Menyorot Bahasa Indonesia dalam Film Kita

Ada indikasi bahwa bahasa dalam film kita tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Adalah peneliti dari Pusat Bahasa Depdiknas, Yayah B Lumintang, yang mengemukakan indikasi itu pada diskusi Bahasa dalam Film Kita dalam rangka Festival Film Indonesia (FFI) 2008, di Gedung Film, Jakarta, pekan lalu.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Yayah menemukan banyak bukti bahwa bahasa dalam film-film nasional banyak diwarnai bahasa gaul (slank dan prokem) serta kuatnya pengaruh bahasa asing. Menurutnya, agar menarik, bahasa film tidak harus demikian. Dia mencontohkan film Gee yang bahasa Indonesianya sangat bagus namun tetap menarik.

Ada sedikit perbedaan persepsi tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film. Perbedaan ini terasa sekali dalam diskusi. Kalangan pakar bahasa, seperti Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, menginginkan agar bahasa dalam film sedekat mungkin dengan bahasa baku, meskipun tidak harus diseragamkan. Semangat senada juga tampak dari prasaran pembicara lain, Direktur Perfilman Depbudpar Ukus Kuswara.

Sementara, kalangan praktisi perfilman memandang bahwa bahasa Indonesia dalam film bersifat fleksibel, sesuai kebutuhan karakterisasi tokoh cerita, latar sosial-budaya, dan kepentingan pasar. Artis, produser, dan sutradara Lola Amaria, bahkan cenderung memandang pasar sebagai yang utama. Karena itu, baginya, untuk merebut pasar, sah-sah saja dialog dalam film banyak memunculkan bahasa gaul, dan memakai bahasa asing (Inggris) untuk judulnya.

Di tengah perbedaan itu, pengusaha bioskop dan produser film, Chand Parves Servia, memilih bersikap moderat. Film, menurutnya, adalah cermin keseharian masyarakat, termasuk keseharian masyarakat dalam berbahasa. “Bahasa dalam film bisa dianggap mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari,” katanya.

Karena itu, menurutnya, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film tidak dapat ditafsirkan secara kaku, tetapi harus secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan karakterisasi dan realitas keseharian tokoh cerita serta latar sosial-budaya yang hendak digambarkannya.

Dari sinilah tampak ada tarik-menarik antara keinginan untuk mencerminkan bahasa sehari-hari masyarakat yang diangkat ke dalam film dan kepentingan untuk memenuhi prinsip berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, Parves tetap sutuju perlunya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Dua sisi

Penggunaan bahasa dalam film, menurut Parves, dapat dilihat dari dua sisi, yakni bahasa lisan (dialog dan narasi) serta bahasa tulis (judul dan credit tittle). Bahasa lisan dalam film yang diangkat dari skenario yang ditulis oleh penulis yang penguasaan bahasanya baik, akan menghasilkan bahasa lisan (dialog) yang baik pula — kecualai diubah oleh sutradara yang penguasaan bahasanya kurang baik. Namun, bila penguasaan bahasa sutradaranya baik, maka film yang diangkat dari skenario yang bahasanya kurang baik pun dapat menghasilkan film dengan bahasa yang baik.

Bahasa lisan dalam film kita, menurut Parves, sesungguhnya sudah dapat dikatakan baik. Namun, kadang-kadang masih terdapat kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, terutama berkaitan dengan logika bahasa. Sering ada tokoh yang mengucapkan dialog yang tidak sesuai dengan karakternya, misalnya tukang becak menggunakan bahasa orang gedongan. Selain itu, dalam penggunaan bahasa tulis, film kita juga sering salah ejaan.

Selain sebagai media hiburan, menurut Parves, film juga menjadi ‘guru bahasa’. Kekurangan atau kesalahan bahasa dalam film kita, sangat besar pengaruhnya terhadap anak-anak dan remaja yang banyak ‘berguru’ pada film bioskop dan sinetron. “Dengan keseriusan bersama, kesalahan penggunaan bahasa dalam film akan dapat dihindari,” katanya.

Parves yakin, untuk menghasilkan film-film dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak perlu ahli bahasa. Yang diperlukan, tegasnya, adalah kemauan bersama para insan film. Semangat inilah yang cukup menggembirakan Dendy Sugono dan Ukus Kuswara, yang sama-sama mengharapkan penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Namun, Dendy tidak akan menyeragamkan bahasa film. Sebab, menurutnya, pengeritan bahasa Indonesia yang baik dan benar (dalam film) bersifat fleksibel, dinamis, wajar, dan kontekstual. “Bahasa adalah cermin dinamika kehidupan. Film juga cermin dinamika kehidupan. Bahasa yang berkembang di masyarakat tercermin dalam film,” katanya.

Meskipun begitu, Dendy mengingatkan pentingnya politik identitas dalam film kita, dengan bersikap setia pada kosa kata bahasa Indonesia, dan sedapat mungkin menghindari bahasa asing, termasuk pada judul film. Sebab, semakin banyaknya bahasa asing pada film kita sama artinya dengan makin lunturnya identitas kebangsaan kita.

Untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia dalam film, forum lantas mengajukan beberapa kesimpulan dan rekomendasi penting. Salah satunya, merekomendasikan agar Festival Film Indonesia (FFI) tetap mempertahankan penghargaan untuk kategori film berbahasa Indonesia terbaik, yang pada FFI 2007 diraih oleh film Kala produksi MD Pictures.

Forum juga mengusulkan agar Pusat Bahasa Depdiknas, dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa, yang digelar tiap tahun, dapat memberikan penghargaan bagi film dengan bahasa Indonesia terbaik.
Baca Lengkapnya....

Mengubah Paradigma ‘Sastra Kampung(an)’

Jika Nusantara ini adalah kampung, maka sastra Indonesia adalah ‘sastra kampung’. Penempatan Indonesia sebagai bagian dari Kampung Nusantara, cukup tepat mengingat makin terpuruknya bangsa ini menjadi underdog negara-negara adidaya, terutama AS. Dalam ekonomi kita didekte oleh IMF, dalam politik kita didekte oleh AS, dalam kebudayaan kita didekte oleh Hollywood, dalam pemikiran sastra banyak di antara kita yang bernafas di ketiak Derrida dan Faucoul.

Begitulah, kurang lebih, nasib ‘negara kampung’ bernama Indonesia, dengan orang-orang kampung yang bermental kampung. Mental orang kampung adalah mental yang suka meniru orang kota. Ketika orang-orang kota menyemir rambut jadi blonde, maka orang-orang kampung pun ikut memblonde rambut mereka. Ketika orang-orang kota nge-punk, orang-orang kampung pun tidak ketinggalan. Kota adalah simbol modermitas. Maka, dalam psikologi orang kampung, agar disebut modern, harus meniru orang kota. Modernitas yang ‘salah kaprah’ memberhala di hampir semua aspek kehidupan masyarakat dalam mengekspresikan dirinya sebagai ‘orang kota’.

Dalam lingkup negara, kampung itu bernama Indonesia, dan kotanya adalah AS. Kita, sehari-hari, dapat menyaksikan bagaimana para artis dan remaja kita dengan bangganya bergaya tank top dengan puser terbuka, sebagaimana dipamerkan oleh Britney Spears dan Christina Aquilera. Kita juga dapat melihat bagaimana paranoianya anak-anak muda kita berhura-hura di diskotik dalam gaya artis-artis Hollywood yang serba hedonis. Kita bisa melihat juga bagaimana bangganya para intelektual politik kita memuja demokrasi ala Amerika, meskipun tidak kunjung mampu menyelesaikan persoalan keadilan, HAM, dan kedaulatan rakyat.

Nyaris begitulah sebenarnya posisi serta nasib sastra Indonesia di tangan orang-orang ‘kampung Indonesia’ yang membawa psikologi orang kampung di tengah sastra dunia (Barat). Sejak zaman Pujangga Baru, begitu lahapnya para sastrawan kita mengadopsi teori, estetika dan filsafat Barat ke dalam karya-karya mereka sejak filsafat eksistensialisme pada era Chairil Anwar sampai feminisme dan posmodernisme pada era Ayu Utami agar dapat disebut sebagai ‘sastra kota’ (modern). Lihat pula bagaimana bangganya para teoritisi sastra kita mengutip-ngutip teori sastra Barat ke dalam retorika dan kritik sastra Indonesia.

Jadi, sastra Indonesia sejujurnya adalah sastra kampung, sastra yang bersemangat orang kampung, atau ‘sastra kampungan’ sastra yang kurang pede pada jati dirinya sendiri, sebagaimana ‘orang kampung’ yang kurang pede jika tidak meniru gaya orang kota. Sebagaimana orang kampung yang ingin (sok) modern dan ‘sok kota’ yang lupa pada persoalan budaya kampungnya sendiri, sastra Indonesia pun telah lama tercerabut dari akar budaya kampungnya sendiri: Nusantara.

Sehingga, ketika muncul wacana estetika ‘kembali ke Timur’ pada tahun 1970-an atau wacana ‘kembali ke warna lokal’ belakangan ini, menjadi wacana baru yang begitu menarik dan membuat banyak sastrawan jadi ‘gegap gembita’. Padahal, estetika Timur atau warna lokal mestinya sejak dulu sudah menjadi darah daging sastra Indonesia. Agaknya benar tesis Nirwan Dewanto, bahwa sastra Indonesia adalah ‘sastra dunia’ (baca: sastra Barat) yang berbahasa Indonesia.

Karena itu, untuk mencari ‘sastra kampung’ sebagaimana dimaksud oleh penggagas Ode Kampung Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara 2006 kita tidak perlu repot-repot mencari karya-karya sastra dari kampung-kampung pedalaman, atau gang-gang sempit pinggiran kota. Sebab, sastra kampung sudah bertebaran di sekitar kita, dan tiap saat dapat kita baca. Sejak dulu banyak di antara sastrawan yang berobsesi untuk mendorong karya-karya sastra Indonesia sastra kampung itu menjadi ‘mendunia’ dan suatu saat dapat meraih Nobel Sastra.

Pertanyaannya, adakah di antara karya-karya sastra kampung itu yang mendunia, yakni diakui sebagai karya ‘berkelas dunia’ dan popular di komunitas sastra internasional, seperti karya-karya peraih Nobel Sastra, semacam karya-karya Najib Mahfoudz (Mesir), Rabindranat Tagore (India) dan Kenzaburo Oe (Jepang). Atau, setidaknya sekelas karya-karya Jalaluddin Rumi (Turki) dan Kahlil Gibran (Libanon-AS), yang begitu mendunia meskipun tanpa Nobel Sastra.

Dari sastra kampung (Indonesia), yang paling gampang disebut sebagai karya yang cukup mendunia adalah Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer. Selain telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, novel anti-borjuis yang sangat memikat itu bahkan berkali-kali sempat menempatkan Pram sebagai nominator peraih Nobel Sastra.

Selain karya Pram, sebenarnya banyak juga karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris. Tetapi, rata-rata adalah karya sastra yang canggung untuk berkomunikasi di forum internasional, karena masih mengidap psikologi orang kampung yang kurang pede, sebab tidak mengekspresikan jati dirinya sendiri, namun hanya meniru ‘sastra kota’ (dunia), alias tidak mengekspresikan budayanya sendiri.

Jika kita amati, karya-karya sastra yang berhasil mendunia dan khususnya peraih Nobel rata-rata adalah karya sastra yang pede pada jati dirinya sendiri dan sangat kental dengan warna budaya lokal. Novel-novel Najib Mahfoudz, misalnya, sangat kental warna lokal (Mesir). Begitu juga karya-karya Tagore, dan Kenzaburo Oe. Karya-karya mereka menjadi kanon-kanon sastra di negerinya sendiri, sekaligus kanon sastra dunia karena keunggulan kualitas kesastraan sekaligus unikum sosial-budaya lokal yang diangkatnya. Begitu juga, kurang lebih, karya-karya Pramudya Ananta Toer.

Dalam semangat Ode Kampung, agaknya, kita harus membalik paradigma tentang kampung dan kota, tentang tradisi dan modermitas, tentang ‘sastra kampung’ dan ‘sastra kota’. Sastra kampung tidak perlu terus meniru sastra Barat untuk menjadi ‘sastra kota’, tapi cukup memperkuat jati dirinya sendiri. Sebab, hanya dengan demikian, sastra Indonesia akan dilirik sebagai ‘sastra alternatif’ yang tidak ‘seragam’ dengan sastra Barat, dan karena itu patut diperhitungkan, termasuk untuk meraih Nobel Sastra. Jika tetap menjadi sastra Barat yang berbahasa Indonesia, seperti sinyalemen Nirwan Dewanto, maka sastra Indonesia akan tetap menjadi underdog.

Karya-karya sastra yang mendunia sudah cukup membuktikan bahwa penghargaan yang mampu mensejajarkan karya sastra suatu negara dengan karya sastra besar kelas dunia lainnya itu hanya bisa diraih oleh karya-karya sastra yang bangga pada keunggulan jati dirinya sendiri, kekuatan budaya lokalnya sendiri.
*) Tulisan ini adalah prasaran untuk sesi diskusi dalam Ode Kampung, Temu Sastrawan se-Kampung Nusantara 2006az, di Rumah Dunia, Serang, Banten, 5 Februari 2006.
Baca Lengkapnya....

Buku dari Koran

Ada hubungan yang menarik antara dunia perbukuan, khususnya buku sastra, dengan surat kabar (koran). Banyak sekali buku sastra yang terbit di Indonesia –baik kumpulan cerpen, esai, puisi, maupun novel– berasal dari karya-karya yang telah dipublikasikan di surat kabar.
Karya-karya sastra tersebut umumnya sengaja ditulis untuk rubrik-rubrik sastra di surat kabar, kemudian disunting dan diterbitkan menjadi buku. Banyak di antaranya bahkan menjadi buku penting, fenomenal, dan bestseller. Sebut saja, misalnya, Ca Bau Kan karya Remy Silado dan Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy — keduanya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Republika.

Beberapa surat kabar yang memiliki divisi penerbitan buku, sering menerbitkan sendiri karya-karya sastra yang telah dimuatnya. Republika, beberapa kali membukukan cerpen-cerpen yang telah dimuat di rubrik Sastra. Antara lain, Pembisik yang menghimpun karya-karya cerpenis ternama, seperti Umar Kayam, Danarto, Putu Wijaya, dan Nh Dini. Kemudian, Dokumen Jibril yang menghimpun cerpen-cerpen para perempuan penulis –sejak yang muda sampai yang senior seperti Titie Said– serta Tarian dari Langit yang menghimpun cerpen-cerpen berlatar tsunami Aceh.

Selain itu, beberapa novel yang telah dimuat sebagai cerita bersambung (cerber) di surat kabar kita ini juga telah diterbitkan oleh Penerbit Republika. Salah satu novel yang mendapat sambutan luar biasa dari pembaca adalah Ayat-ayat Cinta. Namun, banyak juga novel penting yang setelah dimuat sebagai cerber di Republika akhirnya terbit di luar lembaga penerbit tersebut, misalnya Tamu karya Wisran Hadi, Pasar karya Kuntowijoyo (Bentang), Asamaraloka karya Kuntowijoyo (Pustaka Firdaus), Ca Bau Kan dan Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Silado (Gramedia), serta Sintren karya Dianing Widya Yudhistira (Grasindo). Semuanya menjadi karya-karya penting dalam sejarah sastra Indonesia.

Memang tidak semua karya sastra yang telah dimuat di surat kabar akhirnya dibukukan oleh surat kabar yang bersangkutan. Pengarangnya pun bebas menerbitkannya melalui penerbit manapun, karena tidak memiliki “ikatan hak cipta” dengan surat kabar bersangkutan. Pihak surat kabar biasanya hanya memberikan royalti atas pemuatan karya tersebut, dan bukan pembelian hak cipta.

Karena itu, buku karya sastra yang terbit di luar lembaga penerbit surat kabar yang telah memuatnya jumlahnya justru lebih banyak. Apalagi, tidak semua surat kabar memiliki divisi penerbitan buku. Pengumpulan ataupun penyuntingan karya-karya semacam ini biasanya dilakukan sendiri oleh pengarangnya, dan dia pula yang kemudian menawarkannya kepada penerbit. Namun, tak jarang, pihak penerbitlah yang meminta kepada pengarangnya.

Tidak jarang, buku-buku sastra semacam itu juga menjadi buku penting, laris, dan meraih penghargaan bergengsi. Salah satu contoh adalah buku kumpulan esai 9 Jawaban Sastra Indonesia karya Maman S Mahayana yang meraih penghargaan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara). Sebagian besar esai di dalam buku tersebut telah dimuat di berbagai surat kabar, sang penulis menghimpunnya, dan menerbitkannya di Rajawali Pers.

Dewasa ini ada pula lembaga sastra yang memberi perhatian khusus pada karya-karya sastra yang terbit di surat kabar. Salah satunya adalah lembaga baru Pena Kencana. Lembaga ini menghimpun cerpen dan sajak yang dimuat oleh surat-surat kabar di Indonesia sepanjang setahun (2007-2008). Setelah melewati seleksi dewan juri, hasilnya adalah buku kumpulan cerpen 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan buku kumpulan sajak 100 Puisi Terbaik Indonesia 2008.

Mirip sistem seleksi Indonesian Idol, 20 cerpen dan 100 puisi itu kini diserahkan kepada publik pembaca untuk memilih satu cerpen terbaik dan satu puisi terbaik. Publik pembaca diminta untuk memilih karya melalui SMS dengan menyebut kode buku yang dibelinya dan kode karya yang dipilih (dijagokan)-nya. Tentu, agar dapat mengikuti “permainan” tersebut peserta harus membeli bukunya, sebab satu kode buku hanya dapat disertakan dalam satu kali SMS. Karya yang dapat mengumpulkan SMS terbanyak yang akan dinobatkan sebagai pemenang.

Permainan sastra ala Indonesian Idol tersebut mungkin menarik, namun rasanya kurang pas untuk dijadikan prosedur pemilihan karya sastra terbaik. Dan, itulah yang sempat menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat sastra. Karena, selain sistemnya yang dianggap “kurang cerdas” juga dinilai rawan manipulasi. Di antara nomine, misalnya, bisa saja sengaja memborong banyak buku dan banyak voucer HP (yang kini sangat murah), lantas mengirim SMS sebanyak-banyaknya untuk memenangkan karyanya.

Yang lebih pas, barangkali, pemilihan karya terbaik tetap diserahkan kepada dewan juri yang benar-benar kredibel. Sedangkan pemilihan melalui polling SMS hanya pas untuk memilih “karya terfavorit” pilihan pembaca. Hasilnya, publik sastra dapat tahu cerpen dan puisi terbaik pilihan dewan juri –yang terdiri dari para sastrawan– dan puisi serta cerpen terfavorit pilihan pembaca. Akan sangat surprise kalau ternyata hasil pilihan dewan juri sama dengan pilihan pembaca.

Lepas dari “permainan” model Pena Kencana itu, terbitnya dua buku tersebut tetap penting bagi pendokumentasian “sastra koran” di Indonesia. Dibanding buku-buku dari “sastra koran” sebelumnya, kedua buku Pena Kencana tersebut tetap memiliki kelebihan. Ia tak memilih karya dari satu koran saja. Kedua buku Pena Kencana tersebut dipilih dari semua rubrik sastra surat kabar di Indonesia.

Mungkin masih ada kelemahan pada sistem penghimpunan karya dan penjuriannya. Tetapi, karena upayanya untuk merangkum semua karya (puisi dan cerpen) dari semua surat kabar yang terbit di Indonesia, jika dewan jurinya benar-benar kredibel, dengan sistem penjurian yang benar-benar objektif, hasilnya akan dapat menjadi cermin teraktual perkembangan “sastra koran” dan bahkan sastra Indonesia terkini.()
Baca Lengkapnya....

Keraton Yogya Bertabur Puisi

Selama dua malam berturut-turut, 23-24 Agustus 2007, keraton Yogya bertabur puisi. Tidak kurang dari 30 penyair Indonesia membacakan sajak-sajak mereka di Sasono Hinggil, bagian dari komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Salah satu mata acara Divisi Sastra Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX/2007 itu dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Ir Condroyono MSp, dengan me-launching buku sastra FKY XIX, Tongue in Your Ear, yang berisi makalah pembicara, puisi para penyair dan esei peserta workshop, setebal hampir 500 halaman.

Usai ‘ritual’ pembukaan, peyair Irman Syah (Jakarta) menggebrak dengan dendang puisi dan gerak randai yang memukau ratusan penonton. Kemudian tampil berturut-turut Hamdy Salad (Yogya), S Yoga (Ngawi), Wayan Sunarta (Karangasem), Bustan Basir Maras (Yogya), Badrudin Emce (Cilacap), Afrizal Malna (Yogya), Sindu Putra (Mataram), Arie MP Tamba (Jakarta), Aslan Abidin (Makassar), Hasta Indriyana (Yogya), Jamal T Suryanata (Pleihari), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Thompson Hs (Pematang Siantar), Mardi Luhung (Gresik) dan Toto ST Radik (Banten).

Hari kedua, dengan jumlah penonton yang tetap membludak, diawali penampilan Tan Lioe Ie (Denpasar) yang memusikalisasikan dan membacakan puisi-puisinya dengan sangat atraktif. Setelah itu tampil TS Pinang (Yogya), Iyut Fitra (Payakumbuh), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Ahda Imran (Bandung), Riki Dhamparan Putra (Denpasar), Faisal Kamandobat (Yogya), Marhalim Zaini (Pekanbaru), Agus Hernawan (Padang), Iman Budhi Santoso (Yogya), Gus tf (Payakumbuh), Hasan Aspahani (Batam), Joko Pinurbo (Yogya) dan Sihar Ramses Simatupang (Jakarta).

Untung Basuki, sesepuh Sanggar Bambu dan Bengkel Teater, tampak dengan tulus menyalami panitia Divisi Sastra FKY XIX, Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua, “Selamat, acara Anda sukses!” katanya, barangkali sambil membayangkan bahwa sudah lama di Yogya tidak ada lagi forum puisi setakzim itu.

Mata acara yang tidak kalah menariknya adalah spoken word (pembacaan puisi lisan), di bekas Hotel Tugu, depan Stasiun Tugu, pada 25 Agustus, mulai pukul 19.00 WIB. Acara dibuka I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dari Tabanan, Bali, yang membawakan sajak ‘leak’-nya, dan memukau penonton di ruang terbuka itu. Dengan suara yang melengking tinggi, Samar Gantang tampil prima, membangun variasi kata-kata berbahasa Indonesia dengan tembang dan mantra Bali.

Kemudian, D Zawawi Imron, yang kali ini diminta tampil khusus mendeklamasikan sajak-sajaknya, menggetarkan panggung dengan sajak Sungai Kecil, Ibu dan mencapai puncaknya dalam Sajak Alif yang dibacakan seperti berzikir.

Irman Syah dengan spontanitas dan improvisasinya yang tinggi, merespon panggung dengan menghentakkan kaki membentuk irama yang kemudian diikuti suara bansi (sejenis seruling) yang dimainkannya dengan tingkat keahlian tinggi.

Berturut-turut setelah itu, tampil antara lain kelompok asrama Air Tawar Aceh, Erythina Baskorowati yang membacakan teks Waktu, Batu, Abbas CH (dongeng), Pardiman (accapela), Jamaluddin Lattief (monolog), dan Jahanam (rapp).

Divisi Sastra FKY kali ini juga mengadakan workshop penulisan esei, dan diskusi sastra. Workshop berlangsung di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 23 Agustus, mulai pukul 09.30 WIB dengan instruktur Nirwan Ahmad Arsuka dan Katrin Bandel. Selain mengundang 20 penulis muda (peserta inti), panitia workshop juga membuka kesempatan bagi sekitar 15 peserta partisipatif.

Sejumlah pengamat dan peserta peninjau yang diundang khusus dari berbagai kota/daerah di tanah air juga tampak hadir, seperti Mustofa Ibrahim (Sumbar), Jumhari HS (Kudus), Viddy AD Daery (Lamongan), Damhuri Muhammad (Jakarta), Boni Triyana (Jurnas), Fahmi Faqih (Surabaya) dan Dimas Arika Miharja (Jambi). “Acaranya bagus dan intens membuat saya optimis memandang kehidupan kesenian Indonesia mendatang,” kata Mustofa Ibrahim.

Masih di Ruang Seminar TBY, 24 Agustus, mulai pukul 10.00 WIB, diadakan diskusi sastra dengan tema Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Mengguggat Politik-Estetik Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen. Diskusi ini menghadirkan pembicara Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Aslan Abidin, Gus tf, dan Wowok Hesti Prabowo, dengan moderator Saut Situmorang, yang juga ketua Devisi Sastra FKY 2007.

Afrizal Malna dan Acep Zamzam Noor pada sesi pertama berbicara tentang proses kreatif mereka di tengah situasi pergaulan sastra yang gonjang-ganjing. Mereka mencoba bertahan dengan berbagai strategi yang dibangun sendiri. Afrizal misalnya, setelah sempat lama menetap di Solo, kini memilih tinggal di Yogya dan hidup sepenuhnya dari menulis. Tidak mudah memang, sebab itu berarti memilih menyepi dari hiruk-pikuk ‘politik sastra’ yang kurang menguntungkan.

Hal yang sama dilakukan Acep Zamzam Noor. Dalam menghadapi pergaulan sastra mutakhir ia cenderung menciptakan ruang sendiri yang sebenarnya menawarkan kritik dan ironi. Ia membangun komunitas anak muda di kampung halamannya, Tasikmalaya, sembari mencuatkan soliloqui “sastra tidaklah menegangkan”. Lewat canda, plesetan dan ungkapan main-main, ia menawarkan sastra sebagai urusan kemanusiaan yang bisa mencairkan katub ketegangan. Jadi, tidak sepantasnya dibuat angker dan ekslusif.

Tidak mengherankan, di tengah polemik sastra yang meruncing seperti saat ini, Acep justru bicara tentang hobinya berjalan-jalan dari kota ke kota, filosofi batu akik atau tentang tamu-tamunya yang beragam watak dan latar. “Sastra adalah urusan kemanusiaan yang nilainya tidak bisa dimonopoli untuk kepentingan sesaat dan segelintir orang,” katanya.

Diskusi yang lebih panas terjadi pada sesi kedua, dengan pembicara Wowok Hesti Prabowo, Aslan Abidin dan Gus tf. Aslan menganggap bahwa sastra Indonesia adalah sastra (redaktur) koran yang objektivitasnya perlu terus dikritisi. Itu artinya, sastra tidak boleh tergantung pada hegemoni media, sebab begitu sebuah media memaksakan estetika atau ideologinya, pengarang yang akan jadi korban.

Mengacu kepada sepotong tema spirit penciptaan, Gus tf mempertanyakan, masih perlukah kita mencipta bila semua telah ada dan kebenaran sudah dirumuskan? Menurutnya, masih, sebab kelenyapan bisa membuat puisi bertahan, karena hanya dengan lenyap ia jadi tak temporal, lahir dan lahir terus dalam diri pembaca yang berposisi sebagai subjek.

Sedangkan Wowok Hesti Prabowo tetap konsisten mengkritisi keberadaan Komunitas Utan Kayu dan Goenawan Mohamad yang menurutnya telah menjual kesusasteraan Indonesia di luar negeri. Menurut Wowok, Goenawan dan kawan-kawannya mempromosikan di luar negeri bahwa tidak ada lagi sastrawan di Indonesia, kecuali orang-orang TUK.

Pendapat dikemukakan Wowok itu mendapat sambutan beragam dari peserta diskusi. Ada yang mendukung dan setuju, ada yang malu-malu, ada yang malah balik menyerang Wowok, bahkan ada yang minta moderator diganti sebab dianggap berpihak pada Wowok. Menurut Saut, pernyataan Wowok itu merepresentasikan, sudah sejauh itulah pesona TUK merasuk ke dalam diri sebagian pengarang kita! ( ahmadun yh, dari berbagai sumber)
Baca Lengkapnya....