicap sebagai GPK oleh tentara -- tiap saat juga dapat mencabut nyawa siapa saja atas nama cita-cita dan kebebasan.

Dan, dua tahun terakhir ini keluargaku – terutama ayah dan emakku -- terjepit di antara dua tudingan yang memojokkan sekaligus membingungkan di tengah pertarungan dua kepentingan itu. Pihak tentara mencurigai ayahku sebagai aktivis GAM, tapi pihak GAM menuding ayahku sebagai mata-mata tentara. Kami sendiri, sekeluarga, tidak tahu mana yang benar. Yang kami tahu, ayah adalah seorang alumnus sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Ia seorang ustad yang saleh sekaligus petani yang sukses.

Tiap hari ayah pergi mengontrol ladang, menyetor hasil panen ke pasar, atau mencari bibit unggul di dinas pertanian. Sebelum Magrib Ayah biasanya sudah berada di rumah, mengimami mushalla di sebelah rumah kami, mengajar mengaji sampai waktu Isya tiba, dan selebihnya Ayah lebih banyak di rumah bersama kami. Begitu juga Emak, seorang santriwati yang dinikahi Ayah sebelum menyelesaikan pendidikan aliyah-nya di Banda Aceh, juga hanyalah seorang guru mengaji. Emak mengajar membaca Alquran pada anak-anak kampung tiap sehabis shalat Azhar di beranda rumah kami.

Jadi, apa kesalahan Ayah? Apa pula kesalahan Emak? Siapa pembunuh Ayah? Dan, siapa pula tiga lelaki bertopeng yang menculik dan mencoba memperkosa dan membunuh Emak? Dari pihak mana pembunuh itu, TNI atau GAM? Setan-setan atau hantu-hantu teroris dari mana mereka? Ataukah mereka dari kelompok – entah siapa otak di balik mereka – yang sengaja ingin memperkeruh keadaan untuk kepentingan tertentu? Atau, Ayah dan Emak hanya menjadi korban fitnah dan salah sasaran? Tidak ada jawaban yang jelas sampai sekarang. Lalu, apa yang terjadi dengan Emak pagi ini? “Ya Allah, lindungi Emak, lindungi keluarga kami, dari tangan-tangan zalim, hindarkan dari nasib yang lebih mengerikan!”

Aku benar-benar merasa sangat cemas. ''Elyah, pulanglah sekarang juga!'' kembali terngiang suara Emak. Tidak biasanya Emak memintaku pulang dengan cara begitu. Pasti ada apa-apa dengan Emak. Kuputar lagi nomor telepon Emak, 0651-773679, kembali terdengar suara, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan....'' Kuputar nomor telepon tetangga, terdengar suara yang sama. Kuputar nomor tetangga yang lain, suara yang sama terdengar juga. Ya Allah, apa yang terjadi dengan rumah Emak, apa yang terjadi dengan rumah para tetangga, apa yang terjadi dengan kampung kami? ''Elyah, pulanglah sekarang juga!''

Ya, aku harus pulang sekarang juga. Itu keputusanku. Tapi, apa yang harus kukatakan pada kepala bagianku di kantor. Bagaimana alasan pamitku? Aku pasti tidak akan diijinkan pulang oleh atasanku, yang cerewet, jika tidak ada alasan jelas untuk mudik mendadak. Apalagi pekerjaanku sedang menumpuk. Apa aku harus mengatakan Emak tewas, atau sakit keras? Tapi, apa benar itu yang menimpa Emak, dan apa ia percaya? Ah, tak peduli. Aku akan pamit lewat telepon saja. Aku harus pulang sekarang juga. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan Emak.

Aku melangkah lagi, tergesa ke tepi jalan raya. Kusetop taksi dan kuminta agak ngebut, namun bukan ke kantorku tapi ke terminal bus antarkota. Ya, hanya cara ini yang bisa kulakukan untuk pulang kampung dari Jakarta, mengingat gajiku yang masih pas-pasan untuk hidup membujang saja. Berarti aku masih harus memperpanjang kecemasanku sampai hampir dua hari lagi, sekitar tiga puluh lima jam lagi. Perasaanku pasti sangat tersiksa, tapi apa boleh buat!

Di terminal kubeli beberapa koran ibukota. Aku ingin tahu pergolakan macam apa lagi yang terjadi di dekat kampungku, dan berapa korban yang jatuh akibat pergolakan itu. Aku ingin mendapat jawaban sementara, apa sebenarnya yang menimpa Emak dan kampungku, dan apakah Emak menjadi korban peristiwa itu. Tapi, ah semoga tidak. Kalaupun ledakan tadi suara granat atau mortir, semoga Emak selamat, dan hanya sambungan teleponnya yang terputus. Kalaupun Emak akhirnya ditangkap oleh GAM atau tentara, semoga sebuah keajaiban melindunginya dan cepat dilepaskan kembali. Kami sangat mencintai Emak. Adik-adikku masih butuh dampingan Emak.

Kubuka lembar demi lembar koran yang kubeli, kubaca semua judul pada tiap halamannya. Aku ingin membaca Aceh. Ya, Aceh, ada berita apa lagi tentang Aceh hari ini. Benar. Beberapa peristiwa tentang konflik di Serambi Mekkah terpampang dengan judul-judul yang cukup mencolok, ''Tentara Serbu Markas GPK, 12 Tewas'', ''Tentara Lakukan Sweeping, 56 Warga Ditangkap'', ''Tentara Tembak Mati Tujuh GPK, Dua di Antaranya Perempuan''.

Ya Allah, tentara lagi, tentara lagi. Kenapa para anggota masih main tangkap dan main tembak. Katanya mereka takkan menggunakan kekuatan militer sesudah DOM dicabut? Sudah tiga bulan status DOM untuk Aceh dicabut, tapi anggota TNI masih main tangkap dan tembak. Apa tidak ada cara lain, yang lebih beradab, untuk menyelesaikan konflik di tanah kelahiranku itu? Kadang-kadang aku jadi benci dan muak pada TNI, bahkan pada penguasa negeri ini, penguasa yang telah menguras kekayaan Aceh, tapi tidak pernah mampu menciptakan suasana damai di sana, apalagi mensejahterakan rakyatnya! Aku kecewa berat pada TNI yang tidak kunjung berhasil meredam kekerasan di tanah kelahiranku. Aku kecewa berat pada pemerintah yang tidak pernah becus mengurus negeri ini. Aku kecewa berat pada GAM yang hanya menambah persoalan makin runyam. Ayahku tewas. Keluargaku terus-menerus diteror. Dan, kini Emak.... Apa yang terjadi dengan Emak?! ''Ya Allah, lindungilah Emak. Lindungilah keluarga kami!''
            ***

Entah sudah berapa ratus kalimat tanya, berapa ribu ungkapan kecewa, dan berapa juta suku kata kecemasan, yang berputar-putar di benakku, berkecamuk antara tidur dan jaga, antara kantuk dan doa, antara harapan dan keputusasaan, tahu-tahu bus sudah masuk sebuah garasi di Jambi dan semua penumpang diminta turun. Kami harus ganti bus. Bus ini harus masuk garasi untuk diservis dan ganti ban. ''Bus pengganti baru datang sekitar satu jam lagi,'' kata seorang kru bus.
Aku buru-buru turun dan langsung mencari Wartel. Kucoba lagi menelepon rumah. Masih tetap jawaban mesin otomatis dari Telkom. Kutelepon rumah kosku, barangkali ada telepon dan pesan dari Emak, atau dari adikku. Tidak ada telepon dari siapa-siapa, kata ibu kosku. Aku jadi makin khawatir dan cemas. Apa yang sebenarnya menimpa Emak? Di mana pula adik-adikku? Apa pula yang menimpa mereka?

Pukul delapan pagi ketika ledakan itu terjadi, adik-adikku pasti sudah berada di sekolah masing-masing. Tapi, sekarang sudah sore, dan mereka pasti sudah pulang dan tahu apa yang menimpa Emak. Kenapa mereka tidak meneleponku? Ataukah rumah Emak sudah dikepung tentara sejak pagi buta karena memang ada GAM yang diketahui lari ke sana, sehingga adik-adikku tidak dapat keluar dan ikut tewas dalam ledakan itu? ''Ya Allah, lindungilah mereka!''

Kecemasanku makin menjadi-jadi. Kucoba lagi menghubungi nomor-nomor telepon tetanggaku. Jawaban yang kudengar sama saja, dari mesin penjawab otomatis Telkom. Aku jadi yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungku, menimpa keluargaku, menimpa tetangga-tetanggaku. Tapi apa? Pertempuran hebat yang menghancurkan semuanya? Kebakaran? Bencana alam? Aku tidak tahu. Bisa jadi kampungku sengaja dibumihanguskan, entah oleh siapa dan atas perintah siapa. Dalam konflik Aceh yang makin runyam, apapun bisa terjadi, atas nama apa saja dan dengan alasan apa saja. Beberapa hari yang lalu, misalnya, beberapa rumah penduduk dibakar oleh tentara karena diyakini menjadi basis kegiatan GAM. Sementara, pada hari yang lain, seorang warga dibunuh – entah oleh siapa – setelah beredar isu bahwa dia mata-mata TNI.

Aku harus cepat-cepat sampai rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, jam berapa akan sampai kalau perjalanan tersendat-sendat begini. Dan, kenapa pula harus ganti bus dan masih harus menunggu lagi? Waktu rasanya berjalan lambat sekali, detik demi detik hanya menggelesot bagai seorang invalid. Makan pun aku sampai tersedak-sedak karena kegelisahan mengetuk-ngetuk seluruh syarafku. Begitu masuk bus lagi, aku langsung menelan pil anti mabuk agak berlebih agar tertidur -- teman pembunuh kebosananku dalam tiap menempuh perjalanan panjang. Aku menyerah pasrah pada sopir bus untuk membawaku ke Aceh, berapa jam pun dia mau. Karena toh percuma saja aku bercemas-cemas sendiri ingin cepat sampai kalau kemampuan lari bus tua ini hanya rata-rata 50 km perjam. Apalagi, banyak jalan rusak, naik turun dan berliku-liku.

Dan aku tidak tahu, berapa kali lagi bus harus beristirahat untuk memberi kesempatan makan pada penumpang, tahu-tahu aku dibangunkan oleh kru bus karena sudah sampai di terminal Banda Aceh. Aku langsung mencari taksi, dan yang kudapat mobil omprengan, untuk membawaku langsung ke rumah, tanpa peduli harus membayar berapa.

''Ada peristiwa apa di Blangkejren kemarin, Pak?'' tanyaku pada sopir. Aku tak sabar untuk segera tahu.

''Apa Cut belum dengar, ada banjir dan tanah longsor. Banyak yang tewas.''

Banjir? Tanah longsor? Dan banyak yang tewas?! Ada kecemasan baru yang kini menyeragpku. Jangan-jangan Emak dan adik-adikku ada dalam daftar korban tewas itu. ''Cepat bawa aku ke sana, Pak. Keluargaku ada di sana!''

Mengerikan sekali. Kampungku lenyap tertimbun tanah. Tinggal puing-puing, akar-akar pohon tumbang, dan balok-balok kayu yang bercuatan di atas lumpur. Ini lebih gawat dari ledakan granat atau bom rakitan. Bencana alam dapat menghancurkan apa saja dan membunuh siapa saja tanpa ampun, tanpa peringatan dan tanpa pertanyaan-pertanyaan lagi. Ya Allah, apa dosa kami sehingga Engkau mengazab kami dengan cara begitu? Di mana pula Emak dan adik-adikku?

''Cut Elyah, tabahkan hatimu. Rumahmu hancur tertimbun lumpur. Tapi, Emak dan adik-adikmu sudah ditemukan. Sekarang ada di rumah sakit,'' Pak Kepala Desa merangkulku begitu aku keluar dari mobil omprengan di ujung kampung. Rumah Emak memang berada di tepi jalan kabupaten, di lereng bukit yang agak gundul. Kulihat banyak tentara di situ. Orang-orang berseragam loreng itu menggali-gali dan mencari-cari korban yang masih tertimbun.

Aku kembali masuk ‘taksi gelap’ dan meluncur ke rumah sakit. Kutemukan Emakku terbaring dengan seluruh kaki dibalut perban. Tampak kedua adikku duduk menungguinya. Tapi di mana Cut Khasanah? ''Kak Elyah!'' teriak adik-adikku begitu melihat aku datang.

''Alhamdulillah, kalian selamat!''

''Ya, Kak, kami diungsikan tentara sebelum longsor terjadi.''

''Bagaimana Emak, di mana Adik Cut?''

''Kaki Emak patah, Kak, tertimpa tiang rumah. Emak juga diselamatkan tentara. Tapi, Kak Khasanah....''

''Elyah, syukurlah kau sudah tiba! Emak sengaja tidak meneleponmu. Emak khawatir akan mencemaskanmu dan mengganggu tugasmu di tempat kerja.''

''Lho, bukankah Emak kemarin pagi menelepon Elyah?''

''Bukan Emak yang menelepon.''

''Lalu siapa? Suaranya sangat mirip Emak, dan mengaku Emak. Elyah juga mendengar suara ledakan... dan jeritan Emak.''

''Ah, sudahlah, Elyah. Yang penting kau sudah tiba.''

''Di mana Adik Cut?''

''Dia… dia… tewas, Kak. Kak Khasanah tertimbun bersama Emak,'' kata adikku. Di matanya menggantung butiran air mata.

''Innalillahi...,'' aku tidak kuasa meneruskan ucapanku. Serasa ada yang lepas dari diriku. Tubuhku terasa limbung dan nyaris roboh. Seorang adik yang paling dekat denganku, telah direnggut oleh kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun. Adik terkecilku, Nur Rahmah, segera mendekapku.

“Tabahkan hatimu, Elyah, semuanya sudah kehendak Allah.” Emak mencoba menenangkanku!

Betulkah semua sudah kehendak Allah? Benakku masih bertanya-tanya. Enak sekali selama ini orang mengkambinghitamkan Tuhan tiap terjadi bencana. Padahal, sering manusia juga yang menjadi akar penyebabnya. Ya, aku ingat, bukit-bukit di atas kampungku rata-rata sudah gundul karena pohon-pohon besarnya ditebangi. Program penghijauan pun tidak berjalan karena dananya banyak dikorupsi. Ya, lagi-lagi aku harus menuding oknum-oknum penguasa yang tidak becus mengurus negeri ini.

Ketika banjir bandang melanda desa sebelah atas, kata Emak dengan mata berkaca-kaca, tentara sudah berusaha mengungsikan semua warga kampung, karena khawatir banjir serupa akan menerjang kampung kami. Kedua adik terkecilku ikut mengungsi lebih dulu dengan truk tentara, sedang Emak dan Cut Khasanah bermaksud mengemasi serta menyelamatkan barang-barang yang diperlukan.

Namun, persis pukul delapan pagi ketika telepon di rumah kosku berdering, tanah longsor menerjang rumah kami, mengubur Emak dan Cut Khasanah. Sebuah keajaiban menyelamatkan Emak, tapi Cut Khasanah tidak tertolong.

Satu anggota keluarga kami tewas lagi di Tanah Rencong. Tentu, kali ini aku tidak bisa menuding tantara sebagai penyebabnya. Tapi, siapa yang meneleponku pagi itu dan ledakan apa yang menghentikan suara di telepon itu? Mungkinkah itu suara Cut Khasanah? Dan, mungkinkah itu ledakan bom rakitan yang tersimpan di rumahku? Sampai aku kembali lagi ke Jakarta, sampai hari ini, aku tidak pernah tahu!

Kaliwungu, 17 Nov. 2001

*Cerpen ini telah dimuat di Majalah Horison edisi Agustus 2002 dengan judul “Ledakan”.
Baca Lengkapnya....

KOLUSI

Gerimis kecil senja hari membangun dunia aneh di jalan itu, di atas genangan-genangan kecil sisa air hujan. Angin menghempas-hempas, merontokkan daun-daun akasia dan kelopak-kelopak kembang semboja. Tiba-tiba,  seorang gadis dengan rok terusan kuning menyala dan rambut tergerai-gerai di udara berlari-lari kecil menyebrangi jalan itu.

Seorang lelaki gendut, yang tampaknya sedang menunggu seseorang di balik kaca jendela, terkesima melihat pemandangan menakjubkan itu. Apalagi ketika gadis itu berlari kecil kearahnya dan menguak pintu kantornya, mengantarkan bau parfum yang aneh. Ah, barangkali sales parfum merek baru, atau lulusan akademi sekretaris yang akan melamar kerja, pikirnya. "Mau ketemu siapa?"

"Pak Saliman."

"Oh, saya sendiri. Silakan duduk."

Gadis itu melangkah ringan ke kursi, meletakkan pantatnya di sana.

"Saya ditugaskan Mbah Sastro untuk menemui Bapak sore ini." Bibir gadis itu, yang merekah kemerahan seperti irisan buah semangka, meletup-letupkan kata-kata lugas tapi terasa lunak.

"Jadi, Adik mengantarkan tuyul dari Mbah Sastro?"

"Tidak."

"Lho, katanya Mbah Sastro mau mengirim tuyul sore ini."

"Benar."

"Mana tuyulnya?"

"Saya sendiri."

"Ah, yang bener? Masak ada tuyul secantik Anda. Yang saya tahu, tuyul itu kecil, jelek dan gundul."

"Itu sih tuyul kuno, tuyul masa lalu. Tuyul sekarang banyak yang cantik. Namanya saja tuyul kontemporer, Pak. Tuyul posmo." Kelopak mata gadis itu mulai mengerjab-ngerjab, menggoda.

"Apa? Tuyul posmo?" mata Pak Saliman terbelalak.

"Ya, tuyul posmo, posmodern."

"Jadi, wabah posmo juga merambah dunia tuyul?"

"Benar. Terjadi semacam pluralisasi budaya permalingan di kalangan para tuyul. Tiap tuyul dibebaskan mengembangkan seni malingnya sendiri-sendiri, mau langsung sikat, pakai katebelece pejabat tinggi,  me-mark up nilai proyek, atau ramai-ramai membobol bank seperti yang sekarang sedang trendi. Mereka juga bebas mengembangkan bentuk dirinya masing-masing. Ada yang memilih jadi perempuan cantik seperti saya, jadi lelaki gendut berdasi seperti konglomerat, sok kuasa seperti birokrat, atau tetap gundul jelek seperti aslinya."

"Jadi , ada semacam diversifikasi teknik permalingan, begitu?"

"Ya, begitulah."

Lelaki gendut itu mengangguk-angguk sambil menepuk-nepukkan telapak tangan kanannya ke atas pahanya dengan irama yang monoton, sementara matanya mengusap semili demi semili tiap lekuk keindahan wajah dan tubuh gadis itu -- layaknya seorang pelukis pemula yang sedang berlatih menangkap detail anatomi tubuh wanita untuk dipindahkan ke kanvasnya. Gadis itu pura-pura tersipu malu dan segera menundukkan kepalanya. Keheningan lantas menyergap mereka. Titik-titik air hujan terdengar makin keras memukul-mukul atap gedung dan daun-daunan di luar.

"Oh ya, siapa nama adik?" suara lelaki gendut itu memecah kebekuan.

"Mbah Sastro memanggil saya Monika."

"Kamu pasti bukan tuyul. Kamu cucu Mbah Sastro, bukan."

"Swear, saya tuyul asli."

"Okelah. Kalau kamu memang tuyul, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendongkrak perusahaan saya yang hampir bangkrut ini?"

"Itu tergantung imbalan dan jabatan yang bapak berikan kepada saya. Jika nasib perusahaan Bapak ingin cepat terdongkrak, angkat saya menjadi wakil direktur." Gadis itu mengangkat wajahnya dan matanya kembali menantang.

''Jadi, tuyul butuh jabatan juga."

"Ya, sebagai sarana penyaluran bakat permalingannya."

''Butuh katebelece?"

"Kadang-kadang, bilamana perlu."

"Wah itu terlalu bertele-tele. Saya ingin yang praktis saja, yang tanpa prosedur birokrasi segala. Jelasnya, nyolong saja kamu sekarang. Entah pakai cara bagaimana, terserah kamu. Terserah, mau nyolong di bank atau menyikat habis uang saingan saya."

"Wah, sorry saja, Pak. Saya bukan jenis tuyul yang diprogram untuk keahlian model sikat langsung begitu. Itu sih bagian tuyul-tuyul berkepala gundul. Sorry aja. Itu bukan level saya.”

"Ya tuyul macam begitu yang saya minta dari Mbah Sastra. Yang dikirimnya kok malah yang kece macam kamu."

"Bapak ini maunya main langsung sikat saja. Bapak benar-benar tak punya jiwa wirausaha. Belajar entrepreneurship dikit dong, Pak. Orang kayak Bapak mestinya
jadi garong saja. Bukan jadi pengusaha.''

Gadis itu tersenyum setengah mencibir. Muka Pak Saliman jadi masam. Seumur-umur dia tidak pernah dinasehati orang. Apalagi oleh yang lebih muda atau anak buahnya. Eh, kini diceramahi oleh perempuan kece yang mengaku tuyul.

"Jangan macem-macem kamu! Kalau kau memang tuyul yang dikirim Mbah Sastro, nyolonglah sekarang juga."

"Kalau saya tidak mau?"

"Lebih baik saya batalkan kolusi saya dengan Mbah Sastro."

"Baiklah kalau begitu."

Gadis itu bangkit dari duduknya, menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilap seperti model iklan sampo, lantas melangkah pergi, menerobos pintu dan menyusup hujan rintik-rintik di luar. Leleki gendut itu hanya terpana melihat punggungnya.

Begitu gadis itu lenyap di kejauhan, telepon disudut ruangan itu berdering. Si gendut bangkit dari kursi, melenggang beberapa langkah, dan mengangkat gagang telepon.

"Ini Pak Saliman, ya?" suara dari seberang.

"Betul."

"Bapak ini bagaimana? Katanya minta tuyul? Sudah dikirim kok malah disuruh balik."

"Oh ini Mbah Sastro, ya?"

"Betul."

"Ya, Mbah. Saya memang minta tuyul. Tapi yang Mbah kirim kan bukan tuyul."

"Siapa bilang ? Itu si Monika, tuyulku yang paling istimewa."

"Jadi, gadis itu benar-benar tuyul Mbah Sastro?"

"La iya. Memangnya tuyul siapa?"

"Tapi, kenapa dia menolak ketika saya suruh nyolong?"

"Wah, Pak Saliman ini maunya main sikat saja. Kalau mau kaya, pakai seni sedikit dong. Jangan asal main sikat. Norak, Pak!"

"Lantas bagaimana, Mbah?"

"Terserah Bapak saja. Kalau memang tidak mau gulung tikar, turuti saja apa maunya si Monika.''
                                               ***

Agaknya, si gendut Saliman tidak menemukan pilihan selain memenuhi permintaan si cantik Monika menjadi wakil direkturnya. Tapi, ternyata bukan hanya jabatan itu yang dimintanya. Ia juga minta dikontrakkan sebuah villa di Puncak dan sebuah kamar di hotel mewah.

Si gendut tak tahu persis apa yang direncanakan dan dilakukan gadis itu. Lebih-lebih di luar kantor. Ia minta diberi kebebasan penuh untuk melakukan terobosan-terobosan rahasia tanpa harus menuruti mekanisme birokrasi perusahaannya. Si gendut hanya melihat, gadis itu amat sibuk keluar masuk kantor tiap hari, bahkan tiap jam. Teleponpun berdering-dering terus hampir tiap menit,  mencari Monika.

Dalam tiga minggu pertama masa kerjanya, gadis itu memang tidak mau diganggu oleh siapapun. Langkah-langkah rahasianya pun tidak mau diketahui oleh siapapun. Tak terkecuali oleh si gendut Saliman. Si gendut pun hanya sempat menangkap kelebatan tubuh gadis itu datang dan pergi, atau mengamatinya beberapa detik ketika gadis itu meletakkan pantat di kursinya, menyisir rambut, meratakan bedak dan lipstiknya, membuka-buka sejenak mapnya, lantas pergi lagi.
''Gila! Apa saja yang dilakukan si Monika. Benar-benar tuyul edan!" gerutu si gendut sembari membuka-buka komik Dora Emon. Sejak ada Monika, praktis si gendut setengah menganggur. Sebagian besar tugas dan wewenangnya sebagai direktur harus diserahkan kepada gadis itu. Ia hanya kebagian mengawasi disiplin kerja beberapa staf kantornya, yang bisa ia lakukan sambil membaca komik anak-anak.

"Kamu ini sopir apaan, sih?!"  tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar.

"Sopir mana yang kuat, Mbak. Dua hari dua malam jalan terus tanpa istirahat. Sopir bus kota saja ada istirahatnya."

"Tapi ini acara sangat penting?"

Si gendut Saliman meletakkan komiknya di atas meja dan memburu suara ribut-ribut itu. Ternyata Monika sedang bersitegang dengan sopirnya.

"Ada apa, Monika?"

"Ini lho, Pak, si Pardi disuruh mengantar tidak mau."

"Habis saya sudah tidak kuat lagi, Pak. Tobat dah!"

"Kan memang tugasmu mengantar Monika, Di."

"Tugas ya tugas. Tapi kalau terus-terusan begini bisa hancur tubuhku. Masak, dua hari dua malam jalan terus ke sana ke mari tanpa istirahat."

"Apa sih sebenarnya yang sedang kamu lakukan, Monika? Kok sibuk amat."

"Bapak tak perlu tahu. Kan Bapak sudah janji untuk tidak bertanya dulu tentang apa yang saya lakukan."

"Tapi saya kan atasanmu. Saya harus tahu semua yang kamu lakukan."

"Okelah. Sekarang terserah Bapak, mau melanggar janji dan semuanya berantakan sampai di sini, atau jalan terus dan Bapak tetap memegang janji."

Ditantang  begitu oleh Monika, si gendut terdiam dan mengerutkan keningnya. Agaknya ia harus berpikir keras untuk menjawab tantangan itu.

"Kamu minta diantar ke mena sih, Monika?"

"Ke Puncak. Ada janji penting."

"Sore-sore begini mau ke Puncak?"

"Ya."

"Pantas, si Pardi tak mau mengantarmu."

"Tapi ini amat penting, Pak. Kalau saya tidak datang, semuanya bisa gagal total."

"Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu.”

"Bapak mau mengantar saya?"

"Ya apa boleh buat."

"Tapi Bapak harus janji hanya sampai jalan besar. Masuknya biar aku sendiri jalan kaki. Dan, Bapak tak perlu tahu apa yang saya lakukan di villa saya."

"Tak apa kalau memang maumu begitu."

Agaknya posisi memang harus dibalik untuk sementara. Si gendut tidak hanya harus kehilangan hampir semua wewenangnya selaku direktur, tapi kini ia juga harus menjadi sopir bawahannya, mengantar Monika jauh ke Puncak. ''Benar-benar tuyul edan!'' gerutunya.

Untunglah, berkat jalan tol Jagorawi yang mulus, jarak Jakarta-Ciawi ia sikat tidak lebih dari satu jam. Tak seberapa lama sampailah BMW-nya di jalan masuk menuju sebuah villa cukup mewah di lereng bukit. Hujan turun agak deras. Namun Monika bersikeras tidak mau diantar sampai ke pintu villa. Ini membuat si gendut Saliman makin curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan gadis itu. Ia pura-pura memutar mobilnya balik ke arah Jakarta, tapi kemudian memutarnya kem-bali dan merakirnya di jalan masuk menuju villa yang dikontraknya untuk tuyul itu.

Hujan belum reda dan si gendut nekat keluar dari mobilnya, berjalan kaki mengendap-endap menuju villa itu. Ia amat terkejut ketika melihat sebuah Baby Benz hitam diparkir persis di depan pintu villa. Ia pun terus mengendap-endap ke samping villa itu.

Si gendut mengintip ke dalam lewat celah jendela. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya pakaian basah Monika tampak terpuruk di kursi kamarnya. Kemudian terdengar suara semprotan air cukup keras dari shower di kamar mandi. Agaknya si Monika tidak sendiri di kamar mandi itu.
"Kau memang benar-benar dahsyat, Monika," terdengar suara lelaki, berat dan agak serak.

"Ah, masak?" sahut suara Monika, genit.

"Tubuhmu benar-benar sempurna," suara laki-laki itu.

"Hi hi hi…."

"Coba lihat ini…."

"Hi hi hi hi…."

Monika makin cekikikan. Si gendut bisa membayangkan apa yang sedang dilakukan lelaki itu -- entah konglomerat mana, entah pejabat penting apa -- terhadap Monika di kamar mandi. Ingin sekali ia memanjat tembok dan mengintip mereka dari lubang angin. Tapi tubuhnya yang agak basah kehujanan makin menggigil saja. Sambil mengumpat-umpat ia pun melangkah cepat balik ke mobilnya.
                                        ***

Langit sudah gelap ketika si gendut sampai di kantornya. Kantor kontraktor itu sudah sepi. Pardi, sopir Monika, mendengkur di kursi ruang tamu. Si gendut langsung membangunkannya. "Di, kamu tahu apa yang dilakukan Monika selama ini?"

"Nggak tahu, Pak."

"Kamu mengantar ke mana saja tiap hari?"

"Ke sana ke mari, Pak. Ke kantor pejabat ini itu, menemui konglomerat ini itu, ke bank, belanja di supermarket, ke kamar hotelnya, ke Puncak, yah ke mana ajalah. Pokoknya macam-macamlah acaranya, sampai saya tidak bisa istirahat."

"Apa yang dia lakukan di Puncak dan di kamar hotelnya?"

"Nggak tahu, Pak. Saya hanya boleh menunggu di mobil atau di warung terdekat."

"Jangan-jangan pelacur kelas kakap dia."

"Kok Bapak berkata begitu?"

Tiba-tiba telepon berdering keras menghentikan pembicaraan mereka. Si gendut segera mengangkatnya. Begitu ujung gagang telepon menempel di telinganya, wajahnya berubah kemerahan. Agaknya ada suara yang tak enak dari si penelpon. Beberapa detik kemudian ia meletakkan gagang telepon itu dengan setengah membantingnya.

"Wah, gawat, Di. Nyonya Besar marah-marah. Saya pulang dulu."

"Hati-hati, Pak."

Pasti ada yang tidak beres, pikir si gendut. Baru pukul 20.15 istrinya sudah marah-marah. Dalam keadaan normal, dengan alasan sedang rapat, istrinya maklum saja dia pulang sampai pukul 22.00. Istrinya pasti mengira, dia punya skandal lagi. Tapi dengan siapa, dan siapa yang memfitnahnya?
Ia memang sudah dua kali terlibat skandal cinta dengan bawahannya. Pertama dengan sekretarisnya yang genit dan gampangan. Kedua dengan bendaharanya yang cantik tapi perawan tua. Keduanya sudah ia pecat atas desakan istrinya, yang sempat marah besar begitu mengetahui skandal itu. Bagaimana pun, ia memang tidak berani melakukan "perang habis-habisan" melawan istrinya -- yang memang kurang cantik dan bertubuh agak gembrot. Selain demi kedamaian hati ketiga anaknya, juga karena perusahaan yang memberinya jabatan direktur memang peninggalan almarhum mertuanya.

"Belum kapok ya, Pa?" sambut istrinya begitu si gendut duduk di depan meja makan.

"Kapok bagaimana, Ma?"

"Papa sudah berani memelihara perempuan lagi, kan?"

"Ah, jangan mengada-ada, Ma. Siapa bilang saya memelihara perempuan?"

"Jangan bohong, Pa. Tadi ada perempuan cantik mencari Papa ke sini."

"Perempuan cantik, siapa?"

"Masih mau mungkir juga? Papa punya peliharaan baru yang namanya Monika, bukan! Tadi dia ke sini pakai rok kuning menyala."

"Monika?" kepala si Gendut bagai di sambar geledek. "Benar-benar edan, anak itu. Bukanlah dia baru saja saya antar ke puncak?"

"Jad kau baru saja main cinta di puncak dengan perempuan itu? Kurang ajar! Kau tega, ya!"

"Pacaran apa? Dia itu pelacur!"

"Jadi, papa membawa pelacur ke puncak? Dasar hidung belang! Menjijikkan!"

Bu Saliman berlari masuk ke kamar, membanting pintunya dan menguncinya dari dalam. Tampaknya ia marah besar. Si gendut terperangah sesaat. Kepalanya makin pusing, bagaimana ia harus menjelaskan tentang si Monika pada istrinya. Dalam gelisah ia melangkah ke kamar kerjanya, mengangkat gagang telepon dan memutar nomor telepon kan-tornya.

"Pardi?"

"Ya, Pak."

"Untunglah kamu masih ada di situ."

"Ada apa, Pak?"

"Gawat, Di. Nyonya marah besar soal Monika. Ia mengira simpanan saya. Tadi dia ke sini mencari saya. Salahnya, saya tak pernah cerita soal Monika pada Nyonya. Tolong, jemput dia sekarang juga di kamar hotelnya dan bawa kemari. Kau harus ikut menjelaskan  tentang dia pada Nyonya.

"Baik, Pak."

Begitu meletakkan gagang telepon, si gendut lantas menuju pintu kamar istrinya. Terdengar tangis sesenggukan dari dalam kamar. "Buka pintu, Ma. Berilah Papa kesempatan untuk menjelaskannya."

"Semuanya sudah jelas. Papa memang bajingan!"

"Dengar dulu, Ma. Saya tadi memang mengantar dia ke Puncak. Tapi, percayalah, saya tak berbuat apa-apa dengan dia. Saya mengantarnya karena dia melakukan transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan kita. Dia itu staf baru bagian marketing. Hanya dugaan saya saja dia merangkap menjadi pelacur."

"Dia merangkap jadi peliharaan Papa, kan!"

"Jangan begitu, Ma."

"Tadi dia mengaku begitu."

"Ya peliharaan, maksudnya pegawai baru. Dia memang suka melucu begitu."

Gerimis masih memukul-mukul genteng dan daun-daunan di luar, ketika tiba-tiba terdengar derum mobil masuk pekarangan rumah Pak Saliman. "Nah, itu dia datang bersama Pardi, Ma. Mereka sengaja saya panggil untuk menjelaskan semuanya pada Mama."
                                               ***

Sang Nyonya Besar pada akhirnya memang bisa dijinakkan. Ia bisa memahami kehadiran Monika di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang kini dikelola suaminya. Apalagi, di hadapannya, gadis itu bersumpah tidak akan mengganggu Pak Saliman. Ia juga berjanji untuk memajukan perusahaannya dengan memanfaatkan jaringan koneksi yang telah ia bangun dengan sejumlah pejabat dan konglomerat.

Namun, tidak berarti persoalan Monika selesai sampai di situ. Pada akhir bulan, ketika si gendut harus membayar gaji para karyawannya, Monika memberikan kejutan baru:

"Cadangan uang kita di bank habis, Pak. Besok kita tidak bisa membayar gaji para karyawan," kata kepala bagian keuangan, menghadap si Gendut dengan wajah pucat dan suara gemetar.

"Lho! Bukankah dua minggu lalu masih ada cadangan satu setengah milyar?"

"Ya. Kini sudah habis dipergunakan Monika. Katanya sudah disetujui Bapak."

"Tuyul edan!"

"Lho, kok tuyul?"

"Memang dia tuyul! Siapa lagi yang berani nekad menghabiskan uang segitu banyak kalau bukan tuyul edan!"

"Salah Bapak juga, terlalu cepat memberi kepercayaan pada dia."

"Pardiiii!"

"Yaaa, Pak!" yang dipanggil tergopoh-gopoh masuk.

"Ke mana kau antar Monika hari ini?!"

"Belum saya antar ke mana-mana, Pak. Sejak pagi belum kelihatan. Saya jemput di kamar hotelnya juga kosong."

"Wah, celaka kalau begitu. Uang kita di bank dia sikat habis. Benar-benar tuyul edan dia! Cepat kamu cari dia sampai ketemu. Kalau tidak, bisa tak gajian kamu besok."

Pardi, sopir gadis itu, berlari kecil keluar untuk mencari Monika.

Tapi tiba-tiba telepon di meja si gendut berdering. Ia langsung mengangkatnya, ternyata dari si tuyul.

"Monika, gila kamu!  Kamu kemanakan uang saya satu setengah milyar di bank?!" si gendut langsung menghardik gadis itu.

"Tenang, Pak. Bapak kan ingin mendapatkan kakap besar. Umpannya juga harus besar!" jawab Monika dari seberang.

"Omong apa lagi kamu?! Kakap kakap! Mana buktinya?! Kamu ini memang tuyul edan! Tuyul rusak! Kamu tidak mendapatkan duit, tapi malah menghabiskan duit!!"

"Aduh, jangan teriak-teriak begitu, Pak! Nanti didengar orang, rahasia kita bisa bocor."

"Biarin! Kamu memang tuyul edan! Tuyul rusak! Tuyul gendeng!!"

"Dengar dulu, Pak. Saya sedang mengincar beberapa proyek besar, dan hampir berhasil. Percayalah, Pak. Dalam satu dua hari ini pasti sudah ada hasilnya. Uang satu setengah milyar tidak ada artinya dibanding keuntungan yang bakal kita dapatkan. Perusahaan Bapak saya jamin segera menggelembung jadi raksasa. Kalau saya gagal, Bapak boleh bakar padepokan saya di tepi hutan itu."

"Tapi, gaji karyawan kita bagaimana? Besok mereka harus gajian. Kalaupun tidak, mereka hanya bisa mentolerir keterlambatan satu hari. Labih dari itu mereka pasti akan ribut. Aku tak mau kalau di perusahaan kita sampai ada unjuk rasa segala."

"Jangan khawatir, Pak. Saya sudah mengajukan kredit 100 trilyun ke bank. Hari ini direksi bank sedang merapatkannya. Kalau di-acc, besok sebagian dana sudah dapat dicairkan."

"Gila! Kredit 100 trilyun?!"

"Ya."

"Untuk apa uang sebanyak itu?"

"Lho, kita kan bakal menangani proyek-proyek dan pabrik-pabrik besar. Mana bisa jalan kalau hanya dengan modal recehan."

"Aku tak mau ikut pusing-pusing memimpikan yang tidak-tidak begitu. Pokoknya besok karyawan harus gajian. Kau harus mengusahakan uang gaji mereka. Saya tunggu hasilnya hari ini juga."

"Beres, Pak!"
                                    ***

Matahari sudah sudah condong jauh ke barat. Si gendut gelisah menunggu kabar dari Monika. Sekali-sekali ia mondar-mandir di ruang kerjanya. Sekali-sekali berteriak memanggil Pardi, menanyakan apakah gadis itu sudah menampakkan batang lehernya. Sekali-sekali pula ia meminta pada bendaharanya untuk mengecek rekening banknya lewat telepon, apakah sudah ada uang masuk dari Monika. Semuanya masih nihil. Selebihnya, si gendut menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya, mencoba meredakan kegelisahannya dengan membaca komik Satria Baja Hitam.
Sore sudah mengambang ketika gadis centil itu muncul dengan senyum khasnya. Si gendut langsung menyambarnya: "Bagaimana, Monika, hasilnya?"

"Beres, Pak."

“Beres-beres, bagaimana?!”

"Lihat ini." Monika menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.

"Gila! Kita mendapat kredit 100 trilyun?" Mata si gendut terbelalak melihat angka yang tercantum pada berkas dari bank itu.

"Ya,"

"Bagaimana kamu bisa membuat bank percaya untuk memberikan kredit sebesar itu pada kita?"

"Saya kan punya katebelece."

"Katebelece? Apa kamu mau mengulang kasus Eddy Tansil?"

"Jangan khawatir, Pak. Monika lebih lihai daripada Eddy Tansil. Semuanya sudah saya atur rapi."

"Kamu memang benar-benar tuyul hebat!" Serta merta si gendut menyalami dan memeluk gadis itu. Monika menyerah saja.

"Bapak mau lihat daftar proyek yang telah kita menangkan tendernya."

Si gendut melepaskan pelukannya. Monika mengeluarkan setumpuk map dari tasnya. "Ini proyek pengurugan Rawa Pening untuk disulap menjadi lapangan golf, ini proyek penggundulan sebagian hutan Irian Jaya untuk diekspor ke Jepang, ini proyek penggusuran seluruh kawasan kumuh Tanjung Priok untuk disulap jadi kondominium, dan ini proyek terowongan bawah laut lintas Selat Sunda. Semuanya bernilai 90 trilyun."

"Gila kamu. Bagaimana kita bisa mengerjakan proyek edan-edanan seperti itu?"

"Jangan khawatir, Pak. Saya bisa mengerahkan seribu jin untuk ikut menyelesaikan proyek-proyek itu tepat pada waktunya."

"Jadi kita juga harus berkolusi dengan para jin?"

"Betul. Itulah cara yang telah saya rancang agar perusahaan kita bisa tumbuh jadi raksasa."

"Seperti Bandung Bandawasa ketika membangun Candi Seribu itu?"

"Ya, begitulah kira-kira. Tapi tentu, proyek-proyek itu tidak harus kita selesaikan dalam semalam. Ya, agar orang percaya bahwa proyek-proyek itu memang murni karya kita, berkat kehebatan teknologi canggih yang telah kita kuasai."

"Memang benar-benar edan kamu, Monika."

"Bapak setuju, kan!"

"Tentu saja, Monika. Lelaki mana yang mau berlaku bodoh dengan menolak kesempatan untuk menjadi besar."

"Ha ha ha." Monika tertawa.

"Ha ha ha ."

Si gendut juga tertawa.

"Tapi tunggu dulu, Pak." Kali ini wajah Monika berubah serius. Ia mundur selangkah dan duduk di atas meja, persis di depan si gendut yang masih berdiri setengah bersandar pada sandaran kursinya.

"Tunggu apa lagi?"

"Agar kredit itu benar-benar bisa mengucur dan proyek-proyek itu bisa berjalan lancar, ada satu syarat yang harus Bapak penuhi."

"Syarat apa?"

"Bapak harus mengawini saya dan menjadi bapak anak yang akan saya lahirkan."

"Kenapa harus begitu?"

"Ya, karena anak yang akan segera saya lahirkan harus punya bapak yang jelas."

"Lho! Memangnya kamu hamil?" wajah si gendut tampak terperangah.

"Ya."

"Aduh, Monika. Kenapa tidak kamu gugurkan saja?"

"Tak ada dokter maupun dukun yang sanggup menggugurkan kandungan tuyul. Sekarang terserah Bapak, mau menjadi Bapak anak saya, atau semuanya gagal dan selesai sampai di sini." Monika mulai menantang.

"Kalau memang harus begitu, ya apa boleh buat, Monika. Aku akan menjadi Bapak anak yang kau kandung. Aku tak perlu tahu, itu anak siapa. Tapi, tolong sementara dirahasiakan dulu. Jangan sampai istriku tahu."

Mendengar jawaban itu, Monika langsung melompat turun dari meja dan menghambur ke dada Pak Saliman. Si gendut terkejut sesaat, tapi lantas menyongsong gadis itu dengan pelukan.
                                          ***

Kredit 100 trilyun rupiah itu mengucur juga. Bahkan keesokan harinya sebagian sudah bisa dicairkan. Pada malam harinya si gendut langsung mengadakan pesta bersama seluruh staf dan karyawannya. Kesibukan terus meningkat pada hari-hari berikutnya. Lowongan kerja pun dia buka untuk merekrut para insinyur dan karyawan baru. Sejumlah insinyur asing segera didatangkan untuk menyiapkan pelaksanaan proyek-proyek besar itu.
Monika pun tetap hilir mudik seperti biasa. Namun pada hari keenam tiba-tiba ia menghilang dan pada hari ketujuh datang kejutan dari Mbah Sastro untuk si gendut lewat telepon:

"Kau harus datang kepadepokanku sekarang juga. Sangat penting!" suara pawang tuyul itu dari jauh.

"Memangnya ada apa, Mbah?"

"Monika melahirkan hari ini."

"Lho, bukannya usia kandungannya baru tiga Minggu."

"Ya, usia kandungan tuyul memang hanya duapuluh satu hari."

"Baiklah, Mbah."

Sampai di padepokan, si gendut langsung menuju kamar Monika. Ia penasaran, ingin tahu bagaimana wajah anak tuyul cantik itu. Begitu membuka pintu, si gendut terperangah. Pemandangan menakjubkan terpampang di depannya: Monika berbaring miring setengah telanjang, dikelilingi puluhan orok gundul sebesar lengan bayi. Beberapa diantaranya sedang bere-butan menetek pada tuyul cantik itu.

"Ini semua anak-anak kita," kata Monika sambil tersenyum. "Jumlah mereka ada tujuh puluh sembilan, sesuai dengan jumlah pendekatan khusus yang saya lakukan untuk mendapatkan kredit bank dan proyek-proyek besar itu."

"Tujuh puluh sembilan?!" sahut si gendut dengan mulut menganga dan mata terbelalak.

Untuk beberapa saat si gendut berdiri terpaku dengan ekspresi terperangah. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk ke lantai. Kali ini Monika tidak hanya memberikan kejutan bagi si gendut, tapi sekaligus membuatnya tewas akibat serangan jantung!*

Jakarta, Akhir Juni 1994

* Cerpen ini pernah dimuat di Percakapan Senja, bonus kumpulan cerpen Majalah Sarinah, No. 309, 22 Agustus-4September 1994.
Baca Lengkapnya....