Sastra, MPU, dan Persoalan Lingkungan

Masalah lingkungan dan jejak alam pada sastra menjadi tema penting dalam Temu Sastra III Mitra Praja Utama (MPU), yang berlangsung di Hotel Panorama Lembang, Bandung, 4-6 November 2008. Selain menempatkan sastra dan lingkungan hidup sebagai tema acara, jejak alam pada sastra menjadi salah satu tema diskusi.

Persoalan lingkungan, seperti diakui Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat membuka acara, memang sedang menjadi perhatian Pemda Provinsi Jabar. Mengikuti semangat peduli lingkungan itu, temu sastra yang diikuti oleh sekitar 60 sastrawan dan peminat sastra dari 10 provinsi anggota MPU itu pun mengambil tema tentang lingkungan.

Temu Sastra MPU yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jabar itu merupakan yang ke-tiga. Untuk pertama kali, Temu Sastra MPU diadakan di Anyer, Banten, dan yang kedua diadakan di Pantai Sanur, Bali — diselenggarakan oleh Pemprov masing-masing.

Temu sastra ini diselenggarakan secara bergiliran oleh 10 provinsi anggota MPU. Semula dua tahun sekali, namun kini menjadi setahun sekali dan tahun depan (2009) giliran Pemprov Jawa Tengah sebagai penyelenggara — direncanakan akan digelar di kawasan Borobudur.

Peserta Temu Sastra MPU cukup terbatas. Tiap provinsi hanya mendapat jatah lima peserta (4 sastrawan dan 1 birokrat) yang akomodasinya ditanggung Panitia. Jika akan menambah jumlah peserta, maka menjadi tanggungan Pemprov masing-masing. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta selalu mengirimkan peserta terbanyak. Tahun ini, misalnya, mengirimkan 15 peserta (11 sastrawan dan 4 birokrat).

Menu utama Temu Sastra MPU meliputi diskusi, pentas sastra (baca puisi dan cerpen), sidang peserta, serta wisata budaya. Di Bandung, temu sastra ini mencatatkan satu langkah maju dengan diterbitkannya dua buku karya peserta yang merupakan salah satu rekomendasi dari Temu Sastra MPU Bali — yakni buku kumpulan cerpen Sebelum Meledak dan kumpulan puisi Tangga Menuju Langit.

Sedikitnya delapan pembicara ditampilkan pada Temu Sastra MPU Bandung. Maman S Mahayana dan Safrina Noorman membahas jejak alam dalam sastra Indonesia, M Irfan Hidayatullah dan Warih Wisatsana membahas peran komunitas sastra, Beni Setia membahas pengaruh lingkungan dalam proses kreatif, Triyanto Triwikromo membahas sastra dan dunia maya, Jakob Sumarjo membahas manusia dan pantun Sunda, serta Bambang Sugiharto membahas manusia Indonesia dalam sastra mutakhir.

Jejak alam

Sesuai dengan tema acara, sesi diskusi yang menampilkan Maman S Mahayana dan Safrina Noorman penting untuk disimak. Maman membahas jejak alam dalam prosa Indonesia, sedangkan Safrina membahas jejak alam dalam puisi Indonesia.Karya sastra, menurut Maman, selalu mengungkapkan empat konflik laten yang dihadapi manusia: konflik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan.
Jika sastra (novel) diyakini sebagai representasi gagasan sastrawannya ketika berhadapan dengan serangkaian konflik itu, maka jejak alam dalam novel Indonesia mutakhir, kata Maman, laksana potret masyarakat Indonesia dalam memandang dan memperlakukan alam.Dalam hampir semua novel Indonesia, yang coba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita tetapi juga sebagai masalah yang coba diangkatnya, alam bukanlah ancaman yang menakutkan. “Karena itu, alam tidak diperlakukan sebagai problem yang serius,” kata Maman.

Bahkan, dalam banyak puisi Indonesia, tambah Maman, alam justru menjadi objek yang penuh pesona, yang inspiring. Maka, jejak alam dalam sastra Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahatan dengan alam. “Alam dalam sastra Indonesia tak tersentuh sebagai problem yang serius,” ujarnya.

Dalam puisi, tambah Safrina, alam disikapi secara kontekstual terikat pada ruang dan waktu. Jika pada masa Pujangga Baru muncul puisi-puisi yang memuja alam dalam kerangka pembangunan bangsa dan tanah air, maka dalam perkembangannya alam hadir untuk menyuarakan penindasan atas alam dan berbagai masalah yang terkait dengannya.”Penghadiran alam dalam puisi masa kini menyiratkan posisi manusia dalam hubungan mereka dengan alam dan bagaimana sikap serta pandangan mereka terhadap alam,” ujar Safrina.

Rekomendasi

Sidang peserta yang diikuti wakil-wakil dari 10 provinsi, dan dipimpin oleh ketua panitia pelaksana Acep Zamzam Noor serta anggota tim kurator Ahda Imran, menghasilkan sembilan rekomendasi. Antara lain, mendukung keputusan MPU untuk menyelenggarakan Temu Sastra MPU setahun sekali, serta memutuskan Provinsi Jawa Tengah sebagai penyelenggara Temu Sastra IV MPU tahun 2009, dan Provinsi Lampung sebagai penyelenggara Temu Sastra V MPU tahun 2010.

Sidang juga merekomendasikan agar tiap provinsi anggota MPU membentuk Mitra Sastra MPU yang bertugas membantu Dinas terkait dalam memilih peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Dalam hal ini, sidang juga merekomendasikan agar ada regenerasi sastrawan peserta Temu Sastra MPU dengan tetap melihat karya sebagai pertimbangan utama.

Guna membantu keberangkatan peserta, sidang juga menegaskan kewajiban tiap Pemprov anggota MPU untuk membiayai peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Tiap provinsi anggota MPU wajib mengirimkan minimal 7 orang peserta yang terdiri dari 5 orang sastrawan dan 2 orang birokrat dari Dinas terkait.

Direkomendasikan pula agar ada pengamat dari Sekretariat Bersama (Sekber) MPU yang bertugas untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan Temu Sastra MPU, serta perlunya ada sesi diskusi yang menghadirkan pihak Sekber MPU dan birokrat dari Dinas terkait. Sidang juga merekomendasi Trianto Triwikromo serta Dorothe Rosa Herliany untuk menjadi anggota kurator Temu Sastra IV MPU. Penunjukan anggota kurator lainnya dipercayakan kepada Pemprov Jawa Tengah.

Pertunjukan sastra di teras Hotel Panorama berlangsung dua malam berturut-turut. Hampir semua peserta mendapat giliran untuk membacakan karya-karya mereka — puisi dan penggalan cerpen. Dengan cukup memukau, Dede Yusuf pun dua kali tampil membacakan sajak. Penampilan pertama sendiri, dan penampilan kedua berduet dengan penyair Dina Oktaviani.
Baca Lengkapnya....

Novel Mahabbah Rindu dan Puncak Fiksi Islami

Sebuah ‘novel sastra’ yang Islami hadir lagi dari seorang perempuan Muslim penulis: Mahabbah Rindu karya Abidah el Khalieqy. Novel setebal 404 halaman terbitan Diva Pres (Yogyakarta, November 2007) ini menambah kekayaan khasanah fiksi Indonesia kontemporer yang masih tetap diramaikan oleh karya-karya para perempuan penulis.

Dengan label novel inspiratif pencarian kebenaran iman Abidah mencoba menyajikan fiksi Islami yang agak lebih dalam dan serius (nyastra) dibanding novel-novel pop Islami semisal Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman el Shirazy ataupun novel-novel pop Islami lain karya para penulis dari Forum Lingkar Pena (FLP).

Bobot kesastraan Mahabbah Rindu barangkali dapat disejajarkan dengan karya-karya Helvy Tiana Rosa –salah satu di antara sedikit penulis FLF yang lebih banyak menulis ‘fiksi sastra’ dari pada ‘fiksi pop Islami’ –seperti terlihat pada cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008).

Mahabbah Rindu adalah novel ke-tujuh dari Abidah el Khalieqy yang telah diterbitkan. Novel-novel Abidah lainnya yang sudah terbit, antara lain Ibuku Laut Berkobar (1987), Perempuan Berkalung Sorban (2000), Menari di Atas Gunting (2001), Atas Singgasana (2002), Geni Jora (2004), dan Nirzona (2007). Naskah Geni Jora terpilih sebagai juara kedua Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2004.

Sebagaimana novel-novel Abidah sebelumnya, Mahabbah Rindu juga ditaburi narasi-narasi yang sangat puitis. Judul dan subjudul di dalamnya pun rata-rata puitis. Bahkan, novel ini dibuka dengan empat baris puisi, untuk kemudian masuk ke narasi adegan rukuk dan sujud sang tokoh utama (aku) di tengah malam:

Duhai cahaya mata, engkau rinduku cuma
Harapan hidupku, kebahagiaan dan kesedihanku
Sebab hatiku enggan mencinta segala
Selain dirimu, cermin kesempurnaanmu

Dengan begitu, terbitnya novel Mahabbah Rindu memperkuat fenomena fiksi (cerpen dan novel) puitis dalam khasanah sastra Indonesia, yang juga terasa pada karya-karya Helvy Tiana Rosa, Oka Rusmini, Maroeli Simbolon, Azhari, Ucu Agustin, Raudal Tanjung Banua, dan umumnya para cerpenis yang juga merangkap sebagai penyair.

Selain banyak menulis cerpen dan novel, Abidah memang dikenal sebagai salah satu penyair nasional yang cukup kuat dengan sajak-sajak religiusnya. Seperti juga Helvy –yang juga dikenal sebagai penyair– cita-rasa bahasa yang puitis sangat mempengaruhi Abidah dalam menulis fiksi, dan ini menambah cita rasa sastrawi cerpen-cerpen dan novel-novelnya.

Terbitnya Mahabbah Rindu juga makin memperkuat posisi Abidah dalam tradisi penulisan fiksi Indonesia. Dengan novel-novelnya, dan dengan kemenangannya dalam sayembara novel DKJ, tidak berlebihan jika Abidah dianggap sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia. Novel-novelnya bahkan dapat dianggap sebagai salah satu puncak fiksi sastra Islami –bukan fiksi pop Islami.

Ketika dalam beberapa seminar dan diskusi saya menyebut Ayat-Ayat Cinta sebagai puncak fenomena fiksi Islami, yang saya maksud adalah fiksi Islami dalam genre fiksi pop atau fiksi pop Islami, bukan fiksi Islami secara keseluruhan.

Penyebutan itu pun masih debatable, karena masih banyak karya-karya fiksi pop Islami lain yang tak kalah menarik, semisal karya-karya Asma Nadia, Pipiet Senja, Gola Gong, Izzatul Jannah, dan Afifah Afra. Sebenarnya, penyebutan itu lebih berkait pada kemampuan Ayat-Ayat Cinta dalam merebut selera pasar, sehingga secara mengejutkan menjadi mega bestseller. Dan, kini Ayat-Ayat Cinta pun dibayang-bayangi oleh Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang dari segi kualitas kesastraan relatif lebih bagus.

Jika berbicara tentang fiksi Islami secara keseluruhan dan dalam arti luas, maka kita akan menemukan puncak-puncak lain, seperti karya-karya Danarto, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, dan M Fudoli Zaini –untuk menyebut beberapa saja dari kalangan penulis senior. Sedangkan untuk penulis generasi muda kita dapat menyebut karya-karya Abidah, Helvy, Azhari, dan Ucu Agustin.
Baca Lengkapnya....

‘Menyatukan’ Nusantara dalam Pesta Sastra

Salah satu keputusan penting dan paling strategis dari International Poetry Gathering dalam Pesta Penyair Nusantara 2008 di Kediri, awal Juli 2008 lalu, adalah diteruskannya iven tersebut sebagai forum tahunan para penyair di Nusantara — Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Keputusan tersebut sangat strategis, karena dapat ‘menyatukan’ para penyair — dan pecinta sastra — se Nusantara dalam semangat bersastra yang sama, yakni membangun peradaban masyarakat yang maju, moderat, adil, demokratis, religius, dan berjati diri, lewat sastra.

“Kami, wakil dari Malaysia sepakat untuk meneruskan iven ini sebagai tradisi tahunan, karena dalam iven ini sastrawan Indonesia dan Malaysia dapat bersatu untuk bersama-sama membangun peradaban Nusantara, tanpa terpengaruh persoalan politik dan konflik kepentingan,” kata SM Zakir, Sekjen Persatuan Penulis Nasional Malaysia (PENA), yang menjadi salah satu panelis gathering tersebut.

Sejak pertama kali diadakan di Medan — oleh Laboratirium Sastra Medan serta Dinas Kebudayaan dan Priwisata Medan — tahun 2007, gathering menjadi mata acara terpenting pesta sastra tersebut, selain seminar internasional, workshop proses kreatif, dan panggung baca puisi para penyair Nusantara.

Tahun lalu, Pesta Penyair Indonesia Medan 2007 sempena The 1st Medan International Poetry Gathering telah menetapkan iven ini sebagai forum (wadah) bersama para penyair Nusantara, dan akan diselenggarakan setahun sekali secara bergilir di daerah-daerah serta negara asal para peserta.

Dalam gathering di Medan itu pula nama pesta penyair ini disempurnakan menjadi Pesta Penyair Nusantara …, The … International Poetry Gathering. Tanda titik-titik (…) diisi tahun pelaksanaan, dan kali keberapa serta di kota mana iven tersebut diselenggarakan.

Sehingga, di Kediri, nama iven ini menjadi Pesta Penyair Nusantara 2008, sempena The 2nd Kediri International Poetry Gathering. Dan, tahun depan, akan menjadi Pesta Penyair Nusantara 2009, sempana The 3nd Kualalumpur International Poetry Gathering, karena telah disepakati tahun depan akan diadakan di ibukota negeri jiran, Malaysia.

Sejarah

Dengan kesepakatan strategis tersebut, berarti Kediri telah ikut mencatatkan sejarah penting atas tradisi tersebut, dan berjasa ikut mempertahankannya.

Karena, dengan ‘Kesepakatan Kediri’ itu, tradisi tahunan tersebut dapat terus bergulir untuk mencari bentuknya yang makin sempurna dan memberikan manfaat yang makin besar bagi tradisi kreatif dan kehidupan sastra di Nusantara.

Maka, impaslah sudah, jerih payah ketua panitia pelaksana Khoirul Anwar yang tetap bertekad melaksanakan pesta sastra tersebut sesuai rencana, meskipun sempat mengalami kecelakaan yang fatal dan masih harus memakai tongkat sampai acara tersebut selesai, serta sempat menghadapi kesulitan berat dalam mencari dana untuk biaya acara.

Juga tidak dapat dilupakan kerja keras Jack Ponadi Efendi Santoso sebagai sekretaris panitia, Subardi Agan sebagai editor dan pembantu utama di balik layar, serta Sarah Serena selaku anggota panitia ad hoc yang rela hijrah sementara dari Jakarta ke Kediri meski masih pengantin baru.

Meskipun terkesan kurang perfect dalam memanaj acara dan sempat mengecewakan beberapa peserta, penghargaan yang setimpal tetap patut diberikan atas tekad, ketabahan dan kerja keras Khoirul Anwar dan kawan-kawannya tersebut. Tentu, juga penghargaan kepada pihak-pihak yang akhirnya membantu pelaksanaan pesta sastra tersebut, seperti walikota Kediri, bupati Kediri, rektor Unik (Universitas Kediri — bukan Universitas Islam Kediri), direktur DohoTV, sejumlah anggota DPRD Kediri, serta berbagai pihak lain yang turut menyukseskan acara tersebut.

Penghargaan yang tinggi patut pula diberikan kepada para pembicara seminar dan workshop, pembaca puisi, anggota tim adviser dan ad hoc, serta para peserta dari berbagai daerah dan negara tetangga di Nusantara, yang tetap bersemangat untuk hadir meski harus membiayai perjalannya ke Kediri dengan isi dompet sendiri atau harus meminta bantuan dana dari sana sini atas upayanya sendiri.

Memang masih begitulah realitas kehidupan sastra di Nusantara, khususnya Indonesia. Iven-iven penting sastra masih sulit untuk mendapatkan sponsor dan pendanaan yang cukup dari pemerintah, sehingga harus dilaksanakan secara bergotong-royong — susah-senang dipikul bersama oleh para sastrawan, penyair, apresian, dan mereka yang terlibat di dalamnya.

Karena itu, tidak berlebihan jika mereka disebut sebagai para ‘pejuang sastra’ yang dedikasi dan semangat juangnya untuk ikut membangun peradaban bangsa lewat sastra lebih tinggi dibanding pejabat negara, pegawai negeri dan angkatan bersenjata. Mereka bukan saja para pahlawan tanpa tanda jasa, tapi juga tanpa gaji bulanan.

Maka, sampai bertemu lagi di Kuala Lumpur tahun 2009, hai para pejuang sastra! Dalam sastra kita bersatu, bersama, serasa dan sejiwa!( )
Baca Lengkapnya....

Sastra Perlawanan dan Ideologi Penciptaan

Dunia kaum pekerja (buruh) yang tertindas masih penting untuk disuarakan, agar jeritan mereka didengar dan nasib mereka menjadi lebih baik. Salah satu media terpenting untuk menyuarakan dunia kaum pekerja itu adalah sastra, terutama puisi, yang di kalangan buruh pabrik Tangerang, Banten, kini nyaris menjadi ekspresi sehari-hari untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Dengan orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik, di kalangan buruh pabrik Tangerang, sastra telah cukup lama menjadi semacam ‘media perlawan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum pekerja. Para aktifis ‘pembela kaum buruh’ seperti Wowok Hesti Prabowo dan Mahdi Duri (keduanya juga dikenal sebagai penyair buruh) berhasil memobilisasi cukup banyak buruh pabrik yang berbakat menulis puisi untuk memanfaatkan karya-karya mereka sebagai ‘media perlawanan’ itu.

Pemanfaatan puisi sebagai ‘media perlawanan’ tampak sekali, misalnya pada sajak-sajak Husnul Khuluqi — penyair buruh Tangerang terpenting saat ini. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Romansa Pemintal Benang (Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia, 2006), dapat disebut sebagai contoh.

Berbeda dengan sajak-sajak para penyair buruh Tangerang pendahulunya, seperti Dingu Rilesta dan Wowok Hesti Prabowo — misalnya dalam Buruh Gugat (Wowok, 1998) yang rata-rata kurang berhasil mengemas ‘sajak-sajak buruh’ mereka secara apik — sajak-sajak Husnul Khuluqi memperlihatkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan. Tipografinya tertata rapi, dengan bait-bait dan baris-baris sajak yang teratur, dengan imaji-imaji yang lugas dan sederhana tapi utuh, serta dengan irama bahasa yang terjaga.

Sebagai bagian dari gerakan sastra buruh, orientasi pragmatik sajak-sajak Husnul Khuluqi memang terasa sangat kuat. Sajak (karya sastra) cenderung dianggap sebagai media untuk mencapai tujuan non-literer tertentu, misalnya, sebagai sarana penyadaran dan pendorong perubahan sosial di kalangan kaum buruh. Tapi, ia dapat mengimbangi tujuan pragmatik itu dengan orientasi estetik yang cukup kuat pula. Sehingga, meskipun kritiknya terhadap kaum majikan begitu tajam dan potretnya tentang nasib kaum buruh begitu mencekam, ia tetap dapat mengemasnya dalam sajak-sajak yang indah. Sajak-sajak Husnul dapat disejajarkan dengan sajak-sajak Jumari HS, tokoh ‘penyair buruh’ dari Kudus, yang juga menampakkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan.

Dua kutipan sajak Husnul berikut ini, sebagai contoh, sederhana sekali, tapi sangat tajam dan mengesankan. Potret buruh yang tidak berdaya dalam tekanan kaum majikan (juragan) yang ‘mengusir’ Tuhan dari pabrik:

sering kurindu tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali

(Sajak Di Pabrik, Wajah Tuhan Diganti Juragan)

Kalangan pragmatik — yang lebih memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya — berkeyanikan bahwa karya sastra tidak hanya dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga diyakini mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik.

Secara teoritis, orientasi pragmatik itu dapat dirujukkan pada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi penciptaan. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram tersebut, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk penyadaran dan pendorong perbaikan nasib buruh (sastra buruh), atau sastra untuk membangun ideologi politik tertentu (sastra realisme sosial). Jika ‘sastra seksual’ seperti karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dengan sengaja memang ditulis untuk membongkar nilai-nilai moral, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang liberal, sebenarnya dapat juga ditempatkan pada orientasi pragmatik itu.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’.

Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.

Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.

Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.

Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).

Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.

Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):

di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)

Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.

Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ ataumeminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacanya.
Baca Lengkapnya....