Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.

Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis. Helvy tentu tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.

Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni Pertemuan di Taman Hening, dan ditutup dengan cerpen, Jaring-jaring Merah, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen Kivu Bukavu, hlm 193) juga berupa baris-baris yang sangat puitis:
Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen Pertemuan di Taman Hening, selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm 2). Sementara, cerpen Jaring-Jaring Merah (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:
Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen Lelaki, Kabut, dan Boneka (hlm 11), Idis (hlm 21), Dara Hitam (hlm 69), Ketika Cinta Menemukanmu (hlm 119), Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin (hlm 129), Lelaki Semesta (hlm 151), Pulang (hlm 183), dan Kivu Bukavu (hlm. 193).

Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak ‘sisipan’ narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: Kivu, kaulah yang terindah! Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam? (Cerpen Kivu Bukavu, alinea 1-2, hlm 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari kutipan tidak langsung sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen Jaring-Jaring Merah berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara. Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (Jaring-Jaring Merah), bom Bali (Lelaki, Kabut, dan Boneka), dan perang saudara di Rwanda (Kivu Bukavu).

Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.

Pada salah satu bagian cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:
Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen Kivu Bukavu berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta Lelaki, Kabut dan Boneka berlatar tragedi bom Bali.

Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh ‘aku’ dalam Jaring-Jaring Merah, siapa Kivu dalam Kivu Bukavu, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam Lelaki Kabut dan Boneka, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri.

Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.
Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.


*) Redaktur Sastra Republika
Baca Lengkapnya....

Pemikiran Kritis Arief Budiman

Masalah-masalah kebebasan, negara dan pembangunan, adalah tiga tema besar yang banyak dikaji Arief Budiman dalam esei-eseinya yang tersebar di berbagai media massa. Dengan tema besar itu, intelektual tersebut merambah ke persoalan politik, sosial, ekonomi, seni dan budaya. Dengan tema-tema itu pula ia tumbuh dan dikenal sebagai pemikir interdisipliner, dengan pandangan-pandangan yang kritis dan tajam.
Buku yang dieditori oleh Luthfi Assyaukanie dan Stanley ini memuat tidak kurang dari 103 esei Arief Budiman yang pernah dimuat di berbagai media massa. Terbagi dalam 10 bab, buku ini diawali dengan tulisan-tulisan yang menyorot masalah demokrasi dan pembangunan. Bab-bab selanjutnya berbicara tentang negara, kekuasaan dan masyarakat, politik dan isu sosial, HAM dan kebebasan, kebudayaan, seni dan sastra, film dan media massa, pemuda dan mahasiswa, psikologi, serta tokoh dan pengalaman luar negeri.

Menyimak semua tulisan yang dimuat, buku ini terasa merangkum semua pemikiran Arief Budiman tentang bidang-bidang yang sempat dirambah dan diperhatikannya. Salah satu yang menarik adalah pemikiran Arief tentang kebebasan, yang diartikulasikan pada tulisan-tulisan tentang seni, sastra dan budaya. Bagi pencetus ide ‘sastra kontekstual’ ini, kebebasan harus berorientasi pada kemajuan dan perbaikan.

Cakupan tema dan topiknya yang luas dan beragam menjadikan buku ini pantas dibaca oleh kaum terpelajar dari kalangan manapun, serta cocok dijadikan referensi berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan.


Judul buku: Kebebasan, Negara, Pembangunan
Penulis: Dr Arief Budiman
Penerbit: Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, Jakarta
Tebal: 446 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006


Panduan Penting Penelitian Sosial

Selama ini, pendekatan-pendekatan penting penelitian sosial cenderung dilihat dan diterapkan secara terpisah. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif, misalnya, ditempatkan sebagai kubu yang berlainan. Masing-masing pendekatan memiliki pengikut yang berpegang pada acuan paradigma rigid yang hampir tak dapat dirunut secara rasional. Buku ini mencoba menyatukan kedua kubu tersebut, dengan alur berpikir setara yang secara simultan mendekatkan keduanya.

Terpapar dalam lima bab, buku ini menekankan uraian-urainnya pada pendekatan kualitatif. Dibuka dengan pengantar tentang penelitian kualitatif, disusul dengan metodologi-metodologi penelitian kualitatif, paradigma ilmu pengetahuan, kedudukan paradigma dalam penelitian kualitatif, metode-metode penelitian kualitatif, dan diakhiri dengan bab tentang masa depan penelitian kualitatif.

Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, menurut Agus Salim, pendekatan kualitatif belum banyak dipelajari oleh para ilmuwan Indonesia. Salah satu sebabnya adalah kurangnya buku pemandu berbahasa Indonesia. Buku ini hadir sebagai respons atas kebutuhan yang dirasakan makin mendesak tersebut.
Tentu, buku ini dapat menjadi referensi dan acuan penting bagi para periset Indonesia, khususnya para peneliti pemula dan mahasiswa, baik tingkat sarjana, master, maupun doktoral.

Judul buku: Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
Penulis: Dr Agus Salim MS
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Tebal: 302 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006
Baca Lengkapnya....

Geliat Seni Aceh Pasca-Tsunami

Dilanda konflik disintegrasi selama puluhan tahun, dan diterjang tsunami pada 28 Desember 2004, seni-budaya Aceh tidak lantas punah. Pasca-tsunami, seni-budaya Serambi Mekah justru menggeliat bangkit. Begitu juga kehidupan sastranya. Ribuan karya kembali ditulis dan ratusan buku sastra terbit pasca-tsunami. Seni khas Aceh pun berkali-kali dipertunjukkan kembali dalam berbagai iven kesenian.
Belum lama ini, 10-13 Desember 2007, dengan tajuk Piasan Sastra Aceh, karya-karya sastra dan seni-budaya Aceh dipamerkan serta dipertunjukkan di kampus FIB UI Depok, dan dilanjutkan dengan Mini Festival Film Aceh di Studio Megaplex, Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, pada 14-16 Desember 2007.
”Kegiatan ini memperlihatkan sisi Aceh yang lain. Bukan lagi sosok beraroma konflik atau tsunami yang mengharu biru perasaan jutaan orang. Kami ingin menyajikan ‘hidangan’ dengan menu seni-budaya, yang selama ini hampir tak memiliki ruang yang lebar untuk mempertunjukkan dan membicarakannya,” kata penyair Fikar W Eda, ketua panitia Piasan Sastra Aceh 2007.

Fikar mencontohkan seorang pemain rapa’i di Aceh yang lama gusar, karena tak kuasa lagi memainkan kemahirannya menabuh rapa’i. ”Konflik bersenjata telah merampas kemerdekaannya. Rapa’i itu kemudian dijadikan wadah menampung air hujan di rumahnya. Tak lama berselang, datang pula tsunami, yang menghanyutkan rumah dan rapainya,” katanya. ”Piasan Sastra Aceh ini memungut rapai itu dan memainkannya kembali,” tambahnya.

Tentu tidak hanya ada permainan rapa’i yang eksotik di tengah-tengah Piasan Sastra Aceh di FIB UI. Gelar seni-budaya sepekan ini seakan ingin mempertontonkan semua potensi seni-budaya Serambi Mekah, meskipun tidak seluruhnya mendapat tempat. Dari seni tradisi, misalnya, ditampilkan tari seudati, tari saman dan seni sebuku dari Gayo Lues, serta tari rubbani wahed dari Samalanga. Dipamerkan pula foto-foto panorama alam dan pertunjukan seni serta benda-benda budaya Aceh, di lobi Auditorium FIB UI.

Guna menunjukkan perkembangan sastra Aceh terkini, diluncurkan dan dipamerkan pula buku-buku karya para sastrawan Aceh yang terbit pasca-tsunami. Dan, sebagai forum aktualisasi diri, sepuluh lebih sastrawan dan penulis Aceh Azhari, Reza Idria, Fozan Santa, Salman Yoga, Ibrahim Kadir, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, D Kemalawati, Rosni Idham, Wina SW1, Rani Angraini, Ines Somellera, Ubiet, dan Zulaikha tampil untuk membacakan sajak-sajak mereka di panggung Auditorium FIB UI.

Beberapa penyair asal Aceh yang tinggal di Jakarta, serta beberapa penyair tamu, seperti Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Debra H Yatim, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan Dato Kemala (Malaysia) ikut meramaikan panggung pertunjukan. Pentas makin marak dengan pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Kelompok Musik Qanun, pembacaan Hikayat Prang Sabil dan Syeh Idris, serta pertunjukan seni didong dan sebuku yang unik.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Sajak (Seniman Aceh se-Jabotabek) bekerja sama dengan Pusat Tamadun Melayu UI dan FIB UI ini juga diisi pemutaran film-film tentang Aceh, serta temu pembuat dan pengisi film tentang Aceh, bersama Cristine Hakim dan Berliana Febrianti.

Sesi yang tidak kalah pentingnya adalah seminar yang mengkaji potensi dan perkembangan seni-budaya Aceh, khususnya sastra, sejak masa Hamzah fansuri hingga pasca-tsunami. Sebanyak 26 sastrawan dan pengamat sastra, seperti Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Dato Kemala, Tommi Christomi, Tommy F Awuy, Agus Nuramal, Muhammad Iqbal, Muhammad Lutfi, Arafat Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Debra H Yatim, Rosni Idham, Azhari, Mustafa Ismail, Fozan Santa, Wina SW, Nurdin AR, Muhammad Nazar, Reza Idria, Ibrahim Kadir, Yusza Nur Nadia, Salman Yoga, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, dan Mukhlis A Hamid, tampil sebagai pembicara dalam enam sesi diskusi.

Pembukaan acara ini, yang didahului dengan pawai seni di FIB UI, serta pidato pembukaan oleh Rektor UI, Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, berlangsung cukup meriah. Begitu juga penutupannya, yang dimeriahkan pertunjukan tari rubbani wahed dari Desa Sangso, Samalanga, Kabupaten Bireuen. ”Rubbani wahed adalah tarian sufi yang hanya hidup dan berkembang di desa tersebut,” kata Fikar.

Upacara penutupan Piasan Sastra Aceh di FIB UI juga dimeriahkan pertunjukan grup musik Qanun, seni sebuku dari Gayo, pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, pembacaan hikayat Prang Sabil dan peluncuran buku kumpulan puisi karya 19 penyair perempuan Aceh, Lampion, serta sambutan penutupan oleh Ketua Pusat Tamadun Melayu, Dr Zulhasir Nasir.

Pada sambutannya, Zulhasir Nasir mengatakan gembira karena Piasan Sastra Aceh bisa dihadirkan di UI. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan tersebut. ”Publik menjadi lebih paham tentang kekayaan dan keberagaman seni-budaya Aceh,” katanya.

Menurut Fikar, Piasan Sastra Aceh merupakan kegiatan sastra Aceh yang paling besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Jakarta. Sayangnya, acara ini kurang berhasil meraih pengunjung yang maksimal dari kalangan mahasiswa UI, karena mereka sedang bertarung dalam ujian semester.
Baca Lengkapnya....

Ketika Musik Melawan Narkoba

Musik, di kalangan anak muda perkotaan, kerap tak terpisahkan dari miras dan narkoba. Tapi, kali ini benar-benar beda: musik justru dijadikan media untuk melawan miras dan narkoba. Inilah yang dilakukan oleh Himpunan Musisi Jakarta (HMJ).
Berkolaborasi dengan Creative Writing Institute (CWI) dan Majelis Dzikir Nurul Mustofa, mereka menggelar pertunjukan spektakuler di Plasa Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Senayan, Jakarta. Menegpora Adhyaksa Dault, yang melihat gerakan anak-anak muda itu sejalan dengan program lembaga yang dipimpinnya, mendukung penuh gerakan tersebut.

Adalah Ketua HMJ Romi Kurniawan, Leader HMJ Mey Suyana, dan Direktur CWI Hudan Hidayat yang memotori pertunjukan itu, dengan dukungan penuh Menegpora Adhyaksa Dault dan pimpinan Majelis Dzikir Nurul Mustofa Habib Hasan bin Dja’far Assegaff. Mereka memanfaatkan even tahunan, Festival Kreativitas Pemuda 2006, yang digelar oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI.

Sambil menutup tahun 2006, pertunjukan musik digelar di hadapan sekitar 10 ribu penonton, pada 23 dan 24 Desember 2006, sebagai puncak even tahunan tersebut. ”Pertunjukan yang memadukan seni musik, sastra dan dzikir, baru pertama kali ini diadakan,” kata Hudan. ”Acara ini menjadi puncak Festival Kreativitas Pemuda 2006,” kata Asdep Bidang Pengembangan Wawasan dan Kreativitas Pemuda, Dasril Anwar.
Pada hari pertama, acara dimulai dengan konvoi sepeda motor dari Pasarminggu menuju komplek Kemenegpora di Senayan. Sampai di gerbang komplek, rombongan konvoi menyalakan kembang api. Mereka pun disambut oleh Menegpora beserta jajarannya, dan puluhan ribu jamaah yang memadati plasa Kemenegpora.

Sebagai novelis pecinta musik, Hudan melihat pentingnya untuk memadukan sastra, musik, dzikir, dan semangat kebangsaan. ”Ini agar aktivitas sastra dan musik selalu disemangati oleh nilai-nilai agama untuk kemaslahatan bersama,” katanya mengantarkan acara.

Menegpora Adhyaksa Dault kemudian menyambung acara dengan sepatah kata dan harapan-harapannya. Dzikir dan doa bersama untuk keselamatan bangsa yang dipimpin oleh Habib Hasan bin Dja’far Assegaff lantas memberi sentuhan religius yang sangat kental. ”Kita membutuhkan doa-doa dan dzikir seperti ini untuk menyelamatkan bangsa,” kata Adhyaksa.

Uniknya, di sela-sela renungan, dzikir dan doa, Habib Hasan melantunkan shalawat Nabi dengan iringan musik rebana, sehingga siraman rokhaninya menjadi terasa musikal. Sebelum dzikir dan doa, suasana musikal pun sudah tercipta ketika grup marawis dan nasyid dari Majlis Dzikir Nurul Mustofa ‘membasahkan’ malam dengan shalawat dan lagu-lagu religius.

Suasana plasa Kemenegpora makin terasa musikal sepanjang hari kedua. Panggung diisi pertunjukan musik sejak pagi hingga tengah malam. Di tengah-tengahnya juga terlantun sajak dan fragmen cerpen. Puncaknya adalah pentas The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sekitar satu jam The Upstairs memukau penonton dengan lagu-lagu bernuansa musik 1970-an.

Pada hari kedua panggung memang lebih berat pada kesenian. Sejak pagi diisi 65 grup band dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Mereka adalah grup-grup yang masuk grand final festival band yang terjaring melalui sistem recording dan performance. ”Mereka terseleksi melalui audisi di Jakarta, Bogor, Bandung, Bandarlampung, dan Palembang,” kata Romi Kurniawan.

Setelah bertarung ketat, grup Medusa dari Jakarta Timur terpilih sebagai juara pertama. Juara kedua diraih oleh Mineral dari Jakarta Pusat, dan juara ketiga Klavinosa dari Depok. Sedangkan The Upstairs mendapat penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 yang diserahkan oleh Sekretaris Menegpora Prof Dr Thoha Cholik Muthohir.

Persaingan ketat juga terjadi antar-finalis grup nasyid dan para cerpenis muda dari seantero Tanah Air yang juga menjadi bagian dari Festival Kreativitas Pemuda 2006. Lomba nasyid dimenangkan oleh Grup Sahara dari Jakarta, sedangkan lomba cerpen dimenangkan oleh M Badri dari Bogor. Hadiah untuk para juara diserahkan malam itu juga, antara lain oleh Deputi Bidang Pemberdayaan dan Kewirausahaan Pemuda Syahyan Asmara, dan staf khusus Menegpora Rafli Effendi.

Ditutup oleh Thoho Cholik Muthohir, panggung lantas dihentakkan pertunjukan musik The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sampai larut malam, penonton seperti enggan terhenyak, meski pertunjukan telah usai.

Bermusik dengan Pendekatan Agama

Tewasnya seorang anak band akibat over dosis, menyadarkan Romi Kurniawan dan kawan-kawannya untuk mencari pendekatan baru dalam bermusik. Dan, yang dipilihnya adalah pendekatan agama. ”Dengan pendekatan agama, kami yakin para musisi dapat terhindar dari miras dan narkoba,” katanya.

Pendekatan ini, tambah leader HMJ Mey Suyana, dapat menghindarkan generasi muda pecinta musik dari pengaruh miras dan narkoba. Karena itu, Himpunan Musisi Jakarta (HMJ), yang kini diketuai Romi, tidak hanya berorientasi komersial dalam merancang kegiatan-kegiatannya.

Selain berkolaborasi dengan majelis dzikir, HMJ juga kerap menggelar konser-konser amal anti-kekerasan dan narkoba, seperti yang diadakan di Bulungan belum lama ini. ”Even-even yang kami adakan lebih untuk mencari kebermanfaatan,” kata Mey, yang memang bertugas menyiapkan even.

Salah satu even penting yang telah dirancang HMJ adalah konser amal pada Maret 2007 nanti. Dana yang
terkumpul dari konser ini, kata Romi, akan disumbangkan ke pondok pesantren, yayasan yatim piatu, dan majelis dzikir, antara lain Ponpes Annadliyah Surabaya.
Baca Lengkapnya....