Sajak Sutardji dalam Pilihan Dua Menteri

Sedalam-dalamnya sajak, takkan mampu menampung air mata bangsa

Baris pertama sajak Jembatan karya Sutardji Calzoum Bachri di atas mengisyaratkan duka bangsa yang begitu dalam. Di mata Presiden Penyair Indonesia itu, bangsa ini sedang sangat menderita akibat orientasi pembangunan yang justru memperlebar kesenjangan sosial, dan membuahkan krisis ekonomi yang hingga kini masih menyisakan banyak air mata.

Sajak kritik sosial itu rupanya berhasil memikat dua menteri sekaligus Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy untuk membacakannya di satu panggung: malam puncak Pekan Presiden Penyair di Graha Bhakti Budaya (GBB) Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.

Sepanjang hajatan sepekan (14-19 Juli 2007) di PKJ-TIM itu sajak Jembatan juga paling disukai publik (apresian). Sajak kritik sosial terpenting karya sang penyair itu paling banyak dipilih oleh para peserta lomba baca puisi SCB.

Di antara sajak-sajak kritik sosial yang cukup banyak ditulis SCB pada akhir masa orde baru dan pasca-reformasi, sajak Jembatan memang termasuk paling menarik, sekaligus tajam dan komunikatif. Sajak itu cukup mewakili gambaran situasi bangsa pada masa akhir kekuasaan Soeharto sampai saat ini.

JEMBATAN

Sedalam-dalamnya sajak takkan mampu menampung
airmata bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi dalam ewuh pekewuh dalam
isyarat dan kilah tanpa makna
Maka aku pun pergi menatap pada wajah
orang berjuta
Wajah orang jalanan yang berdiri satu kaki
dalam penuh sesak bis kota
Wajah orang tergusur
Wajah yang ditilang malang
Wajah legam pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza
Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap:
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu

Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa
kini ada sesuatu yang terasa jauh beda di antara kita?
Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada. Tapi siapakah yang mampu menjembatani
jurang di antara kita?

Di lembah-lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak
bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara
Berimis tak mampu menguncupkan kibarannya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi:
padamu negeri
airmata kami

Hajatan sepekan untuk memperingati HUT ke-66 Presiden Penyair Indonesia itu diawali lomba baca puisi internasional di halaman parkir TIM. Lomba yang diikuti 411 peserta dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa peserta dari luar negeri — antara lain dari Australia ini berlangsung tiga hari penuh (14-16 Juli). Babak penyisihan bahkan berlangsung dua hari dua malam nyaris tanpa jeda.

Dari 411 peserta, dewan juri babak penyisihan (Jose Rizal Manua, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Sunu Wasono) menjaring 50 peserta untuk bertarung di babak final. Di babak penentu ini mereka dinilai oleh Slamet Sukirnanto, Leon Agusta dan Tommy F Awuy. Terpilihlah Zylvia Mardiana (Jakarta Timur) sebagai juara pertama. Juara kedua Hosnizar Hood (Tanjungpinang), dan juara ketiga Chory Marbawi (Jambi). Juga terpilih tiga juara harapan, yakni Hadi Susanto (Depok), Iman Romanshah (Yogyakarta), dan Anas Bahana (Madura).

Usai lomba, digelar Panggung Apresiasi Sastra di Teater Kecil TIM (malam, 17-18 Juli). Di tempat sama (siang, 18 Juli) juga digelar talk show SCB bersama para guru dan siswa SLTA Jakarta. Dua bintang tamu, Muhammad Faiz (penyair cilik) dan Niken Rarasati (juara lomba cerita nasional), ikut memeriahkan talk show. Tidak kurang dari 25 penyair dan sastrawan dari berbagai penjuru Tanah Air ikut memeriahkan panggung apresiasi. Tampil pula artis Ratih Sanggarwati, dan aktor sinetron Sujiwo Tejo yang berduet dengan Fatin Hamama.

Puncak hajatan digelar pada 19 Juli, berupa seminar internasional dan malam puncak acara. Seminar menampilkan Prof Dr Koh Young-Hun (Korea), Dr Maria Emelia Irmler (Portugal), Dr Muhammad Zafar Iqbal (Iran), Dr Hary Aveling (Australia), Dr Haji Hasyim bin Haji Abdul Hamid (Brunei), Suratman Markasan (Singapura), Dr Asmiaty Amat dan Dr Dato Kemala (Malaysia), serta Prof Dr Suminto A Sayuti (UNY) dan Dr Abdul Hadi WM (UI).

Karya-karya SCB dikaji dari berbagai aspek dalam seminar. Salah satu kesimpulan yang menarik, bahwa sajak-sajak berestetika mantra SCB umumnya sangat religius dan bahkan sangat sufistik. Zafar Iqbal bahkan menyimpulkan sajak-sajak sufistik SCB lebih dalam dari pada lafal-lafal zikir formal. Dari sini, Abdul Hadi WM menganggap nilai-nilai religiusitas sajak-sajak SCB sangat penting untuk diaktualisasikan guna mengimbangi kecenderungan budaya yang sangat sekuler dewasa ini.

Penanda penting malam puncak adalah pidato kebudayaan Dr Ignas Kleden dan pertunjukan musikalisasi puisi oleh SCB berduet dengan Syaharani dengan iringan dentingan piano yang dimainkan oleh Donna Wulandari. Sesekali SCB juga memainkan harmonika, dan menciptakan suasana pembacaan yang sangat teateral. “Meskipun sudah tampak tua, penampilan Sutardji tetap menarik,” kata penyair Aspar Paturusi.

Diawali sambutan ketua Yayasan Panggung Melayu, Asrizal Nur, puncak acara yang dipandu MC Tommy F Awuy dan Djenar Maesa Ayu itu bergulir di depan sekitar 600 penonton yang memadati GBB TIM. Selain dua menteri, sejumlah tokoh, pejabat dan penyair mancanegara, juga tampil membaca puisi. Antara lain, anggota DPD Aida Ismet, Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Walikota Tanjungpinang Hj Suryatati A Manan, Walikota Samarinda Achmad Amins, dan wakil bupati Bintan Mastur Taher.

Malam puncak juga diisi peluncuran buku Isyarat karya SCB dan pemutaran film perjalan kepenyairan SCB. Sementara, bazar buku dan pameran foto aktivitas SCB digelar sejak 14 Juli di areal parkir dan lobi Teater Kecil. “Acara ini sengaja kami buat lengkap dan besar-besaran agar berkesan dan bermakna bagi publik sastra Indonesia,” kata Asrizal Nur. “Tapi, harap dicatat, sama sekali tidak ada bantuan dan keterlibatan DKJ untuk acara ini,” tambahnya.
Baca Lengkapnya....

Sastra, Abdul Hadi WM, dan Fenomena Puisi Sufistik

Dalam bahasa A Teeuw, karya sastra tidak pernah lahir dari ruang kosong — selalu ada teks-teks lain yang ikut mempengaruhi proses kelahiran dan ikut mewarnai karakternya. Dalam kasus sajak Abdul Hadi tersebut di atas, teks-teks yang mempengaruhinya adalah konsep-konsep tentang tasawuf.
Sederhananya, kemanunggalan (menyatunya) Abdul Hadi dengan Tuhannya adalah kemanunggalan sifat, seperti kemanunggalan api dengan panasnya. Melalui puisi itu, secara tersirat Abdul Hadi ikut meluruskan dan mengkristalkan konsep kemanunggalan mahluk dengan Tuhannya yang dalam mistik Jawa disebut manunggaling kawulo-Gusti dan dalam ilmu tasawuf disebut tasawuf union mistika atau wahdatul wujud. Pada bait terakhir, Abdul Hadi menyediakan diri menjadi nyala, cahaya, penyuluh, penerang jalan, jika lampu Tuhan (agama) padam. Ini juga dapat dibaca sebagai komitmen bersastra Abdul Hadi, seperti tersirat pada sajak-sajaknya yang lain, bahwa bersastra, menulis puisi, adalah bagian dari upaya untuk mencerahkan rohani masyarakat (pembaca).

Puitika sufistik

Sejak dasawarsa 1970-an hingga akhir 1980-an dalam kesastraan Indonesia berkembang fenomena atapun kecenderungan sastra (puitika) sufistik. Tumbuhnya kecenderungan tersebut tidak terlepas dari peran Abdul Hadi WM dalam mengembangkan puitika sufistik, baik melalui sajak-sajaknya maupun esei-eseinya, terutama yang dimuat pada rubrik Dialog Harian Berita Buana.

Jika dirunut, puitika sufistik yang dikembangkan oleh Abdul Hadi WM merupakan mata rantai dari rantai panjang tradisi sastra sufistik yang dapat dirunut sampai ke akar tradisinya di kalangan para penyair sufi Persia, seperti Ibnu Arabi, Hafiz, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Di Indonesia, mata rantai tradisi sastra sufi dapat dirunut dari Hamzah Fansyuri yang ‘abadi’ dengan Syair Perahu-nya, kemudian Amir Hamzah dengan sajak-sajak romantik-religiusnya, lalu ke masa 1970-an yang ditokohi oleh Abdul Hadi WM dengan sajak-sajak sufistiknya.

Ketika itu, Abdul Hadi memang menjadi redaktur rubrik satra Dialog Harian Berita Buana yang bersama Majalah Sastra Horison dan rubrik-rubrik sastra surat kabar Jakarta lainnya menjadi semacam kiblat perkembangan sastra Indonesia. Pada saat itulah Abdul Hadi WM mengembangkan pengaruhnya pada perkembangan sastra Indonesia, terutama tradisi penulisan puisi.

Cukup banyak penyair, terutama dari generasi 1980-an, seperti Ahmad Nurullah, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Nor, Achmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, dan Soni Farid Maulana, yang ikut memilih puitika sufistik sebagai landasan kreatifnya. Untuk merambah puitika sufistik, seseorang memang tidak harus menjalani tarikat sufi, atau mengikuti mazhab sufi tertentu untuk bisa melahirkan karya sufistik. Menurut Abdul Hadi, kesufian seseorang dalam bersastra justru ditentukan oleh cara berpikir, way of life, gambaran dunia yang hidup dalam batin, serta sistem nilai yang menguasai jiwa yang tertuang ke dalam karya sastra.

Karena sifatnya yang esoterik dan universal, puitika sufistik bahkan dapat melampaui batas-batas agama. Penyair-penyair non-Muslim, seperti Tagore dan Khalil Gibran, menurut Abdul Hadi WM, pun dapat melahirkan sajak-sajak sufisik. Dan, di sinilah garis kes amaan agama (universalitas agama) mendapatkan penegasan.

Puitika Timur

Bersamaan dengan berkembangnya puitika sufistik, pada dasawarsa 1970-an hingga 1980-an, kecenderungan untuk kembali ke puitika Timur juga sedang menguat. Selain tampak pada banyak karya sastra, upaya untuk menggali dan mengembangkan estetika Timur juga banyak dilakukan, sejak melalui penelitian, pengkajian, diskusi, hingga seminar da penerbitan buku. Berbagai rubrik sastra di surat kabar, majalah dan jurnal ilmiah, pun banyak mempublikasikan tulisan seputar pentingnya untuk menggali dan mengembangkan estetika Timur, sebagai budaya tandingan (counter culture), ataupun estetika tandingan (counter aesthetic), terhadap estetika dan budaya Barat yang cukup dominan dalam sastra Indonesia.

Selain Abdul Hadi WM yang mengembangkan serta memasyarakatkan puitika sufistik, dalam menumbuhkan estetika Timur itu, turut berperan pula Kuntowijoyo dengan konsep sastra profetik dan sastra transendennya, Emha Ainun Nadjib dengan konsep estetika kaffah-nya, Danarto dengan cerpen-cerpen Islam kejawennya, Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG dengan estetika Jawanya, serta Wisran Hadi dengan estetika Minangnya. Dapat disebut juga Taufiq Ismail, yang tetap produktif dengan sajak-sajak sosial-religiusnya.

Paradigma

Di tengah kecenderungan estetika Timur yang menguat dalam sastra Indonesia kontemporer sejak 1970-an, puitika sufistik menjadi mainstream yang cukup dominan dengan cukup banyak pengaruh dan pengikut. Di sinilah tampak sosok penting Abdul Hadi WM, bukan sekadar popularitas kepenyairannya, tapi juga paradigma yang dibawa dan dikembangkannya, yakni paradigma sastra sufistik.

Sastra adalah nafas kebudayaan. Dan, Abdul Hadi WM telah ikut menafasi kebudayaan Indonesia dengan puitika sufistik, dan prinsip-prinsip seni yang Islami, untuk ikut mendorong masyarakat ke arah pencerahan sosial dan spiritual. Upayanya itu, bagaimanapun, telah menjadi penyeimbang bagi pengaruh budaya Barat yang hedonis dan sekuler. Karena itu, Abdul Hadi WM, beserta karya-karya dan pemikirannya, adalah paradigma tersendiri dalam kebudayaan Indonesia.
Baca Lengkapnya....

Pergeseran Konstelasi Sastra Indonesia

Munculnya kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra sejak awal 1990-an telah membuat kekuatan dan potensi sastra Indonesia tidak lagi terpusat di Jakarta. Konstelasi sastra Indonesia terpecah (terdekonstruksi) ke dalam kelompok-kelompok besar dan kecil yang masing-masing menyumbangkan sekaligus mencoba mempengaruhi perkembangan serta kecenderungan estetik sastra Indonesia kontemporer.
Kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra itu mulai berlahiran ketika semangat melawan pusat — Jakarta dengan TIM dan Horison-nya — menguat pada awal 1990-an, setelah didorong oleh oponi-opini kritis dan keras dari sastrawan-sastrawan muda daerah terkemuka saat itu, terutama Emha Ainun Najib, sejak akhir 1980-an.

Sejak didirikan pada awal 1970-an, DKJ dengan TIM-nya, yang masih menjadi satu-satunya dewan kesenian di Indonesia, memang berhasil mencitrakan diri sebagai ‘pusat sastra’ nasional yang berwibawa. Para sastrawan seakan belum dianggap berkelas nasional jika belum ‘dibaptis’ (ditampilkan) oleh DKJ di TIM. Demikian juga majalah Horison, sebelum sastra koran ‘membagi’ perannya, dianggap sebagai satu-satunya ‘kiblat kualitatif’ sastra Indonesia.

Bersamaan dengan mengendorkan selektivitas pengurus DKJ, wibawa TIM sebagai pusat sastra pada awal 1990-an sebenarnya sudah mulai runtuh. Begitu juga halnya dengan Horison, yang pisisinya sebagai kiblat sastra berangsur bergeser ketika rubrik sastra koran-koran Jakarta ikut mengambil bagian perannya. Tetapi, untuk mengubah pandangan para sastrawan daerah terhadap pusat tidaklah gampang, sehingga mereka tetap bermimpi dan berebut masuk ke sana. Sementara, diam-diam, pusat-pusat sastra itu juga tidak mau kehilangan perannya begitu saja.

Dari situlah kemudian muncul semacam ‘gerakan penyadaran’ bahwa DKJ-TM bukanlah segalanya. Pusat-pusat lain bisa saja dimunculkan dengan kemungkinan akses ke media massa yang tidak kalah dibanding DKJ-TIM. Peran pusat nilai sastra harus dibagi, sehingga peluang bagi para penulis daerah dan Jakarta sendiri terbuka semakin luas untuk diakui secara nasional.

Awal Gerakan

Gerakan untuk membentuk kekuatan tandingan dimulai oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas (Semarang) dengan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman pada akhir 1980-an. Kemudian, pada awal 1990-an lahir Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Gorong-gorong, Teater Utan Kayu (TUK), dan komunitas-komunitas lain yang menebar di kota-kota besar di Tanah Air.

Belakangan, dari majalah cerpen Annida, lahir juga Forum Lingkar Pena yang mewadahi para penulis fiksi remaja Islami, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) dengan situs web (web site) sastranya, dan Rumah Dunia yang mendenyutkan kehidupan sastra di Banten.

Menebarnya konstelasi sastra tersebut, selain disemangati keinginan untuk menumbuhkan pusat-pusat sastra baru, juga untuk membuka ruang-ruang alternatif baru bagi pemasyarakatan karya-karya mereka, terutama yang merasa tidak tertampung oleh pusat. Kegiatan utama yang mereka selenggarakan, terutama meliputi,
Pertama, mengadakan forum-forum sastra untuk menampilkan para sastrawan dan penulis karya kreatif yang menjadi anggota dan kolega kelompok, baik forum diskusi, kajian karya, temu sastrawan maupun pentas karya sastra.

Kedua, menerbitkan jurnal-jurnal dan antologi karya sastra, terutama untuk menampung karya-karya anggota dan kolega mereka, seperti dilakukan KSI, TUK, Rumah Dunia, dan FLP.

Ketiga, membuka media sastra saiber sebagai media publikasi karya yang bebas dan terbuka untuk mendorong budaya cinta menulis, seperti dilakukan YMS melalui Cybersastra.net.

Dan, keempat, membuka dan membangun jaringan sastra baru sampai ke luar negeri, sehingga untuk tampil di luar negeri tidak lagi tergantung pada rekomendasi DKJ.

Pada perkembangannya kemudian, dominasi dan otoritas yang mereka lawan, pada akhirnya tidak hanya DKJ-TIM dan Horison, tapi juga otoritas sastra koran yang makin hari makin menggeser peran Horison sebagai kiblat sastra Indonesia. Cybersastra.net yang dikelola YMS, misalnya, antara lain dibuka untuk mengimbangi dominasi sastra koran sekaligus menampung karya-karya sastra yang makin membanjir.

Sementara, rubrik sastra koran sendiri, diam-diam, juga dikelola untuk membagi beban majalah Horison yang begitu berat dan gagap dalam menanggapi perkembangan sastra Indonesia mutakhir.

Konstelasi estetik

Menebarnya konstelasi sastra Indonesia pada akhirnya juga mengubah peta potensi dan kekuatan estetika sastra. Ketika Horison masih menjadi kiblat estetik, yang oleh Emha dituding mengembangkan anutan tunggal, kekuatan-kekuatan estetik individual sastrawan menumpuk atau bermuara ke majalah sastra tersebut. Ketika sastra koran berhasil membagi peran Horison, muara kekuatan estetik itu bermuara ke banyak media. Tetapi sebaliknya, kekuatan-kekuatan estetik individual mengelompok ke komunitas-komunitas sastra.

Perubahan konstelasi tersebut juga mengubah sumber pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia. Ketika Horison masih menjadi kiblat, majalah ini juga sekaligus menjadi sumber pengaruh perkembangan estetika sastra Indonesia, terutama estetika puisi. Ketika rubrik puisi Horison masih dipegang Sapardi Djoko Damono, tampak sekali berkembang apa yang disebut Emha sebagai anutan tunggal.

Sajak imajis bergaya Sapardi banyak diambil sebagai gaya para penyair muda pada dasawarsa 1980-an. Namun, setelah kiblat sastra menyebar ke koran-koran Jakarta, anutan tunggal itu pun mencair. Bahkan, sebenarnya, sejak 1980-an, Abdul Hadi WM sudah merintis estetika alternatif (sufistik) melalui rubrik Dialog Berita Buana.

Saat ini, ketika peran komunitas bergeser — tidak lagi untuk mendekonstruksi dominasi pusat — dan makin menguat pada pengembangan kecenderungan sastra, sumber pengaruh pun terbagi ke komunitas-komunitas sastra tersebut. KSI yang dekat dengan komunitas buruh, misalnya, diam-diam ‘mengembangkan’ sastra humanisme-sosial sekaligus sosial religius. Sementara, komunitas TUK lebih cenderung ke humanisme-liberal. Ada juga komunitas baru yang membawa bendera CWI, yang mencoba mengembangkan humanisme-psikologis, namun terjebak ke imaji-imaji yang masokistik.

Di antara komunitas-komunitas yang ada saat ini, yang paling berhasil memberikan pengaruh luas sebenarnya adalah FLP dengan fiksi Islaminya. Buku-buku fiksi Islami dari penulis-penulis FLP tidak hanya laris, tapi juga mempengaruhi banyak penulis di luar FLP untuk ikut-ikutan menulis fiksi Islami.

Kecenderungan itu bahkan menjadi lahan baru bagi para penerbit kecil maupun besar untuk berbisnis buku fiksi Islami. Namun, kita juga tidak dapat menafikan luasnya pengaruh humanisme-liberal, terutama yang bersemangat feminisme-liberal. Setidaknya, karya-karya mereka cukup menarik perhatian dan mengundang banyak polemik.

Di tengah iklim kebebasan dan keterbukaan saat ini, tampaknya, sulit muncul lagi kekuatan sastra yang dapat mengendalikan perkembangan sastra dengan anutan tunggalnya. Kelompok-kelompok ataupun pusat-pusat kekuatan sastra akan gampang terpecah dan bergeser. Apalagi, ketika para kapitalis industri bubaya (penerbitan karya sastra) ikut bermain dalam kondisi pasar yang sangat dinamis, suatu kecenderungan sastra akan gampang cepat berubah. Lihat saja, kecenderungan fiksi seksual kini pun sudah mulai surut.

Intervensi para kapitalis di tengah pusat-pusat yang menyebar dan kecenderungan pasar sastra yang begitu dinamis, memang menjadi tantangan berat bagi para penulis kreatif. Yang tidak mampu cepat menangkap peluang, akan gampang tertinggal dan terlupakan. Apalagi, ketika para pengelola produksi buku dan media sastra juga tertarik untuk mengikuti fenomena dan peristiwa yang terjadi di luar sastra, seperti reformasi dan tsunami.

Penulis yang tidak memanfaatkan peluang itu, setidaknya untuk sesaat, akan terlupakan. Tapi, yakinlah, karya sastra yang besar tidak sepenuhnya bergantung pada momentum-momentum sesaat seperti itu.
Tulisan ini merupakan prasaran untuk Diskusi Sastra Tengah Bulanan, Rumah Dunia, Serang, 22 Mei 2005.
Baca Lengkapnya....

Sastra Daerah di Panggung Festival

Hingga kini, kita masih mewarisi begitu banyak sastra (di) daerah, yang tersebar dari Aceh hingga Jayapura, Yogyakarta hingga Sulawesi Utara. Sastra-sastra daerah tersebut mengendap di dasar memori kolektif suku-suku setempat, dalam bentuknya yang tradisional, seperti puisi (pantun, geguritan, parikan), prosa (cerita rakyat, dongeng, hikayat, legenda). Di dalam sastra-sastra daerah tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal, yang tidak jarang dimensinya universal.
Masalahnya, tidak gampang mengemas kekayaan sastra daerah tersebut menjadi sebuah pertunjukan yang menarik. Dalam arti, tetap menonjolkan unsur sastranya. Tapi, itu ternyata tidak mudah. Mau contoh? Mari kita simak Festival Kesenian Nasional Sastra Nusantara di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), akhir Juni 2007, yang digelar oleh Direktorat Kesenian, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) RI.

Sebanyak 20 provinsi yang tampil di tiga tempat Aula Gubernuran, Taman Budaya dan pelabuhan Ampenanpada umumnya begitu kerepotan dalam mencari formula yang pas, antara sastra sebagai isi, dengan teater, musik dan visual sebagai bungkusnya. Belum lagi minimnya peralatan tata cahaya dan tata suara, maka kerepotan itu semakin terasa lengkap.

Pertunjukan dari NTB, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), DKI Jakarta, Sumatra Selatan dan Bengkulu, termasuk yang mampu tampil menarik. Berpijak pada cepung, seni tutur yang bersumber dari lontar monyeh, delapan penutur dua di antaranya memainkan instrumen suling dan rebab duduk bersila mengenakan pakaian tradisi mirip Bali, di depan bentangan layar putih. Layar ini berfungsi ganda, kadang sebagai latar belakang, kadang untuk media visualisasi: menayangkan siluet Putri Raden Ayu Winduradin yang digandrungi seorang pemuda bernama Raden Mantri.

Walaupun penonton tidak tahu arti kata perkata bahasa daerah yang mereka tembangkan, lakon Kasmaran itu tetap bisa dinikmati dengan bantuan permainan gerak tubuh para pemain, baik hanya dengan duduk saja, atau dua penari yang memperagakannya. Dengan durasi penampilan sekitar 20 menit, Komang Kantun, selaku sutradara, mampu membangun suasana pertunjukan dengan orkestrasi vokal yang memikat.

Kalau NTB hanya berpijak pada seni tutur cepung, maka duta seni dari DIY berpijak pada banyak seni tradisi Jawa, mulai dari mantra, geguritan (puisi), tembang, dongeng, dolanan, hingga ketoprak lesung. Altiyanto, sebagai sutradara merangkap pemain, dengan cerdas menggunakan semua itu untuk menuturkan dongeng mistis Kidung Pangruwat Bulan Kepangan yang di dalamnya menggambarkan keceriaan di bulan purnama, berubah menjadi bencana karena gerhana. Panggung yang dihiasi sapu lidi (kadang juga untuk alat musik), lesung dengan alunya, menegaskan sebuah dunia (Jawa) yang penuh simbol. Termasuk visualisasi bulan dengan genjring yang disorot lampu dari atas.

DKI Jakarta menyajikan Jantuksalah satu episode dalam pagelaran topeng Betawi dengan dialog para pemain yang diselingi pantun. Meski digarap baru, antara lain dengan menghadirkan dua pasang jantuk tua muda, dan tetap mempersoalkan ikan peda, jejak tradisinya masih terasa. Penggunaan kotak yang multi fungsi (untuk meja makan, menyimpan topeng, dan kostum), ditambah berdandan langsung di panggung sembari cerita terus mengalir, adalah satu siasat yang jitu, ketika waktu tampil dibatasi kurang dari setengah jam. Ini semua, merupakan kematangan duta seni Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.

Provinsi Bengkulu menampilkan monolog teater tutur Serekamun, yang berpijak pada cerita rakyat asal usul kayu mengkudu. Tiga penabuh musik di atas panggung, yang seorang merangkap sebagai dalang/penutur. Sedangkan pelakonnya ada di depan panggung, dan bebas bergerak ke arah penonton. Dengan properti sapu lidi, tikar, piring kaleng dan cangkir, sang pelakon yang mempunyai kekuatan akting bagus, melibatkan penonton, sehingga pertunjukan menjadi sangat komunikatif. Panggung Ampenan malam itu sumingrah, penuh gelak tawa anak-anak, remaja hingga orang tua.

Dari ranah tradisi lisan tampil Sumatra Selatan dengan kisah Bujang Jalihem, dengan penutur Cik Manan yang sudah tua, dengan pendengaran tidak beres lagi. Kali ini ia didampingi beberapa pemain muda, memainkan alat musik dan bersilat. Panggung dilengkapi layar putih, untuk memantulkan bayangan mereka bermain silat. Penampilan ini sekaligus dapat dijadikan contoh, bagi sebuah model revitalisasi tradisi lisan.

Penampilan Jawa Timur dan Jawa Barat sesungguhnya menarik dari segi pertunjukan. Namun keduanya sekaligus dapat dijadikan contoh, bagaimana pertunjukan tersebut menenggelamkan sastranya sendiri. Jawa Timur dengan Mbarang Kentrung-nya terlampau ingin mengatakan banyak hal, termasuk bencana lumpur Lapindo. Sedangkan Jawa Barat yang menampilkan Dewi Siti Samboja yang berpijak pada cerita rakyat Pajajaran tenggelam oleh tari-tarian dan verbalisasi pembunuhan dengan senjata tajam.

Memang, soal ukuran sering menjadi perdebatan. Bahkan, di kalangan pengamat sendiri Nano Riantiarno, Sapardi Djoko Damono, Pudentia, Korrie Layun Rampan, Heddy Sri Ahimsa Putra memiliki pandangan berbeda-beda. Itu pula yang membuat bingung peserta: mana yang harus didengar. Nano, pentolan Teater Koma, tentu saja mengedepankan pertunjukannya. Karena itu, ketika sastra dipertunjukkan, mau tidak mau harus patuh pada hukum-hukum pemanggungan.

Bagi Sapardi, sastranya harus tetap dominan. Tapi penampilannya harus laras dengan zaman sekarang, supaya bisa dinikmati oleh penonton masa kini atau sejaman. Namun setelah terjadi perdebatan dalam sarasehan, para pengamat dan peserta dari berbagai provinsi akhirnya sepakat bahwa dalam mementaskan sastra daerah diperlukan keseimbangan antara isi (sastra) dan bentuk (kemasan).

Kesepakatan lain adalah mengenai bahasa. Ketika mementaskan sastra daerah, tidak usah berfikir (bahasa) Indonesia. Dalam arti biarkan murni dalam bahasa aslinya. Jika ingin penonton mengerti, dapat ditambahkan teks bahasa Indonesia, baik di layar atau dalam buku. Di sinilah perlunya dukungan teknologi. Tak kurang Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Mukhlis PaEni, merasa kecewa ketika melihat pertunjukan dari Jawa Timur berbahasa Indonesia. “Kenapa tidak Jawa Timuran saja. Meskipun saya orang Sulawesi Selatan, saya suka dengan bahasa Jawa Timuran,” ujarnya.

Memang, seperti diakui salah seorang kontingen Jawa Barat, penggunaan bahasa Indonesia ada semacam kebutuhan sekaligus pertimbangan ingin menjangkau publik yang lebih luas. “Kalau kami tampil dengan pantun Sunda saja, tanpa bahasa Indonesia, tentu saudara-saudara kami yang bukan Sunda tidak mengerti,” ujarnya.
Nah, kini menjadi tantangan bagi para seniman Indonesia, mampukah mementaskah sastra daerah dengan menarik, dan bisa diapresiasi oleh saudara-saudaranya dari daerah lain? (berbagai sumber)
Baca Lengkapnya....