Dunia kaum pekerja (buruh) yang tertindas masih penting untuk disuarakan, agar jeritan mereka didengar dan nasib mereka menjadi lebih baik. Salah satu media terpenting untuk menyuarakan dunia kaum pekerja itu adalah sastra, terutama puisi, yang di kalangan buruh pabrik Tangerang, Banten, kini nyaris menjadi ekspresi sehari-hari untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Dengan orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik, di kalangan buruh pabrik Tangerang, sastra telah cukup lama menjadi semacam ‘media perlawan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum pekerja. Para aktifis ‘pembela kaum buruh’ seperti Wowok Hesti Prabowo dan Mahdi Duri (keduanya juga dikenal sebagai penyair buruh) berhasil memobilisasi cukup banyak buruh pabrik yang berbakat menulis puisi untuk memanfaatkan karya-karya mereka sebagai ‘media perlawanan’ itu.
Pemanfaatan puisi sebagai ‘media perlawanan’ tampak sekali, misalnya pada sajak-sajak Husnul Khuluqi — penyair buruh Tangerang terpenting saat ini. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Romansa Pemintal Benang (Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia, 2006), dapat disebut sebagai contoh.
Berbeda dengan sajak-sajak para penyair buruh Tangerang pendahulunya, seperti Dingu Rilesta dan Wowok Hesti Prabowo — misalnya dalam Buruh Gugat (Wowok, 1998) yang rata-rata kurang berhasil mengemas ‘sajak-sajak buruh’ mereka secara apik — sajak-sajak Husnul Khuluqi memperlihatkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan. Tipografinya tertata rapi, dengan bait-bait dan baris-baris sajak yang teratur, dengan imaji-imaji yang lugas dan sederhana tapi utuh, serta dengan irama bahasa yang terjaga.
Sebagai bagian dari gerakan sastra buruh, orientasi pragmatik sajak-sajak Husnul Khuluqi memang terasa sangat kuat. Sajak (karya sastra) cenderung dianggap sebagai media untuk mencapai tujuan non-literer tertentu, misalnya, sebagai sarana penyadaran dan pendorong perubahan sosial di kalangan kaum buruh. Tapi, ia dapat mengimbangi tujuan pragmatik itu dengan orientasi estetik yang cukup kuat pula. Sehingga, meskipun kritiknya terhadap kaum majikan begitu tajam dan potretnya tentang nasib kaum buruh begitu mencekam, ia tetap dapat mengemasnya dalam sajak-sajak yang indah. Sajak-sajak Husnul dapat disejajarkan dengan sajak-sajak Jumari HS, tokoh ‘penyair buruh’ dari Kudus, yang juga menampakkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan.
Dua kutipan sajak Husnul berikut ini, sebagai contoh, sederhana sekali, tapi sangat tajam dan mengesankan. Potret buruh yang tidak berdaya dalam tekanan kaum majikan (juragan) yang ‘mengusir’ Tuhan dari pabrik:
sering kurindu tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali
(Sajak Di Pabrik, Wajah Tuhan Diganti Juragan)
Kalangan pragmatik — yang lebih memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya — berkeyanikan bahwa karya sastra tidak hanya dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga diyakini mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik.
Secara teoritis, orientasi pragmatik itu dapat dirujukkan pada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi penciptaan. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada ‘orientasi kedua’ Abram tersebut, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk penyadaran dan pendorong perbaikan nasib buruh (sastra buruh), atau sastra untuk membangun ideologi politik tertentu (sastra realisme sosial). Jika ‘sastra seksual’ seperti karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dengan sengaja memang ditulis untuk membongkar nilai-nilai moral, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang liberal, sebenarnya dapat juga ditempatkan pada orientasi pragmatik itu.
Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’.
Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.
Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.
Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.
Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).
Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.
Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):
di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)
Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ ataumeminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacanya.
Dengan orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik, di kalangan buruh pabrik Tangerang, sastra telah cukup lama menjadi semacam ‘media perlawan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum pekerja. Para aktifis ‘pembela kaum buruh’ seperti Wowok Hesti Prabowo dan Mahdi Duri (keduanya juga dikenal sebagai penyair buruh) berhasil memobilisasi cukup banyak buruh pabrik yang berbakat menulis puisi untuk memanfaatkan karya-karya mereka sebagai ‘media perlawanan’ itu.
Pemanfaatan puisi sebagai ‘media perlawanan’ tampak sekali, misalnya pada sajak-sajak Husnul Khuluqi — penyair buruh Tangerang terpenting saat ini. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Romansa Pemintal Benang (Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia, 2006), dapat disebut sebagai contoh.
Berbeda dengan sajak-sajak para penyair buruh Tangerang pendahulunya, seperti Dingu Rilesta dan Wowok Hesti Prabowo — misalnya dalam Buruh Gugat (Wowok, 1998) yang rata-rata kurang berhasil mengemas ‘sajak-sajak buruh’ mereka secara apik — sajak-sajak Husnul Khuluqi memperlihatkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan. Tipografinya tertata rapi, dengan bait-bait dan baris-baris sajak yang teratur, dengan imaji-imaji yang lugas dan sederhana tapi utuh, serta dengan irama bahasa yang terjaga.
Sebagai bagian dari gerakan sastra buruh, orientasi pragmatik sajak-sajak Husnul Khuluqi memang terasa sangat kuat. Sajak (karya sastra) cenderung dianggap sebagai media untuk mencapai tujuan non-literer tertentu, misalnya, sebagai sarana penyadaran dan pendorong perubahan sosial di kalangan kaum buruh. Tapi, ia dapat mengimbangi tujuan pragmatik itu dengan orientasi estetik yang cukup kuat pula. Sehingga, meskipun kritiknya terhadap kaum majikan begitu tajam dan potretnya tentang nasib kaum buruh begitu mencekam, ia tetap dapat mengemasnya dalam sajak-sajak yang indah. Sajak-sajak Husnul dapat disejajarkan dengan sajak-sajak Jumari HS, tokoh ‘penyair buruh’ dari Kudus, yang juga menampakkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan.
Dua kutipan sajak Husnul berikut ini, sebagai contoh, sederhana sekali, tapi sangat tajam dan mengesankan. Potret buruh yang tidak berdaya dalam tekanan kaum majikan (juragan) yang ‘mengusir’ Tuhan dari pabrik:
sering kurindu tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali
(Sajak Di Pabrik, Wajah Tuhan Diganti Juragan)
Kalangan pragmatik — yang lebih memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya — berkeyanikan bahwa karya sastra tidak hanya dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga diyakini mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik.
Secara teoritis, orientasi pragmatik itu dapat dirujukkan pada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi penciptaan. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada ‘orientasi kedua’ Abram tersebut, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk penyadaran dan pendorong perbaikan nasib buruh (sastra buruh), atau sastra untuk membangun ideologi politik tertentu (sastra realisme sosial). Jika ‘sastra seksual’ seperti karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dengan sengaja memang ditulis untuk membongkar nilai-nilai moral, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang liberal, sebenarnya dapat juga ditempatkan pada orientasi pragmatik itu.
Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’.
Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.
Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.
Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.
Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).
Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.
Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):
di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)
Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.
Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ ataumeminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar