Sejak membeli pesawat tivi, keluarga Barjo terserang penyakit aneh. Leher mereka seperti terganjal besi yang menegang dari pangkal tulang tengkorak sampai ke pangkal dada. Mereka terpaksa selalu mendongakkan kepala ke atas. Kepala mereka tidak bisa lagi ditundukkan ke bawah, ke depan, ke kanan, dan ke kiri. Mereka hanya bisa diam atau menggeleng sambil tetap mendongak ke langit.
“Ini gara-gara Bapak memasang tivi di atap rumah,” kata Surti, putrinya, sambil terbatuk-batuk sehabis menuangkan minuman ke mulutnya.
“Lalu harus di pasang di mana?” sahut Pak Barjo di bawah kepulan asap rokoknya dengan mata terpejam-pejam karena pegal. ”Dulu ketika akan kuletakkan di ruang tamu, kalian menolak. Katanya, belajar kalian terganggu. Lalu ketika akan kutaruh di ruang tengah, kalian juga protes. Katanya, mengganggu tidur. Lantas di mana? Rumah kita kan Cuma terdiri tiga ruangan ini,” sambungnya.
“Tapi, ya jangan di atap, Pak. Masa tiap hari kita harus mendongak ke atas. Ini akibatnya. Kepala kita tidak bisa dikembalikan seperti semula. Mendongak ke atas terus. Ini lebih mengganggu belajar saya, Pak. Bahkan saya tidak dapat lagi belajar dengan baik, karena tangan saya tidak tahan harus secara terus-menerus mengangkat buku ke atas dan menghadapkannya ke bawah untuk dapat saya baca,” lanjut Surti sambil menuang lagi teh hangat ke mulutnya. Akan tetapi, karena kurang hati-hati, teh itu tertuang semua sehingga mbludak masuk ke hidungnya. Surti terbatuk-batuk keras, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya agar mulutnya bisa menghadap ke bawah dan teh itu tumpah ke lantai.
Sejak sebulan yang lalu Surti memang tidak bisa lagi melihat ke bawah, apalagi melihat kakinya sendiri. Ini juga dialami Sutris, kakaknya. Sehingga, hampir setiap hari dia terbalik memasang sepatu atau sandal di kakinya. Bahkan, dia sering salah pasang. Kaki kiri memakai sandal merah, tetapi kaki kanan memakai sandal hijau. Repotnya lagi, kakinya tidak bisa lagi merasakan mana sandal mana sepatu. Sehingga pernah suatu hari teman-teman sekelasnya tertawa sampai terkencing-kencing gara-gara dia memakai sandal jepit dan sepatu secara bersama. Kaki kiri memakai sandal jepit, kaki kanan memakai sepatu.
***
Semula teman-teman Sutris dan Surti heran, kenapa tiba-tiba mereka selalu bergaya seperti Batara Narada, selalu mendongak ke atas. Ada yang menganggap mereka telah berubah menjadi congkak hanya karena ayah mereka telah membeli tv. Ada pula yang menduga, mereka terkena cultural shock gara-gara televisi. Baru setelah Surti dan Sutris mengajak mereka berkunjung ke rumahnya dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka paham bahwa keluarga Pak Barjo sedang terserang penyakit leher yang berat dan sulit disembuhkan.
Perlakuan yang tidak kalah menyedihkan dialami Pak Barjo di lingkungan kantornya dan di dalam bus kota setiap akan berangkat ke kantor. Karena bus sering penuh, dia sering tidak bisa membungkukkan badannya untuk melihat ke depan dari dalam bus. Sehingga dia sering tidak tahu kalau bus yang ditumpangi telah jauh melewati kantornya, sehingga dia harus naik bus lagi berbalik arah menuju kantornya. Bahkan, dia sering kebablasan sampai ke terminal. Akibatnya, selain pengeluaran transportasinya naik tajam, dia juga amat sering terlambat masuk kantor.
Sering pula Pak Barjo tanpa sengaja duduk di tempat duduk bus kota yang sudah ada penumpangnya, sehingga harus menerima dampratan yang menyakitkan. Bahkan, dia pernah dihajar seorang lelaki brewok gara-gara menduduki pangkuan istri lelaki itu tanpa sengaja. Ia langsung turun dari bus walau masih jauh dari kantornya. Akan tetapi, karena tergesa-gesa, begitu turun dari bus dia terjerembab masuk selokan.
Banyak pula komentar miring dari teman-teman sekantornya. Ada yang meledek bahwa Pak Barjo terkena kutukan Tuhan karena terlalu sering menjilat atasannya, ada yang menyindir sebagai korban kecongkakannya sendiri, ada pula yang menilai sebagai korban ambisinya yang berlebihan sehingga tidak bisa lagi melihat ke bawah.
“Mana mungkin saya punya ambisi menjadi direktur, wong ijasah saya saja cuma SD,” kata Pak Barjo membela diri. “Saya dan keluarga saya benar-benar terkena penyakit leher yang aneh ini,” tambahnya.
Karena merasa kasihan, teman-teman Pak Barjo pernah membawanya ke ’bengkel manusia’ tempat praktik seorang dukun ahli tulang dan syaraf yang juga memiliki ilmu debus. Mula-mula leher barjo dikenteng dan kepalanya diluruskan. Akan tetapi, begitu tangan sang dukun dilepaskan, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas. Walau hal ini berulang kali dilakukan, selalu gagal. Saking jengkelnya, dia melepas kepala Barjo dan menyambung kembali sambil meluruskannya. Namun, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas.
Barjo kemudian berobat kepada seorang dokter bersama anak dan istrinya. Dokter itu mengatakan bahwa mereka tidak sakit apa-apa. “Ini hanya soal kebiasaan, Pak. Hanya Bapak sendiri yang bisa mengobatinya dengan cara melawan kebiasaan itu,” kata dokter.
“Kebiasaan bagaimana, Pak Dokter? Berani sumpah, sejak kecil saya tidak punya kebiasaan mendongak ke langit. Apalagi sampai menyuruh anak dan istri saya mengikuti kebiasaan buruk ini. Sejak tiga bulan yang lalu kami memang terpaksa nonton tivi tiap hari dengan mendongakkan kepala, karena tivi kami ditempatkan di atap rumah. Seminggu kemudian tiba-tiba leher kami seperti diganjal besi panjang. Kami tidak bisa lagi menganggukkan kepala. Kepala kami terus mendongak ke atas,” cerita Pak Barjo.
“Nah, pasti tivi itu menjadi sumber penyebabnya. Sebaiknya dipindahkan saja, Pak. Jangan ditaruh di atas,” saran dokter.
Sebelum memiliki tivi, keluarga Barjo memang normal-normal saja. Setidaknya, posisi kepala dan leher mereka. Mereka juga bukan tergolong keluarga yang congkak, karena memang tidak memiliki sesuatupun yang bisa dicongkakkan. Mereka tergolong keluarga miskin, keluarga pegawai rendah yang hanya menempati rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari tiga petak kecil. Karena itulah, setelah membeli pesawat tivi hitam putih 12 inci, mereka kerepotan untuk menempatkannya. Petak paling belakang sudah dipergunakan sebagai kamar tidur bersama istrinya, petak tengah untuk tidur kedua anaknya, sedang petak paling depan untuk ruang tamu sekaligus ruang belajar kedua anaknya.
Ketiga petak kamar berukuran masing-masing 2x2 meter persegi itu pun sudah penuh berbagai barang. Teras belakang sudah dimanfaatkan untuk dapur darurat bersama tetangga belakang. Sedang kanan kiri rumahnya berhimpitan dengan rumah lain. Untuk mandi dan buang air, mereka memanfaatkan kamar mandi umum. Mereka memang tinggal di perkampungan yang kumuh dan sangat padat. Ruang yang masih agak kosong barangkali hanya teras depan yang berukuran sekitar 1x2 meter persegi. Namun, untuk menempatkan tivi di teras depan, dia takut kalau dianggap pamer oleh para tetangganya yang rata-rata bermulut usil. Akhirnya, Pak Barjo terpaksa menempatkan tivi itu di atap rumah dengan mengikatnya dan menghadapkan layar kacanya ke bawah. Tapi, akibatnya cukup fatal. Seluruh keluarganya terserang penyakit leher yang aneh itu.
Bu Barjo barangkali yang bernasib paling buruk. Setiap pergi ke pasar hampir selalu dimaki dan diajak berkelahi dengan bakul-bakul pasar atau pengunjung lain, karena hampir selalu menabrak orang yang berpapasan dengannya. Suatu hari ia bahkan pernah menabrak bakul dawet sampai dawetnya tumpah ruah di tengah pasar. Bu Barjo sendiri terjerembab di atas tumpahan dawet itu, bertindihan dengan bakul dawet.
Bu Barjo akhirnya menghindari kekonyolan-kekonyolan di pasar. Ia cukup berbelanja di warung tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Teman-teman sekolah Sutris dan Surti akhirnya juga bisa memahami keanehan yang menimpa mereka, begitu juga teman-teman kerja Pak Barjo. Bahkan, kru bus kota yang menjadi langganannya dan semua penumpang yang mengenalnya pun mulai memahami kelainan yang dideritanya. Mereka malah sering membantu Pak Barjo mencarikan tempat duduk yang kosong, menolongnya ketika naik dan turun dari bus, serta memberitahunya begitu bus yang ditumpanginya sampai di dekat kantornya.
Anehnya, yang tidak mau memahami kelainan yang diderita keluarga Barjo justru para tetangga mereka. Hampir setiap hari mereka terlibat konflik serius dengan tetangga sendiri. Mereka juga selalu menjadi bahan pembicaraan yang nadanya selalu buruk. Karena itulah, justru di kampung sendiri mereka merasa seperti hidup di neraka.
“Mereka kan cuma pura-pura saja tidak bisa menunduk. Masa hanya gara-gara nonton tivi bisa begitu,” Yu Tarmi membuka diskusi tentang keluarga Barjo di warung belanja Bu Parmin.
“Barangkali hanya untuk menarik perhatian saja, Yu, agar kita tahu bahwa si Barjo itu telah membeli tivi,” sahut Mbok Kasmonah.
“Bukan barangkali lagi, Yu. Memang iya!” Bu Parmin ikut-ikutan menimpali. “Coba saja bayangkan, Yu. Sudah berlagak mendongak begitu, masih suka nabrak-nabrak orang kalau berjalan. Kemarin saya hampir masuk selokan di depan itu gara-gara ditabrak Yu Barjo. Untung saja ada Dik Siyem yang cepat-cepat memegang tangan saya,” sambungnya sambil menunjuk selokan di tepi gang masuk ke warungnya.
“Itu masih lumayan, Yu. Kepala saya dua hari yang lalu malah tersodok dengkulnya ketika saya sedang membungkuk membetulkan sandal jepit saya yang lepas talinya. Hampir saja saya tampar mukanya. Untung dia cepat-cepat merengek minta maaf,” cerita Mbok Kasmonah berapi-api.
“Anak saya yang kecil tadi pagi juga menjadi korban tingkah si Barjo itu. Kakinya diinjak sampai menangis menjerit-jerit kesakitan. Coba bayangkan, Yu. Anak sekecil itu diinjak kakinya oleh orang sebesar Barjo. Sepatunya banyak pakunya lagi. Kaki anak saya sampai berdarah,” cerita Bu Parmi, tidak kalah emosionalnya. “Hampir saja Bapaknya anak-anak tadi berkelahi dengan si Barjo itu. Untung saja Pak RT segera datang melerai. Kalau tidak, mungkin leher si Barjo sudah dipuntir sama bapaknya anak-anak biar putus sekalian,” tambahnya sambil menggerakkan tangan menirukan seolah suaminya benar-benar memuntir leher Pak Barjo.
“Wah, payah, ya, punya tetangga seperti itu. Hampir tiap hari bikin perkara.”
“Bagaimana kalau kita usul saja sama Pak RT agar si Barjo dan keluarganya disuruh pindah ke kampung lain? Mereka di sini toh hanya kontrak. Saya dengar masa kontrak rumahnya juga hampir habis.”
“Saya setuju itu.”
“Kalau Pak RT tidak mau, kita usir saja ramai-ramai!”
“Saya setuju!”
“Saya juga setuju!”
Ketika suhu pembicaraan di warung Bu Parmin semakin memanas, tiba-tiba terdengar jeritan anak kecil, disusul teriakan minta tolong … “Tolong! Tolong! Leher anak saya diinjak Pak Barjo! Tolong! Anak saya mau dibunuh! Tolong!”
Diskusi di warung Bu Parmin pun bubar. Hampir seluruh warga kampung menghambur ke arah datangnya suara itu. Tampak Pak Barjo di tepi jalan sedang membopong anak kecil sambil duduk di tanah. Tangis anak itu telah berhenti. Tubuhnya terkulai, pingsan.
Melihat orang-orang menghambur ke arahnya, Pak Barjo panik. “Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Tadi anak ini jatuh terpeleset dan secara tidak sengaja saya menginjaknya,” kata Pak Barjo pada ibu anak itu juga kepada orang-orang yang berdiri mengelilinginya.
Ibu anak itu tidak menggubris kata-kata Pak Barjo. Ia merebut anaknya. Tiba-tiba anak itu siuman. Tangisnya meledak lagi. Kemarahan ibu itu tidak terbendung. Ia mencopot sandal plastiknya lalu memukulkannya ke kepala Pak Barjo. Ibu-ibu yang lain terpancing dengan kemarahan itu. Mereka menggebuki Pak Barjo beramai-ramai. Pak Barjo bangkit dan lari menuju rumahnya. Orang-orang pun terus memburunya.
“Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak Pak Barjo.
“Ayo! Hajar saja!”
“Ampun! Ampun!”
“Injak-injak saja lehernya biar lurus!”
“Aduh! Tolong!”
“Itu tivinya! Hancurkan saja sekalian!”
Orang-orang kampung itu semakin kalap. Tivi 12 inci yang ditempatkan di atap rumah kecil itu ikut menjadi sasaran. Mereka merontokkan tivi itu dan menghancurkannya. Bu Barjo dan kedua anaknya juga ikut menjadi korban. Untung polisi segera datang. Pak Barjo, Bu Barjo, Sutris dan Surti segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang terlibat ‘main hakim sendiri’ itu diperiksa polisi. Lima orang ditahan dengan sangkaan menjadi penyulut peristiwa penganiayaan itu dan dianggap mengobarkan kebencian orang kampung terhadap keluarga Barjo yang malang.
Anehnya, begitu pulang dari rumah sakit, leher mereka kembali normal. Tidak jelas penyebabnya, apakah karena telah diinjak-injak orang kampung, atau karena pesawat tivi penyebab penyakit leher itu sudah tidak ada lagi.
Yogyakarta, Maret 1991
* Cerpen ini memenangkan Suara Merdeka Awards 1992.
“Ini gara-gara Bapak memasang tivi di atap rumah,” kata Surti, putrinya, sambil terbatuk-batuk sehabis menuangkan minuman ke mulutnya.
“Lalu harus di pasang di mana?” sahut Pak Barjo di bawah kepulan asap rokoknya dengan mata terpejam-pejam karena pegal. ”Dulu ketika akan kuletakkan di ruang tamu, kalian menolak. Katanya, belajar kalian terganggu. Lalu ketika akan kutaruh di ruang tengah, kalian juga protes. Katanya, mengganggu tidur. Lantas di mana? Rumah kita kan Cuma terdiri tiga ruangan ini,” sambungnya.
“Tapi, ya jangan di atap, Pak. Masa tiap hari kita harus mendongak ke atas. Ini akibatnya. Kepala kita tidak bisa dikembalikan seperti semula. Mendongak ke atas terus. Ini lebih mengganggu belajar saya, Pak. Bahkan saya tidak dapat lagi belajar dengan baik, karena tangan saya tidak tahan harus secara terus-menerus mengangkat buku ke atas dan menghadapkannya ke bawah untuk dapat saya baca,” lanjut Surti sambil menuang lagi teh hangat ke mulutnya. Akan tetapi, karena kurang hati-hati, teh itu tertuang semua sehingga mbludak masuk ke hidungnya. Surti terbatuk-batuk keras, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya agar mulutnya bisa menghadap ke bawah dan teh itu tumpah ke lantai.
Sejak sebulan yang lalu Surti memang tidak bisa lagi melihat ke bawah, apalagi melihat kakinya sendiri. Ini juga dialami Sutris, kakaknya. Sehingga, hampir setiap hari dia terbalik memasang sepatu atau sandal di kakinya. Bahkan, dia sering salah pasang. Kaki kiri memakai sandal merah, tetapi kaki kanan memakai sandal hijau. Repotnya lagi, kakinya tidak bisa lagi merasakan mana sandal mana sepatu. Sehingga pernah suatu hari teman-teman sekelasnya tertawa sampai terkencing-kencing gara-gara dia memakai sandal jepit dan sepatu secara bersama. Kaki kiri memakai sandal jepit, kaki kanan memakai sepatu.
***
Semula teman-teman Sutris dan Surti heran, kenapa tiba-tiba mereka selalu bergaya seperti Batara Narada, selalu mendongak ke atas. Ada yang menganggap mereka telah berubah menjadi congkak hanya karena ayah mereka telah membeli tv. Ada pula yang menduga, mereka terkena cultural shock gara-gara televisi. Baru setelah Surti dan Sutris mengajak mereka berkunjung ke rumahnya dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka paham bahwa keluarga Pak Barjo sedang terserang penyakit leher yang berat dan sulit disembuhkan.
Perlakuan yang tidak kalah menyedihkan dialami Pak Barjo di lingkungan kantornya dan di dalam bus kota setiap akan berangkat ke kantor. Karena bus sering penuh, dia sering tidak bisa membungkukkan badannya untuk melihat ke depan dari dalam bus. Sehingga dia sering tidak tahu kalau bus yang ditumpangi telah jauh melewati kantornya, sehingga dia harus naik bus lagi berbalik arah menuju kantornya. Bahkan, dia sering kebablasan sampai ke terminal. Akibatnya, selain pengeluaran transportasinya naik tajam, dia juga amat sering terlambat masuk kantor.
Sering pula Pak Barjo tanpa sengaja duduk di tempat duduk bus kota yang sudah ada penumpangnya, sehingga harus menerima dampratan yang menyakitkan. Bahkan, dia pernah dihajar seorang lelaki brewok gara-gara menduduki pangkuan istri lelaki itu tanpa sengaja. Ia langsung turun dari bus walau masih jauh dari kantornya. Akan tetapi, karena tergesa-gesa, begitu turun dari bus dia terjerembab masuk selokan.
Banyak pula komentar miring dari teman-teman sekantornya. Ada yang meledek bahwa Pak Barjo terkena kutukan Tuhan karena terlalu sering menjilat atasannya, ada yang menyindir sebagai korban kecongkakannya sendiri, ada pula yang menilai sebagai korban ambisinya yang berlebihan sehingga tidak bisa lagi melihat ke bawah.
“Mana mungkin saya punya ambisi menjadi direktur, wong ijasah saya saja cuma SD,” kata Pak Barjo membela diri. “Saya dan keluarga saya benar-benar terkena penyakit leher yang aneh ini,” tambahnya.
Karena merasa kasihan, teman-teman Pak Barjo pernah membawanya ke ’bengkel manusia’ tempat praktik seorang dukun ahli tulang dan syaraf yang juga memiliki ilmu debus. Mula-mula leher barjo dikenteng dan kepalanya diluruskan. Akan tetapi, begitu tangan sang dukun dilepaskan, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas. Walau hal ini berulang kali dilakukan, selalu gagal. Saking jengkelnya, dia melepas kepala Barjo dan menyambung kembali sambil meluruskannya. Namun, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas.
Barjo kemudian berobat kepada seorang dokter bersama anak dan istrinya. Dokter itu mengatakan bahwa mereka tidak sakit apa-apa. “Ini hanya soal kebiasaan, Pak. Hanya Bapak sendiri yang bisa mengobatinya dengan cara melawan kebiasaan itu,” kata dokter.
“Kebiasaan bagaimana, Pak Dokter? Berani sumpah, sejak kecil saya tidak punya kebiasaan mendongak ke langit. Apalagi sampai menyuruh anak dan istri saya mengikuti kebiasaan buruk ini. Sejak tiga bulan yang lalu kami memang terpaksa nonton tivi tiap hari dengan mendongakkan kepala, karena tivi kami ditempatkan di atap rumah. Seminggu kemudian tiba-tiba leher kami seperti diganjal besi panjang. Kami tidak bisa lagi menganggukkan kepala. Kepala kami terus mendongak ke atas,” cerita Pak Barjo.
“Nah, pasti tivi itu menjadi sumber penyebabnya. Sebaiknya dipindahkan saja, Pak. Jangan ditaruh di atas,” saran dokter.
Sebelum memiliki tivi, keluarga Barjo memang normal-normal saja. Setidaknya, posisi kepala dan leher mereka. Mereka juga bukan tergolong keluarga yang congkak, karena memang tidak memiliki sesuatupun yang bisa dicongkakkan. Mereka tergolong keluarga miskin, keluarga pegawai rendah yang hanya menempati rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari tiga petak kecil. Karena itulah, setelah membeli pesawat tivi hitam putih 12 inci, mereka kerepotan untuk menempatkannya. Petak paling belakang sudah dipergunakan sebagai kamar tidur bersama istrinya, petak tengah untuk tidur kedua anaknya, sedang petak paling depan untuk ruang tamu sekaligus ruang belajar kedua anaknya.
Ketiga petak kamar berukuran masing-masing 2x2 meter persegi itu pun sudah penuh berbagai barang. Teras belakang sudah dimanfaatkan untuk dapur darurat bersama tetangga belakang. Sedang kanan kiri rumahnya berhimpitan dengan rumah lain. Untuk mandi dan buang air, mereka memanfaatkan kamar mandi umum. Mereka memang tinggal di perkampungan yang kumuh dan sangat padat. Ruang yang masih agak kosong barangkali hanya teras depan yang berukuran sekitar 1x2 meter persegi. Namun, untuk menempatkan tivi di teras depan, dia takut kalau dianggap pamer oleh para tetangganya yang rata-rata bermulut usil. Akhirnya, Pak Barjo terpaksa menempatkan tivi itu di atap rumah dengan mengikatnya dan menghadapkan layar kacanya ke bawah. Tapi, akibatnya cukup fatal. Seluruh keluarganya terserang penyakit leher yang aneh itu.
Bu Barjo barangkali yang bernasib paling buruk. Setiap pergi ke pasar hampir selalu dimaki dan diajak berkelahi dengan bakul-bakul pasar atau pengunjung lain, karena hampir selalu menabrak orang yang berpapasan dengannya. Suatu hari ia bahkan pernah menabrak bakul dawet sampai dawetnya tumpah ruah di tengah pasar. Bu Barjo sendiri terjerembab di atas tumpahan dawet itu, bertindihan dengan bakul dawet.
Bu Barjo akhirnya menghindari kekonyolan-kekonyolan di pasar. Ia cukup berbelanja di warung tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Teman-teman sekolah Sutris dan Surti akhirnya juga bisa memahami keanehan yang menimpa mereka, begitu juga teman-teman kerja Pak Barjo. Bahkan, kru bus kota yang menjadi langganannya dan semua penumpang yang mengenalnya pun mulai memahami kelainan yang dideritanya. Mereka malah sering membantu Pak Barjo mencarikan tempat duduk yang kosong, menolongnya ketika naik dan turun dari bus, serta memberitahunya begitu bus yang ditumpanginya sampai di dekat kantornya.
Anehnya, yang tidak mau memahami kelainan yang diderita keluarga Barjo justru para tetangga mereka. Hampir setiap hari mereka terlibat konflik serius dengan tetangga sendiri. Mereka juga selalu menjadi bahan pembicaraan yang nadanya selalu buruk. Karena itulah, justru di kampung sendiri mereka merasa seperti hidup di neraka.
“Mereka kan cuma pura-pura saja tidak bisa menunduk. Masa hanya gara-gara nonton tivi bisa begitu,” Yu Tarmi membuka diskusi tentang keluarga Barjo di warung belanja Bu Parmin.
“Barangkali hanya untuk menarik perhatian saja, Yu, agar kita tahu bahwa si Barjo itu telah membeli tivi,” sahut Mbok Kasmonah.
“Bukan barangkali lagi, Yu. Memang iya!” Bu Parmin ikut-ikutan menimpali. “Coba saja bayangkan, Yu. Sudah berlagak mendongak begitu, masih suka nabrak-nabrak orang kalau berjalan. Kemarin saya hampir masuk selokan di depan itu gara-gara ditabrak Yu Barjo. Untung saja ada Dik Siyem yang cepat-cepat memegang tangan saya,” sambungnya sambil menunjuk selokan di tepi gang masuk ke warungnya.
“Itu masih lumayan, Yu. Kepala saya dua hari yang lalu malah tersodok dengkulnya ketika saya sedang membungkuk membetulkan sandal jepit saya yang lepas talinya. Hampir saja saya tampar mukanya. Untung dia cepat-cepat merengek minta maaf,” cerita Mbok Kasmonah berapi-api.
“Anak saya yang kecil tadi pagi juga menjadi korban tingkah si Barjo itu. Kakinya diinjak sampai menangis menjerit-jerit kesakitan. Coba bayangkan, Yu. Anak sekecil itu diinjak kakinya oleh orang sebesar Barjo. Sepatunya banyak pakunya lagi. Kaki anak saya sampai berdarah,” cerita Bu Parmi, tidak kalah emosionalnya. “Hampir saja Bapaknya anak-anak tadi berkelahi dengan si Barjo itu. Untung saja Pak RT segera datang melerai. Kalau tidak, mungkin leher si Barjo sudah dipuntir sama bapaknya anak-anak biar putus sekalian,” tambahnya sambil menggerakkan tangan menirukan seolah suaminya benar-benar memuntir leher Pak Barjo.
“Wah, payah, ya, punya tetangga seperti itu. Hampir tiap hari bikin perkara.”
“Bagaimana kalau kita usul saja sama Pak RT agar si Barjo dan keluarganya disuruh pindah ke kampung lain? Mereka di sini toh hanya kontrak. Saya dengar masa kontrak rumahnya juga hampir habis.”
“Saya setuju itu.”
“Kalau Pak RT tidak mau, kita usir saja ramai-ramai!”
“Saya setuju!”
“Saya juga setuju!”
Ketika suhu pembicaraan di warung Bu Parmin semakin memanas, tiba-tiba terdengar jeritan anak kecil, disusul teriakan minta tolong … “Tolong! Tolong! Leher anak saya diinjak Pak Barjo! Tolong! Anak saya mau dibunuh! Tolong!”
Diskusi di warung Bu Parmin pun bubar. Hampir seluruh warga kampung menghambur ke arah datangnya suara itu. Tampak Pak Barjo di tepi jalan sedang membopong anak kecil sambil duduk di tanah. Tangis anak itu telah berhenti. Tubuhnya terkulai, pingsan.
Melihat orang-orang menghambur ke arahnya, Pak Barjo panik. “Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Tadi anak ini jatuh terpeleset dan secara tidak sengaja saya menginjaknya,” kata Pak Barjo pada ibu anak itu juga kepada orang-orang yang berdiri mengelilinginya.
Ibu anak itu tidak menggubris kata-kata Pak Barjo. Ia merebut anaknya. Tiba-tiba anak itu siuman. Tangisnya meledak lagi. Kemarahan ibu itu tidak terbendung. Ia mencopot sandal plastiknya lalu memukulkannya ke kepala Pak Barjo. Ibu-ibu yang lain terpancing dengan kemarahan itu. Mereka menggebuki Pak Barjo beramai-ramai. Pak Barjo bangkit dan lari menuju rumahnya. Orang-orang pun terus memburunya.
“Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak Pak Barjo.
“Ayo! Hajar saja!”
“Ampun! Ampun!”
“Injak-injak saja lehernya biar lurus!”
“Aduh! Tolong!”
“Itu tivinya! Hancurkan saja sekalian!”
Orang-orang kampung itu semakin kalap. Tivi 12 inci yang ditempatkan di atap rumah kecil itu ikut menjadi sasaran. Mereka merontokkan tivi itu dan menghancurkannya. Bu Barjo dan kedua anaknya juga ikut menjadi korban. Untung polisi segera datang. Pak Barjo, Bu Barjo, Sutris dan Surti segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang terlibat ‘main hakim sendiri’ itu diperiksa polisi. Lima orang ditahan dengan sangkaan menjadi penyulut peristiwa penganiayaan itu dan dianggap mengobarkan kebencian orang kampung terhadap keluarga Barjo yang malang.
Anehnya, begitu pulang dari rumah sakit, leher mereka kembali normal. Tidak jelas penyebabnya, apakah karena telah diinjak-injak orang kampung, atau karena pesawat tivi penyebab penyakit leher itu sudah tidak ada lagi.
Yogyakarta, Maret 1991
* Cerpen ini memenangkan Suara Merdeka Awards 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar