Buku-buku Sutan Takdir Alisabana

Beberapa buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dan pemikirannya, belum lama ini, diterbitkan dalam rangka 100 tahun sang tokoh. Dua buku di antaranya, Sutan Takdir Alisyahbana Dalam Kenangan dan Manusia Renaisance, diterbitkan oleh Dian Rakyat. Keduanya berisi kumpulan tulisan para pakar dan sama-sama disunting oleh Abu Hasan Asy’ari.

Sederet diskusi pun diadakan untuk membahas buku-buku dan pemikiran STA, antara lain di Taman Ismail Marzuki, The Habibie Center, dan kampus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Sejumlah media massa pun menyambut cukup antusias diskusi-diskusi tersebut, dengan memberikan ruang cukup lebar untuk pemberitaannya.

Almarhum STA semasa hidupnya telah menulis cukup banyak buku. Setidaknya ada 35 buku karya STA yang telah terbit, berupa tiga buku filsafat, sembilan buku kebudayaan, delapan buku bahasa, 12 buku sastra (termasuk novel dan kumpulan puisi), dan tiga buku umum.

Di antara novel STA yang paling terkenal dan fenomenal adalah Layar Terkembang. Novel ini menduduki tempat yang sangat istimewa dalam sejarah sastra Indonesia, karena menawarkan konsep pembaruan budaya sekaligus pemuliaan terhadap kaum perempuan. Melalui tokoh Tuti, jelas sekali bagaimana gambaran perempuan yang ideal menurut STA: Terpelajar, berpikiran maju, dan menjadi aktivis serta pelopor perubahan sosial ke arah kemajuan.

Selain melalui buku, pemikiran STA juga banyak dilansir dalam berbagai tulisan yang dimuat di berbagai media massa sejak tahun 1930-an. Pemikiran STA tentang kebudayaan Indonesia bahkan sempat berkembang menjadi polemik panjang, dalam dasawarsa 1930-an, yang antara lain melibatkan Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara.

Dalam polemik itu konsep-konsep budaya Timur dan Barat dicoba didialogkan untuk menemukan konsep budaya baru bagi masa depan bangsa. Dari polemik tersebut lahir sebuah buku berjudul Polemik Kebudayaan (dirangkum oleh Achdiat Kartamihardja), yang sampai sekarang masih sering dijadikan rujukan oleh para pakar budaya ketika membicarakan tentang masa depan kebudayaan nasional. Artinya, polemik tersebut telah memberikan dasar-dasar penting bagi pengembangan kebudayaan Indonesia.

Karena karya-karya sastranya, terutama novel Layar Terkembang, dan polemik kebudayaannya yang sangat menyejarah, selama ini masyarakat lebih mengenal STA sebagai sastrawan dan budayawan, yang pernah memimpin majalah Pujangga Baru. Nama majalah itu pun oleh HB Jassin lantas dijadikan nama angkatan Angkatan Pujangga Baru dalam sastra Indonesia, dengan STA sebagai pelopornya. Penempatan STA sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru, tentu, makin memantapkan posisinya dalam sejarah sastra Indonesia, sekaligus menguatkan eksistensi kesastrawanannya.

Namun, sumbangan penting STA bagi bangsa ini tentu tidak hanya dalam bidang sastra dan budaya. STA juga memberi sumbangan penting di bidang pendidikan, filsafat, dan sosiologi, yang mempengaruhi perkembangan kebudayaan nasional, setidaknya di bidang pemikiran budaya.

Buku-buku yang diterbitkan Dian Rakyat di atas mencoba menghadirkan gambaran ketokohan STA yang seutuhnya, dan antara yang satu dengan lainnya saling melengkapi, sehingga perlu dibaca keduanya. Buku Sutan Takdir Alisyahbana Dalam Kenangan menggambarkan sosok STA dan berbagai perannya. Sedangkan Manusia Renaisance lebih menyorot pemikiran-pemikirannya.

Dari karya dan pemikirannya, terlihat bahwa STA adalah manusia berkarakter laut, dan bukan gunung. Dinamis dan ingin cepat maju, serta tak pernah mau tinggal diam melihat bangsanya yang masih terbelakang. Wajar kalau ada yang menyebut STA sebagai fajar modernisme Indonesia.

Luar biasanya, semangat untuk membangun Indonesia modern dilontarkan STA sebelum negara bernama Indonesia lahir. Sejak awal dasawarsa 1930-an, tidak lelah-lelahnya tokoh dinamis ini memperjuangkan kemajuan bangsa melalui pemikiran sastra, bahasa, filsafat, dan terutama kebudayaan.

STA yakin, untuk memajukan suatu bangsa, peran kebudayaan sangat vital. STA yakin, agar dapat berjalan dengan baik, suatu masyarakat harus memiliki kebudayaan yang dapat menjadi dasar atau sandaran bagi kemajuan ilmu dan teknologi. Jadi, pesan tersirat STA, kalau ingin bangsa ini maju dan sejahtera lahir-batin, jangan sepelekan kebudayaan.
Baca Lengkapnya....

Kreativitas Guru, Tumpuan Pengajaran Sastra



Saya selalu merasa bahagia tiap kali membaca karya-karya siswa SMU, puisi maupun cerpen, yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison. Meskipun di satu sisi, suplemen tersebut kerap dianggap memerosotkan wibawa majalah tersebut, tetapi di sisi lain suplemen tersebut cukup menggairahkan budaya menulis kreatif di kalangan siswa. Suplemen tersebut juga menjadi bukti makin banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Jika dikaitkan dengan persoalan pengajaran sastra, yang selama ini sering dikeluhkan, karya-karya siswa SMU pada suplemen tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, dikutip dari Jawa Pos).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah masih kurangnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra.

Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya — persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, bertumpu pada kreativitas guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Namun, sembari menunggu kebijakan ‘pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa’ yang belum jelas akan disetujui atau tidak alangkah baiknya jika para guru bahasa dapat memaksimalkan pengajaran sastra di sekolah masing-masing. Meskipun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi.

Langkah sederhananya adalah mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan pada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin. Sementara, siswa-siswa yang berbakat menulis kreatif dapat dipupuk melalui kegiatan ekstra kurikuler di luar jam pelajaran resmi.

Tradisi kompetitif dengan memberi penghargaan pada karya siswa, baik resensi sastra maupun karya kreatif (cerpen dan puisi), dapat juga dipilih untuk merangsang budaya baca dan tulis siswa. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam mengajarkan sastra menjadi tumpuan utama. Hanya dengan kesungguhan, kecintaan, dan kreativitas guru, kualitas pengajaran sastra di sekolah dapat didongkrak secepatnya, agar apresiasi sastra kaum terpelajar kita bisa ditingkatkan lagi.
Baca Lengkapnya....

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan (bagian terakhir)

Bagian terakhir dari dua tulisan

Dalam konteks peran sosial sastra, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi ‘gerakan politik etis’ di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.
Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan, seperti terasa pada kutipan sajak Kerawang-Bekasi berikut ini:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando.

Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ”jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.”

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi, dan Hamzah Fansuri, ikut mendorong proses rekonseptualisasi ajaran tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, seperti Annemarie Schimmer, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Taufiq Ismail, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa

Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal — Polemik Kebudayaan — yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan.

Evolusi sastra Chairil Anwar — yang di dalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan — adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah pembacaan proklamasi kemerdekaan oleh Sukarno-Hatta yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.

Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, serta tetap hidupnya sastra humanisme universal, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.
Baca Lengkapnya....

‘Sastra Pragmatik’ dan Orientasi Penciptaan

Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Judul asli tulisan ini adalah Sastra dan Peningkatan Kualitas Kecendekiaan, sebuah judul yang mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai, sumber inspirasi, dan sumber pengetahuan untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Itu adalah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra ditulis bukan hanya untuk tujuan literer (estetik) tapi juga tujuan yang bersifat pragmatik atau non-literer.
Kalangan pragmatik yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya berkeyanikan bahwa karya sastra dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan mereka..

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial bukannya tidak mungkin akan dapat digerakkan..

Dalam pemahaman seperti itu, intelektual sosialis seperti Arief Budiman dan Ariel Heryanto (misalnya melalui buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), meyakini pentingnya sastra terlibat (sastra kontekstual) sebagai wujud kepedulian sastrawan pada persoalan-persoalan sosial-politik di sekitarnya, dan agar kesastraan tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri..

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan (meminjam istilah Umar Kayam), tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif..

Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq Ismail tak henti-hentinya menganjurkan agar masyarakat terpelajar banyak membaca karya sastra, setidaknya sejak mereka di bangku SLTA. Karena itu pula, Taufiq mendorong agar sistem pengajaran sastra di sekolah diubah, supaya siswa lebih banyak membaca karya sastra. Tidak seperti sekarang, yang menurutnya, ”pengajaran sastra dengan nol buku.”.

Keyakinan atas fungsi sastra seperti itu pula yang mendorong Taufiq, belakangan ini, banyak menulis ‘sajak pencerahan’. Misalnya, sajak-sajak tentang bahaya rokok dan narkoba, seperti dibacakannya pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional di plasa Gedung Pemuda, Senayan, Jakarta, pada 24 Juni 2006, yang diadakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Kutipan sajak Tuhan Sembilan Senti berikut ini menegaskan keyakin. an Taufiq terhadap manfaat sastra sebagai media pencerahan:

25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir. Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaiith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok. Jadi, ini PR untuk para ulama. Tapi, jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya dimakruh-makruhkan saja. Jangan.
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruang ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai batuk-batuk….

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya (Sapardi Djoko Damono, misalnya, menganggap karya sastra hanyalah ‘lebah tanpa sengat’). Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya, tidaklah terlalu naif.

Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran MH Abrams (dalam A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra, sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah — seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP) dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ — sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra.

Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya. Bagaimanapun, karya sastra yang bagus adalah karya sastra yang secara estetik mampu menggetarkan rasa keindahan dan secara tematik mampu mencerahkan nurani pembacanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya.
Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat) sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin (titah) Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugestif untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ‘sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.
Baca Lengkapnya....