Hingga kini, kita masih mewarisi begitu banyak sastra (di) daerah, yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Sastra-sastra daerah tersebut mengendap di dasar memori kolektif suku-suku setempat, dalam bentuknya yang tradisional, seperti puisi (pantun, geguritan, parikan), prosa (cerita rakyat, dongeng, hikayat, legenda). Di dalam sastra-sastra daerah tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal, yang tidak jarang dimensinya universal.
Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.
Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.
Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.
Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.
Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.
DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.
Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.
Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.
Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.
Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).
Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.
Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.
Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber)
Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.
Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.
Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.
Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.
Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.
DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.
Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.
Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.
Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.
Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.
Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).
Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.
Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.
Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar