Pemikiran Kritis Arief Budiman

Masalah-masalah kebebasan, negara dan pembangunan, adalah tiga tema besar yang banyak dikaji Arief Budiman dalam esei-eseinya yang tersebar di berbagai media massa. Dengan tema besar itu, intelektual tersebut merambah ke persoalan politik, sosial, ekonomi, seni dan budaya. Dengan tema-tema itu pula ia tumbuh dan dikenal sebagai pemikir interdisipliner, dengan pandangan-pandangan yang kritis dan tajam.
Buku yang dieditori oleh Luthfi Assyaukanie dan Stanley ini memuat tidak kurang dari 103 esei Arief Budiman yang pernah dimuat di berbagai media massa. Terbagi dalam 10 bab, buku ini diawali dengan tulisan-tulisan yang menyorot masalah demokrasi dan pembangunan. Bab-bab selanjutnya berbicara tentang negara, kekuasaan dan masyarakat, politik dan isu sosial, HAM dan kebebasan, kebudayaan, seni dan sastra, film dan media massa, pemuda dan mahasiswa, psikologi, serta tokoh dan pengalaman luar negeri.

Menyimak semua tulisan yang dimuat, buku ini terasa merangkum semua pemikiran Arief Budiman tentang bidang-bidang yang sempat dirambah dan diperhatikannya. Salah satu yang menarik adalah pemikiran Arief tentang kebebasan, yang diartikulasikan pada tulisan-tulisan tentang seni, sastra dan budaya. Bagi pencetus ide ‘sastra kontekstual’ ini, kebebasan harus berorientasi pada kemajuan dan perbaikan.

Cakupan tema dan topiknya yang luas dan beragam menjadikan buku ini pantas dibaca oleh kaum terpelajar dari kalangan manapun, serta cocok dijadikan referensi berbagai disiplin ilmu dan bidang kehidupan.


Judul buku: Kebebasan, Negara, Pembangunan
Penulis: Dr Arief Budiman
Penerbit: Pustaka Alvabet dan Freedom Institute, Jakarta
Tebal: 446 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006


Panduan Penting Penelitian Sosial

Selama ini, pendekatan-pendekatan penting penelitian sosial cenderung dilihat dan diterapkan secara terpisah. Pendekatan kualitatif dan kuantitatif, misalnya, ditempatkan sebagai kubu yang berlainan. Masing-masing pendekatan memiliki pengikut yang berpegang pada acuan paradigma rigid yang hampir tak dapat dirunut secara rasional. Buku ini mencoba menyatukan kedua kubu tersebut, dengan alur berpikir setara yang secara simultan mendekatkan keduanya.

Terpapar dalam lima bab, buku ini menekankan uraian-urainnya pada pendekatan kualitatif. Dibuka dengan pengantar tentang penelitian kualitatif, disusul dengan metodologi-metodologi penelitian kualitatif, paradigma ilmu pengetahuan, kedudukan paradigma dalam penelitian kualitatif, metode-metode penelitian kualitatif, dan diakhiri dengan bab tentang masa depan penelitian kualitatif.

Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, menurut Agus Salim, pendekatan kualitatif belum banyak dipelajari oleh para ilmuwan Indonesia. Salah satu sebabnya adalah kurangnya buku pemandu berbahasa Indonesia. Buku ini hadir sebagai respons atas kebutuhan yang dirasakan makin mendesak tersebut.
Tentu, buku ini dapat menjadi referensi dan acuan penting bagi para periset Indonesia, khususnya para peneliti pemula dan mahasiswa, baik tingkat sarjana, master, maupun doktoral.

Judul buku: Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
Penulis: Dr Agus Salim MS
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Tebal: 302 halaman
Cetakan: Pertama, Agustus 2006
Baca Lengkapnya....

Geliat Seni Aceh Pasca-Tsunami

Dilanda konflik disintegrasi selama puluhan tahun, dan diterjang tsunami pada 28 Desember 2004, seni-budaya Aceh tidak lantas punah. Pasca-tsunami, seni-budaya Serambi Mekah justru menggeliat bangkit. Begitu juga kehidupan sastranya. Ribuan karya kembali ditulis dan ratusan buku sastra terbit pasca-tsunami. Seni khas Aceh pun berkali-kali dipertunjukkan kembali dalam berbagai iven kesenian.
Belum lama ini, 10-13 Desember 2007, dengan tajuk Piasan Sastra Aceh, karya-karya sastra dan seni-budaya Aceh dipamerkan serta dipertunjukkan di kampus FIB UI Depok, dan dilanjutkan dengan Mini Festival Film Aceh di Studio Megaplex, Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, pada 14-16 Desember 2007.
”Kegiatan ini memperlihatkan sisi Aceh yang lain. Bukan lagi sosok beraroma konflik atau tsunami yang mengharu biru perasaan jutaan orang. Kami ingin menyajikan ‘hidangan’ dengan menu seni-budaya, yang selama ini hampir tak memiliki ruang yang lebar untuk mempertunjukkan dan membicarakannya,” kata penyair Fikar W Eda, ketua panitia Piasan Sastra Aceh 2007.

Fikar mencontohkan seorang pemain rapa’i di Aceh yang lama gusar, karena tak kuasa lagi memainkan kemahirannya menabuh rapa’i. ”Konflik bersenjata telah merampas kemerdekaannya. Rapa’i itu kemudian dijadikan wadah menampung air hujan di rumahnya. Tak lama berselang, datang pula tsunami, yang menghanyutkan rumah dan rapainya,” katanya. ”Piasan Sastra Aceh ini memungut rapai itu dan memainkannya kembali,” tambahnya.

Tentu tidak hanya ada permainan rapa’i yang eksotik di tengah-tengah Piasan Sastra Aceh di FIB UI. Gelar seni-budaya sepekan ini seakan ingin mempertontonkan semua potensi seni-budaya Serambi Mekah, meskipun tidak seluruhnya mendapat tempat. Dari seni tradisi, misalnya, ditampilkan tari seudati, tari saman dan seni sebuku dari Gayo Lues, serta tari rubbani wahed dari Samalanga. Dipamerkan pula foto-foto panorama alam dan pertunjukan seni serta benda-benda budaya Aceh, di lobi Auditorium FIB UI.

Guna menunjukkan perkembangan sastra Aceh terkini, diluncurkan dan dipamerkan pula buku-buku karya para sastrawan Aceh yang terbit pasca-tsunami. Dan, sebagai forum aktualisasi diri, sepuluh lebih sastrawan dan penulis Aceh Azhari, Reza Idria, Fozan Santa, Salman Yoga, Ibrahim Kadir, Arafat Nur, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, D Kemalawati, Rosni Idham, Wina SW1, Rani Angraini, Ines Somellera, Ubiet, dan Zulaikha tampil untuk membacakan sajak-sajak mereka di panggung Auditorium FIB UI.

Beberapa penyair asal Aceh yang tinggal di Jakarta, serta beberapa penyair tamu, seperti Fikar W Eda, Mustafa Ismail, Debra H Yatim, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan Dato Kemala (Malaysia) ikut meramaikan panggung pertunjukan. Pentas makin marak dengan pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, Kelompok Musik Qanun, pembacaan Hikayat Prang Sabil dan Syeh Idris, serta pertunjukan seni didong dan sebuku yang unik.

Kegiatan yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Sajak (Seniman Aceh se-Jabotabek) bekerja sama dengan Pusat Tamadun Melayu UI dan FIB UI ini juga diisi pemutaran film-film tentang Aceh, serta temu pembuat dan pengisi film tentang Aceh, bersama Cristine Hakim dan Berliana Febrianti.

Sesi yang tidak kalah pentingnya adalah seminar yang mengkaji potensi dan perkembangan seni-budaya Aceh, khususnya sastra, sejak masa Hamzah fansuri hingga pasca-tsunami. Sebanyak 26 sastrawan dan pengamat sastra, seperti Abdul Hadi WM, Maman S Mahayana, Dato Kemala, Tommi Christomi, Tommy F Awuy, Agus Nuramal, Muhammad Iqbal, Muhammad Lutfi, Arafat Nur, Ahmadun Yosi Herfanda, D Kemalawati, Debra H Yatim, Rosni Idham, Azhari, Mustafa Ismail, Fozan Santa, Wina SW, Nurdin AR, Muhammad Nazar, Reza Idria, Ibrahim Kadir, Yusza Nur Nadia, Salman Yoga, Musmarwan Abdullah, M Nasir Age, dan Mukhlis A Hamid, tampil sebagai pembicara dalam enam sesi diskusi.

Pembukaan acara ini, yang didahului dengan pawai seni di FIB UI, serta pidato pembukaan oleh Rektor UI, Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri, berlangsung cukup meriah. Begitu juga penutupannya, yang dimeriahkan pertunjukan tari rubbani wahed dari Desa Sangso, Samalanga, Kabupaten Bireuen. ”Rubbani wahed adalah tarian sufi yang hanya hidup dan berkembang di desa tersebut,” kata Fikar.

Upacara penutupan Piasan Sastra Aceh di FIB UI juga dimeriahkan pertunjukan grup musik Qanun, seni sebuku dari Gayo, pertunjukan musikalisasi puisi Deavies Sanggar Matahari, pembacaan hikayat Prang Sabil dan peluncuran buku kumpulan puisi karya 19 penyair perempuan Aceh, Lampion, serta sambutan penutupan oleh Ketua Pusat Tamadun Melayu, Dr Zulhasir Nasir.

Pada sambutannya, Zulhasir Nasir mengatakan gembira karena Piasan Sastra Aceh bisa dihadirkan di UI. Menurutnya, banyak hal yang bisa dipetik dari kegiatan tersebut. ”Publik menjadi lebih paham tentang kekayaan dan keberagaman seni-budaya Aceh,” katanya.

Menurut Fikar, Piasan Sastra Aceh merupakan kegiatan sastra Aceh yang paling besar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Jakarta. Sayangnya, acara ini kurang berhasil meraih pengunjung yang maksimal dari kalangan mahasiswa UI, karena mereka sedang bertarung dalam ujian semester.
Baca Lengkapnya....

Ketika Musik Melawan Narkoba

Musik, di kalangan anak muda perkotaan, kerap tak terpisahkan dari miras dan narkoba. Tapi, kali ini benar-benar beda: musik justru dijadikan media untuk melawan miras dan narkoba. Inilah yang dilakukan oleh Himpunan Musisi Jakarta (HMJ).
Berkolaborasi dengan Creative Writing Institute (CWI) dan Majelis Dzikir Nurul Mustofa, mereka menggelar pertunjukan spektakuler di Plasa Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenegpora), Senayan, Jakarta. Menegpora Adhyaksa Dault, yang melihat gerakan anak-anak muda itu sejalan dengan program lembaga yang dipimpinnya, mendukung penuh gerakan tersebut.

Adalah Ketua HMJ Romi Kurniawan, Leader HMJ Mey Suyana, dan Direktur CWI Hudan Hidayat yang memotori pertunjukan itu, dengan dukungan penuh Menegpora Adhyaksa Dault dan pimpinan Majelis Dzikir Nurul Mustofa Habib Hasan bin Dja’far Assegaff. Mereka memanfaatkan even tahunan, Festival Kreativitas Pemuda 2006, yang digelar oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI.

Sambil menutup tahun 2006, pertunjukan musik digelar di hadapan sekitar 10 ribu penonton, pada 23 dan 24 Desember 2006, sebagai puncak even tahunan tersebut. ”Pertunjukan yang memadukan seni musik, sastra dan dzikir, baru pertama kali ini diadakan,” kata Hudan. ”Acara ini menjadi puncak Festival Kreativitas Pemuda 2006,” kata Asdep Bidang Pengembangan Wawasan dan Kreativitas Pemuda, Dasril Anwar.
Pada hari pertama, acara dimulai dengan konvoi sepeda motor dari Pasarminggu menuju komplek Kemenegpora di Senayan. Sampai di gerbang komplek, rombongan konvoi menyalakan kembang api. Mereka pun disambut oleh Menegpora beserta jajarannya, dan puluhan ribu jamaah yang memadati plasa Kemenegpora.

Sebagai novelis pecinta musik, Hudan melihat pentingnya untuk memadukan sastra, musik, dzikir, dan semangat kebangsaan. ”Ini agar aktivitas sastra dan musik selalu disemangati oleh nilai-nilai agama untuk kemaslahatan bersama,” katanya mengantarkan acara.

Menegpora Adhyaksa Dault kemudian menyambung acara dengan sepatah kata dan harapan-harapannya. Dzikir dan doa bersama untuk keselamatan bangsa yang dipimpin oleh Habib Hasan bin Dja’far Assegaff lantas memberi sentuhan religius yang sangat kental. ”Kita membutuhkan doa-doa dan dzikir seperti ini untuk menyelamatkan bangsa,” kata Adhyaksa.

Uniknya, di sela-sela renungan, dzikir dan doa, Habib Hasan melantunkan shalawat Nabi dengan iringan musik rebana, sehingga siraman rokhaninya menjadi terasa musikal. Sebelum dzikir dan doa, suasana musikal pun sudah tercipta ketika grup marawis dan nasyid dari Majlis Dzikir Nurul Mustofa ‘membasahkan’ malam dengan shalawat dan lagu-lagu religius.

Suasana plasa Kemenegpora makin terasa musikal sepanjang hari kedua. Panggung diisi pertunjukan musik sejak pagi hingga tengah malam. Di tengah-tengahnya juga terlantun sajak dan fragmen cerpen. Puncaknya adalah pentas The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sekitar satu jam The Upstairs memukau penonton dengan lagu-lagu bernuansa musik 1970-an.

Pada hari kedua panggung memang lebih berat pada kesenian. Sejak pagi diisi 65 grup band dari berbagai daerah di Jawa dan Sumatera. Mereka adalah grup-grup yang masuk grand final festival band yang terjaring melalui sistem recording dan performance. ”Mereka terseleksi melalui audisi di Jakarta, Bogor, Bandung, Bandarlampung, dan Palembang,” kata Romi Kurniawan.

Setelah bertarung ketat, grup Medusa dari Jakarta Timur terpilih sebagai juara pertama. Juara kedua diraih oleh Mineral dari Jakarta Pusat, dan juara ketiga Klavinosa dari Depok. Sedangkan The Upstairs mendapat penghargaan Pelopor Kreativitas Pemuda 2006 yang diserahkan oleh Sekretaris Menegpora Prof Dr Thoha Cholik Muthohir.

Persaingan ketat juga terjadi antar-finalis grup nasyid dan para cerpenis muda dari seantero Tanah Air yang juga menjadi bagian dari Festival Kreativitas Pemuda 2006. Lomba nasyid dimenangkan oleh Grup Sahara dari Jakarta, sedangkan lomba cerpen dimenangkan oleh M Badri dari Bogor. Hadiah untuk para juara diserahkan malam itu juga, antara lain oleh Deputi Bidang Pemberdayaan dan Kewirausahaan Pemuda Syahyan Asmara, dan staf khusus Menegpora Rafli Effendi.

Ditutup oleh Thoho Cholik Muthohir, panggung lantas dihentakkan pertunjukan musik The Upstairs, Zelda Band, dan Security Band. Sampai larut malam, penonton seperti enggan terhenyak, meski pertunjukan telah usai.

Bermusik dengan Pendekatan Agama

Tewasnya seorang anak band akibat over dosis, menyadarkan Romi Kurniawan dan kawan-kawannya untuk mencari pendekatan baru dalam bermusik. Dan, yang dipilihnya adalah pendekatan agama. ”Dengan pendekatan agama, kami yakin para musisi dapat terhindar dari miras dan narkoba,” katanya.

Pendekatan ini, tambah leader HMJ Mey Suyana, dapat menghindarkan generasi muda pecinta musik dari pengaruh miras dan narkoba. Karena itu, Himpunan Musisi Jakarta (HMJ), yang kini diketuai Romi, tidak hanya berorientasi komersial dalam merancang kegiatan-kegiatannya.

Selain berkolaborasi dengan majelis dzikir, HMJ juga kerap menggelar konser-konser amal anti-kekerasan dan narkoba, seperti yang diadakan di Bulungan belum lama ini. ”Even-even yang kami adakan lebih untuk mencari kebermanfaatan,” kata Mey, yang memang bertugas menyiapkan even.

Salah satu even penting yang telah dirancang HMJ adalah konser amal pada Maret 2007 nanti. Dana yang
terkumpul dari konser ini, kata Romi, akan disumbangkan ke pondok pesantren, yayasan yatim piatu, dan majelis dzikir, antara lain Ponpes Annadliyah Surabaya.
Baca Lengkapnya....

Membincang Sastra Dalam Deru Ombak

SEPERTI terinspirasi Temu Sastra I Mitra Praja Utama (MPU) yang digelar di Pantai Anyer Banten, pekan lalu Temu Sastra II MPU digelar di tepi Pantai Sanur, Bali. Di aula terbuka Hotel Inna Sindhu Beach, sekitar 20 meter dari garis pantai, diskusi dan pentas sastra dilaksanakan, dalam iringan deru angin dan ombak. Di malam hari, deru ombak makin terdengar nyata, mengiringi suara pembicara dan pembaca sajak.
Tempat makan dan rehat pun ditata nyaris di bibir pantai, di bawah rindang pohon-pohon kelapa. Sehingga, sambil menyantap hidangan bermenu khas Bali, para peserta bisa memandang riak ombak dan hamparan laut lepas yang kebiruan. Suasana tamasya sangat terasa pada even sastra yang diikuti 10 provinsi anggota MPU itu.

Digelar selama empat hari (12-15 Desember 2006), even dua tahunan itu didesain untuk meningkatkan kemitraan yang lebih sinergis antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat kesenian. Berbagai persoalan pemasyarakatan serta peran sastra dalam membangkitkan harkat dan martabat bangsa dibicarakan bersama untuk dicarikan soluisi terbaiknya.

Diikuti sekitar 100 peserta, sebagian besar angota delegasi dari 10 provinsi anggota MPU — DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur — Temu Sastra II MPU dibuka oleh Gubernur Bali Dewa Made Baratha dengan pemukulan gong. Pementasan tari Bali dan pembacaan sajak memeriahkan acara pembukaan.

Dibingkai dalam tema Peranan Sastra dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa, berbagai topik menarik dibahas pada sesi-sesi diskusi yang berlangsung sejak pagi hingga larut malam. Sesi pertama mengevaluasi strategi pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Dendy Sugono dan Joko Pinurbo. Sesi kedua tentang membangun religiusitas melalui sastra, dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan ZS dan D Zawawi Imron.

Sesi berikutnya membahas peran komunitas sastra dalam pemasyarakatan sastra, dengan pembicara Raudal Tanjung Banua dan Ahmadun Yosi Herfanda. Sesi keempat membahas tentang multikultur dan sastra lintas budaya dengan pembicara Yasraf Amir Piliang dan Triyanto Triwikromo. Sesi kelima membahas tentang Bali dalam konteks sastra nasional dan global dengan pembicara Jean Couteau dan Darma Putra. Sesi terakhir tentang posisi sastrawan dalam pembangunan kebudayaan dengan pembicara Slamet Sukirnanto dan Soemardi.

Pelaksanaan Temu Sastra II MPU di Bali dipercayakan kepada Forum Pecinta Sastra se-Bali (FPSB) yang diketuai oleh Drs IB Darmasuta, yang sekaligus dipercaya sebagaui ketua panitia, atas dukungan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Menurut Ketua Sekber MPU Moerdiman, Temu Sastra MPU merupakan salah satu wujud kegiatan kerja sama 10 provinsi yang tergabung dalam wadah MPU. Wadah kerja sama MPU menggarap hampir semua sektor pemberdayaan masyarakat, sejak ekonomi, kesehatan, sampai seni-budaya. Program MPU untuk bidang seni-budaya, selain temu sastra, adalah Duta Seni Pelajar yang dilaksanakan tiap tahun — tahun 2005 di Yogyakarta, tahun 2006 di Banten, dan tahun 2007 di Jakarta.

Temu Sastra MPU 2006 menghasilkan beberapa kesepakatan dan rekomendasi penting. Temu sastra MPU disepakati menjadi agenda dua tahunan yang pendanaannya disiapkan oleh masing-masing provinsi anggota MPU. Temu sastra MPU dilaksanakan secara bergilir berdasarkan kesepakatan bersama, serta harus melibatkan sastrawan, akademisi sastra, pegiat sastra, wartawan, dan birokrat.

Sidang pleno juga menyepakati bahwa sastra dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Delegasi yang akan mengikuti Temu Sastra MPU setidaknya dapat merepresentasikan kualitas daerahnya masing-masing. Dan, secara khusus Propinsi Jawa Barat ditunjuk sebagai penyelenggara MPU III 2008.

Temu Sastra MPU II juga merekomendasikan agar Menteri Pendidikan Nasional RI menugaskan kepada Pusat Bahasa untuk mendukung penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan menerbitkan karya sastra yang direkomendasikan dalam sidang Temu Sastra MPU. Rekomendasi serupa juga ditujukan kepada Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya RI, agar menugaskan kepada Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film untuk mendukung Temu Sastra MPU.

Dua rekomendasi lain ditujukan kepada para gubernur provinsi anggota MPU, yakni agar gubernur menganggarkan dana untuk penyelenggaraan Temu Sastra MPU dan melaksanakan kegiatan sastra lainnya yang nantinya akan dapat mendukung dan bermuara pada Temu Sastra MPU. Selain itu, gubernur juga direkomendasikan agar menyosialisasikan seluas-luasnya kesepakatan pengembangan dan pemasyarakatan sastra di wilayah kerja masing-masing.

Sisi menarik lainnya dari Temu Sastra MPU II Bali adalah pertunjukan sastra. Pada malam pertama, tampil D Zawawi Imron (Madura), Wan Anwar (Banten), Acep Zamzam Noor (Bandung), Diah Hadaning (Jakarta), Inggit Patria Marga (Lampung), serta beberapa penyair Bali, seperti Pranita Dewi, Abu Bakar, Sindu Putra dan Wayan Sunarta.

Pada malam berikutnya, antara lain tampil Ahmad Tohari (Jawa Tengah), Slamet Sukirnanto, Miranda Putri, Rara Gendis, dan Hamsad Rangkuti (Jakarta), serta Dinullah Rayes (NTB). Tampil juga Joko Pinurbo (Yogyakarta), Isbedi Stiawan ZS (Lampung), Slamet Rahardjo Rais dan Endang Supriadi (Jakarta), serta Oka Rusmini, Ngurah Parsua, Samar Gantang, dan Putu Satria Kusuma (Bali).

Pada hari ketiga, peserta mengikuti ‘wisata budaya’ mengunjungi objek-objek wisata terpenting di Bali. Hari keempat diisi sidang perumusan, dan upacara penutupan. Meski kental nuansa wisata, Temu Sastra MPU menjadi bagian dari upaya untuk membantu mewujudkan cita-cita mulia membangun bangsa melalui sastra. Pesan mendasarnya adalah agar pemerintah tidak hanya mengutamakan pembangunan fisk dan materi, tapi juga pembangunan nilai-nilai budaya melalui sastra guna memperkuat jati diri bangsa.
DKI Dukung Temu Sastra MPU

Temu Sastra MPU merupakan even yang sangat penting untuk dijadikan forum bertukar pikiran antara sastrawan, akademisi, pegiat sastra, dan birokrat kesenian, guna mencari pemecahan atas persoalan-persoalan sastra terkini. Dengan solusi itu, diharapkan pemasyarakatan dan pengembangan sastra dapat dilakukan bersama secara lebih intensif lagi.

Karena itu, menurut Wakil Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, Agung Widodo, Pemda Provinsi DKI Jakarta serius mendukung pelaksanaan temu sastra tersebut. ”Salah satu buktinya, DKI mengirimkan delegasi terbanyak ke Temu Sastra MPU II Bali,” kata Agung Widodo, ketua delegasi DKI Jakarta.

Dikoordinir oleh Kasubdis Pembinaan Seni Budaya Yusuf Sugito, delegasi DKI terdiri dari Hamsad Rangkuti, Slamet Rahardjo Rais, Sunu Wasono, Endo Senggono, Ahmadun YH, Endang Supriadi, Miranda Putri, Pudji Isdriani, Rara Gendis, Ima Rahmawati, serta beberapa staf Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Selain mereka, beberapa sastrawan dan akademisi sastra Jakarta, seperti Dendy Sugono, Slamet Soekirnanto, dan Soemardi, berangkat melalui Pusat Bahasa Depdiknas. Sementara, Provinsi Banten, tempat MPU pertama digelar, antara lain mengirimkan Wowok Hesti Prabowo, Wan Anwar dan Rubby Ach Baedawy. (ahmadun yh)

Esai ini pernah dimuat di Republika, 24 Des 2006
Baca Lengkapnya....