Mengembalikan Sastra ke Kekuatan Teks

SECARA umum, selain karya-karya sastra yang mengalami ‘pembesaran’ oleh media massa dan mendapatkan ‘perpanjangan lidah’ karena kontroversi yang dibawanya, pada tahun-tahun terakhir ini kekuatan teks sastra Indonesia memang terkesan cenderung melemah. Ada beberapa faktor yang layak dicurigai sebagai penyebabnya.
Pertama, pertumbuhan kualitas sastra Indonesia, baik secara estetik maupun tematik, memang mandeg. Artinya, secara estetik maupun tematik, karya-karya sastra Indonesia, terutama puisi, cenderung stereotip sehingga sekadar menjadi media reproduksi karya-karya sebelumnya dengan sentuhan pembaruan yang tidak signifikan. Jadi, melimpahnya produksi karya sastra belum dibarengi peningkatan kualitas secara memadai. Namun, kecurigaan ini masih layak diperdebatkan, karena belum didasarkan pada penelitian yang mendalam dan komprehensif.

Kedua, masih terjadi krisis kritikus, sehingga karya-karya sastra yang unggul tidak terjembatani untuk sampai ke publik pembacanya secara baik. Sementara, rasa haus pembaca khususnya pengamat serta pecinta sastrauntuk berburu karya-karya sastra yang unggul masih terhambat sempitnya waktu dan relatif makin rendahnya daya beli mereka akibat makin mahalnya harga buku-buku karya sastra. Sedangkan untuk membaca semua karya sastra terkini yang dimuat di media massa dan majalah sastra kemungkinannya juga kecil.

Ketiga, kegiatan ‘politik sastra non-teks’ atau politik sastra yang tidak mengandalkan kekuatan teks memang cenderung meningkat. Politik sastra tidak lagi dimaknai sebagai ‘strategi pemasyarakatan karya (teks) sastra’ tapi lebih sebagai ‘strategi pemasyarakatan diri atau kelompok’ tanpa mempertimbangkan kekuatan karya.
Kalaupun ada pertimbangan, lebih pertimbangan ideologis, gang, atau kepentingan-kepentingan lain non-sastra. Akibatnya, orientasi teks tergusur oleh orientasi non-teks alias non-sastra, seperti kepentingan ‘oknum’, kelompok, ideologi, aliran sumber dana, dan kekuasaan gang.

Dan, keempat, karakter pergaulan sastra kita terseret oleh karakter koran ingat saat ini kita masih berada dalam era sastra koran yang memang cenderung lebih memberi tempat pada isu-isu permukaan, sensasi dan kontroversi. Akibatnya, isu-isu dari ‘politik sastra non-teks’ lebih mendapat ruang di media massa (koran). Begitu juga isu dari karya-karya sastra yang sensasional dan melawan arus (kontroversial).

Kalaupun kadang-kadang tetap melihat teks, maka lebih ke pertimbangan ideologis dan kepentingan pasar, sehingga teks sastra tersebut mengalami ‘pembesaran media’ meskipun kualitasnya masih layak diperdebatkan. Akibatnya, karya-karya sastra yang bisa jadi lebih potensial menjadi kanon malah terkubur oleh isu-isu dan wacana yang berasal dari teks-teks tersebut di atas.

Sementara, tingkat apresiasi sastra masyarakat rata-rata juga belum cukup memadai untuk memilih teks-teks sastra yang memang berkualitas dan layak ‘dikonsumsi’ sehingga mereka cenderung ikut larut ke dalam isu-isu dan wacana ‘sastra permukaan’ seperti dimaksud di atas.

Mengembalikan tradisi sastra pada ‘kekuatan teks’ jelas menjadi cita-cita kita bersama. Tapi, dalam situasi seperti sekarang, diera ‘pasar bebas sastra’ kita memang tidak cukup mengandalkan begitu saja pada ‘kekuatan teks’. Perlu ada ‘politik sastra’ yang lebih sehat dan lebih berorientasi pada teks, agar karya-karya sastra yang memang unggul, dapat dibaca dan didorong untuk menjadi kanon serta menjadi bagian terpenting sejarah perkembangan sastra Indonesia.

Untuk itu, ada beberapa langkah yang kiranya perlu dipertimbangkan. Pertama, menguatkan jaringan sosialisasi sastra dengan disertai pemberian penghargaan khusus pada karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dan dipilih secara objektif untuk kepentingan sastra itu sendiri.

Kedua, menghidupkan kembali tradisi kritik sastra yang profesional dan hanya mendasarkan pada keunggulan teks, bukan hal lain di luar teks sastra. Ketiga, meningkatkan penerbitan karya-karya sastra yang benar-benar unggul, dengan pemberian penghargaan tahunan berdasarkan penilaian yang benar-benar objektif dan semata untuk kepentingan sastra.

Keempat, meningkatkan apresiasi sastra masyarakat agar memiliki rasa cinta sekaligus sikap kritis terhadap karya sastra, sehingga mampu menengarai mana karya sastra yang bagus, dan mana yang buruk serta tidak layak ‘dikonsumsi’. Kelima, meningkatkan kualitas sistem seleksi karya pada rubrik-rubrik sastra di media massa (surat kabar), serta media-media khusus sastra, dengan tetap memelihara semangat multikultural, dan tanpa melupakan misi pembinaan serta kaderisasi.

Keenam, meningkatkan kesadaran atas keberagaman corak estetik dan tema karya sastra tanpa melupakan pentingnya kualitas. Jadi, membangun semacam demokratisasi sastra yang sehat dan selektif, serta berorientasi pada kualitas. Dengan langkah-langkah di atas, barangkali kita pelan-pelan dapat mengembalikan tradisi sastra kita pada kekuatan teks. Bukan pada kekuatan lobi, provokasi, selera pasar semata, maupun kepentingan gang, idiologi dan mafia komunitas.

Pernah dimuat di Republika, 23 Des 2007
Baca Lengkapnya....

Buku, Ombak, dan Laut

DI sekitar peringatan empat tahun bencana tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya (28 Desember), beberapa buku tentang laut dan ombak diluncurkan. Ada buku yang secara khusus mengangkat bencana tsunami Aceh. Ada pula yang membahas laut sebagai sumber daya alam yang sangat kaya dan belum dikelola secara maksimal.
Dua di antara buku-buku tersebut adalah novel Aotar atau Amuk Ombak Tanah Rencong karya Chavchay Syaifullah, serta Pemuda dan Kelautan karya Dr Adhyaksa Dault MSi keduanya diluncurkan di Jakarta, pekan lalu.Perpusat pada upaya para relawan tsunami Aceh dalam mengevakuasi mayat-mayat dan para korban yang selamat, novel Aotar< tidak hanya mengangkat bencana alam maha dahsyat tersebut sebagai latar utama cerita, tapi juga mengorek sejarah pergulatan rakyat Aceh sejak masa kerajaan, masa kolonial, masa penindasan pada era Daerah Operasi Militer (DOM), sampai menjelang tsunami.

Novel ketiga Chavchay itu juga menjadi semacam postcriptum yang kembali merangsang pembacanya untuk mengorek nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa sebelum dan di balik bencana alam tersebut. Prediksi sejumlah ahli bencana alam sebelum tsunami terjadi yang diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat pun dihadirkannya sebagai peringatan bagi kita agar tidak abai lagi pada prediksi dan gejala alam yang terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya menimpa.

Buku Adhyaksa Dault tentu berbeda dengan novel Chavchay. Novel Aotar jelas fiksi yang diangkat dari realitas dan kisah nyata di seputar bencana tsunami Aceh. Sedangkan buku Adhyaksa adalah sebuah wacana ilmiah yang mengangkat potensi kelautan kita yang sangat kaya.

Dan, sebagai menteri pemuda dan olahraga, tentu wacana utama yang dikemukakan Adhyaksa adalah bagaimana menyiapkan para pemuda sebagai SDM yang terampil dan berwawasan luas dalam mengelola kekayaan sumber daya kelautan kita. Di sinilah, Adhyaksa menampakkan kepakarannya dalam pemberdayaan pemuda dan pengelolaan potensi kelautan kita.

Dimulai dari wacana tentang peran pemuda secara umum dan peran pemuda dalam membangun laut di Nusantara, Adhyaksa lantas menguraikan secara detail sekaligus panjang lebar tentang berbagai potensi dan kekayaan laut kita serta pengelolaannya selama ini dan bagaimana seharusnya pengelolaan untuk masa yang akan datang.

Laut adalah sumber daya besar kita yang selama ini belum dikelola dan dieksplorasi secara baik. Sebagaian besar wilayah Indonesia pun terdiri dari laut. Tapi, sumber devisa negara kita selama ini lebih banyak bergantung pada daratan. Pengembangan kekuatan militer kita pun lebih terfokus pada angkatan darat. Sehingga, penjagaan keamanan laut kita kurang memadai. Tak heran, jika penyelundupan lewat laut meraja-lela, dan pulau-pulau terpencil kita satu demi satu diklaim orang lain.

Agak aneh, memang, wacana-wacana tentang kelautan kita selama ini jarang terdengar. Dan, anehnya lagi, yang rajin melontarkan wacana tentang kelautan kita justru seorang penyair, yakni WS Rendra, dalam banyak forum diskusi dan seminar. Menurut Rendra, budaya Mataram yang banyak menjadi kiblat Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat potensi besar kelautan kita agak terlupa.

Sebagaimana masa Kerajaan Mataram, kultur ekonomi yang dominan pada masa Orde Baru adalah ekonomi pertanian. Memang cukup berhasil dengan program swasembada beras. Tapi, potensi laut menjadi terbengkelai, dan kekuatan angkatan bersenjata kita pun lebih terkonsentrasi di darat, sehingga kekuatan angkatan laut kita menjadi rapuh, dan sumber daya kelautan kita pun agak terlupakan.

Di tengah kenyataan itu yang kurang menggembirakan itu, kita layak menyambut gembira hadirnya buku Pemuda dan Kelautan karya Adhyaksa Dault itu. Buku ini tidak hanya mewacanakan peran pemuda dan potensi kelautan kita, tapi juga mencoba mengajak kita untuk mulai lebih peduli pada masalah kelautan. Sebab, di laut, ribuan triliun kekayaan kita masih terpendam dan menunggu untuk dikelola bagi kesejahteraan bersama.

Laut yang mengamuk lewat gelombang ombak raksasanya, seperti tergambar pada novel Aotar, dan terjadi pada tsunami Aceh empat tahun lalu (28 Desember 2004), adalah ‘pembunuh’ yang tak kenal ampun. Betapa tidak. Lewat satu sapuan gelombang tsunami, Aceh dan sekitarnya porak-poranda dan sekitar 200 ribu nyawa menjadi korbannya.

Tetapi, laut yang tenang adalah sahabat bagi nelayan dan siapa saja yang ingin mencicipi kekayaan dan keindahannya. Melalui bukunya itu, Adhyaksa membeberkan potensi kekayaan lautan kita sekaligus tantangan untuk meraup dan mendayagunakannya bagi kesejahteraan anak-anak bangsa.

Esai ini pernah dimuat di Republika, 28 Des 2008
Baca Lengkapnya....

Souvenir Fiksi Islami

Suatu hari, pada tahun 2003, saya menerima buku kumpulan cerpen 20 Tahun Cinta. Saat itu, saya merasa gembira sekaligus terkesima. Buku kumpulan cerpen terbitan Senayan Abadi Publishing itu tidak hanya dikemas secara elegan dengan desain grafis yang cantik, tapi juga memuat cerpen-cerpen karya para cerpenis ternama yang beberapa di antaranya dikenal sebagai penulis buku-buku bestseller.
Spontan saya memprediksi, buku tersebut akan laris. Dan, kabarnya, cetakan pertama buku tersebut habis tidak sampai sebulan. Saya melihat, buku kumpulan cerpen seperti 20 Tahun Cinta tidak hanya pantas untuk dimiliki oleh pecinta fiksi Indonesia, tetapi juga cukup bernilai — dan PD — untuk menjadi souvenir, hadiah ulang tahun, dan bahkan kado pernikahan. Tentu, begitu juga buku-buku serupa yang terbit berikutnya.

Misalnya, Mengetuk Cintamu, Wajah di Balik Jendela, Sembilan Kuntum Adelweis dan Pipit tak Selamanya Luka. Desain cover-nya yang indah, dengan huruf dan ilustrasi timbul, membuat buku-buku tersebut juga elok untuk dipajang di ruang tamu. Tentu juga novel Ayat-Ayat Cinta (Republika, 2004) karya Habiburrahman el-Shirazy, yang menjadi mega bestseller, dan karya-karya Gola Gong, yang rata-rata juga laris manis.

Selain mereka, cerpenis seperti Asma Nadia dan Pipiet Senja juga dikenal sebagai penulis buku fiksi bestseller. Buku Asma, Cinta tak Pernah Menari (Gramedia, 2003), misalnya, dalam tiga pekan sudah mengalami cetak ulang dua kali. Sedangkan Gola Gong sudah dikenal lama sebagai penulis bestseller dengan serial novel trilogi PadaMu Aku Bersimpuh, Biarkan Aku Jadi Milikmu, dan Tempatku di SisiMu (DAR Mizan), serta serial Kupu-Kupu Pelangi. Sedangkan Pipiet Senja memiliki novel bestseller bertajuk Kapas-Kapas di Langit (Zikrul Hakim).

Masih banyak cerpenis lain yang sempat ikut mengisi khasanah fiksi Islami, dan ikut menghadirkan souvenir-souvenir sastra yang bermakna, seperti Helvy Tiana Rosa, Abidah el Khalieqy, Kurnia Effendi, Teguh Winarsho AS, Isbedy Stiawan ZS, Fahrunnas MA Jabbar, Khairul Jasmi, Novia Syahidah, Fahri Aziza, Yus R Ismail, Nurul F Huda, Irwan Kelana, Arlen Ara Guci, dan M Arman AZ.

Di antara jenis-jenis karya sastra modern yang dikenal masyarakat, fiksi — baik cerpen maupun novel — memang merupakan jenis karya sastra yang paling diminati masyarakat. Indikasinya, sangat banyak buku kumpulan cerpen maupun novel yang menjadi bestseller. Di luar fiksi Islami, novel Saman karya Ayu Utami, dan Super Nova karya Dewi ‘Dee’ Lestari, juga bestseller.

Rubrik-rubrik cerpen maupun novel (dalam bentuk cerita bersambung) di surat kabar juga sangat diminati dan memiliki rating pembaca cukup tinggi. Majalah khusus cerpen, Annida, juga mampu mencapai oplah di atas 70 ribu eksemplar, jauh di atas oplah Majalah Horison dan majalah berita yang ada di Indonesia.

Di tingkat global, kita mengenal buku-buku novel maupun kisah serial yang bestseller di hampir seluruh pelosok dunia dan dicetak sampai puluhan juta eksemplar. Serial Harry Potter misalnya, selalu ditunggu seri terbarunya oleh puluhan juta penggemarnya di seluruh dunia. Novel-novel detektif karya John Grisham juga selalu bestseller. Begitu juga novel-novel Dean Koontz, novelis AS paling ternama AS saat ini, seperti The Husband.

Realitas di atas menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya menyimpan potensi bisnis yang tinggi, tapi juga potensi pencerahan rokhani yang besar. Daya sugesti fiksi yang kuat, dengan peredarannya yang luas, sangat potensial mempengaruhi sifat dan karakter pembacanya. Dengan kata lain, fiksi dapat ikut mempengaruhi proses perubahan sosial.

Dan, di sinilah diperlukannya fiksi-fiksi Islami untuk dapat ikut mendorong proses perubahan masyarakat ke arah yang tercerahkan. Larisnya buku-buku fiksi Islami — bahkan sempat booming sepanjang tahun 1999-2006 — membuktikan bahwa masyarakat, terutama generasi muda, memang membutuhkan fiksi-fiksi Islami sebagai bacaan yang tidak hanya menghibur, tapi juga aman dan mencerahkan.

Fiksi Islami, secara sederhana dimaksudkan sebagai fiksi yang secara tematik (isinya) bersemangat Islami, dan secara estetik (disajikan) secara Islami pula. Namun, tidak berarti harus dipenuhi simbol-simbol Islam formal, seperti masjid, kalimat syahadat, takbir, dan istighfar.

Untuk dapat menjangkau pembaca yang lebih luas, guna memberikan pencerahan secara lebih luas, yang ideal adalah novel Islami secara substansial. Tapi, jika memang diperlukan sebagai latar (setting), tentu tidak perlu ragu-ragu untuk menampilkan realitas dunia Islam dalam fiksi-fiksi kita. Fiksi-fiksi yang menuntun perjalanan rokhani menjadi hamba yang bertauhid dan cinta Allah SWT tetap penting juga.

Karena Islam bersifat universal, maka fiksi-fiksi Islami dapat mengeksplorasi tema-tema yang beragam, sejak kisah cinta, keluarga, politik, perang dan tragedi kemanusiaan, sampai ketakwaan pada Tuhan. Yang penting, bagaimana menghidupkan nilai-nilai Islami dalam fiksi, untuk meningkatkan martabat kemanusiaan pembacanya. Sebab, fungsi terpenting kebudayaan, termasuk sastra, adalah meningkatkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Bukan sebaliknya.

Karena itu, marilah kita jadikan buku fiksi Islami sebagai souvenir yang benar-benar indah dan bermakna.

Pernah dimuat di Republika 19 Agus 2007
Baca Lengkapnya....

Sajak Kritik Sosial di Tengah ‘Tarung Penyair’

stafku, stafku
ada yang bekerja setengah hati
ada yang bekerja semaunya sendiri
ada yang tak suka apel pagi
ada yang pagi-pagi sudah di kedai kopi
ada yang takut diminta mewakili
stafku, stafku
bila aku ada, banyak yang setor muka
bila aku ke luar kota,
ada yang tak masuk kerja…

Jika sajak-sajak kritik sosial di Indonesia selama ini rata-rata mengeritik penguasa dan atasan, beda dengan sajak karya Suryatati A Manan di atas: mengeritik bawahan. Maklum, penulisnya seorang walikota (Tanjungpinang), yang memang ingin meluruskan ‘budaya kerja’ bawahannya.

Dan, meski kritik Suryatati tajam, tak ada yang marah, karena disampaikan melalui puisi. Hadirin justru tertawa-tawa saat sajak panjang berjudul Stafku tersebut dibacakan di tengah acara Tarung Penyair Panggung di Gedung Kesenian Aisyah Sulaiman, Kota Tanjungpinang, Rabu (27/8) malam lalu.

Malam itu, 10 penyair unggulan Tanjungpinang memang sedang diadu keandalan mereka dalam membaca sajak di panggung. Suryatati tidak ikut bertarung, tapi sajak-sajak kritik sosialnya bertabur di panggung. Selain dibacakan sendiri (puisi di atas), ke-10 petarung juga membacakan masing-masing satu puisi karya Suryatati selain membacakan satu karya mereka sendiri.

Sepuluh penyair terkemuka Tanjungpinang yang bertarung itu adalah Machzumi Dawood, Tusiran Suseno, Hoesnizar Hood, Lawen Newal, Teja Alhabd, Bhinneka Surya, Efiar M Amin, Said Parman, Safaruddin dan Heru Untung Laksono. Mereka dipertemukan dalam satu panggung untuk menguji kemampuan mereka dalam membaca puisi.

Sama-sama hebat, dengan karakter puisi dan tampilan masing-masing. Dan, seperti dikatakan ketua panitianya, Asrizal Nur, itulah beda antara penyair-penyair Tanjungpinang dengan penyair-penyair daerah lain. Penyair dari daerah lain, meski karyanya bagus, belum tentu terampil membaca sajak di depan publik, sedangkan para penyair Negeri Pantun itu rata-rata bagus.

Tak salah mereka tumbuh di kampung halaman presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri yang memang memiliki tradisi lisan yang sangat kuat, yakni tradisi berpantun. “Wah, bagus semua. Sulit memilih siapa yang terbaik,” kata Hamsad Rangkuti, ketua dewan juri tarung penyair itu.

Tetapi, karena ini pertarungan, alias lomba, harus ada yang menang dan ada yang kalah. Dewan juri harus menentukan siapa juaranya. Maka terpilihnya Teja Alhabd sebagai juara pertama, disusul Hoesnizar Hood (juara kedua), dan Tusiran Susena (juara ketiga). Sedangkan Lawen Newal dan Machzumi Dawood terpilih sebagai juara harapan. Selain juara kedua, Hoesnizar juga terpilih sebagai juara favorit pilihan penonton.

Sebagai sang juara, Teja mendapatkan hadiah Rp 10.000.000, Hoesnizar Rp 8.000.000, dan Tusiran Rp 6.000.000. Para juara harapan menerima masing-masing Rp 4.000.000. Uniknya, peserta yang kalah pun mendapatkan hadiah, yakni uang tunai masing-masing Rp 3.000.000. Dan, sebagai juara favorit, Hoesnizar mendapat tambahan Rp 5.000.000. Sang walikota agaknya memang sengaja ingin memberikan apresiasi yang layak kepada semua peserta, para penyair yang selama ini ikut memajukan tradisi sastra di Tanjungpinang.

Dipimpin oleh seorang walikota yang juga penyair, tradisi bersastra di Tanjungpinang memang menjadi sangat hidup. Penyair, sastrawan dan birokrat, bersinergi untuk memajukan seni-budaya daerahnya. Tradisi berpantun juga sangat hidup dan marak di masyarakat, sehingga belum lama ini Tanjungpinang mendeklarasikan diri sebagai Negeri Pantun.

Sebagai kota yang kental dengan kebudayaan Melayu, Tanjungpinang tak henti-hentinya menggelar kegiatan sastra-budaya, tidak hanya tingkat lokal, tapi juga nasional, dan bahkan internasional, seperti Festival Pantun Serumpun. Apalagi, Tanjungpinang memiliki sastrawan legendaris, yakni Raja Ali Haji, sang pencipta Gurindam Duabelas, yang dimakamkan di Pulau Penyengat.

Menurut Asrizal Nur, tarung penyair ini dilaksanakan atas apresiasi pemerintah kota Tanjungpinang terhadap dedikasi penyair dan sekaligus merangsang giatnya kembali tradisi pembacaan puisi yang atraktif, yang dulu telah dimulai oleh Sutardji Calzoum Bachri dan almarhum Ibrahim Sattah, dua penyair besar dari Kepulauan Riau (Kepri) yang pernah tinggal di Tanjungpinang.

Selain tarung 10 penyair, panggung juga dimeriahkan baca puisi jemputan oleh Hj Suryatati A Manan (walikota Tanjungpinang), Aida Ismed (anggota DPD asal Kepri), Bobby Jayanto (ketua DPRD Tanjungpinang), dan Mastur Taher (wakil bupati Bintan) — yang ternyata juga para pembaca puisi yang jempolan.

Sinergi antara penyair dan birokrat, serta saling apresiasi antar-kedua pihak, terasa sekali dalam acara ini. Para penyair mengakui peran walikotanya dalam memajukan sastra, dan sang walikota mengakui peran penyair dalam ikut melempangkan jalan birokrasi dan politik di daerahnya. Kata-kata John F Kennedy bahwa bila politik bengkok maka puisi akan meluruskannya, terasa sekali di Tanjungpinang.

Karena Tanjungpinang memiliki banyak penyair, aku Suryatati, politik yang bengkok bisa diluruskan, sehingga iklim politik dan birokrasi dapat berjalan dengan baik-baik saja.

Esai ini pernah dimuat di Republika, 14 Sep 2008
Baca Lengkapnya....