Sastra, Planet Senen, dan Potret Buram Bangsa

MESKI bergerak ke arah perbaikan, negeri ini masih banyak menyisakan potret buram. Dan, itulah yang disorot oleh sastrawan Taufiq Ismail pada orasi sastranya dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka di plasa Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di Planet Senen, Jumat, 29 Agustus 2008, yang lalu.
“Sesudah enam puluh tiga tahun merdeka, apabila kita berharap akan keadilan, masih bisakah saudaraku menemukan keadilan di Indonesia hari ini, setelah pincang, tersaruk digebrak krisis, dihantam bencana, dan kehabisan angka kita menghitungnya,” katanya. Ungkapan Taufiq itu tentu bukan untuk membuat kita pesimis, tapi menyadarkan kita betapa masih banyaknya pekerjaan yang harus kita selesaikan untuk mengisi kemerdekaan, betapa masih banyak tugas para pemimpin bangsa untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan, keadilan dan kemakmuran.

Setelah dilanda krisis dan berbagai kerusuhan pada masa akhir kekuasaan Soeharto, bertubi-tubi negeri ini dilanda bencana alam yang dahsyat, sejak tsunami Aceh hingga gempa Yogya. Belum lagi berbagai kasus korupsi dan penggelapan uang negara dalam kasus BLBI dan dana BI misalnya.Melonjaknya harga minyak dunia pun ikut melonjakkan harga BBM dalam negeri yang berakibat makin tergencetnya nasib rakyat oleh kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara, beban hutang negara Rp 1.600 triliun pun menjadi beban tersendiri, yang menyita hampir 40 persen APBN untuk mencicilnya.

Jadinya memang tidak mudah untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman kebangkrutan ekonomi dan kehancuran budaya. Seperti disorot oleh Taufiq pada orasinya itu, akhlak berbagai kalangan masyarakat juga mengalami kemerosotan, termasuk kalangan anggota Dewan, pejabat, penegak hukum, dan sastrawan. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan melanda Dewan, sementara dari kalangan sastrawan banyak yang mengagungkan kebebasan seks dengan dalih kebebasan berekspresi.

“Akhlak merosot, budaya permisif serba boleh menjadi-jadi. Narkoba, alkohol, nikotin, dan pornografi. Hak pakai alat kelamin di badan orang lain tak dihormati. VCD biru dalam kata-kata menjadi gaya fiksi masa kini, asyik dengan masalah selangkangan dan sekitar ini, diusung dengan rasa kagum kronis pada teori-teori neo-liberalisme,” kata Taufiq. Pada akhir orasinya, Taufiq bertanya, masih adakah harapan bagi kita, manusia Indonesia? Dan, ia menjawabnya sendiri, “Mudah-mudahan masih ada. Ya, masih ada. Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa, dari atas sampai ke bawah. Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa. Semoga Indonesia kita tetap disayangiNya, selalu dilindungiNya.”

Kawasan Planet Senen, yang pada tahun 1960-an menjadi semacam oase budaya bagi kota Jakarta, dan banyak melahirkan seniman besar, belakangan pun terkena polusi moral. Kawasan tempat nongkrong dan tumbuhnya Wim Umboh, Sukarno M Nur, Misbah Yusa Biran, Hamsad Rangkuti, Ajip Rosyidi dan SM Ardan itu belakangan kehilangan citranya sebagai oase budaya. Citra yang melekat pada kawasan Senen, tinggal kawasan bisnis, premanisme dan pelacuran.

Kesadaran untuk merevitalisasi fungsi kultural Planet Senen dan mengembalikan citranya sebagai salah satu oase budaya bagi kota Jakarta, akhir-akhir ini mencul dari beberapa penyair seperti Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu dan Giyanto Subagio. Mereka mencoba mendenyutkan kembali aktivitas kesenian sastra, tari, lukis, dan teater — dari Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang menempati kawasan Planet Senen.

Untuk mendukung upaya itu pula Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka digelar di plasa gelanggang remaja tersebut, atas kerja sama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Planet Senen (KoPS), serta dukungan penuh Dedy Mizwar, Misbah Yusa Biran dan Taufiq Ismail. “Senen dulu banyak melahirkan seniman besar. Di sini pula dimulainya teater modern Indonesia,” kata Misbah.

“Kegiatan ini positif sekali untuk mengembalikan citra dan fungsi kawasan Senen, bukan hanya sebagai kawasan bisnis, tapi juga oase kesenian bagi kota Jakarta,” kata walikota Jakarta Pusat Dr Hj Sylviana Murni pada sambutan yang dibacakan wakilnya, Dadang Effendi. “Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini,” tambah Kasubdin Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Pusat, Bambang Subekti.

Diawali dengan diskusi bertajuk Sastra Urban dan Kemerdekaan dengan pembicara Irman Syah, Helvy Tiana Rosa, dan Agus R Sarjono, acara dipuncaki orasi sastra oleh Taufiq Ismail. Sebelum orasi, panggung diisi pentas baca puisi oleh Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono, Diah Hadaning, Aby Nuh, Medy Loekito, Misbah Yusa Biran, Jamal D Rahman, Giyanto Subagio, dan Viddy AD Daery, serta baca cerpen oleh Yohana Gabe Threenov Siahaan.

Panggung yang dipasang di sebelah patung perjuangan kemudian diisi baca puisi, antara lain oleh Rukmi Wisnu Wardani, Mustafa Ismail, Sihar Ramses Simatupang, Amien Kamil, A Badri AQT, dan baca cerpen oleh Hamsad Rangkuti. Sejumlah penyair, seperti Imam Maarif, sempat naik ke atas balkon patung untuk membacakan sajaknya. Sejumlah grup musik, seperti Prasta dari Bogor pimpinan Uthe dengan vokalis Irma, serta performance arts Asep Sutajaya dan Abah Bopeng, menyempurnakan acara hingga larut malam.

Kesenian telah kembali menggeliat di Planet Senen, kembali menghamparkan oase sejuk di tengah kota Jakarta yang makin gerah, bising, sibuk, macet, dan penuh dekadensi moral. Semoga saja, kesenian-kesenian yang digelar di Senen adalah seni yang menjaga moral, yang mencerahkan hati nurani, dan menyempurnakan harkat serta martabat kemanusiaan publiknya, bukan yang sebaliknya.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Sep 2008
Baca Lengkapnya....

Aksi Panggung para Penyair Nusantara

ADA yang mengaum, ada yang beteriak, ada yang merintih, ada yang membanting kursi, ada yang berdendang, ada yang membawa jaelangkung, ada yang cool-cool saja. Begitulah aksi panggung para ‘penyair Nusantara’ dalam perhelatan Pesta Penyair Indonesia, Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering, di Medan, 25-28 Mei 2007 lalu.
Tampil pada malam ketiga, penyair Pekanbaru, Fakhrunnas MA Jabbar, mendengdangkan lagu pedih nasib Riau yang terus diterpa perubahan zaman, melalui ‘sajak seri’-nya, Riau 1 dan Riau 2. Bagi sastrawan yang juga deputi direktur PT Riau Andalan Pulp & Paper ini, Riau adalah ‘harta karun’ budaya yang harus disayangi, namun ia tidak dapat mencegahnya ketika Riau terus dieksploitasi kekayaan alamnya:

sungguh aku tak bisa beri dikau permata
bebatuan purba tertanam jauh di lembah-lembah
semua orang menambang uang dan logam
biar kutambang perahu saja
sungguh aku tak bisa beri dikau mutiara
kerang dan tripang tertanam jauh di laut dalam
semua orang memetik mawar
biar aku saja memetik senyummu yang ramah

Beragam gaya dan beragam tema. Begitulah sajak-sajak para penyair Nusantara yang terkumpul dalam buku antologi puisi Medan Waktu (dieditori oleh Afrion Medan, Antilan Purba, dan M Yunus Rangkuti) yang melengkapi perhelatan tersebut. Maka, beragam pula gaya penampilan mereka di panggung. Binhad Nurrohmat pun membanting kursi, untuk memunculkan sensasi teateral. Tapi, Krismalyanti, cool-cool saja ketika membaca sajak Jerat Kering.

Sebelum mereka, penyair Malaysia yang juga aktor ternama, Khalid Salleh, seperti mengaum ketika meneriakkan sajak Merdeka di Tangan Siapa? — sebuah sajak lugas yang berbicara tentang makna kemerdekaan:

merdeka adalah kebebasan melakukan dan menyatakan erti kebenaran memberi dan menerima kebaikan mengusulkan pandangan untuk kebaikan bersama membuka semangat untuk kesedaran — berbangsa, beragama, dan bernegara

Sekitar 100 penyair dari berbagai penjuru kawasan Nusantara — Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand Selatan — adu kebolehan membaca sajak di atas panggung selama empat malam berturut-turut, 25-28 Mei 2007. Tiga malam pertama berlangsung di Taman Budaya Sumatera Utara, dan malam terakhir di Garuda Plaza Hotel.

Dari Brunei, penyair yang tampil membaca sajak, antara lain Zefri Ariff, Adi Swara dan Sheikh Mansor. Dari Malaysia, antara lain SM Zakir, Khalid Salleh, DR Ibrahim Ghaffar, Mohammad Saleeh Rahamad, DR Ahmad Razali Yusuf, Muhammad Lutfi Ishak, Shamsudin Othman, Nasury Ibrahim, Rahimidin Zahari, Ijamala MN, Saring Sirad, Amirul Fakir, Amran Daud dan Saifulizan Yahya.

Paling banyak, tentu, dari Indonesia, antara lain Korrie Layun Rampan (Kutai Barat), Shantined (Balik Papan), Micky Hidayat (Banjarmasin), Dinullah Rayes (Mataram), Doel CP Allisah (Aceh), Idris Pasaribu (Medan), Hasan Bisri BFC (Bogor), Khoirul Anwar (Kediri), Sarah Serena (Jakarta), Epri Saqib (Depok), Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka (Lampung), Harta Pinem dan M Raudah Jambak (Medan).
Selain mereka, penyair yang ikut meramaikan pentas baca sajak, antara lain Viddy AD Daery (Lamongan), Fikar W Eda (Aceh), R Galuh Angger Mahesa (Medan), Syaifuddin Ghani (Kendari), Doddy SH (Bojonegoro), Leonowens SP (Jakarta), Hasan Al Banna, Nurhilmi Daulay, Mihar Harahap, Koko Bhairawa, Dini Usman, Raswin Hasibuan (Medan), A Aris Abeba (Pekanbaru), dan Amin Setiamin (Labuhan Batu).

Jika pada malam pembukaan dimeriahkan musikalisasi puisi dan tari, panggung puisi pada malam penutupan makin seru dengan tampilnya Bupati Langkat H Syamsul Arifin SE. Ketua Majelis Adat dan Budaya Melayu ini membacakan sajak-sajak Amir Hamzah dengan penuh penghayatan. Bahkan, beberapa penyair Malaysia dan Indonesia masih membaca sajak sambil membentuk lingkaran mengelilingi meja, meski acara telah ditutup oleh Kepala Disbudpar Medan H Syarifuddin SH.

Pesta penyair yang dilenggarakan oleh Laboratorium Sastra Medan bekerja sama dengan Disbudpar setempat ini tentu tidak hanya diisi ‘pesta sajak’. Pada siang hari para peserta suntuk mengikuti workshop (pagi) dan diskusi sastra (siang). Pada hari kedua (pagi) sempat digelar pula silaturahmi Komunitas Sastra Indonesia (KSI) yang diprakarsai oleh Ketua KSI Cabang Medan, Idris Pasaribu.

Diskusi sastra membahas khasanah puisi Nusantara dan kesastraan Indonesia mutakhir, dengan pembicara Suyadi San (Medan), Moh Saleeh Rahamat, SM Zakir (Malaysia), Zefri Ariff (Brunei), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), dan Isbedy Stiawan ZS (Lampung). Sedangkan sesi proses kreatif menampilkan Viddy AD Daery, Binhad Nurrohmat, Rahimidin Zahari (Malaysia), dan Sheikh Mansor (Brunei).

Puncak pesta penyair ini adalah gathering di Garuda Plaza Hotel, yang diawali dialog budaya bersama Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film Depbudpar RI, DR Mukhlis Pa’Eni. Berbagai isu kebudayaan mutakhir, seperti makin terpinggirkannya seni tradisi, dibahas oleh doktor antropologi sosial ini.

Usai dialog, gathering diisi musyawarah untuk membahas kemungkinan dibentuknya forum bersama penyair Nusantara. Seperti diakui oleh ketua panitia, Afrion Medan, sempat menguat rencana untuk membentuk sebuah jaringan kerja dengan nama Komunitas Sastra Nusantara.

Sidang pleno yang dipimpin oleh Ahmadun YH, Viddy AD Daery dan Idris Pasaribu, akhirnya menyepakati event tahunan Pesta Penyair Nusantara, Sempena The International Poetry Gathering sebagai forum bersama penyair Nusantara untuk bermusyawarah sambil berapresiasi dan mengekspresikan karya.

Pesta penyair tersebut akan diadakan secara bergilir di kota-kota negara peserta, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Thailand. Disepakati, Pesta Penyair Nusantara 2008 akan diadakan di Kediri, Jawa Timur.

Maka, ”sampai bertemu di Kediri tahun depan!” kata beberapa penyair Malaysia, sambil melambaikan tangan ke beberapa penyair Indonesia di depan Hotel Srideli, tempat mereka menginap.

Pesta Penyair Model Gotong Royong

Kini menjadi semacam kelaziman bahwa event sastra se Nusantara, baik di Indonesia maupun di negeri jiran, diadakan secara bergotong royong — biaya peserta ditanggung bersama.

Demikian pula pesta penyair se-Nusantara di Medan ini. Panitia hanya menyediakan akomodasi selama acara berlangsung. Sedangkan transport dari kota asal peserta, baik sebagai pembicara, pembaca puisi, maupun penggembira, ditanggung sendiri. Karena itu, sebelum acara, para calon peserta biasanya sibuk mencari bantuan dana.

Berungtunglah, ada saja lembaga pemerintah dan swasta yang peduli pada sastra dengan membantu keberangkatan peserta. Salah satunya adalah PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP). “Tentu, kami sangat peduli pada acara seperti itu, karena sangat penting untuk meningkatkan prestasi budaya bangsa,” kata Dirut PT RAPP DR Rudi Fajar.

Menurut Rudi, acara semacam pesta penyair di Medan itu sejalan dengan program peduli budaya yang dilaksanakan oleh produsen pulp dan kertas ini. Salah satu program yang kini sedang digalakkannya adalah pendirian taman bacaan di desa-desa yang kini telah mencapai lebih dari 110 desa di Riau. (ika/ayh)

Pernah dimuat di Republika, 10 Juni 2007
Baca Lengkapnya....

`Macdonalisasi` Produk Budaya Serba Instant

SUATU hari, para pemuda dari 31 provinsi di Indonesia berkumpul di atas KRI Sangkurilang. Sambil berlayar mengarungi Laut Jawa, mereka mempertunjukkan berbagai atraksi seni-budaya — dan tentu juga mempelajari masalah-masalah kelautan.
Meski bertajuk Kapal Pemuda Nusantara, acara dalam rangka Festival Internasional Pemuda dan Olahraga Bahari yang popular sebagai Festival Bahari itu penuh sentuhan seni-budaya. “Di dalam kapal, mereka juga melakukan semacam pertukaran budaya. Pemuda dari Ambon, misalnya, memakai pakaian Jawa dan memainkan tari Jawa,” kata Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI DR Adhyaksa Dault.

Tampaknya, Adhyaksa Dault, meski harus mengurus olahraga, tidak melupakan peran seni-budaya untuk membangun jati diri bangsa. Sebab, kebudayaan merupakan aspek penting nation and character building. “Kebudayaan menjadi jembatan pemersatu kita,” ujarnya dalam ‘diskusi terbatas’ di Jakarta, Kamis (26/4) lalu.

DR Adhyaksa membeberkan betapa pentingnya nilai-nilai kebudayaan nasional untuk diwariskan kepada generasi muda agar tetap memiliki akar budaya yang kuat. Sebab, menurutnya, tak bisa ada kebangkitan pemuda tanpa akar budaya yang kuat. “Gimana pemuda mau bangkit kalau akar budayanya hilang,” katanya.

Untuk itulah selama ini acara-acara yang digelar oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga selalu kental nuansa seni budaya. Bahkan, ada even-even khusus seni budaya yang digelar secara rutin setahun sekali, misalnya Festival Kreativitas Pemuda.

Selainkan pertunjukan berbagai kesenian oleh anak-anak muda pada puncak acara, festival dalam rangka Sumpah Pemuda ini juga menggelar berbagai lomba yang dibuka sejak awal tahun, seperti festival musik, festival nasyid dan sayembara menulis cerpen untuk pemuda. Khusus untuk lomba menulis cerpen, dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda bekerja sama dengan Creative Writing Institute (CWI).

“Kesenian, termasuk sastra, sangat efektif untuk memberdayakan pemuda. Karena itu, kami berkomitmen untuk mengadakan sayembara menulis cerpen ini tiap tahun,” kata Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Drs H Syahyan Asmara MSp, pada acara terpisah.

Even-even lain, yang sebenarnya bukan acara kesenian, juga tidak pernah sepi dari acara kesenian. Festival Bahari 2006, yang berlangsung di Makassar pada Agustus-September lalu, misalnya, dimeriahkan berbagai pertunjukan budaya tradisi bahari dan kesenian-kesenian etnis lainnya, seperti upacara Appanaung Ri Jane, musik tradisional Makassar, dan tari-tari dari empat etnis lain, seperti barongsae.

Festival Bahari 2007 yang akan digelar di Padang, 29 Juli – 8 Agustus 2007, juga akan diwarnai banyak acara kesenian. ”Ini merupakan festival multieven kepemudaan, keolahragaan, dan kepariwisataan yang dikemas dalam lomba internasional olahraga bahari,” kata Adhyaksa Dault.

Even internasional pemuda dan olahraga itu akan melibatkan empat lembaga negara, yakni Kantor Menegpora, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, serta Departemen Komunikasi dan Informatika.

Baik festival pemuda maupun olahraganya akan diwarnai banyak sentuhan budaya, sehingga mirip festival budaya. Karena, akan banyak digelar lomba olahraga tradisi, seperti lomba perahu naga, sampan, perahu pincalang, layar, layang-layang dan pencak silat. Juga lomba selancar, selam, renang pulau, jetski, gantole, voli pantai, sepak takraw, dan lari 10K.

Sedangkan untuk festival pemuda, antara lain berupa Kapal Pemuda Nusantara, kemah pemuda, Pramuka Saka Bahari, lomba foto, dan penulisan jurnalistik wisata, seni, dan olahraga, serta temu karya ilmiah iptek olahraga. Juga akan diadakan festival musik dan tari untuk lebih memberi sentuhan budaya.

Bahkan, akan ada beberapa pemecahan rekor MURI, seperti pemecahan rekor tari gelombang dengan peserta terbanyak, pemecahan rekor layang-layang raksasa, dan pemecahan rekor melamang (membuat makanan lemang) terpanjang, yakni sepanjang dua kilometre.

Saat ini, menurut Adhyaksa, upaya pewarisan nilai-nilai budaya bangsa muda makin penting untuk
menguatkan akar budaya pemuda sekaligus menyelamatkan budaya bangsa dari serbuan budaya asing yang makin meminggirkan budaya-budaya tradisi yang diperlukan untuk nation and character building tadi.

Dalam situasi ‘perang informasi’ saat ini, menurut Adhyaksa, juga terjadi ‘perang wacana budaya’. Nilai-nilai dan produk budaya asing terus menyudutkan kebudayaan nasional, terutama budaya tradisi, dalam posisi yang makin tidak berdaya. “Perang informasi juga menyudutkan kita dalam fenomena mcdonalisasi,” katanya.
Mcdonalisasi, menurutnya, adalah kecenderungan yang serba cepat dan serba makmur, namun lupa pada budaya sendiri. Jadi, semua produk budaya, dan gaya hidup masyarakat, menjadi serba instan dan kehilangan akar. Dia mencontohkan sinetron-sinetron drama dan sinetron remaja di televisi, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak memiliki wawasan budaya. Juga novel-novel chicklit serta teenlit yang mengadopsi begitu saja gaya hidup remaja Amerika.

Kecenderungan seperti itu, terutama terjadi karena kuatnya orientasi bisnis dalam ‘industri budaya’ kita. Orientasi bisnis, menurutnya, tetap penting agar kesenian dapat menghidupi dirinya sendiri dan tidak hanya bergantung pada subsidi pemerintah. Tetapi, tetap harus seimbang dengan orientasi nilai budaya, agar produk-produk kesenian tidak malah merusak.

Adhyaksa menyebut film Nagabonar dan November 1828 sebagai contoh produk budaya yang ideal. “Keduanya kental nilai sejarah dan punya akar budaya, tapi juga ada sentuhan orientasi bisnis, sehingga bisa laku. Kenapa sineas yang lain tidak mencontoh seperti itu?” katanya.

Guna mendorong tradisi berseni-budaya yang lebih sehat di masyarakat, Menegpora pun memberikan penghargaan seni. Misalnya, penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 kepada grup musik The Upstairs dan Menpora Award kepada Deddy Mizwar. Adhyaksa juga sering hadir di tengah acara-acara kesenian, seperti membaca puisi di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, dan pada 19 Mei 2007 nanti akan membaca puisi serta berorasi dalam acara Kenduri Cinta-nya Emha Ainun Nadjib di Taman Ismail Marzuki.

Peradaban masyarakat kita saat ini, terutama masyarakat perkotaan, sudah sangat parah karena melupakan akar budaya. Karena itu, menurut Adhyaksa, sudah saatnya, semua unsur bangsa bersinergi untuk membangun kembali kebudayaan nasional agar tumbuh lebih sehat dan pas dengan kebutuhan zaman.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 29 April 2007.
Baca Lengkapnya....

Menunggu ‘Godot’ Pengajaran Sastra Indonesia

Posted by PuJa on September 22, 2011



PERSOALAN utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah umum (SMU) adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada mata pelajarah bahasa (Indonesia). Persoalan utama ini sudah sering digugat oleh para akademisi sastra dan sastrawan, misalnya Suminto A Sayuti dan Taufiq Ismail, tapi masih saja berlangsung seperti itu.

Posisi pengajaran sastra yang melekat pada pelajaran bahasa Indonesia itu mengisyaratkan, bahwa pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa — aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang ini.

Dengan posisi melekat pada pelajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Karena memang berminat, sang guru akan terdorong untuk mengajarkan apresiasi sastra secara sungguh-sungguh dan kreatif mencari solusi atas sempitnya waktu yang tersedia.

Tetapi, jika sang guru bahasa Indonesia tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Apalagi, memperkaya materi pelajaran yang ada.

Dengan hanya menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, maka prestasi siswa dalam pengajaran sastra tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, tapi hanya menyumbang sedikit (kurang dari 20 persen) pada nilai bahasa Indonesia. Akibatnya, para siswa tidak terdorong untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti dan menguasai pelajaran sastra.

Cukup logis, jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya — persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Selain itu, pelajaran bahasa Indonesia juga banyak dibebani semacam ‘titipan’ pengetahuan bidang lain, seperti kesehatan, lingkungan, politik, dan budaya, bahkan transmigrasi, teknologi dan olahraga. Sehingga, yang muncul pada sub-sub judul buku pelajaran bahasa dan sastra bukan aspek-aspek bahasa dan sastra itu sendiri, tapi bidang-bidang pengetahuan yang lain.

Lihat saja, misalnya, buku Bahasa dan Sastra Indonesia susunan Dra N Sukartinah dkk (CV Thursina,
Bandung, 2003). Sub-sub judul yang dimunculkan pada buku ini 90 persen justru non-sastra dan non-bahasa, yakni Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Terja, Teknologi, Pendidikan, Pertanian, Transmigrasi, Lingkungan, Peristiwa, serta Olahraga. Sehingga, sepintas, kita malah bingung, itu buku pelajaran bahasa atau pengetahuan umum.

Keanehan itu, selain membuat siswa tidak terkonsentrasi pada masalah bahasa dan sastra, juga menutup peluang untuk meningkatkan sentuhan materi sastra dalam pengajaran bahasa. Untuk aspek membaca, mendengarkan dan berbicara, misalnya, bukan membaca, mendengarkan, dan berbicara dengan materi karya sastra, baik esei, cerpen, maupun puisi; tetapi dengan materi tentang kesehatan, lingkungan, teknologi, dan bidang-bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan sastra.

Mungkin, hal itu dilakukan agar pengajaran bahasa dapat diberikan secara menarik dan variatif topiknya, tapi bisa saja siswa malah bingung, itu pelajaran bahasa atau bukan. Akibatnya, fokus atau konsentrasi siswa pada pelajaran bahasa dan sastra juga malah terpecah ke bidang lain, sehingga malah mendangkalkan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia itu sendiri.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mendesakkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara yang paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai kelulusan siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itulah penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat di bidang sastra.

Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot. Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau seperti teriakan di tengah padang pasir. Barangkali diperlukan unjuk rasa besar-besaran oleh para guru sastra dan sastrawan untuk meloloskan ide pemisahan tersebut menjadi kebijakan pemerintah.

Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, sekali lagi, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasa Indonesia. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif.

Jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter seperti itu, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan demi kegagalan seperti selama ini. Maka, sekali lagi, tidak ada jalan lain untuk meningkatkan pengajaran apresiasi sastra di SMU dalam rangka ikut meningkatkan apresiasi sastra masyarakat kecuali memisahkan pelajaran sastra dari pelajaran bahasa!

* Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007. Tulisan ini pernah dimuat di Koran Republika, 6 Mei 200.
Baca Lengkapnya....