Kebermaknaan Sajak-sajak Dhenok dan Nana

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ketua Komite Sastra DKJ

Seseorang yang memiliki bakat dan kecerdasan puitik, biasanya akan tergoda untuk menuliskan kegelisahan pikiran dan perasaannya, serta apapun yang mengesankan dan menggugah rasa empatinya, secara puitis. Puisi atau “metode puisi” (puitika), setidaknya kalimat-kalimat yang puitis, akan menjadi media perekam, sejak detik-detik yang paling indah dan mengesankan, sampai saat-saat yang paling mencemaskan, hingga perasaan religius yang mengharukan, dalam hidupnya. Maka, apakah dia dengan sadar memanfaatkan metode puisi ataupun tidak (spontan), biasanya semua yang ditulisnya itu akan menjadi puisi yang indah dan bermakna.

Lalu, apa sebenarnya yang disebut sebagai puisi? Secara singkat, tokoh gerakan romantik Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849),  menyebut puisi sebagai kata-kata yang disusun secara indah, berirama dan bermakna. Terkesan sederhana, tetapi di dalam definisi Allan Poe itu sebenarnya terkandung teori atau konsep puitika yang cukup rumit. Kata kunci pertama, yakni indah, misalnya, mengandung pesan tentang pentingnya estetika bahasa, atau susunan bahasa dengan metafor tertentu, agar puisi menjadi indah. Begitu juga kata kunci kedua, berirama, menyimpan pesan tentang pentingnya unsur-unsur pembentuk irama dalam sajak, sejak konsep tentang persamaan bunyi (rima) sampai metode pengelompokan kata dan paralelisme serta repetitio untuk membangun irama bahasa agar sebuah sajak terasa indah saat dibaca.  Sedangkan kata kunci ketiga, bermakna, mengandung pesan bahwa bahasa puisi yang indah itu hendaknya tetaplah bermakna atau menyampaikan pesan tertentu yang bermanfaat bagi pembaca.

Banyak definisi lain tentang puisi, sejak definisi dari zaman romantik sampai pasca-modern, sejak yang rumit sampai yang sederhana. Di antara yang sederhana itu, yang  nyaris tanpa pesan konseptual tentang puitika, adalah definisi yang dikemukakan oleh penyair romantik Ingris, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, dan percintaan. Pada sajak-sajak kontemporer, atau era pasca-modern, seperti terlihat pada sebagian besar sajak yang dimuat di Majalah Sastra Horison, dan Bentara Kompas, konsep rima dan ritme yang ketat pun sudah ditinggalkan. Keindahan sajak lebih banyak dibangun oleh cintraan-citraan yang hidup, unik, dan (syukur) juga membangun susunan imaji yang indah.

Sajak-sajak dalam buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini ditulis oleh dua penyair dari era 1980-an, kebetulan keduanya berjenis kelamin perempuan, Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati. Karena keduanya menyebut karya-karya mereka sebagai puisi, dan sengaja menyiapkannya untuk sebuah buku antologi puisi, maka karya-karya mereka itu memang ditulis dengan sengaja sebagai puisi. Bukan sekadar penggalan-penggalan catatan harian, ataupun sekadar catatan perjalanan, meskipun banyak di antara sajak-sajak keduanya berupa catatan harian dan catatan perjalanan yang puitis.

Dan, memang, catatan-catatan puitis mereka sering menembus dimensi ruang dan waktu, menembus kenangan jauh ke masa lalu, untuk kemudian melesat ke depan, kadang disertai perenungan yang dalam hingga menyentuh relung-relung religiusitas, dengan upaya pemaknaan atas berbagai fenomena kehidupan di sekitar mereka secara empatik dan imajinatif, sekaligus kritis terhadap kecenderungan sikap hidup yang kurang benar. Coba kita simak kutipan dua sajak religius Dhenok dan Nana berikut ini:

Dua ribu pengunjung gereja memainkan satu peran:
    Meski serigala mengaum di dada,
    mari kenakan bulu domba!

Mereka berpakaian putih bersih,
penutup kemaluan yang kian legam

Yesus tersalib di podium gereja
Ia tundukkan kepala,
Ia pejamkan mata, berdoa :
“Ya, Abba! Kasihanilah mereka!”

Orang-orang menerima komuni
Mencabik, menyayat daging Sang Kristus
untuk sarapan pagi hari

Darah pencuci dosa
menetes-netes dari hati-Nya yang luka
Umat nadahkan cawan dengan nafsu membara
Minum, dan mabuklah mereka :
    “Sepotong daging, seteguk darah Kristus
    belum usir laparku, dahagaku
    Mana dagingmu? Mana darahmu?
    Berikan padaku!”

Di podium gereja Yesus tersalib
Ia palingkan wajah,
Ia sembunyikan mata-Nya yang basah

(Sajak “Minggu Pagi di Suatu Gereja” karya Dhenok Kristianti)

Terasa langit tak terlalu tinggi dan membahana
Terasa lautan tak terlalu dalam dan luas
Terasa cintaku tak terlalu besar padamu
Karena pada-MU segala-galanya
Yang aku miliki, milik-MU

Begitu lama aku menyusuri gang-gang panjang
Bau apek, sampah, asap rokok, kemelaratan dan sakit hati.
Lama sekali aku berkubang dalam kubangan tanpa dimensi
Menyebut nama-MU tanpa berbalas, gema berbalas gema
Airmata tidak cukup pantas untuk diucapkan
Terlampau  sederhana untuk mengungkapkan permintaan

Sekarang aku lebih mengerti
Mengapa langit harus putih
Mengapa matahari di barat, mengapa dia juga ada di timur,
Mengapa lazuardi tetap lurus
Mengapa tiap cinta harus teguh
Aku mencintaimu
Tapi aku kini lebih mencintai-MU

Aku tidak berhenti berjalan, dengan kegagahan kakiku
Dengan kesombonganku yang akhirnya
Terpatahkan
Dengan tangan dan kaki terbelenggu
Aku sudah semakin dekat
Aku tidak ingin tak menampak-MU

(Sajak “Pengakuan” karya Nana Ernawati)

Meskipun tidak menampakkan upaya untuk mencoba konsep estetika puisi (puitika) yang rumit, jika dirujukkan pada definisi Allan Poe, sajak-sajak di atas setidaknya cukup memenuhi kata kunci indah dan bermakna. Memang, dari zaman romantik hingga sekarang, yang disebut puisi yang bagus atau yang berkualitas adalah puisi yang indah dan bermakna, atau kebermaknaan dalam keindahan, keindahan dalam kebermaknaan. Hanya, citarasa keindahan itu yang sering bergeser (berkembang) sesuai tuntutan zaman dan citarasa masyarakat tempatan. Pada zaman sastra Melayu lama, misalnya, puisi yang bagus adalah yang berbentuk pantun, dengan pola persajakan yang ketat. Pada zaman Pujangga Baru, pola puisi berubah karena pengaruh sonata, seperti tampak pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan ada pula yang mulai bebas seperti sajak-sajak J.E. Tatengkeng. Bentuk sajak makin bebas pada era pra-kemerdekaan (1940-an), seperti terlihat pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Dan, kini bentuk dan pola pengucapan puisi-puisi Indonesia makin beragam karena berbagai pengaruh dan upaya pencarian bentuk-bentuk puitika baru, sejak yang rumit dan gelap semisal sajak-sajak Afrizal Malna sampai yang lugas dan sederhana semisal sajak-sajak Diah Hadaning dan Taufiq Ismail. Ada pula yang penuh perlambang (simbolik) semacam sajak-sajak Abdul Hadi WM dan Subagio Sastrowardoyo, dan ada pula yang imajis semisal sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Dorothea Rosa Herliany. Dari sini, dengan mudah, pembaca dapat melihat ada di mana kecenderungan puitik sajak-sajak Dhenok dan Nana yang terkumpul dalam buku ini.

Terlihat, sajak-sajak Dhenok dan Nana umumnya memiliki bahasa yang cenderung lugas dan sederhana (komunikatif) dengan pola puitika yang sering tidak terlalu ketat, sehingga cukup pas jika dirujukkan pada definisi puisi Shelley. Memang, seperti kebanyakan perempuan penyair dari era 1970-an dan 1980-an, semisal Diah Hadaning,  Medy Loekito, dan Lastri Fardani Sukarton,  sajak-sajak Dhenok dan Nana mengesankan penyairnya percaya bahwa untuk menciptakan keindahan dalam sajak tidak perlu melalui bahasa yang rumit dan gelap serta penuh lambang-lambang yang sulit ditebak maknanya. Mereka percaya, bahwa keindahan sajak dapat juga dibangun dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana, komunikatif, dan akrab dengan pembaca.

Meskipun begitu, banyak juga sajak-sajak mereka yang menghadirkan metafor-metafor yang segar, dengan citraan-citraan yang hidup, unik dan indah. Coba kita simak kutipan sajak Dhenok dan Nana berikut ini.

Aku mau jadi garam yang larut dalam tiap masakan
Memberi rasa sedap bagi siapa saja yang mencecap
Garam tak peduli ujud kristalnya sirna,
ia hanya ingin memberi tanpa meminta

Aku mau jadi garam yang mengawetkan ikan-ikan
agar tidak cepat rusak di tempat penyimpanan
Bisakah aku seperti garam yang mencegah kehancuran?

Aku mau jadi garam,
yang tak pernah bertanya masakan apa yang harus diasinkan
Aku mau jadi garam,
yang tak memilih untuk mengawetkan apa atau siapa

Sungguh, aku mau jadi garam
karena garam mengerti untuk apa ia dicipta

(Dhenok Kristianti, “Aku Mau Jadi Garam”)

Aku kepompong yang tak pernah jadi kupu, mungkin metamorfosaku
Tidak berjalan semestinya,
Aku bergulung, menggeliat, di dalam ruang ringan, rapuh itu
Ujudnya tidak berubah
Tetap buruk, melingkar, lembek tanpa tulang
Sampai kapan aku sembunyi di sini, menghitung kegagalan demi kegagalan
Kepedihan, kegetiran, atau canda hari Minggu tanpa kesudahan.
Aku kepompong yang tak ingin jadi kupu
Kegelisahan itu membahagiakan
Ketakutan itu menghidupkan seluruh otot, nafas kehidupan

(Nana Ernawati, “Aku tak Ingin Jadi Kupu”)

Kita adalah sekumpulan serigala lapar,
yang lebih buruk dari serigala
kita makan apa saja, juga bangkai sahabat kita

Kita adalah penari topeng,
yang lebih buruk dari penari topeng
kita pakai topeng siapa saja
dan tidak pernah mengembalikannya

Kita adalah air bah yang marah
yang lebih buruk dari air bah
kita terjang siang dan malam
segala waktu buat keserakahan yang tiada habisnya

(Nana Ernawati, “Sajak Pengakuan”)

Dengan uraian dan contoh-contoh puisi tersebut di atas, pengantar ini memang sengaja hanya melihat keunggulan-keunggulan dan potensi-potensi positif sajak-sajak yang terkumpul dalam buku antologi puisi Dhenok dan Nana ini. Tentu, ada sejumlah kelemahan di dalamnya, seperti terlalu lugasnya beberapa sajak mereka, sehingga terkesan asal ditulis begitu saja tanpa dibungkus kaca prisma estetika. Tapi, bukanlah tugas seorang pemberi kata pengantar untuk mengkritisinya. Biarlah itu nanti menjadi pekerjaan para kritikus sastra yang membacanya.

Lebih dari itu, ada hal lain – non-literer -- yang menarik pada buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini, yakni menyatunya dua perempuan yang berbeda agama dalam satu buku. Dhenok adalah seorang Kristiani, sedangkan Nana adalah seorang Muslimah yang kini berjilbab. Puisi telah menyatukan dua hati yang berbeda keyakinan ke dalam sebuah buku kumpulan sajak yang penuh isyarat rasa persaudaraan, dengan binar-binar hikmah dan pencerahan.

Memang, pada banyak momentum dan kesempatan, puisi berpeluang untuk membuka dialog antar-budaya dan antar-keyakinan yang berbeda, untuk kemudian meminimalisir perbedaan itu, guna membangun rasa saling memahami dan saling menghormati satu sama lainnya. Di sinilah puisi dapat berperan untuk ikut menciptakan perdamaian dalam keharmonisan hidup umat manusia.***

Jakarta, 28 Maret 2011
Baca Lengkapnya....

PSN dan Energi Baru Sastrawan

Sebagai forum sastra negara-negara serumpun Melayu, PSN selama ini, seperti diakui oleh Sekretaris Majelis PSN Prof Madya Tan Sri Ismail Hussein, lebih diutamakan sebagai forum bersilaturahmi, berinteraksi, dan bertukar informasi antarsastrawan.

Meskipun begitu, seperti diakui penyair Taufiq Ismail, tiap PSN selalu dapat membangkitkan gairah baru bagi para sastrawan untuk berkarya. Karena itu, ia melihat PSN XIII di Surabaya ibarat //charge// dengan dinamo yang besar bagi para sastrawan.

Menurut tokoh Angkatan 66 ini, banyak persoalan yang mesti dipecahkan di even kesusastraan tingkat Asia Tenggara itu. Salah satu persoalan yang perlu dicarikan jalan keluarnya adalah lalu lintas buku-buku sastra yang selama ini belum lancar. Dan, ini pula yang dikeluhkan oleh Tan Sri Ismail Hussein.


''Saya memimpikan ke depan hendaknya karya-karta sastra yang ditelurkan para sastrawan di Malaysia, Singapura, serta Brunai Darussalam dan negara lain akan dengan mudah didapatkan toko-toko buku di Indonesia. Itu belum terjadi di saat sekarang ini,'' kata Taufiq dalam sambutan pembukaan PSN XIII di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Senin (27/09) malam.

Ada kabar pelaksanaan PSN XIII ini nyaris gagal karena dana. ''Sampai seminggu menjelang pelaksanaan belum ada dana sama sekali, sementara hanya sekitar 40 persen peserta yang mau membayar,'' kata Ketua SC PSN XIII Dr Setya Yuwana Sudikan. ''Pusat Bahasa juga sama sekali tidak mau menyumbang dana. Untung, akhirnya Pemda Provinsi Jatim dan Jawa Pos bersedia menaggung pembiayaan,'' tambah Ketua Panitia M Shoim Anwar.

Peresmian PSN XIII ditandai dengan pemukulan gong oleh Gubrnur Jatim Imam Utomo didampingi Taufiq Ismail dan Tan Sri Ismail Hussein. Prosesi pembukaan dimulai dengan sajian tari Zafin oleh Raff Dance Company. Menutup acara pembukaan, sekitar 20 penari dari Sanggar Sastra Bali pimpinan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang muncul di panggung dengan gaya penari kecak, kemudian secara serempak mengucapkan "Pertemuan Sastrawan Nuswantoro".

Sebagai pamungkas kegiatan PSN XIII, panitia mengajak sejumlah peserta mengunjungi Museum Purbakala di Trowulan Mojokerto. Dengan dipandu penyair Viddy AD Daery, rombongan satu bus yang terdiri atas 15 peserta dan sekitar 30 partisipan melakukan napak tilas sejarah Majapahit melalui studi lapangan dan pustaka.

Rombongan juga sempat dijamu makan siang di rumah dinas Wali Kota Abdul Gani Suhartono. Ketua DKM Kristri Nugraheni Bachtiar ikut menyambut mereka. Sementara, sejumlah anggota DKM menyajika teaterikalisasi puisi berbahasa Jawa karya Ismaniasita.n ayh
Baca Lengkapnya....

Identitas Melayu dalam Sastra Serumpun

Sastra, menurut Umar Kayam, adalah refleksi dari masyarakatnya. Karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat dilihat pada karya sastranya. Atau, sebaliknya, ketika suatu bangsa membutuhkan penguatan identitas, karya sastra berpeluang untuk memberikannya.

Maka, ketika suatu bangsa terancam kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global (Barat), revitalisasi nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting. Tetapi, karena nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas.

Dan, itulah yang sesungguhnya saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang menebar di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Karena itu, ketika sebuah forum sastra besar bernama //Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII// melupakan masalah itu, penyair Binhad Nurrohmat mengingatkannya. ''Forum seperti ini lebih berguna dipakai untuk merumuskan identitas Melayu, daripada sekadar romantisme antarsastrawan,'' katanya dalam seminar internasional PSN XIII di Graha Pena Surabaya, pekan lalu.

Pada forum dua tahunan yang berlangsung pada 27-30 September 2004 itu memang tidak ada sesi yang secara eksplisit ditujukan untuk mengkaji dan merumuskan identitas Melayu. Jelasnya, PSN tidak dengan terus-terang dipakai sebagai forum peneguhan 'politik identitas' seperti dikehendaki Binhad dan beberapa peserta lain.

Tetapi, dengan rutinnya diselenggarakan PSN dan banyak ditampilkannya karya-karya para sastrawan negara-negara serumpun, sejak yang berpola pantun sampai yang kontemporer, sebenarnya secara tidak langsung PSN telah menjadi ajang peneguhan politik identitas itu. Apalagi, para sastrawan Malaysia, Singapura dan Brunei, selalu getol membacakan pantun-pantun (Melayu) kontemporer hampir pada tiap pentas seni PSN, seperti yang terjadi di Surabaya.

Pertunjukan-pertunjukan seni PSN XIII di Taman Budaya Surabaya, seperti teaterikalisasi puisi oleh sanggar sastra asuhan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang yang terpengaruh tari kecak Bali, tari zafin Raff Dance Company, musikalisasi //Bledhek Sigar// Bengkel Muda Surabaya, drama //Daerah Perbatasan// Teater Gapus, pembacaan puisi Diah Hadaning, Rusli Marzuki Saria, Aming Aminudin, D Zawawi Imron, dan Masruri, serta buku-buku sastra yang dipamerkan di lobi Graha Pena, barangkali juga dapat dianggap sebagai bagian dari proses peneguhan identitas Melayu itu.

***

Meskipun tidak eksplisit dan konseptual, persoalan identitas Melayu juga terbaca pada makalah-makalah yang disajikan dalam sesi seminar dua hari di Graha Pena Jawa Pos yang diikuti sekitar 200 sastrawan negara-negara serumpun itu. Sebab, selain membahas tema-tema universal yang menjadi persoalan bersama, seminar juga mengkaji tema-tema lokal yang menjadi perhatian masing-masing negara, bahkan kelompok etnis di dalam negara itu.

Dari penyair Negeri Singa Jamal Tukimin, misalnya, kita dapat melihat tradisi nusantara dalam sastra Singapura, yang sangat beridentitas Melayu. ''Pengaruh paling besar dan berkesan dalam perjuangan kreativiti dan penulisan sastera di Singapura adalah tradisi kemelayuan,'' kata Jamal Tukimin. ''Sastrawan Singapura yang lebih tua, seperti Suratman Markasan, juga meletakkan isu kemelayuan sebagai //subject matter// karya-karya mereka. Begitu juga sastrawan yang lebih muda, yang kini sedang membina citra Melayu Baru,'' tambahnya.

Identitas Melayu dalam sastra Singapura juga diungkap Mohd Pitchay Gani MA, dan Masruri SM. Sementara tentang identitas Melayu dalam sastra Brunei dibeberkan oleh Awang Kamis Hj Tua, Dr Hj Hashim bin Hj Abd Hamid, Dr Ampuan Hj Brahim bin Ampuan Hj Tengah, Hj Jawawi bin Hj Ahmad, dan Dr Hj Morsidi bin Muhammad. ''Genre sastra modern para penulis Brunei tetap mengakar kepada jati diri bangsa Melayu yang mempunyai pegangan ketuanan Melayu dengan tradisi agungnya sebagai sebuah negara Kesultanan Melayu Islam,'' tutur Hj Hashim bin Hj Abd Hamid.

Agak berbeda dengan sastrawan Singapura yang sedang membangun identitas Melayu dan sastrawan Brunei yang kukuh pada tradisi ketuanan Melayu, para sastrawan Malaysia justru lebih banyak memotret berbagai pergeseran nilai akibat perubahan zaman. Ini terbaca pada prasaran-prasaran Dr Noriah Mohamed, Dr Siti Zainon Ismail, Prof Dr Dato Zainal Kling, Dato Dr Hj Ahmad Kamal Abdullah, Prof Zainal Abidin Borhan, dan Dr Hashim Ismail. Bahkan, menurut Kamal Abdullah, puisi-puisi Malaysia kontemporer cenderung menantang tradisi, dan kini terancam terpinggirkan oleh sastra Ingris Malaysia. Sementara, Siti Zainon melihat bergesernya pandangan para penyair perempuan Malaysia tentang etika dan budi pekerti.

Tema yang lebih beragam diangkat oleh para pembicara dari Indonesia. Abidah el Khalieqy, misalnya, membahas gagasan-gagasan feminin dalam sastra Indonesia. Sementara, Sri Widati lebih menukik pada feminisme dalam sastra Jawa, Viddy AD Daery mengungkap sastra zaman Majapahit dan zaman kesunanan Jawa, Akhudiat membahas sastra lisan pesisiran, D Zawawi Imron menyorot sastra pesantren, dan Taufik Ikram Jamil membahas pengaruh kelisanan dalam sastra Indonesia modern.

Pembicara lain, Ayu Sutarto membahas cerita-cerita rakyat Jawa Timur, dan Roell Sanre mengupas pemetaan sastra Melayu di Sulawesi Selatan, Taufiq Ismail membahas masalah sastra dan dunia pendidikan, Dendy Sugono membahas tentang sastra dan identitas bangsa, Budi Darma tentang sastra multikultural, dan Ahmadun Yosi Herfanda membahas tentang evolusi, genre dan realitas sastra koran.

***

Beragamnya tema yang diangkat, dan tidak adanya satu alur untuk merumuskan satu identitas bersama, memang mengakibatkan identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun menjadi menebar dan kabur. Barangkali, baru anugerah kesamaan bahasa, yakni bahasa Melayu, seperti dikatakan Taufiq Ismail, yang menyatukan atau membingkai identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun.

Tetapi, di Malaysia, seperti diungkap oleh Kamal Abdullah, identitas bahasa itupun kini terancam oleh makin menguatnya tradisi sastra Ingris Malaysia. Karena itu, memang ada benarnya usulan untuk mengemas PSN menjadi forum yang lebih serius dan terarah dalam membahas persoalan bersama guna merumuskan identitas bersama (Melayu) itu.

Identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru yang mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi etnis. Akan lebih konyol jika pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu mestilah bersifat dinamis dan heterogen. n ahmadun yh
Baca Lengkapnya....

Evolusi, ‘Genre’ dan realitas sastra koran*

Sebelum beranjak jauh, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu dua istilah kunci dalam bahasan ini, yakni ‘genre’ dan ‘sastra koran’. Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, ‘genre’ berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘jenis’ atau ‘ragam’, dan  dalam bahasa Ingris disebut ‘type’.1 Jadi, genre sastra adalah jenis karya sastra yang memiliki bentuk (pola), teknik estetik, atau isi (tematik) yang bersifat tetap dalam suatu ragam sastra.
Sedangkan ‘sastra koran’ adalah istilah yang digunakan untuk menyebut karya-karya sastra, baik cerpen, novel, puisi maupun esei, yang dimuat (dipubli-kasikan) di surat kabar.2 Dengan demikian, sebenarnya istilah ‘sastra koran’ tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya sebuah genre sastra, tapi menunjuk karya-karya sastra yang memanfaatkan koran sebagai media publikasi pertama. Istilah ini sejajar dengan istilah ‘sastra saiber’ (cyber) yang sejauh ini masih hanya menunjuk ruang saiber (cyber space, internet) sebagai media publikasi karya.
Sebab, sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan menemukan adanya ciri-ciri spesifik dan signifikan terhadap sastra koran – juga sastra saiber -- untuk membedakannya dengan ‘sastra buku’ sehingga dapat disebut sebagai ‘genre’ tersendiri, seperti misalnya ‘genre novel pop’  atau ‘genre fiksi Islami’ yang dikembangkan oleh para penulis Annida dan mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.
Tetapi, betulkah sastra koran tidak menunjukkan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sastra buku atau sastra majalah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu lebih dulu mengungkap realitas sastra koran, baik realitas estetik maupun tematiknya, yang menebar di berbagai surat kabar harian maupun mingguan, khususnya yang terbit di Indonesia,3 dan lebih khusus sejak dasawarsa 1970-an ketika koran-koran di Indonesia makin dimaraki karya-karya sastra terbaru dan menjadi rujukan alternatif pemikiran sastra.

Evolusi Sastra Koran
Di dalam rentang panjang sejarah sastra Indonesia (Melayu), evolusi sastra koran dapat dilacak sejak masa pra-sastra Indonesia modern. Buku-buku sejarah kesastraan Indonesia menyebut novel Si Djamin dan Si Djohan hasil saduran Merari Siregar dari novel Jan Smees karya Justus van Maurik sebagai novel Indonesia pertama yang terbit pada awal abad ke-20 (l9l9). Baru kemudian lahir novel asli Indonesia yang pertama (?), Azab dan Sengsara (l920), juga karya Merari Siregar.
Tetapi, sebelum Merari Siregar, pada akhir abad ke-l9, sebenarnya telah cukup banyak muncul prosa-prosa 'penceritaan kembali' yang dikerjakan oleh orang-orang Cina-Melayu dan Indo-Belanda, seperti Sobat Anak-anak (l884) oleh Lie Kim Hok, dan Seribu Satu Malam (l886) yang dikerjakan oleh Kim Hok dan wartawan F. Wiggers, serta puluhan buku novel saduran lainnya dari Cina dan Eropa. Baru mulai tahun l890 terbit novel-novel asli Melayu dalam bahasa Melayu-Cina yang ditulis oleh kaum wartawan, seperti Nyai Isah karya F. Wiggers, Nona Leonie karya H.F.R. Kommer, dan Rosina karya F.D.J. Pangemanan, serta Nyai Dasima karya G. Francis.4
Dari contoh-contoh karya di atas, dapat disebut bahwa sebelum masa Pujangga Baru, pada akhir abad ke-l9, kehidupan sastra berbahasa Melayu -- masa awal sastra Indonesia modern -- memang sangat ditopang oleh penerbitan buku. Namun, surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan sastra Melayu-Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan.
Memasuki masa Pujangga Baru, dalam dasawarsa l930-an, selain penerbitan buku, majalah-majalah khusus, seperti majalah Poedjangga Baroe, Wasita dan Pusara, mulai ikut mengambil peranan itu, bersama surat kabar (Pewarta Deli dan Suara Indonesia). Tokoh-tokoh sastra Indonesia modern, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, mulai dikenal luas, selain melalui buku-buku novelnya, juga melalui pemikiran-pemikirannya yang dilansir dalam majalah-majalah tersebut.
Memanfaatkan majalah dan surat kabar itu pula sebuah tonggak pemikiran kebudayaan Indonesia modern dibangun melalui sebuah polemik panjang yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan -- polemik pertama tentang kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam tahun l935 sampai l936 dan diulang pada tahun l939.
Memasuki dasawarsa l940-an (masa Angkatan 45), majalah sastra menampakkan peranan yang makin dominan dalam membangun tradisi sastra Indonesia modern, termasuk pemikiran-pemikiran tentang kesastraan. Pemikiran-pemikiran 'wali penjaga sastra Indonesia' H.B. Jassin, misalnya, banyak disosialisasikan melalui majalah-majalah (sastra), seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah dan Sastra.
Dari tulisan-tulisan lepas dimajalah-majalah itu buku-buku Jassin umumnya lahir. Buku Tifa Penyair dan Daerahnya, misalnya, merupakan kumpulan tulisan Jassin yang dimuat di Mimbar Indonesia. melalui majalah-majalah itu pula, terutama arus pemikiran dan kecenderungan sastra Indonesia dibangun, termasuk 'penobatan' penyair Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh Jassin. Majalah sastra/budaya mulai tumbuh menjadi semacam pusat sekaligus kiblat pertumbuhan sastra Indonesia.
Masa kekuasaan 'rezim majalah sastra' itu berlangsung sampai pada era majalah Horison (perlu disebut juga majalah Budaya Jaya dan Basis) yang terbit pertama kali pada tahun l966. Sejak terbit, terutama sepanjang l970-an sampai awal l980-an, Horison mampu membangun citra dirinya sebagai majalah sastra yang benar-benar berwibawa. Para penyair, cerpenis, eseis/kritikus dan pengamat sastra pada umumnya, seperti kurang lengkap referensi bacaannya jika tidak membaca Horison. Keberadaan mereka -- penyair, cerpenis, eseis dan kritikus sastra -- juga seperti belum sah jika belum mampu menembus gawang Horison untuk mempublikasikan karya-karya mereka di majalah tersebut. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki, Horison menjadi semacam forum legitimasi (penobatan), karena disanalah, menurut anggapan banyak penyair daerah, para 'dewa sastra' bersemayam.
Jadilah, Horison, ketika itu, tidak hanya menjadi kiblat atau standar kualitatif karya sastra, tapi juga menjadi pusat nilai-nilai sastra -- estetik maupun tematik -- yang mampu melahirkan mainstream ataupun narasi besar (grand narration) sastra Indonesia. Munculnya fenomena sajak-sajak imajis pada akhir l970-an dan hampir sepanjang dasawarsa l980-an yang dituding Emha Ainun Najib sebagai 'rezim anutan tunggal' misalnya, tidak terlepas dari kecenderungan Sapardi Djoko Damono selaku penjaga gawang puisi Horison untuk lebih banyak menurunkan sajak-sajak bergaya demikian.
Namun, memasuki dasawarsa l980-an (sudah terasa gejalanya sejak l970-an), peranan majalah sastra mulai terbagi oleh rubrik-rubrik sastra yang menjamur di hampir semua surat kabar pusat dan daerah. Bukan hanya koran-koran mingguan yang menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, esei sastra dan novel (cerita bersambung), tapi juga surat-surat kabar harian seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas5, Sinar Harapan, dan Media Indonesia. Di tangan 'Presiden Malioboro' Umbu Landu Paranggi, Pelopor Yogya bahkan telah memulai tradisi sastra koran sejak l970-an dan sempat ikut mengantarkan nama-nama besar seperti Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan dan Linus Suryadi AG.
Koran-koran nasional terkemuka, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Tempo, Republika6, Pelita, dan Berita Buana7,  menyediakan sedikitnya sehalaman penuh tiap edisi Ahad untuk sastra. Kompas bahkan masih menambah rubrik Bentara untuk sastra tiap Rabu, seperti pernah juga dilakukan oleh Republik dengan Siesta-nya tiap Sabtu. Halaman untuk sastra juga disediakan oleh hampir semua surat kabar daerah, seperti Suara Merdeka (Semarang), Kedalatan Rakyat (Yogyakarta), Jawa Pos (Surabaya), Bali Post (Denpasar), Pikiran Rakyat (Bandung), Lampung Post (Lampung), dan Banjarmasin Post (Banjarmasin). Koran-koran mingguan, seperti Minggu Pagi, Simponi dan Swadesi8 bahkan menjadikan halaman sastra sebagai salah satu konten andalan.9
Dasawarsa l980-an sampai awal l990-an benar-benar menjadi era kekuasaan 'rezim sastra koran'.10 Rubrik sastra surat kabar yang seperti mengambil alih fungsi-fungsi penting majalah sastra, termasuk menobatkan penyair muda untuk diakui keberadaannya secara nasional. Horison dan Basis dengan 'susah payah' memang tetap terbit. Tapi, kesediaan surat kabar untuk memberikan honor yang relatif lebih besar dibanding majalah sastra, dan frekuensi terbitnya yang jauh lebih tinggi, menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyair, eseis/kritikus maupun cerpenis, untuk mempublikasikan karya-karya mereka ke rubrik sastra di surat kabar.
Seperti halnya Horison, rubrik sastra di surat kabar juga mampu mempengaruhi munculnya mainstream atau kecenderungan dominan dalam sastra. Surat kabar tidak hanya berperan memberikan informasi tentang berbagai peristiwa sastra, tidak juga hanya memuat karya-karya sastra terpilih dari para pengirimnya, tapi juga turut membangun suatu fenomena dan mendorong 'arus besar' dalam perkembangan sastra.

‘Genre’ Sastra Koran
Dari uraian di atas, sudah terlihat bahwa koran atau surat kabar, dan media massa cetak pada umumnya, memiliki peran yang cukup sentral dalam sejarah perkembangan sastra di Nusantara. Di Indonesia, media massa cetak -- sejak koran sampai majalah -– bahkan cukup 'memanjakan' karya sastra. Hampir semua media massa cetak yang terbit di Indonesia -– juga akhbar-akhbar di Malaysia -- menyediakan ruang khusus untuk karya sastra. Paling tidak, ada ruang untuk cerita pendek dan roman/novel.11
Peran media massa cetak di Indonesia, khususnya koran, dalam menyiarkan karya dan pemikiran sastra bahkan  jauh lebih besar daripada peran majalah khusus sastra seperti Horison12. Dan,  tentu juga dalam ikut mendorong pertumbuhan sastra, termasuk memunculkan fenomena ataupun mainstream baru. Mainstream sastra (puisi) sufistik, misalnya, dipompa oleh penyair Abdul Hadi WM melalui rubrik Dialog di Harian Berita Buana hampir sepanjang dasawarsa 1980-an. Fenomena puisi gelap juga ‘ditemukan’ melalui polemik di Harian Republika. Begitu juga ketika kita menyebut cerpen-cerpen seksual belakangan ini, banyak yang lahir di koran. Tentu kita juga tidak dapat menafikan peran koran Kompas, Media Indonesia, dan Tempo dalam mempengaruhi kecenderunan estetik cerpen-cerpen mutakhir Indonesia. 
 Melihat dominannya peran koran itu, maka sebenarnya sastra Indonesia lebih merupakan ‘sastra koran’13 -- bukan ‘sastra majalah’.  Juga bukan ‘sastra buku’, mengingat sebagian besar karya sastra Indonesia yang dibukukan adalah karya-karya yang lebih dulu dipublikasikan di koran, dan ‘koran kecil’ (tabloid). Untuk buku-buku kumpulan cerpen yang terbit di Indonesia dewasa ini, misalnya, berdasarkan perhitungan kasar, sekitar 80 persen cerpen di dalamnya berasal dari  cerpen yang dimuat di koran. Hanya sekitar 20 persen yang pernah dimuat di majalah (termasuk Horison dan Annida) dan sedikit cerpen yang belum pernah dipublikasikan.14 Bahkan banyak buku kumpulan cerpen yang 100 persen cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran.15 Sementara, untuk buku-buku kumpulan puisi penyair ternama, rata-rata sekitar 60 persen pernah dimuat di surat kabar. 
Pertanyaannya, apakah dominannya ‘sastra koran’ dalam pertumbuhan sastra Indonesia itu telah melahirkan sebuah genre tersendiri, dengan ciri-ciri yang khas yang berbeda dengan sastra majalah dan sastra buku, sehingga pantas disebut ‘genre sastra koran’? Juga, apakah genre itu telah membangun kecenderungan besar dalam sastra Indonesia? Ataukah koran hanya  menjadi media perluasan sosialisasi karya, agar lebih cepat menjangkau publiknya, karena keterbatasan jangkauan media buku dan majalah?
Berdasarkan pengamatan yang cukup seksama, agak sulit untuk menyebut ‘sastra koran’ sebagai ‘genre’ tersendiri, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kesulitan ini terjadi karena beberapa faktor, sbb.
Pertama, ciri ‘sastra koran’ sangat beragam, tergantung segmen pembacanya, ‘ideologi’ media yang menjadi dasar filosofinya, serta selera dan visi estetik redakturnya. Untuk puisi, misalnya, sajak-sajak yang masuk ke Bentara Kompas, Republika  atau Media Indonesia (MI), misalnya, relatif berdeda dengan sajak-sajak yang masuk ke Koran mingguan seperti Simponi dan Swadesi. Kompas, Republika  dan MI menerapkan standar estetik relatif ketat, karena untuk kalangan pembaca yang berkelas. Sedangkan Simponi dan Swadesi relatif longgar, sehingga banyak puisi remaja, atau yang baru belajar menulis sajak, dapat dimuat, karena memang untuk segmen pembaca remaja. Begitu juga untuk cerpen.
Keberagaman juga dipengaruhi oleh ideologi media yang bersangkutan. Koran yang berediologi Islam seperti Republika, akan cenderung memilih karya-karya sastra yang Islami. Meskipun tetap dapat memuat karya-karya bertema humanisme-universal, tapi akan tegas menghindari karya-karya sastra masokis, serta sastra seksual yang vulgar dan serba terbuka, seperti misalnya cerpen-cerpen Hudan Hidayat, Djenar Maesa Ayu, dan sajak-sajak Binhad Nurrahmad. Meskipun, bisa saja karya-karya mereka masuk ke Koran yang lebih liberal, seperti Media Indonesia.16 Hal ini juga mempengaruhi pemilihan tema karya sastra yang dimuat. Begitu juga selera dan visi estetik redakturnya. Kompas, Suara Pembaruan dan Republika, misalnya, cenderung lebih menyukai cerpen-cerpen realistic. Sementara MI, cenderung ke cerpen-cerpen eksperimental.17
Kedua, ciri-ciri estetik maupun tematik ‘sastra koran’ relatif tidak dapat dibedakan dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Rata-rata cerpenis atau penyair, misalnya, cenderung tidak membedakan karyanya yang dikirim ke majalah sastra Horison, misalnya, dengan yang dikirim ke koran harian seperti Kompas, Suara Pembaruan, atau Tempo. Dan, karya-karya,  terutama cerpen, yang sudah dimuat di Koran dan majalah sastra itulah umumnya yang kemudian mereka terbitkan menjadi buku. Kalau mau dicari perbedaannya, barangkali, hanya terletak pada kepadatan dan kepanjangannya. Khusus untuk Republika, karena keterbatasan ruang, hanya dapat memuat cerpen sepanjang sekitar 8-9 ribu karakter. Sedangkan untuk majalah Horison bisa 14 ribu karakter. Tetapi, cerpen sepanjang sekitar 12 ribu karakter juga dapat muncul di Kompas dan Suara Pembaruan. Jadi, dari sisi inipun tidak ada perbedaan yang signifikan.  
Ketiga, belum tampak adanya semangat bersama dari para redaktur sastra koran  untuk menjadikan rubriknya sebagai ‘media sastra garda depan’ (avant gardei) guna membangun ciri estetik secara kuat dan konsisten agar menjadi mainstream baru sastra Indonesia. Barangkali, memang ada di antara redaktur sastra koran yang bervisi estetik seperti itu, tetapi karena kurang konsisten atau hanya berjuang sendiri, maka perjuangan estetiknya kurang berpengaruh luas pada perkembangan sastra Indonesia, dan karena itu tidak mampu membangun sastra koran menjadi genre sastra tersendiri.
Dan, keempat, rata-rata redaktur sastra koran, barangkali, memang sengaja bersikap moderat dan terbuka terhadap keberagaman (berbagai kemungkinan) estetik dan tematik karya-karya sastra yang dimuatnya. Dia tidak ingin memaksakan selera dan visi estetiknya sendiri terhadap karya-karya sastra yang dipilih untuk dimuatnya, dan sengaja membiarkan rubrik sastra yang dikelolanya sebagai semacam ‘taman bunga’ yang ditumbuhi aneka macam dan warna bunga yang berbeda-beda tapi sama-sama harum dan indahnya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka akan sulit untuk menarik garis tegas tentang ciri-ciri khas sastra koran untuk dapat disebut sebagai sebuah genre tersendiri, karena tidak ada ciri yang bersifat tetap, baik mengenai bentuk, teknik estetik, maupun isi (tematik), pada sastra koran, yang membedakannya dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kalaupun ada yang menyebut ‘kepadatan’ dan ‘kependekan’ sebagai ciri umum ‘sastra koran’ – pada cerpen maupun puisi – ciri yang hanya bersifat teknis ini kurang signifikan untuk menyebutnya sebagai genre tersendiri. Apalagi, kini cerpen maupun puisi yang dimuat Horison dan terkumpul dalam buku juga cenderung pendek-pendek, sehingga relatif tidak berbeda dengan puisi dan cerpen koran.

Penutup
Di atas telah diuraikan secara panjang lebar bahwa koran memiliki peran yang sangat besar dan sentral dalam ikut menumbuh-kembangkan sastra Indonesia. Tetapi, tidak ditemukan indikasi yang signifikan pada sastra koran untuk membangun ciri-ciri khas yang kuat agar sastra koran dapat disebut sebagai genre tersendiri.
Dengan kecenderungan seperti itu, di satu sisi, sastra koran kurang memiliki kekuatan untuk membangun mainstream estetik tertentu yang dominan dalam tradisi kreatif sastra Indonesia. Tetapi, di sisi lain, kecenderungan yang mengarah ke heterogenitas sastra itu justru menguntungkan, karena berbagai kemungkinan pencapaian estetik baru tetap akan terbuka dalam iklim kreatif sastra Indonesia. Kita tinggal memanfaatkan peluang estetik yang sangat terbuka itu, dan berharap akan berlahiran masterpiece-masterpiece baru sastra Indonesia.***  
                  Jakarta, 2004/2005

Daftar Rujukan:
1. Ayu, Djenar Maesa, Mereka Bilang Saya Monyet, kumpulan cerpen, Gramedia, Jakarta, 2002.
2. Darma, Budi, Prof., Dr., Kritik Cerpen: Seni, esei di Kompas edisi Minggu, 8 Juni 2003.
3. Effendi, Kurnia, Bercinta di Bawah Bulan, kumpulan cerpen, MataBaca, Jakarta, 2004.
4. Hasanuddin WS, Prof., Dr., Ensiklopedi Sastra Indonesi, Titian Ilmu, Bandung, 2004.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, Dari Rezim Sastra Koran ke Sastra Digital, dalam buku Panorama Sastra Nusantara, Taufiq Ismail dkk., ed., Balai Pustaka, Jakarta, 1997, halaman 375-392.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, Badai Laut Biru,  kumpulan  cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
8. Hidayat, Hudan, Keluarga Gila, kumpulan cerpen, CWI, Jakarta, 2004.
Sudjiman, Panuti, ed., Kamus Istilah Sastra, Gramedia, Jakarta, 1984.
9. Kelana, Irwan, Kelopak Mawar Terakhir, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
10. Sumardjo, Jakob, Drs., Segi Sosiologi Novel Indonesia, Pustaka Prima, Bandung, 1981.
11. Berbagai koran, majalah, dan tabloid terbitan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

------------- biografi -------------

AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak tahun 1979 banyak menulis cerpen, puisi dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi karya yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), Paradoks Kilas Balik (kumpulan cerpen, Radio Nederland, 1989), Pagelaran (kumpulan cerpen, Bentang, 1993), Lukisan Matahari (antologi cerpen, Bernas, 1993), Secreets Need Words (antologi puisi, Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (antologi puisi dunia, Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda).

Tahun 1992 ia memenangkan sayembara menulis cerpen (juara pertama) Suara Merdeka Awards, dan juara pertama lomba menulis puisi Islami Yayasan Iqra Jakarta. Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. Tahun 2003 ia menjadi pembicara dalam Temu Sastra Jakarta di TIM. Dan, tahun 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya.

Ahmadun juga sering diundang untuk menjadi panelis dalam berbagai diskusi dan seminar sastra lainnya di berbagai kota di Tanah Air. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),  Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004) dan The Worshipping Grass (puisi dwi-bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2004).

Selain menulis dan menjalani profesi sebagai wartawan, alumnus sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta ini juga aktif di berbagai organisasi. Antara lain, di HMI dan ICMI. Ia juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002), dewan pendiri Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) dan anggota Dewan Penasihat Forum Lingkar Pena (FLP). Sehari-hari kini ia redaktur sastra Harian Umum Republika. Karya-karya dan tentang dirinya, kini juga dapat ditemukan di www.poetry.com, www.google.com, www.yahoo.com, dan www.cybersastra.net.  Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Mobile: 081315382096. Email: ahmadun21@yahoo.com.*
Baca Lengkapnya....