Masalah lingkungan dan jejak alam pada sastra menjadi tema penting dalam Temu Sastra III Mitra Praja Utama (MPU), yang berlangsung di Hotel Panorama Lembang, Bandung, 4-6 November 2008. Selain menempatkan sastra dan lingkungan hidup sebagai tema acara, jejak alam pada sastra menjadi salah satu tema diskusi.
Persoalan lingkungan, seperti diakui Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat membuka acara, memang sedang menjadi perhatian Pemda Provinsi Jabar. Mengikuti semangat peduli lingkungan itu, temu sastra yang diikuti oleh sekitar 60 sastrawan dan peminat sastra dari 10 provinsi anggota MPU itu pun mengambil tema tentang lingkungan.
Temu Sastra MPU yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jabar itu merupakan yang ke-tiga. Untuk pertama kali, Temu Sastra MPU diadakan di Anyer, Banten, dan yang kedua diadakan di Pantai Sanur, Bali — diselenggarakan oleh Pemprov masing-masing.
Temu sastra ini diselenggarakan secara bergiliran oleh 10 provinsi anggota MPU. Semula dua tahun sekali, namun kini menjadi setahun sekali dan tahun depan (2009) giliran Pemprov Jawa Tengah sebagai penyelenggara — direncanakan akan digelar di kawasan Borobudur.
Peserta Temu Sastra MPU cukup terbatas. Tiap provinsi hanya mendapat jatah lima peserta (4 sastrawan dan 1 birokrat) yang akomodasinya ditanggung Panitia. Jika akan menambah jumlah peserta, maka menjadi tanggungan Pemprov masing-masing. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta selalu mengirimkan peserta terbanyak. Tahun ini, misalnya, mengirimkan 15 peserta (11 sastrawan dan 4 birokrat).
Menu utama Temu Sastra MPU meliputi diskusi, pentas sastra (baca puisi dan cerpen), sidang peserta, serta wisata budaya. Di Bandung, temu sastra ini mencatatkan satu langkah maju dengan diterbitkannya dua buku karya peserta yang merupakan salah satu rekomendasi dari Temu Sastra MPU Bali — yakni buku kumpulan cerpen Sebelum Meledak dan kumpulan puisi Tangga Menuju Langit.
Sedikitnya delapan pembicara ditampilkan pada Temu Sastra MPU Bandung. Maman S Mahayana dan Safrina Noorman membahas jejak alam dalam sastra Indonesia, M Irfan Hidayatullah dan Warih Wisatsana membahas peran komunitas sastra, Beni Setia membahas pengaruh lingkungan dalam proses kreatif, Triyanto Triwikromo membahas sastra dan dunia maya, Jakob Sumarjo membahas manusia dan pantun Sunda, serta Bambang Sugiharto membahas manusia Indonesia dalam sastra mutakhir.
Jejak alam
Sesuai dengan tema acara, sesi diskusi yang menampilkan Maman S Mahayana dan Safrina Noorman penting untuk disimak. Maman membahas jejak alam dalam prosa Indonesia, sedangkan Safrina membahas jejak alam dalam puisi Indonesia.Karya sastra, menurut Maman, selalu mengungkapkan empat konflik laten yang dihadapi manusia: konflik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan.
Jika sastra (novel) diyakini sebagai representasi gagasan sastrawannya ketika berhadapan dengan serangkaian konflik itu, maka jejak alam dalam novel Indonesia mutakhir, kata Maman, laksana potret masyarakat Indonesia dalam memandang dan memperlakukan alam.Dalam hampir semua novel Indonesia, yang coba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita tetapi juga sebagai masalah yang coba diangkatnya, alam bukanlah ancaman yang menakutkan. “Karena itu, alam tidak diperlakukan sebagai problem yang serius,” kata Maman.
Bahkan, dalam banyak puisi Indonesia, tambah Maman, alam justru menjadi objek yang penuh pesona, yang inspiring. Maka, jejak alam dalam sastra Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahatan dengan alam. “Alam dalam sastra Indonesia tak tersentuh sebagai problem yang serius,” ujarnya.
Dalam puisi, tambah Safrina, alam disikapi secara kontekstual terikat pada ruang dan waktu. Jika pada masa Pujangga Baru muncul puisi-puisi yang memuja alam dalam kerangka pembangunan bangsa dan tanah air, maka dalam perkembangannya alam hadir untuk menyuarakan penindasan atas alam dan berbagai masalah yang terkait dengannya.”Penghadiran alam dalam puisi masa kini menyiratkan posisi manusia dalam hubungan mereka dengan alam dan bagaimana sikap serta pandangan mereka terhadap alam,” ujar Safrina.
Rekomendasi
Sidang peserta yang diikuti wakil-wakil dari 10 provinsi, dan dipimpin oleh ketua panitia pelaksana Acep Zamzam Noor serta anggota tim kurator Ahda Imran, menghasilkan sembilan rekomendasi. Antara lain, mendukung keputusan MPU untuk menyelenggarakan Temu Sastra MPU setahun sekali, serta memutuskan Provinsi Jawa Tengah sebagai penyelenggara Temu Sastra IV MPU tahun 2009, dan Provinsi Lampung sebagai penyelenggara Temu Sastra V MPU tahun 2010.
Sidang juga merekomendasikan agar tiap provinsi anggota MPU membentuk Mitra Sastra MPU yang bertugas membantu Dinas terkait dalam memilih peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Dalam hal ini, sidang juga merekomendasikan agar ada regenerasi sastrawan peserta Temu Sastra MPU dengan tetap melihat karya sebagai pertimbangan utama.
Guna membantu keberangkatan peserta, sidang juga menegaskan kewajiban tiap Pemprov anggota MPU untuk membiayai peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Tiap provinsi anggota MPU wajib mengirimkan minimal 7 orang peserta yang terdiri dari 5 orang sastrawan dan 2 orang birokrat dari Dinas terkait.
Direkomendasikan pula agar ada pengamat dari Sekretariat Bersama (Sekber) MPU yang bertugas untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan Temu Sastra MPU, serta perlunya ada sesi diskusi yang menghadirkan pihak Sekber MPU dan birokrat dari Dinas terkait. Sidang juga merekomendasi Trianto Triwikromo serta Dorothe Rosa Herliany untuk menjadi anggota kurator Temu Sastra IV MPU. Penunjukan anggota kurator lainnya dipercayakan kepada Pemprov Jawa Tengah.
Pertunjukan sastra di teras Hotel Panorama berlangsung dua malam berturut-turut. Hampir semua peserta mendapat giliran untuk membacakan karya-karya mereka — puisi dan penggalan cerpen. Dengan cukup memukau, Dede Yusuf pun dua kali tampil membacakan sajak. Penampilan pertama sendiri, dan penampilan kedua berduet dengan penyair Dina Oktaviani.
Persoalan lingkungan, seperti diakui Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf saat membuka acara, memang sedang menjadi perhatian Pemda Provinsi Jabar. Mengikuti semangat peduli lingkungan itu, temu sastra yang diikuti oleh sekitar 60 sastrawan dan peminat sastra dari 10 provinsi anggota MPU itu pun mengambil tema tentang lingkungan.
Temu Sastra MPU yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jabar itu merupakan yang ke-tiga. Untuk pertama kali, Temu Sastra MPU diadakan di Anyer, Banten, dan yang kedua diadakan di Pantai Sanur, Bali — diselenggarakan oleh Pemprov masing-masing.
Temu sastra ini diselenggarakan secara bergiliran oleh 10 provinsi anggota MPU. Semula dua tahun sekali, namun kini menjadi setahun sekali dan tahun depan (2009) giliran Pemprov Jawa Tengah sebagai penyelenggara — direncanakan akan digelar di kawasan Borobudur.
Peserta Temu Sastra MPU cukup terbatas. Tiap provinsi hanya mendapat jatah lima peserta (4 sastrawan dan 1 birokrat) yang akomodasinya ditanggung Panitia. Jika akan menambah jumlah peserta, maka menjadi tanggungan Pemprov masing-masing. Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta selalu mengirimkan peserta terbanyak. Tahun ini, misalnya, mengirimkan 15 peserta (11 sastrawan dan 4 birokrat).
Menu utama Temu Sastra MPU meliputi diskusi, pentas sastra (baca puisi dan cerpen), sidang peserta, serta wisata budaya. Di Bandung, temu sastra ini mencatatkan satu langkah maju dengan diterbitkannya dua buku karya peserta yang merupakan salah satu rekomendasi dari Temu Sastra MPU Bali — yakni buku kumpulan cerpen Sebelum Meledak dan kumpulan puisi Tangga Menuju Langit.
Sedikitnya delapan pembicara ditampilkan pada Temu Sastra MPU Bandung. Maman S Mahayana dan Safrina Noorman membahas jejak alam dalam sastra Indonesia, M Irfan Hidayatullah dan Warih Wisatsana membahas peran komunitas sastra, Beni Setia membahas pengaruh lingkungan dalam proses kreatif, Triyanto Triwikromo membahas sastra dan dunia maya, Jakob Sumarjo membahas manusia dan pantun Sunda, serta Bambang Sugiharto membahas manusia Indonesia dalam sastra mutakhir.
Jejak alam
Sesuai dengan tema acara, sesi diskusi yang menampilkan Maman S Mahayana dan Safrina Noorman penting untuk disimak. Maman membahas jejak alam dalam prosa Indonesia, sedangkan Safrina membahas jejak alam dalam puisi Indonesia.Karya sastra, menurut Maman, selalu mengungkapkan empat konflik laten yang dihadapi manusia: konflik dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan.
Jika sastra (novel) diyakini sebagai representasi gagasan sastrawannya ketika berhadapan dengan serangkaian konflik itu, maka jejak alam dalam novel Indonesia mutakhir, kata Maman, laksana potret masyarakat Indonesia dalam memandang dan memperlakukan alam.Dalam hampir semua novel Indonesia, yang coba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita tetapi juga sebagai masalah yang coba diangkatnya, alam bukanlah ancaman yang menakutkan. “Karena itu, alam tidak diperlakukan sebagai problem yang serius,” kata Maman.
Bahkan, dalam banyak puisi Indonesia, tambah Maman, alam justru menjadi objek yang penuh pesona, yang inspiring. Maka, jejak alam dalam sastra Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahatan dengan alam. “Alam dalam sastra Indonesia tak tersentuh sebagai problem yang serius,” ujarnya.
Dalam puisi, tambah Safrina, alam disikapi secara kontekstual terikat pada ruang dan waktu. Jika pada masa Pujangga Baru muncul puisi-puisi yang memuja alam dalam kerangka pembangunan bangsa dan tanah air, maka dalam perkembangannya alam hadir untuk menyuarakan penindasan atas alam dan berbagai masalah yang terkait dengannya.”Penghadiran alam dalam puisi masa kini menyiratkan posisi manusia dalam hubungan mereka dengan alam dan bagaimana sikap serta pandangan mereka terhadap alam,” ujar Safrina.
Rekomendasi
Sidang peserta yang diikuti wakil-wakil dari 10 provinsi, dan dipimpin oleh ketua panitia pelaksana Acep Zamzam Noor serta anggota tim kurator Ahda Imran, menghasilkan sembilan rekomendasi. Antara lain, mendukung keputusan MPU untuk menyelenggarakan Temu Sastra MPU setahun sekali, serta memutuskan Provinsi Jawa Tengah sebagai penyelenggara Temu Sastra IV MPU tahun 2009, dan Provinsi Lampung sebagai penyelenggara Temu Sastra V MPU tahun 2010.
Sidang juga merekomendasikan agar tiap provinsi anggota MPU membentuk Mitra Sastra MPU yang bertugas membantu Dinas terkait dalam memilih peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Dalam hal ini, sidang juga merekomendasikan agar ada regenerasi sastrawan peserta Temu Sastra MPU dengan tetap melihat karya sebagai pertimbangan utama.
Guna membantu keberangkatan peserta, sidang juga menegaskan kewajiban tiap Pemprov anggota MPU untuk membiayai peserta Temu Sastra MPU dari provinsi masing-masing. Tiap provinsi anggota MPU wajib mengirimkan minimal 7 orang peserta yang terdiri dari 5 orang sastrawan dan 2 orang birokrat dari Dinas terkait.
Direkomendasikan pula agar ada pengamat dari Sekretariat Bersama (Sekber) MPU yang bertugas untuk mengevaluasi pelaksanaan kegiatan Temu Sastra MPU, serta perlunya ada sesi diskusi yang menghadirkan pihak Sekber MPU dan birokrat dari Dinas terkait. Sidang juga merekomendasi Trianto Triwikromo serta Dorothe Rosa Herliany untuk menjadi anggota kurator Temu Sastra IV MPU. Penunjukan anggota kurator lainnya dipercayakan kepada Pemprov Jawa Tengah.
Pertunjukan sastra di teras Hotel Panorama berlangsung dua malam berturut-turut. Hampir semua peserta mendapat giliran untuk membacakan karya-karya mereka — puisi dan penggalan cerpen. Dengan cukup memukau, Dede Yusuf pun dua kali tampil membacakan sajak. Penampilan pertama sendiri, dan penampilan kedua berduet dengan penyair Dina Oktaviani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar