Sebelum beranjak jauh, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu dua istilah kunci dalam bahasan ini, yakni ‘genre’ dan ‘sastra koran’. Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, ‘genre’ berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘jenis’ atau ‘ragam’, dan dalam bahasa Ingris disebut ‘type’.1 Jadi, genre sastra adalah jenis karya sastra yang memiliki bentuk (pola), teknik estetik, atau isi (tematik) yang bersifat tetap dalam suatu ragam sastra.
Sedangkan ‘sastra koran’ adalah istilah yang digunakan untuk menyebut karya-karya sastra, baik cerpen, novel, puisi maupun esei, yang dimuat (dipubli-kasikan) di surat kabar.2 Dengan demikian, sebenarnya istilah ‘sastra koran’ tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya sebuah genre sastra, tapi menunjuk karya-karya sastra yang memanfaatkan koran sebagai media publikasi pertama. Istilah ini sejajar dengan istilah ‘sastra saiber’ (cyber) yang sejauh ini masih hanya menunjuk ruang saiber (cyber space, internet) sebagai media publikasi karya.
Sebab, sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan menemukan adanya ciri-ciri spesifik dan signifikan terhadap sastra koran – juga sastra saiber -- untuk membedakannya dengan ‘sastra buku’ sehingga dapat disebut sebagai ‘genre’ tersendiri, seperti misalnya ‘genre novel pop’ atau ‘genre fiksi Islami’ yang dikembangkan oleh para penulis Annida dan mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.
Tetapi, betulkah sastra koran tidak menunjukkan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sastra buku atau sastra majalah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu lebih dulu mengungkap realitas sastra koran, baik realitas estetik maupun tematiknya, yang menebar di berbagai surat kabar harian maupun mingguan, khususnya yang terbit di Indonesia,3 dan lebih khusus sejak dasawarsa 1970-an ketika koran-koran di Indonesia makin dimaraki karya-karya sastra terbaru dan menjadi rujukan alternatif pemikiran sastra.
Evolusi Sastra Koran
Di dalam rentang panjang sejarah sastra Indonesia (Melayu), evolusi sastra koran dapat dilacak sejak masa pra-sastra Indonesia modern. Buku-buku sejarah kesastraan Indonesia menyebut novel Si Djamin dan Si Djohan hasil saduran Merari Siregar dari novel Jan Smees karya Justus van Maurik sebagai novel Indonesia pertama yang terbit pada awal abad ke-20 (l9l9). Baru kemudian lahir novel asli Indonesia yang pertama (?), Azab dan Sengsara (l920), juga karya Merari Siregar.
Tetapi, sebelum Merari Siregar, pada akhir abad ke-l9, sebenarnya telah cukup banyak muncul prosa-prosa 'penceritaan kembali' yang dikerjakan oleh orang-orang Cina-Melayu dan Indo-Belanda, seperti Sobat Anak-anak (l884) oleh Lie Kim Hok, dan Seribu Satu Malam (l886) yang dikerjakan oleh Kim Hok dan wartawan F. Wiggers, serta puluhan buku novel saduran lainnya dari Cina dan Eropa. Baru mulai tahun l890 terbit novel-novel asli Melayu dalam bahasa Melayu-Cina yang ditulis oleh kaum wartawan, seperti Nyai Isah karya F. Wiggers, Nona Leonie karya H.F.R. Kommer, dan Rosina karya F.D.J. Pangemanan, serta Nyai Dasima karya G. Francis.4
Dari contoh-contoh karya di atas, dapat disebut bahwa sebelum masa Pujangga Baru, pada akhir abad ke-l9, kehidupan sastra berbahasa Melayu -- masa awal sastra Indonesia modern -- memang sangat ditopang oleh penerbitan buku. Namun, surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan sastra Melayu-Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan.
Memasuki masa Pujangga Baru, dalam dasawarsa l930-an, selain penerbitan buku, majalah-majalah khusus, seperti majalah Poedjangga Baroe, Wasita dan Pusara, mulai ikut mengambil peranan itu, bersama surat kabar (Pewarta Deli dan Suara Indonesia). Tokoh-tokoh sastra Indonesia modern, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, mulai dikenal luas, selain melalui buku-buku novelnya, juga melalui pemikiran-pemikirannya yang dilansir dalam majalah-majalah tersebut.
Memanfaatkan majalah dan surat kabar itu pula sebuah tonggak pemikiran kebudayaan Indonesia modern dibangun melalui sebuah polemik panjang yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan -- polemik pertama tentang kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam tahun l935 sampai l936 dan diulang pada tahun l939.
Memasuki dasawarsa l940-an (masa Angkatan 45), majalah sastra menampakkan peranan yang makin dominan dalam membangun tradisi sastra Indonesia modern, termasuk pemikiran-pemikiran tentang kesastraan. Pemikiran-pemikiran 'wali penjaga sastra Indonesia' H.B. Jassin, misalnya, banyak disosialisasikan melalui majalah-majalah (sastra), seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah dan Sastra.
Dari tulisan-tulisan lepas dimajalah-majalah itu buku-buku Jassin umumnya lahir. Buku Tifa Penyair dan Daerahnya, misalnya, merupakan kumpulan tulisan Jassin yang dimuat di Mimbar Indonesia. melalui majalah-majalah itu pula, terutama arus pemikiran dan kecenderungan sastra Indonesia dibangun, termasuk 'penobatan' penyair Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh Jassin. Majalah sastra/budaya mulai tumbuh menjadi semacam pusat sekaligus kiblat pertumbuhan sastra Indonesia.
Masa kekuasaan 'rezim majalah sastra' itu berlangsung sampai pada era majalah Horison (perlu disebut juga majalah Budaya Jaya dan Basis) yang terbit pertama kali pada tahun l966. Sejak terbit, terutama sepanjang l970-an sampai awal l980-an, Horison mampu membangun citra dirinya sebagai majalah sastra yang benar-benar berwibawa. Para penyair, cerpenis, eseis/kritikus dan pengamat sastra pada umumnya, seperti kurang lengkap referensi bacaannya jika tidak membaca Horison. Keberadaan mereka -- penyair, cerpenis, eseis dan kritikus sastra -- juga seperti belum sah jika belum mampu menembus gawang Horison untuk mempublikasikan karya-karya mereka di majalah tersebut. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki, Horison menjadi semacam forum legitimasi (penobatan), karena disanalah, menurut anggapan banyak penyair daerah, para 'dewa sastra' bersemayam.
Jadilah, Horison, ketika itu, tidak hanya menjadi kiblat atau standar kualitatif karya sastra, tapi juga menjadi pusat nilai-nilai sastra -- estetik maupun tematik -- yang mampu melahirkan mainstream ataupun narasi besar (grand narration) sastra Indonesia. Munculnya fenomena sajak-sajak imajis pada akhir l970-an dan hampir sepanjang dasawarsa l980-an yang dituding Emha Ainun Najib sebagai 'rezim anutan tunggal' misalnya, tidak terlepas dari kecenderungan Sapardi Djoko Damono selaku penjaga gawang puisi Horison untuk lebih banyak menurunkan sajak-sajak bergaya demikian.
Namun, memasuki dasawarsa l980-an (sudah terasa gejalanya sejak l970-an), peranan majalah sastra mulai terbagi oleh rubrik-rubrik sastra yang menjamur di hampir semua surat kabar pusat dan daerah. Bukan hanya koran-koran mingguan yang menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, esei sastra dan novel (cerita bersambung), tapi juga surat-surat kabar harian seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas5, Sinar Harapan, dan Media Indonesia. Di tangan 'Presiden Malioboro' Umbu Landu Paranggi, Pelopor Yogya bahkan telah memulai tradisi sastra koran sejak l970-an dan sempat ikut mengantarkan nama-nama besar seperti Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan dan Linus Suryadi AG.
Koran-koran nasional terkemuka, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Tempo, Republika6, Pelita, dan Berita Buana7, menyediakan sedikitnya sehalaman penuh tiap edisi Ahad untuk sastra. Kompas bahkan masih menambah rubrik Bentara untuk sastra tiap Rabu, seperti pernah juga dilakukan oleh Republik dengan Siesta-nya tiap Sabtu. Halaman untuk sastra juga disediakan oleh hampir semua surat kabar daerah, seperti Suara Merdeka (Semarang), Kedalatan Rakyat (Yogyakarta), Jawa Pos (Surabaya), Bali Post (Denpasar), Pikiran Rakyat (Bandung), Lampung Post (Lampung), dan Banjarmasin Post (Banjarmasin). Koran-koran mingguan, seperti Minggu Pagi, Simponi dan Swadesi8 bahkan menjadikan halaman sastra sebagai salah satu konten andalan.9
Dasawarsa l980-an sampai awal l990-an benar-benar menjadi era kekuasaan 'rezim sastra koran'.10 Rubrik sastra surat kabar yang seperti mengambil alih fungsi-fungsi penting majalah sastra, termasuk menobatkan penyair muda untuk diakui keberadaannya secara nasional. Horison dan Basis dengan 'susah payah' memang tetap terbit. Tapi, kesediaan surat kabar untuk memberikan honor yang relatif lebih besar dibanding majalah sastra, dan frekuensi terbitnya yang jauh lebih tinggi, menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyair, eseis/kritikus maupun cerpenis, untuk mempublikasikan karya-karya mereka ke rubrik sastra di surat kabar.
Seperti halnya Horison, rubrik sastra di surat kabar juga mampu mempengaruhi munculnya mainstream atau kecenderungan dominan dalam sastra. Surat kabar tidak hanya berperan memberikan informasi tentang berbagai peristiwa sastra, tidak juga hanya memuat karya-karya sastra terpilih dari para pengirimnya, tapi juga turut membangun suatu fenomena dan mendorong 'arus besar' dalam perkembangan sastra.
‘Genre’ Sastra Koran
Dari uraian di atas, sudah terlihat bahwa koran atau surat kabar, dan media massa cetak pada umumnya, memiliki peran yang cukup sentral dalam sejarah perkembangan sastra di Nusantara. Di Indonesia, media massa cetak -- sejak koran sampai majalah -– bahkan cukup 'memanjakan' karya sastra. Hampir semua media massa cetak yang terbit di Indonesia -– juga akhbar-akhbar di Malaysia -- menyediakan ruang khusus untuk karya sastra. Paling tidak, ada ruang untuk cerita pendek dan roman/novel.11
Peran media massa cetak di Indonesia, khususnya koran, dalam menyiarkan karya dan pemikiran sastra bahkan jauh lebih besar daripada peran majalah khusus sastra seperti Horison12. Dan, tentu juga dalam ikut mendorong pertumbuhan sastra, termasuk memunculkan fenomena ataupun mainstream baru. Mainstream sastra (puisi) sufistik, misalnya, dipompa oleh penyair Abdul Hadi WM melalui rubrik Dialog di Harian Berita Buana hampir sepanjang dasawarsa 1980-an. Fenomena puisi gelap juga ‘ditemukan’ melalui polemik di Harian Republika. Begitu juga ketika kita menyebut cerpen-cerpen seksual belakangan ini, banyak yang lahir di koran. Tentu kita juga tidak dapat menafikan peran koran Kompas, Media Indonesia, dan Tempo dalam mempengaruhi kecenderunan estetik cerpen-cerpen mutakhir Indonesia.
Melihat dominannya peran koran itu, maka sebenarnya sastra Indonesia lebih merupakan ‘sastra koran’13 -- bukan ‘sastra majalah’. Juga bukan ‘sastra buku’, mengingat sebagian besar karya sastra Indonesia yang dibukukan adalah karya-karya yang lebih dulu dipublikasikan di koran, dan ‘koran kecil’ (tabloid). Untuk buku-buku kumpulan cerpen yang terbit di Indonesia dewasa ini, misalnya, berdasarkan perhitungan kasar, sekitar 80 persen cerpen di dalamnya berasal dari cerpen yang dimuat di koran. Hanya sekitar 20 persen yang pernah dimuat di majalah (termasuk Horison dan Annida) dan sedikit cerpen yang belum pernah dipublikasikan.14 Bahkan banyak buku kumpulan cerpen yang 100 persen cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran.15 Sementara, untuk buku-buku kumpulan puisi penyair ternama, rata-rata sekitar 60 persen pernah dimuat di surat kabar.
Pertanyaannya, apakah dominannya ‘sastra koran’ dalam pertumbuhan sastra Indonesia itu telah melahirkan sebuah genre tersendiri, dengan ciri-ciri yang khas yang berbeda dengan sastra majalah dan sastra buku, sehingga pantas disebut ‘genre sastra koran’? Juga, apakah genre itu telah membangun kecenderungan besar dalam sastra Indonesia? Ataukah koran hanya menjadi media perluasan sosialisasi karya, agar lebih cepat menjangkau publiknya, karena keterbatasan jangkauan media buku dan majalah?
Berdasarkan pengamatan yang cukup seksama, agak sulit untuk menyebut ‘sastra koran’ sebagai ‘genre’ tersendiri, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kesulitan ini terjadi karena beberapa faktor, sbb.
Pertama, ciri ‘sastra koran’ sangat beragam, tergantung segmen pembacanya, ‘ideologi’ media yang menjadi dasar filosofinya, serta selera dan visi estetik redakturnya. Untuk puisi, misalnya, sajak-sajak yang masuk ke Bentara Kompas, Republika atau Media Indonesia (MI), misalnya, relatif berdeda dengan sajak-sajak yang masuk ke Koran mingguan seperti Simponi dan Swadesi. Kompas, Republika dan MI menerapkan standar estetik relatif ketat, karena untuk kalangan pembaca yang berkelas. Sedangkan Simponi dan Swadesi relatif longgar, sehingga banyak puisi remaja, atau yang baru belajar menulis sajak, dapat dimuat, karena memang untuk segmen pembaca remaja. Begitu juga untuk cerpen.
Keberagaman juga dipengaruhi oleh ideologi media yang bersangkutan. Koran yang berediologi Islam seperti Republika, akan cenderung memilih karya-karya sastra yang Islami. Meskipun tetap dapat memuat karya-karya bertema humanisme-universal, tapi akan tegas menghindari karya-karya sastra masokis, serta sastra seksual yang vulgar dan serba terbuka, seperti misalnya cerpen-cerpen Hudan Hidayat, Djenar Maesa Ayu, dan sajak-sajak Binhad Nurrahmad. Meskipun, bisa saja karya-karya mereka masuk ke Koran yang lebih liberal, seperti Media Indonesia.16 Hal ini juga mempengaruhi pemilihan tema karya sastra yang dimuat. Begitu juga selera dan visi estetik redakturnya. Kompas, Suara Pembaruan dan Republika, misalnya, cenderung lebih menyukai cerpen-cerpen realistic. Sementara MI, cenderung ke cerpen-cerpen eksperimental.17
Kedua, ciri-ciri estetik maupun tematik ‘sastra koran’ relatif tidak dapat dibedakan dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Rata-rata cerpenis atau penyair, misalnya, cenderung tidak membedakan karyanya yang dikirim ke majalah sastra Horison, misalnya, dengan yang dikirim ke koran harian seperti Kompas, Suara Pembaruan, atau Tempo. Dan, karya-karya, terutama cerpen, yang sudah dimuat di Koran dan majalah sastra itulah umumnya yang kemudian mereka terbitkan menjadi buku. Kalau mau dicari perbedaannya, barangkali, hanya terletak pada kepadatan dan kepanjangannya. Khusus untuk Republika, karena keterbatasan ruang, hanya dapat memuat cerpen sepanjang sekitar 8-9 ribu karakter. Sedangkan untuk majalah Horison bisa 14 ribu karakter. Tetapi, cerpen sepanjang sekitar 12 ribu karakter juga dapat muncul di Kompas dan Suara Pembaruan. Jadi, dari sisi inipun tidak ada perbedaan yang signifikan.
Ketiga, belum tampak adanya semangat bersama dari para redaktur sastra koran untuk menjadikan rubriknya sebagai ‘media sastra garda depan’ (avant gardei) guna membangun ciri estetik secara kuat dan konsisten agar menjadi mainstream baru sastra Indonesia. Barangkali, memang ada di antara redaktur sastra koran yang bervisi estetik seperti itu, tetapi karena kurang konsisten atau hanya berjuang sendiri, maka perjuangan estetiknya kurang berpengaruh luas pada perkembangan sastra Indonesia, dan karena itu tidak mampu membangun sastra koran menjadi genre sastra tersendiri.
Dan, keempat, rata-rata redaktur sastra koran, barangkali, memang sengaja bersikap moderat dan terbuka terhadap keberagaman (berbagai kemungkinan) estetik dan tematik karya-karya sastra yang dimuatnya. Dia tidak ingin memaksakan selera dan visi estetiknya sendiri terhadap karya-karya sastra yang dipilih untuk dimuatnya, dan sengaja membiarkan rubrik sastra yang dikelolanya sebagai semacam ‘taman bunga’ yang ditumbuhi aneka macam dan warna bunga yang berbeda-beda tapi sama-sama harum dan indahnya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka akan sulit untuk menarik garis tegas tentang ciri-ciri khas sastra koran untuk dapat disebut sebagai sebuah genre tersendiri, karena tidak ada ciri yang bersifat tetap, baik mengenai bentuk, teknik estetik, maupun isi (tematik), pada sastra koran, yang membedakannya dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kalaupun ada yang menyebut ‘kepadatan’ dan ‘kependekan’ sebagai ciri umum ‘sastra koran’ – pada cerpen maupun puisi – ciri yang hanya bersifat teknis ini kurang signifikan untuk menyebutnya sebagai genre tersendiri. Apalagi, kini cerpen maupun puisi yang dimuat Horison dan terkumpul dalam buku juga cenderung pendek-pendek, sehingga relatif tidak berbeda dengan puisi dan cerpen koran.
Penutup
Di atas telah diuraikan secara panjang lebar bahwa koran memiliki peran yang sangat besar dan sentral dalam ikut menumbuh-kembangkan sastra Indonesia. Tetapi, tidak ditemukan indikasi yang signifikan pada sastra koran untuk membangun ciri-ciri khas yang kuat agar sastra koran dapat disebut sebagai genre tersendiri.
Dengan kecenderungan seperti itu, di satu sisi, sastra koran kurang memiliki kekuatan untuk membangun mainstream estetik tertentu yang dominan dalam tradisi kreatif sastra Indonesia. Tetapi, di sisi lain, kecenderungan yang mengarah ke heterogenitas sastra itu justru menguntungkan, karena berbagai kemungkinan pencapaian estetik baru tetap akan terbuka dalam iklim kreatif sastra Indonesia. Kita tinggal memanfaatkan peluang estetik yang sangat terbuka itu, dan berharap akan berlahiran masterpiece-masterpiece baru sastra Indonesia.***
Jakarta, 2004/2005
Daftar Rujukan:
1. Ayu, Djenar Maesa, Mereka Bilang Saya Monyet, kumpulan cerpen, Gramedia, Jakarta, 2002.
2. Darma, Budi, Prof., Dr., Kritik Cerpen: Seni, esei di Kompas edisi Minggu, 8 Juni 2003.
3. Effendi, Kurnia, Bercinta di Bawah Bulan, kumpulan cerpen, MataBaca, Jakarta, 2004.
4. Hasanuddin WS, Prof., Dr., Ensiklopedi Sastra Indonesi, Titian Ilmu, Bandung, 2004.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, Dari Rezim Sastra Koran ke Sastra Digital, dalam buku Panorama Sastra Nusantara, Taufiq Ismail dkk., ed., Balai Pustaka, Jakarta, 1997, halaman 375-392.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, Badai Laut Biru, kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
8. Hidayat, Hudan, Keluarga Gila, kumpulan cerpen, CWI, Jakarta, 2004.
Sudjiman, Panuti, ed., Kamus Istilah Sastra, Gramedia, Jakarta, 1984.
9. Kelana, Irwan, Kelopak Mawar Terakhir, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
10. Sumardjo, Jakob, Drs., Segi Sosiologi Novel Indonesia, Pustaka Prima, Bandung, 1981.
11. Berbagai koran, majalah, dan tabloid terbitan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
------------- biografi -------------
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak tahun 1979 banyak menulis cerpen, puisi dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi karya yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), Paradoks Kilas Balik (kumpulan cerpen, Radio Nederland, 1989), Pagelaran (kumpulan cerpen, Bentang, 1993), Lukisan Matahari (antologi cerpen, Bernas, 1993), Secreets Need Words (antologi puisi, Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (antologi puisi dunia, Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda).
Tahun 1992 ia memenangkan sayembara menulis cerpen (juara pertama) Suara Merdeka Awards, dan juara pertama lomba menulis puisi Islami Yayasan Iqra Jakarta. Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. Tahun 2003 ia menjadi pembicara dalam Temu Sastra Jakarta di TIM. Dan, tahun 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya.
Ahmadun juga sering diundang untuk menjadi panelis dalam berbagai diskusi dan seminar sastra lainnya di berbagai kota di Tanah Air. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004) dan The Worshipping Grass (puisi dwi-bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2004).
Selain menulis dan menjalani profesi sebagai wartawan, alumnus sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta ini juga aktif di berbagai organisasi. Antara lain, di HMI dan ICMI. Ia juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002), dewan pendiri Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) dan anggota Dewan Penasihat Forum Lingkar Pena (FLP). Sehari-hari kini ia redaktur sastra Harian Umum Republika. Karya-karya dan tentang dirinya, kini juga dapat ditemukan di www.poetry.com, www.google.com, www.yahoo.com, dan www.cybersastra.net. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Mobile: 081315382096. Email: ahmadun21@yahoo.com.*
Tulisan yang bagus, salute.... propriate!
BalasHapusmantap! terpercaya!
BalasHapusikutanlah kereen
BalasHapusyang lainnya ditunggu
BalasHapusGood share.. 👍
BalasHapus