Selama dua malam berturut-turut, 23-24 Agustus 2007, keraton Yogya bertabur puisi. Tidak kurang dari 30 penyair Indonesia membacakan sajak-sajak mereka di Sasono Hinggil, bagian dari komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Salah satu mata acara Divisi Sastra Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX/2007 itu dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Ir Condroyono MSp, dengan me-launching buku sastra FKY XIX, Tongue in Your Ear, yang berisi makalah pembicara, puisi para penyair dan esei peserta workshop, setebal hampir 500 halaman.
Usai ‘ritual’ pembukaan, peyair Irman Syah (Jakarta) menggebrak dengan dendang puisi dan gerak randai yang memukau ratusan penonton. Kemudian tampil berturut-turut Hamdy Salad (Yogya), S Yoga (Ngawi), Wayan Sunarta (Karangasem), Bustan Basir Maras (Yogya), Badrudin Emce (Cilacap), Afrizal Malna (Yogya), Sindu Putra (Mataram), Arie MP Tamba (Jakarta), Aslan Abidin (Makassar), Hasta Indriyana (Yogya), Jamal T Suryanata (Pleihari), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Thompson Hs (Pematang Siantar), Mardi Luhung (Gresik) dan Toto ST Radik (Banten).
Hari kedua, dengan jumlah penonton yang tetap membludak, diawali penampilan Tan Lioe Ie (Denpasar) yang memusikalisasikan dan membacakan puisi-puisinya dengan sangat atraktif. Setelah itu tampil TS Pinang (Yogya), Iyut Fitra (Payakumbuh), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Ahda Imran (Bandung), Riki Dhamparan Putra (Denpasar), Faisal Kamandobat (Yogya), Marhalim Zaini (Pekanbaru), Agus Hernawan (Padang), Iman Budhi Santoso (Yogya), Gus tf (Payakumbuh), Hasan Aspahani (Batam), Joko Pinurbo (Yogya) dan Sihar Ramses Simatupang (Jakarta).
Untung Basuki, sesepuh Sanggar Bambu dan Bengkel Teater, tampak dengan tulus menyalami panitia Divisi Sastra FKY XIX, Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua, “Selamat, acara Anda sukses!” katanya, barangkali sambil membayangkan bahwa sudah lama di Yogya tidak ada lagi forum puisi setakzim itu.
Mata acara yang tidak kalah menariknya adalah spoken word (pembacaan puisi lisan), di bekas Hotel Tugu, depan Stasiun Tugu, pada 25 Agustus, mulai pukul 19.00 WIB. Acara dibuka I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dari Tabanan, Bali, yang membawakan sajak ‘leak’-nya, dan memukau penonton di ruang terbuka itu. Dengan suara yang melengking tinggi, Samar Gantang tampil prima, membangun variasi kata-kata berbahasa Indonesia dengan tembang dan mantra Bali.
Kemudian, D Zawawi Imron, yang kali ini diminta tampil khusus mendeklamasikan sajak-sajaknya, menggetarkan panggung dengan sajak Sungai Kecil, Ibu dan mencapai puncaknya dalam Sajak Alif yang dibacakan seperti berzikir.
Irman Syah dengan spontanitas dan improvisasinya yang tinggi, merespon panggung dengan menghentakkan kaki membentuk irama yang kemudian diikuti suara bansi (sejenis seruling) yang dimainkannya dengan tingkat keahlian tinggi.
Berturut-turut setelah itu, tampil antara lain kelompok asrama Air Tawar Aceh, Erythina Baskorowati yang membacakan teks Waktu, Batu, Abbas CH (dongeng), Pardiman (accapela), Jamaluddin Lattief (monolog), dan Jahanam (rapp).
Divisi Sastra FKY kali ini juga mengadakan workshop penulisan esei, dan diskusi sastra. Workshop berlangsung di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 23 Agustus, mulai pukul 09.30 WIB dengan instruktur Nirwan Ahmad Arsuka dan Katrin Bandel. Selain mengundang 20 penulis muda (peserta inti), panitia workshop juga membuka kesempatan bagi sekitar 15 peserta partisipatif.
Sejumlah pengamat dan peserta peninjau yang diundang khusus dari berbagai kota/daerah di tanah air juga tampak hadir, seperti Mustofa Ibrahim (Sumbar), Jumhari HS (Kudus), Viddy AD Daery (Lamongan), Damhuri Muhammad (Jakarta), Boni Triyana (Jurnas), Fahmi Faqih (Surabaya) dan Dimas Arika Miharja (Jambi). “Acaranya bagus dan intens membuat saya optimis memandang kehidupan kesenian Indonesia mendatang,” kata Mustofa Ibrahim.
Masih di Ruang Seminar TBY, 24 Agustus, mulai pukul 10.00 WIB, diadakan diskusi sastra dengan tema Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Mengguggat Politik-Estetik Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen. Diskusi ini menghadirkan pembicara Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Aslan Abidin, Gus tf, dan Wowok Hesti Prabowo, dengan moderator Saut Situmorang, yang juga ketua Devisi Sastra FKY 2007.
Afrizal Malna dan Acep Zamzam Noor pada sesi pertama berbicara tentang proses kreatif mereka di tengah situasi pergaulan sastra yang gonjang-ganjing. Mereka mencoba bertahan dengan berbagai strategi yang dibangun sendiri. Afrizal misalnya, setelah sempat lama menetap di Solo, kini memilih tinggal di Yogya dan hidup sepenuhnya dari menulis. Tidak mudah memang, sebab itu berarti memilih menyepi dari hiruk-pikuk ‘politik sastra’ yang kurang menguntungkan.
Hal yang sama dilakukan Acep Zamzam Noor. Dalam menghadapi pergaulan sastra mutakhir ia cenderung menciptakan ruang sendiri yang sebenarnya menawarkan kritik dan ironi. Ia membangun komunitas anak muda di kampung halamannya, Tasikmalaya, sembari mencuatkan soliloqui “sastra tidaklah menegangkan”. Lewat canda, plesetan dan ungkapan main-main, ia menawarkan sastra sebagai urusan kemanusiaan yang bisa mencairkan katub ketegangan. Jadi, tidak sepantasnya dibuat angker dan ekslusif.
Tidak mengherankan, di tengah polemik sastra yang meruncing seperti saat ini, Acep justru bicara tentang hobinya berjalan-jalan dari kota ke kota, filosofi batu akik atau tentang tamu-tamunya yang beragam watak dan latar. “Sastra adalah urusan kemanusiaan yang nilainya tidak bisa dimonopoli untuk kepentingan sesaat dan segelintir orang,” katanya.
Diskusi yang lebih panas terjadi pada sesi kedua, dengan pembicara Wowok Hesti Prabowo, Aslan Abidin dan Gus tf. Aslan menganggap bahwa sastra Indonesia adalah sastra (redaktur) koran yang objektivitasnya perlu terus dikritisi. Itu artinya, sastra tidak boleh tergantung pada hegemoni media, sebab begitu sebuah media memaksakan estetika atau ideologinya, pengarang yang akan jadi korban.
Mengacu kepada sepotong tema spirit penciptaan, Gus tf mempertanyakan, masih perlukah kita mencipta bila semua telah ada dan kebenaran sudah dirumuskan? Menurutnya, masih, sebab kelenyapan bisa membuat puisi bertahan, karena hanya dengan lenyap ia jadi tak temporal, lahir dan lahir terus dalam diri pembaca yang berposisi sebagai subjek.
Sedangkan Wowok Hesti Prabowo tetap konsisten mengkritisi keberadaan Komunitas Utan Kayu dan Goenawan Mohamad yang menurutnya telah menjual kesusasteraan Indonesia di luar negeri. Menurut Wowok, Goenawan dan kawan-kawannya mempromosikan di luar negeri bahwa tidak ada lagi sastrawan di Indonesia, kecuali orang-orang TUK.
Pendapat dikemukakan Wowok itu mendapat sambutan beragam dari peserta diskusi. Ada yang mendukung dan setuju, ada yang malu-malu, ada yang malah balik menyerang Wowok, bahkan ada yang minta moderator diganti sebab dianggap berpihak pada Wowok. Menurut Saut, pernyataan Wowok itu merepresentasikan, sudah sejauh itulah pesona TUK merasuk ke dalam diri sebagian pengarang kita! ( ahmadun yh, dari berbagai sumber)
Salah satu mata acara Divisi Sastra Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) XIX/2007 itu dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Ir Condroyono MSp, dengan me-launching buku sastra FKY XIX, Tongue in Your Ear, yang berisi makalah pembicara, puisi para penyair dan esei peserta workshop, setebal hampir 500 halaman.
Usai ‘ritual’ pembukaan, peyair Irman Syah (Jakarta) menggebrak dengan dendang puisi dan gerak randai yang memukau ratusan penonton. Kemudian tampil berturut-turut Hamdy Salad (Yogya), S Yoga (Ngawi), Wayan Sunarta (Karangasem), Bustan Basir Maras (Yogya), Badrudin Emce (Cilacap), Afrizal Malna (Yogya), Sindu Putra (Mataram), Arie MP Tamba (Jakarta), Aslan Abidin (Makassar), Hasta Indriyana (Yogya), Jamal T Suryanata (Pleihari), Wowok Hesti Prabowo (Tangerang), Thompson Hs (Pematang Siantar), Mardi Luhung (Gresik) dan Toto ST Radik (Banten).
Hari kedua, dengan jumlah penonton yang tetap membludak, diawali penampilan Tan Lioe Ie (Denpasar) yang memusikalisasikan dan membacakan puisi-puisinya dengan sangat atraktif. Setelah itu tampil TS Pinang (Yogya), Iyut Fitra (Payakumbuh), Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya), Ahda Imran (Bandung), Riki Dhamparan Putra (Denpasar), Faisal Kamandobat (Yogya), Marhalim Zaini (Pekanbaru), Agus Hernawan (Padang), Iman Budhi Santoso (Yogya), Gus tf (Payakumbuh), Hasan Aspahani (Batam), Joko Pinurbo (Yogya) dan Sihar Ramses Simatupang (Jakarta).
Untung Basuki, sesepuh Sanggar Bambu dan Bengkel Teater, tampak dengan tulus menyalami panitia Divisi Sastra FKY XIX, Saut Situmorang dan Raudal Tanjung Banua, “Selamat, acara Anda sukses!” katanya, barangkali sambil membayangkan bahwa sudah lama di Yogya tidak ada lagi forum puisi setakzim itu.
Mata acara yang tidak kalah menariknya adalah spoken word (pembacaan puisi lisan), di bekas Hotel Tugu, depan Stasiun Tugu, pada 25 Agustus, mulai pukul 19.00 WIB. Acara dibuka I Gusti Putu Bawa Samar Gantang dari Tabanan, Bali, yang membawakan sajak ‘leak’-nya, dan memukau penonton di ruang terbuka itu. Dengan suara yang melengking tinggi, Samar Gantang tampil prima, membangun variasi kata-kata berbahasa Indonesia dengan tembang dan mantra Bali.
Kemudian, D Zawawi Imron, yang kali ini diminta tampil khusus mendeklamasikan sajak-sajaknya, menggetarkan panggung dengan sajak Sungai Kecil, Ibu dan mencapai puncaknya dalam Sajak Alif yang dibacakan seperti berzikir.
Irman Syah dengan spontanitas dan improvisasinya yang tinggi, merespon panggung dengan menghentakkan kaki membentuk irama yang kemudian diikuti suara bansi (sejenis seruling) yang dimainkannya dengan tingkat keahlian tinggi.
Berturut-turut setelah itu, tampil antara lain kelompok asrama Air Tawar Aceh, Erythina Baskorowati yang membacakan teks Waktu, Batu, Abbas CH (dongeng), Pardiman (accapela), Jamaluddin Lattief (monolog), dan Jahanam (rapp).
Divisi Sastra FKY kali ini juga mengadakan workshop penulisan esei, dan diskusi sastra. Workshop berlangsung di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY), 23 Agustus, mulai pukul 09.30 WIB dengan instruktur Nirwan Ahmad Arsuka dan Katrin Bandel. Selain mengundang 20 penulis muda (peserta inti), panitia workshop juga membuka kesempatan bagi sekitar 15 peserta partisipatif.
Sejumlah pengamat dan peserta peninjau yang diundang khusus dari berbagai kota/daerah di tanah air juga tampak hadir, seperti Mustofa Ibrahim (Sumbar), Jumhari HS (Kudus), Viddy AD Daery (Lamongan), Damhuri Muhammad (Jakarta), Boni Triyana (Jurnas), Fahmi Faqih (Surabaya) dan Dimas Arika Miharja (Jambi). “Acaranya bagus dan intens membuat saya optimis memandang kehidupan kesenian Indonesia mendatang,” kata Mustofa Ibrahim.
Masih di Ruang Seminar TBY, 24 Agustus, mulai pukul 10.00 WIB, diadakan diskusi sastra dengan tema Spirit Penciptaan dan Perlawanan: Mengguggat Politik-Estetik Sastra Dekaden, Membangun Spirit Penyair Independen. Diskusi ini menghadirkan pembicara Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Aslan Abidin, Gus tf, dan Wowok Hesti Prabowo, dengan moderator Saut Situmorang, yang juga ketua Devisi Sastra FKY 2007.
Afrizal Malna dan Acep Zamzam Noor pada sesi pertama berbicara tentang proses kreatif mereka di tengah situasi pergaulan sastra yang gonjang-ganjing. Mereka mencoba bertahan dengan berbagai strategi yang dibangun sendiri. Afrizal misalnya, setelah sempat lama menetap di Solo, kini memilih tinggal di Yogya dan hidup sepenuhnya dari menulis. Tidak mudah memang, sebab itu berarti memilih menyepi dari hiruk-pikuk ‘politik sastra’ yang kurang menguntungkan.
Hal yang sama dilakukan Acep Zamzam Noor. Dalam menghadapi pergaulan sastra mutakhir ia cenderung menciptakan ruang sendiri yang sebenarnya menawarkan kritik dan ironi. Ia membangun komunitas anak muda di kampung halamannya, Tasikmalaya, sembari mencuatkan soliloqui “sastra tidaklah menegangkan”. Lewat canda, plesetan dan ungkapan main-main, ia menawarkan sastra sebagai urusan kemanusiaan yang bisa mencairkan katub ketegangan. Jadi, tidak sepantasnya dibuat angker dan ekslusif.
Tidak mengherankan, di tengah polemik sastra yang meruncing seperti saat ini, Acep justru bicara tentang hobinya berjalan-jalan dari kota ke kota, filosofi batu akik atau tentang tamu-tamunya yang beragam watak dan latar. “Sastra adalah urusan kemanusiaan yang nilainya tidak bisa dimonopoli untuk kepentingan sesaat dan segelintir orang,” katanya.
Diskusi yang lebih panas terjadi pada sesi kedua, dengan pembicara Wowok Hesti Prabowo, Aslan Abidin dan Gus tf. Aslan menganggap bahwa sastra Indonesia adalah sastra (redaktur) koran yang objektivitasnya perlu terus dikritisi. Itu artinya, sastra tidak boleh tergantung pada hegemoni media, sebab begitu sebuah media memaksakan estetika atau ideologinya, pengarang yang akan jadi korban.
Mengacu kepada sepotong tema spirit penciptaan, Gus tf mempertanyakan, masih perlukah kita mencipta bila semua telah ada dan kebenaran sudah dirumuskan? Menurutnya, masih, sebab kelenyapan bisa membuat puisi bertahan, karena hanya dengan lenyap ia jadi tak temporal, lahir dan lahir terus dalam diri pembaca yang berposisi sebagai subjek.
Sedangkan Wowok Hesti Prabowo tetap konsisten mengkritisi keberadaan Komunitas Utan Kayu dan Goenawan Mohamad yang menurutnya telah menjual kesusasteraan Indonesia di luar negeri. Menurut Wowok, Goenawan dan kawan-kawannya mempromosikan di luar negeri bahwa tidak ada lagi sastrawan di Indonesia, kecuali orang-orang TUK.
Pendapat dikemukakan Wowok itu mendapat sambutan beragam dari peserta diskusi. Ada yang mendukung dan setuju, ada yang malu-malu, ada yang malah balik menyerang Wowok, bahkan ada yang minta moderator diganti sebab dianggap berpihak pada Wowok. Menurut Saut, pernyataan Wowok itu merepresentasikan, sudah sejauh itulah pesona TUK merasuk ke dalam diri sebagian pengarang kita! ( ahmadun yh, dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar