Suatu hari, pada tahun 2003, saya menerima buku kumpulan cerpen 20 Tahun Cinta. Saat itu, saya merasa gembira sekaligus terkesima. Buku kumpulan cerpen terbitan Senayan Abadi Publishing itu tidak hanya dikemas secara elegan dengan desain grafis yang cantik, tapi juga memuat cerpen-cerpen karya para cerpenis ternama yang beberapa di antaranya dikenal sebagai penulis buku-buku bestseller.
Spontan saya memprediksi, buku tersebut akan laris. Dan, kabarnya, cetakan pertama buku tersebut habis tidak sampai sebulan. Saya melihat, buku kumpulan cerpen seperti 20 Tahun Cinta tidak hanya pantas untuk dimiliki oleh pecinta fiksi Indonesia, tetapi juga cukup bernilai — dan PD — untuk menjadi souvenir, hadiah ulang tahun, dan bahkan kado pernikahan. Tentu, begitu juga buku-buku serupa yang terbit berikutnya.
Misalnya, Mengetuk Cintamu, Wajah di Balik Jendela, Sembilan Kuntum Adelweis dan Pipit tak Selamanya Luka. Desain cover-nya yang indah, dengan huruf dan ilustrasi timbul, membuat buku-buku tersebut juga elok untuk dipajang di ruang tamu. Tentu juga novel Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman el-Shirazy, yang menjadi mega bestseller, dan karya-karya Gola Gong, yang rata-rata juga laris manis.
Selain mereka, cerpenis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja juga dikenal sebagai penulis buku fiksi bestseller. Buku Asma, Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, dalam tiga pekan sudah mengalami cetak ulang dua kali. Sedangkan Gola Gong sudah dikenal lama sebagai penulis bestseller dengan serial novel trilogi PadaMu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan Tempatku di SisiMu (DAR Mizan), serta serial Kupu-Kupu Pelangi. Sedangkan Pipiet Senja memiliki novel bestseller bertajuk Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim).
Masih banyak cerpenis lain yang sempat ikut mengisi khasanah fiksi Islami, dan ikut menghadirkan souvenir-souvenir sastra yang bermakna, seperti Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Kurnia Effendi, Teguh Winarsho AS, Isbedy Stiawan ZS, Fahrunnas MA Jabbar, Khairul Jasmi, Novia Syahidah, Fahri Aziza, Yus R Ismail, Nurul F Huda, Irwan Kelana, Arlen Ara Guci, dan M Arman AZ.
Di antara jenis-jenis karya sastra modern yang dikenal masyarakat, fiksi — baik cerpen maupun novel — memang merupakan jenis karya sastra yang paling diminati masyarakat. Indikasinya, sangat banyak buku kumpulan cerpen maupun novel yang menjadi bestseller. Di luar fiksi Islami, novel Saman karya Ayu Utami, dan Super Nova karya Dewi ‘Dee’ Lestari, juga bestseller.
Rubrik-rubrik cerpen maupun novel (dalam bentuk cerita bersambung) di surat kabar juga sangat diminati dan memiliki rating pembaca cukup tinggi. Majalah khusus cerpen, Annida, juga mampu mencapai oplah di atas 70 ribu eksemplar, jauh di atas oplah Majalah Horison dan majalah berita yang ada di Indonesia.
Di tingkat global, kita mengenal buku-buku novel maupun kisah serial yang bestseller di hampir seluruh pelosok dunia dan dicetak sampai puluhan juta eksemplar. Serial Harry Potter misalnya, selalu ditunggu seri terbarunya oleh puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia. Novel-novel detektif karya John Grisham juga selalu bestseller. Begitu juga novel-novel Dean Koontz, novelis AS paling ternama AS saat ini, seperti The Husband.
Realitas di atas menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya menyimpan potensi bisnis yang tinggi, tapi juga potensi pencerahan rokhani yang besar. Daya sugesti fiksi yang kuat, dengan peredarannya yang luas, sangat potensial mempengaruhi sifat dan karakter pembacanya. Dengan kata lain, fiksi dapat ikut mempengaruhi proses perubahan sosial.
Dan, di sinilah diperlukannya fiksi-fiksi Islami untuk dapat ikut mendorong proses perubahan masyarakat ke arah yang tercerahkan. Larisnya buku-buku fiksi Islami — bahkan sempat booming sepanjang tahun 1999-2006 — membuktikan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memang membutuhkan fiksi-fiksi Islami sebagai bacaan yang tidak hanya menghibur, tapi juga aman dan mencerahkan.
Fiksi Islami, secara sederhana dimaksudkan sebagai fiksi yang secara tematik (isinya) bersemangat Islami, dan secara estetik (disajikan) secara Islami pula. Namun, tidak berarti harus dipenuhi simbol-simbol Islam formal, seperti masjid, kalimat syahadat, takbir, dan istighfar.
Untuk dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, guna memberikan pencerahan secara lebih luas, yang ideal adalah novel Islami secara substansial. Tapi, jika memang diperlukan sebagai latar (setting), tentu tidak perlu ragu-ragu untuk menampilkan realitas dunia Islam dalam fiksi-fiksi kita. Fiksi-fiksi yang menuntun perjalanan rokhani menjadi hamba yang bertauhid dan cinta Allah SWT tetap penting juga.
Karena Islam bersifat universal, maka fiksi-fiksi Islami dapat mengeksplorasi tema-tema yang beragam, sejak kisah cinta, keluarga, politik, perang dan tragedi kemanusiaan, sampai ketakwaan pada Tuhan. Yang penting, bagaimana menghidupkan nilai-nilai Islami dalam fiksi, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan pembacanya. Sebab, fungsi terpenting kebudayaan, termasuk sastra, adalah meningkatkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Bukan sebaliknya.
Karena itu, marilah kita jadikan buku fiksi Islami sebagai souvenir yang benar-benar indah dan bermakna.
Pernah dimuat di Republika 19 Agus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar