Beberapa buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan pemikirannya, belum lama ini, diterbitkan dalam rangka 100 tahun sang tokoh. Dua buku di antaranya, Sutan Takdir Alisyahbana Dalam Kenangan dan Manusia Renaisance, diterbitkan oleh Dian Rakyat. Keduanya berisi kumpulan tulisan para pakar dan sama-sama disunting oleh Abu Hasan Asy’ari.
Sederet diskusi pun diadakan untuk membahas buku-buku dan pemikiran STA, antara lain di Taman Ismail Marzuki, The Habibie Center, dan kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Sejumlah media massa pun menyambut cukup antusias diskusi-diskusi tersebut, dengan memberikan ruang cukup lebar untuk pemberitaannya.
Almarhum STA semasa hidupnya telah menulis cukup banyak buku. Setidaknya ada 35 buku karya STA yang telah terbit, berupa tiga buku filsafat, sembilan buku kebudayaan, delapan buku bahasa, 12 buku sastra (termasuk novel dan kumpulan puisi), dan tiga buku umum.
Di antara novel STA yang paling terkenal dan fenomenal adalah Layar Terkembang. Novel ini menduduki tempat yang sangat istimewa dalam sejarah sastra Indonesia, karena menawarkan konsep pembaruan budaya sekaligus pemuliaan terhadap kaum perempuan. Melalui tokoh Tuti, jelas sekali bagaimana gambaran perempuan yang ideal menurut STA: Terpelajar, berpikiran maju, dan menjadi aktivis serta pelopor perubahan sosial ke arah kemajuan.
Selain melalui buku, pemikiran STA juga banyak dilansir dalam berbagai tulisan yang dimuat di berbagai media massa sejak tahun 1930-an. Pemikiran STA tentang kebudayaan Indonesia bahkan sempat berkembang menjadi polemik panjang, dalam dasawarsa 1930-an, yang antara lain melibatkan Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara.
Dalam polemik itu konsep-konsep budaya Timur dan Barat dicoba didialogkan untuk menemukan konsep budaya baru bagi masa depan bangsa. Dari polemik tersebut lahir sebuah buku berjudul Polemik Kebudayaan (dirangkum oleh Achdiat Kartamihardja), yang sampai sekarang masih sering dijadikan rujukan oleh para pakar budaya ketika membicarakan tentang masa depan kebudayaan nasional. Artinya, polemik tersebut telah memberikan dasar-dasar penting bagi pengembangan kebudayaan Indonesia.
Karena karya-karya sastranya, terutama novel Layar Terkembang, dan polemik kebudayaannya yang sangat menyejarah, selama ini masyarakat lebih mengenal STA sebagai sastrawan dan budayawan, yang pernah memimpin majalah Pujangga Baru. Nama majalah itu pun oleh HB Jassin lantas dijadikan nama angkatan Angkatan Pujangga Baru dalam sastra Indonesia, dengan STA sebagai pelopornya. Penempatan STA sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru, tentu, makin memantapkan posisinya dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus menguatkan eksistensi kesastrawanannya.
Namun, sumbangan penting STA bagi bangsa ini tentu tidak hanya dalam bidang sastra dan budaya. STA juga memberi sumbangan penting di bidang pendidikan, filsafat, dan sosiologi, yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan nasional, setidaknya di bidang pemikiran budaya.
Buku-buku yang diterbitkan Dian Rakyat di atas mencoba menghadirkan gambaran ketokohan STA yang seutuhnya, dan antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi, sehingga perlu dibaca keduanya. Buku Sutan Takdir Alisyahbana Dalam Kenangan menggambarkan sosok STA dan berbagai perannya. Sedangkan Manusia Renaisance lebih menyorot pemikiran-pemikirannya.
Dari karya dan pemikirannya, terlihat bahwa STA adalah manusia berkarakter laut, dan bukan gunung. Dinamis dan ingin cepat maju, serta tak pernah mau tinggal diam melihat bangsanya yang masih terbelakang. Wajar kalau ada yang menyebut STA sebagai fajar modernisme Indonesia.
Luar biasanya, semangat untuk membangun Indonesia modern dilontarkan STA sebelum negara bernama Indonesia lahir. Sejak awal dasawarsa 1930-an, tidak lelah-lelahnya tokoh dinamis ini memperjuangkan kemajuan bangsa melalui pemikiran sastra, bahasa, filsafat, dan terutama kebudayaan.
STA yakin, untuk memajukan suatu bangsa, peran kebudayaan sangat vital. STA yakin, agar dapat berjalan dengan baik, suatu masyarakat harus memiliki kebudayaan yang dapat menjadi dasar atau sandaran bagi kemajuan ilmu dan teknologi. Jadi, pesan tersirat STA, kalau ingin bangsa ini maju dan sejahtera lahir-batin, jangan sepelekan kebudayaan.
Sederet diskusi pun diadakan untuk membahas buku-buku dan pemikiran STA, antara lain di Taman Ismail Marzuki, The Habibie Center, dan kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Sejumlah media massa pun menyambut cukup antusias diskusi-diskusi tersebut, dengan memberikan ruang cukup lebar untuk pemberitaannya.
Almarhum STA semasa hidupnya telah menulis cukup banyak buku. Setidaknya ada 35 buku karya STA yang telah terbit, berupa tiga buku filsafat, sembilan buku kebudayaan, delapan buku bahasa, 12 buku sastra (termasuk novel dan kumpulan puisi), dan tiga buku umum.
Di antara novel STA yang paling terkenal dan fenomenal adalah Layar Terkembang. Novel ini menduduki tempat yang sangat istimewa dalam sejarah sastra Indonesia, karena menawarkan konsep pembaruan budaya sekaligus pemuliaan terhadap kaum perempuan. Melalui tokoh Tuti, jelas sekali bagaimana gambaran perempuan yang ideal menurut STA: Terpelajar, berpikiran maju, dan menjadi aktivis serta pelopor perubahan sosial ke arah kemajuan.
Selain melalui buku, pemikiran STA juga banyak dilansir dalam berbagai tulisan yang dimuat di berbagai media massa sejak tahun 1930-an. Pemikiran STA tentang kebudayaan Indonesia bahkan sempat berkembang menjadi polemik panjang, dalam dasawarsa 1930-an, yang antara lain melibatkan Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara.
Dalam polemik itu konsep-konsep budaya Timur dan Barat dicoba didialogkan untuk menemukan konsep budaya baru bagi masa depan bangsa. Dari polemik tersebut lahir sebuah buku berjudul Polemik Kebudayaan (dirangkum oleh Achdiat Kartamihardja), yang sampai sekarang masih sering dijadikan rujukan oleh para pakar budaya ketika membicarakan tentang masa depan kebudayaan nasional. Artinya, polemik tersebut telah memberikan dasar-dasar penting bagi pengembangan kebudayaan Indonesia.
Karena karya-karya sastranya, terutama novel Layar Terkembang, dan polemik kebudayaannya yang sangat menyejarah, selama ini masyarakat lebih mengenal STA sebagai sastrawan dan budayawan, yang pernah memimpin majalah Pujangga Baru. Nama majalah itu pun oleh HB Jassin lantas dijadikan nama angkatan Angkatan Pujangga Baru dalam sastra Indonesia, dengan STA sebagai pelopornya. Penempatan STA sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru, tentu, makin memantapkan posisinya dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus menguatkan eksistensi kesastrawanannya.
Namun, sumbangan penting STA bagi bangsa ini tentu tidak hanya dalam bidang sastra dan budaya. STA juga memberi sumbangan penting di bidang pendidikan, filsafat, dan sosiologi, yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan nasional, setidaknya di bidang pemikiran budaya.
Buku-buku yang diterbitkan Dian Rakyat di atas mencoba menghadirkan gambaran ketokohan STA yang seutuhnya, dan antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi, sehingga perlu dibaca keduanya. Buku Sutan Takdir Alisyahbana Dalam Kenangan menggambarkan sosok STA dan berbagai perannya. Sedangkan Manusia Renaisance lebih menyorot pemikiran-pemikirannya.
Dari karya dan pemikirannya, terlihat bahwa STA adalah manusia berkarakter laut, dan bukan gunung. Dinamis dan ingin cepat maju, serta tak pernah mau tinggal diam melihat bangsanya yang masih terbelakang. Wajar kalau ada yang menyebut STA sebagai fajar modernisme Indonesia.
Luar biasanya, semangat untuk membangun Indonesia modern dilontarkan STA sebelum negara bernama Indonesia lahir. Sejak awal dasawarsa 1930-an, tidak lelah-lelahnya tokoh dinamis ini memperjuangkan kemajuan bangsa melalui pemikiran sastra, bahasa, filsafat, dan terutama kebudayaan.
STA yakin, untuk memajukan suatu bangsa, peran kebudayaan sangat vital. STA yakin, agar dapat berjalan dengan baik, suatu masyarakat harus memiliki kebudayaan yang dapat menjadi dasar atau sandaran bagi kemajuan ilmu dan teknologi. Jadi, pesan tersirat STA, kalau ingin bangsa ini maju dan sejahtera lahir-batin, jangan sepelekan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar