Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

BULAN TERKAPAR DI TROTOAR

Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada wajah serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangkit. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan tubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tangannya ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. “Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku,” gumamnya.

Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tulang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung kirinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepalanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar kemana. “Seharusnya aku sudah mati…. Tuhan menyelamatkanku,” batinnya.

Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah larut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasana jalan di depan komplek gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ketika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekuatan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubuh remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa.

Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masih mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Sebab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi, karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapkan ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi. Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, bahkan terus menetes ke trotoar. “Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar,” pikirnya. “Ya Allah, kuatkanlah hamba...,” gumamnya.

Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Sudah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendiri. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib. Terlintsa dalam pikirannya, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambulan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka untuk siaga menolong para demonstran yang terluka?

“Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?” batinnya. “Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja dibaringkan di sini untuk dijemput nanti….

Tapi, kenapa sampai begini larut belum juga ada yang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang melihatku lagi, karena aku terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah kegelapan malam?”
                ***

Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berduka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan duka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang menyapanya ‘merdeka’, ia selalu menjawab, ‘belum!’

Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyatakan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehitaman, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hitam. “Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih adakah orang yang akan peduli padaku?” batinnya.

Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seorangpun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang melihat, menemukan, dan menolongnya.  Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kaki yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring. Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang komplek gedung bundar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satupun kendaraan yang lewat, karena diblokade tentara. “Mustahil kalau tidak ada seorangpun yang melihatku terbaring di sini,” pikirnya. “Jangan-jangan aku dianggap gelandangan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?”

Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki kepedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. “Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah menganggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir jalan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan ke truk sampah?”

Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. “Hidup ini keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri,” kata ayahnya, dua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.
                ***

Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk komplek gedung MPR yang dibuka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktifis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di teras gedung MPR.

Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk-spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata bulan berkunang-kunang, tak dapat menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu.

Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. Mungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik-rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera turun dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa merekapun melakukan aksi-aksi demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerakan reformasi.

Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 30 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas air mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru beneran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan.

Bersama para aktifis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan – untuk ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut meneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya jadi pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial. Setelah terjungkal karena hantaman ‘meriam air’, ia terinjak-injak tentara dan ratusan mahasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam “Allahu Akbar” sebelum berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya.

Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempuh lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, berderet melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbangan itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berteriak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia ingin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. ‘Kenapa perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banyak dosa dan kini sedang menuju neraka?’ pikirnya.

Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk meraih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, iapun menggeliat sekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus mencengkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan sekuat tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar halaman komplek gedung MPR.
***

Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar terasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. Angin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali gerimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerbang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel.
Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan menerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhannya. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatnya telah tiba, diapun akan mati juga. “Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku lakukan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan,” gumamnya.

Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unjuk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah dan ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hukum, tapi bersama peti mayat. “Ya Allah, hamba benar-benar belum siap menghadapMu. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu,” doa Bulan dalam hati.

Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. Ia ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki yang lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat lirih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah datangnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih menganggapnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarikan ke rumah sakit.

Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu. Lama sekali. Dan, sebelum ‘pasukan kuning’ itu datang, kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedetik kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bulan tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.***

Jakarta, 1999/2004
Baca Lengkapnya....

SONTOLOYO

    Warga Desa Blokomerto mendadak gempar. Lurah Sontoloyo yang mereka cintai tiba-tiba mengubah cara jalannya, mundur ke belakang. Beberapa warga desa sempat menjadi korban ulah Pak Lurah, tertabrak masuk selokan atau terjengkang di tengah jalan.

    Keluarga Pak Lurah sendiri tentu yang lebih dulu di buat geger. Begitu turun dari tempat tidur dia langsung menabrak Bu Lurah yang sedang membawa secangkir kopi panas ke kamarnya. Bu Lurah hampir terjengkang. Cangkir kopinya terlempar ke lantai tegel dan pecah berkeping-keping. Bu Lurah langsung memelototi suaminya sambil membungkuk mengusap-usap ujung kakinya yang tersiram kopi panas.

    “Bapak ini bagaimana toh? Kalau masih ngantuk mbok ya tidur lagi. Jangan berjalan sambil merem!”

    “Maaf, Bu. Tenanglah. Saya sedang nglakoni, menjalankan wangsit,” jawab Pak Lurah sambil membantu membersihkan kaki istrinya dari sisa-sisa tumpahan kopi.

    “Wangsit apa, Pak? Wangsit kok pakai nabrak-nabrak!”

    “Mulai hari ini saya harus berjalan mundur.”

    “Bapak ini aneh-aneh saja. Masak wangsit kok berjalan mundur.”

    “Sudahlah, Bu. Diam dulu. Nanti saya jelaskan.”

    Lurah Sontoloyo berjalan mundur lagi menuju kamar mandi. Akan tetapi, sial, begitu memasuki ruang makan tubuhnya yang gendut itu menabrak meja makan. Meja itu pun terguling bersama isinya.

    Mendengar suara “grompyang” di ruang makan, Bu Lurah langsung memburunya.

    “Bapaaak! Kau ini sebenarnya kenapa toh?”

    Pak Lurah tidak menjawab, melainkan berjalan mundur ke kamar mandi.

    Melihat ulah suaminya itu, lebih-lebih setelah menyadari bahwa hidangan pagi yang telah disiapkannya berantakan di lantai, Bu Lurah menjadi marah besar. Ia segera memburu suaminya ke kamar mandi. Akan tetapi, pintunya dikunci dari dalam.

    “Bapak ini maunya bagaimana toh?!” hardik Bu Lurah dari depan pintu kamar mandi. “Tadi menumpahkan kopi panas. Sekarang makanan di atas meja ditumpahkan semua! Apa Bapak tidak tahu, masaknya susah! Sejak pukul lima tadi ketika Bapak masih ngorok. Kita mau sarapan apa nanti? Nglakoni ya nglakoni, tetapi jangan ngawur begitu!”

    Bu Lurah terus mengomel. Pak Lurah yang tengah berada di dalam kamar mandi hanya diam saja. Yang terdengar hanya suara kentutnya, yang keras dan panjang. Berkali-kali pula.

    “Aduuuh, Bapak ini bagaimana toh. Dimarahi malah kentut! Dasar wong edan!”

    “Sudahlah, Bu. Nanti selesai mandi saya jelaskan.” Pak Lurah akhirnya bersuara juga, disusul suara kentut lagi, yang lebih keras dan panjang.

    “Wong edan!” Bu Lurah hanya bisa mengumpat lagi sambil meninggalkan kamar mandi.

    Saat-saat menegangkan terjadi lagi ketika Bu Lurah akan melepas suaminya berangkat ke Balai Desa. Ia menghendaki agar suaminya tidak melaksanakan wangsitnya itu di luar rumah, melainkan cukup di dalam rumah saja. Akan tetapi, menurut Lurah Sontoloyo, wangsit yang diterimanya mengharuskan ia melakoninya kapan saja dan di mana saja.

    “Kalau Bapak tetap nekad berjalan mundur ke kantor, Bapak bisa dikira gila, lho. Kita bisa malu, Pak!” ujar Bu Lurah sambil membersihkan sepatu suaminya.

    “Ini sudah menjadi risiko saya, Bu. Percayalah! Mereka nanti pasti akan paham.”

    “Pak, kalau nanti kita menjadi bahan tertawaan warga desa bagaimana? Apa kita tidak malu?”

    “Sudahlah. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Aku berangkat dulu.”

    Lurah Sontoloyo nekat juga berjalan mundur ke balai desanya yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Benar juga apa yang dikhawatirkan Bu Lurah. Dan, inilah yang menjadi awal sumber kegemparan warga desa Blokomerto. Baru berjalan kira-kira dua ratus meter dari rumahnya, Pak Lurah sudah menabrak sekelompok anak sekolah yang sedang berjalan di tepi selokan kampung itu. Pak Lurah bersama tiga korbannya terjengkang masuk selokan yang penuh air. Untung airnya bukan air comberan, melainkan air irigasi.

    Pak Lurah segera naik ke jalan, begitu juga tiga siswa  SMP yang tercebur tadi. Sementara itu, teman-temannya yang terhindar dari tabrakan konyol itu tertawa cekikikan.

    “Bapak ini bagaimana toh? Berjalan kok nabrak-nabrak?”

    “Maaf, Dik. Tidak sengaja.”

    “Lho, bukankah ini Pak Lurah, Pak Sontoloyo? Tadi melamun, ya, Pak?”

    Menyadari dirinya menjadi perhatian orang lewat, Lurah Sontoloyo buru-buru meninggalkan tempat itu sambil tetap berjalan mundur. Orang-orang yang melihatnya menjadi kaget.

    “Lho. Lho! Jalannya salah, Pak! Jangan mundur!” kata seorang siswa yang tadi tertabrak.

    “Sedang latihan olah raga jalan mundur kok, Dik,” sahut Pak Lurah sambil terus mundur makin cepat.

    “Wah, makanya tadi menabrak-nabrak. Benar-benar sontoloyo dia,” komentar anak-anak tadi.

    Kali ini Pak Lurah bernasib sial lagi. Baru berjalan kira-kira lima puluh meter dari tempat itu, dia menabrak penjual dawet yang sedang memikul dagangannya menuju kompleks SD Inpres di ujung jalan. Penjual dawet bersama Lurah Sontoloyo terjengkang ke belakang diikuti terbantingnya dua periuk tanah penuh dawet, satu kendi penuh gula jawa yang sudah dicairkan dan satu guci santan. Keduanya terkapar di atas adonan dawet yang tumpah ruah di atas jalanan berpasir.

    Orang-orang yang melihat adegan konyol itu tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga anak-anak sekolah yang tadi ditabraknya.

    “Dasar Sontoloyo!” umpat anak-anak itu.

    Bakul dawet bernama Samiun yang terkenal galak itu marah besar. Begitu bangkit dia langsung memaki-maki Pak Lurah.

    “Bajingan! Berjalan semaunya saja! Matanya ditaruh di mana?!”

    “Maaf, maaf, Pak Samiun. Saya tidak sengaja. Nanti saya ganti.”

    Namun, bakul dawet itu tanpa melihat siapa penabraknya langsung mengambil tangkai pikulan dan menghantamkannya ke tubuh Pak Lurah. Lurah yang pandai main silat itu tidak gampang digebuk. Ia berhasil menangkis serangan mendadak itu dan menangkap ujung pikulan tersebut.

    Tarik-menarik tangkai pikulan pun terjadi. Pak Lurah dan Pak Samiun sama-sama mengerahkan kekuatannya. Tanpa diduga, kaki kiri Pak Samiun menendang tepat mengenai burung Pak Lurah.

    “Aduh!”

    Pak Lurah mengaduh keras dan melepaskan ujung pikulan itu. Ia lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke burungnya.

    Melihat lawannya hampir KO, Pak Samiun menggebuk punggung Pak Lurah. Pak Lurah jatuh terjerembab ke atas tumpukan dawet. Untung dua anggota hansip segera datang melerai perkelahian yang cukup seru itu.

                             ***


    Peristiwa-peristiwa aneh akibat ulah Lurah Sontoloyo segera menyebar menjadi bahan pembicaraan yang cukup menggemparkan Desa Blokomerto. Banyak di antara mereka yang menganggap lurahnya telah gila akibat terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu kebatinan. Semakin banyak pula warga desa yang merasa cemas karena khawatir anak-anak kecil akan menjadi korban laku jalan mundur lurahnya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak menahan anak-anaknya tinggal di rumah. Desa Blokomerto menjadi sepi.

    Menyadari semakin meluasnya dampak buruk laku mundurnya, Lurah Sontoloyo segera mengumpulkan semua pamong desa dan pemuka masyarakat setempat untuk mengadakan rembug desa istimewa.

    “Saudara-saudara tidak perlu cemas terhadap laku jalan mundur yang saya jalani sejak Jumat kliwon lalu. Saudara-saudara seharusnya justru ikut melakukannya. Ini demi kemajuan desa kita,” tegas Pak Lurah setelah menceritakan panjang lebar latar belakang laku jalan mundurnya

    “Apakah Pak Lurah yakin dengan berjalan mundur kita semua akan bisa maju? Apakah tidak malah menimbulkan banyak kecelakaan dan kekonyolan seperti yang Bapak alami sendiri?” tanya Sekdesnya.

    “Itulah yang ingin saya yakinkan pada saudara-saudara, bahwa jalan mundur, menurut wangsit yang saya terima, merupakan satu-satunya cara untuk membuat desa kita menjadi maju. Saya yakin akan kebenaran wangsit itu karena saya terima setelah bertapa selama empat puluh hari di tepi Kali Progo,” jawab Pak Lurah.

    “Jangan-jangan Pak Lurah salah tafsir.”

    “Tidak. Saya yakin tidak keliru. Suara wangsit itu sangat jelas. Warga desa kita, Desa Blokomerto, sebenarnya memang dikodratkan menjadi masyarakat yang tidak cocok untuk berjalan maju. Jika kita tetap mempertahankan kebiasaan kita itu, kita akan tetap menjadi masyarakat yang terbelakang. Kita tidak akan pernah bisa maju. Karena itu, kita harus mengubah kebiasaan kita. Jika semula kita biasa berjalan maju ke depan, harus kita ganti dengan berjalan mundur ke belakang,” jelas Pak Lurah. “ Kita semua tahu, kejayaan bangsa kita telah terjadi di masa lalu pada saat nenek moyang kita berhasil membangun candi Borobudur dan Prambanan yang menakjubkan itu. Kita harus bisa menemukan kejayaan itu kembali, dan ini hanya bisa dicapai dengan berjalan mundur,” lanjutnya.

    Dalam rembuk desa istimewa itu akhirnya diputuskan bahwa seluruh warga Blokomerto diharuskan mengikuti laku jalan mundur lurahnya. Yang tidak mau mengikuti akan menerima sanksi, yaitu dikeluarkan dari desa.

    Tiga hari kemudian, persis pada malam Jumat Kliwon, Lurah Sontoloyo memimpin gerakan jalan mundur massal yang diikuti hampir seluruh warga desa. Seusai diadakan selamatan mereka berbaris rapi di depan balai desa, kemudian melakukan jalan mundur bersama. Mula-mula mereka berjalan keliling desa, kemudian melintas jauh ke luar desa. Mereka melintasi persawahan, ladang singkong, menyeberang sungai, naik-turun pebukitan, dan akhirnya sampai di kaki sebuah bangunan raksasa dari batu yang mereka kenal sebagai candi Borobudur.

    “Saudara-saudara, perjalanan kita berhasil. Kita telah menemukan tonggak kejayaan yang kita cari,” teriak Lurah Sontoloyo gembira. “Sekarang juga kita bangun gubuk-gubuk sementara di sini. Kita hidupkan kembali kejayaan masa lalu yang telah kita temukan ini!”

    Mereka pun segera bubar mencari kayu, kardus, plastik, daun kelapa dan apa saja yang dapat dipakai untuk membuat gubuk-gubuk sementara. Sebelum matahari terbit gubuk-gubuk mereka telah berdiri hampir di sekeliling candi. Bahkan, Lurah Sontoloyo nekat membuat gubuk dari potongan-potongan bambu dan kardus di kaki stupa puncak candi itu. Para wanita kemudian menyalakan api ditengah tungku yang mereka buat dari tumpukan batu untuk menyiapkan minuman dan sarapan.

    Hari pun merambat siang dan makin banyak turis asing yang mengunjungi candi. Gubuk-gubuk yang muncul mendadak itu menarik perhatian para wisman. Mereka memotreti gubuk-gubuk itu bersama para penghuninya.

    “Lihatlah saudara-saudara, usaha kita telah mulai menampakkan hasil. Kita menjadi pusat perhatian mereka. Orang-orang asing ini mengagumi kejayaan masa lampau yang telah kita temukan kembali,” kata Pak Lurah di tengah para warganya yang sedang menjadi tontonan para wisman.

    Nemun, tiba-tiba terdengar suara truk meraung-raung semakin keras. Sebuah truk besar penuh petugas tibum mendekati gubuk-gubuk mereka dikawal sebuah kijang polisi. Para tibum dan polisi itu segera berlonjatan turun dan mengepung Lurah Sontoloyo beserta warganya. Gubuk-gubuk mereka  dibongkar dan ditumpuk menjadi satu, kemudian dibakar habis. Lurah Sontoloyo bersama warganya ditangkap dan dimasukkan ke pusat penampungan gelandangan.

    Sebulan kemudian mereka dikirim ke daerah transmigrasi di pedalaman Irian Jaya karena desa mereka termasuk daerah calon genangan waduk raksasa yang akan segera dibangun oleh pemerintah. Beberapa hari kemudian terdengar kabar, Lurah Sontoloyo beserta 360 warganya melakukan gerakan jalan mundur dengan mengenakan koteka!


                                  Yogyakarta, September 1991


             * Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 6 Oktober 1991
Baca Lengkapnya....