Warga Desa Blokomerto mendadak gempar. Lurah Sontoloyo yang mereka cintai tiba-tiba mengubah cara jalannya, mundur ke belakang. Beberapa warga desa sempat menjadi korban ulah Pak Lurah, tertabrak masuk selokan atau terjengkang di tengah jalan.
Keluarga Pak Lurah sendiri tentu yang lebih dulu di buat geger. Begitu turun dari tempat tidur dia langsung menabrak Bu Lurah yang sedang membawa secangkir kopi panas ke kamarnya. Bu Lurah hampir terjengkang. Cangkir kopinya terlempar ke lantai tegel dan pecah berkeping-keping. Bu Lurah langsung memelototi suaminya sambil membungkuk mengusap-usap ujung kakinya yang tersiram kopi panas.
“Bapak ini bagaimana toh? Kalau masih ngantuk mbok ya tidur lagi. Jangan berjalan sambil merem!”
“Maaf, Bu. Tenanglah. Saya sedang nglakoni, menjalankan wangsit,” jawab Pak Lurah sambil membantu membersihkan kaki istrinya dari sisa-sisa tumpahan kopi.
“Wangsit apa, Pak? Wangsit kok pakai nabrak-nabrak!”
“Mulai hari ini saya harus berjalan mundur.”
“Bapak ini aneh-aneh saja. Masak wangsit kok berjalan mundur.”
“Sudahlah, Bu. Diam dulu. Nanti saya jelaskan.”
Lurah Sontoloyo berjalan mundur lagi menuju kamar mandi. Akan tetapi, sial, begitu memasuki ruang makan tubuhnya yang gendut itu menabrak meja makan. Meja itu pun terguling bersama isinya.
Mendengar suara “grompyang” di ruang makan, Bu Lurah langsung memburunya.
“Bapaaak! Kau ini sebenarnya kenapa toh?”
Pak Lurah tidak menjawab, melainkan berjalan mundur ke kamar mandi.
Melihat ulah suaminya itu, lebih-lebih setelah menyadari bahwa hidangan pagi yang telah disiapkannya berantakan di lantai, Bu Lurah menjadi marah besar. Ia segera memburu suaminya ke kamar mandi. Akan tetapi, pintunya dikunci dari dalam.
“Bapak ini maunya bagaimana toh?!” hardik Bu Lurah dari depan pintu kamar mandi. “Tadi menumpahkan kopi panas. Sekarang makanan di atas meja ditumpahkan semua! Apa Bapak tidak tahu, masaknya susah! Sejak pukul lima tadi ketika Bapak masih ngorok. Kita mau sarapan apa nanti? Nglakoni ya nglakoni, tetapi jangan ngawur begitu!”
Bu Lurah terus mengomel. Pak Lurah yang tengah berada di dalam kamar mandi hanya diam saja. Yang terdengar hanya suara kentutnya, yang keras dan panjang. Berkali-kali pula.
“Aduuuh, Bapak ini bagaimana toh. Dimarahi malah kentut! Dasar wong edan!”
“Sudahlah, Bu. Nanti selesai mandi saya jelaskan.” Pak Lurah akhirnya bersuara juga, disusul suara kentut lagi, yang lebih keras dan panjang.
“Wong edan!” Bu Lurah hanya bisa mengumpat lagi sambil meninggalkan kamar mandi.
Saat-saat menegangkan terjadi lagi ketika Bu Lurah akan melepas suaminya berangkat ke Balai Desa. Ia menghendaki agar suaminya tidak melaksanakan wangsitnya itu di luar rumah, melainkan cukup di dalam rumah saja. Akan tetapi, menurut Lurah Sontoloyo, wangsit yang diterimanya mengharuskan ia melakoninya kapan saja dan di mana saja.
“Kalau Bapak tetap nekad berjalan mundur ke kantor, Bapak bisa dikira gila, lho. Kita bisa malu, Pak!” ujar Bu Lurah sambil membersihkan sepatu suaminya.
“Ini sudah menjadi risiko saya, Bu. Percayalah! Mereka nanti pasti akan paham.”
“Pak, kalau nanti kita menjadi bahan tertawaan warga desa bagaimana? Apa kita tidak malu?”
“Sudahlah. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Aku berangkat dulu.”
Lurah Sontoloyo nekat juga berjalan mundur ke balai desanya yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Benar juga apa yang dikhawatirkan Bu Lurah. Dan, inilah yang menjadi awal sumber kegemparan warga desa Blokomerto. Baru berjalan kira-kira dua ratus meter dari rumahnya, Pak Lurah sudah menabrak sekelompok anak sekolah yang sedang berjalan di tepi selokan kampung itu. Pak Lurah bersama tiga korbannya terjengkang masuk selokan yang penuh air. Untung airnya bukan air comberan, melainkan air irigasi.
Pak Lurah segera naik ke jalan, begitu juga tiga siswa SMP yang tercebur tadi. Sementara itu, teman-temannya yang terhindar dari tabrakan konyol itu tertawa cekikikan.
“Bapak ini bagaimana toh? Berjalan kok nabrak-nabrak?”
“Maaf, Dik. Tidak sengaja.”
“Lho, bukankah ini Pak Lurah, Pak Sontoloyo? Tadi melamun, ya, Pak?”
Menyadari dirinya menjadi perhatian orang lewat, Lurah Sontoloyo buru-buru meninggalkan tempat itu sambil tetap berjalan mundur. Orang-orang yang melihatnya menjadi kaget.
“Lho. Lho! Jalannya salah, Pak! Jangan mundur!” kata seorang siswa yang tadi tertabrak.
“Sedang latihan olah raga jalan mundur kok, Dik,” sahut Pak Lurah sambil terus mundur makin cepat.
“Wah, makanya tadi menabrak-nabrak. Benar-benar sontoloyo dia,” komentar anak-anak tadi.
Kali ini Pak Lurah bernasib sial lagi. Baru berjalan kira-kira lima puluh meter dari tempat itu, dia menabrak penjual dawet yang sedang memikul dagangannya menuju kompleks SD Inpres di ujung jalan. Penjual dawet bersama Lurah Sontoloyo terjengkang ke belakang diikuti terbantingnya dua periuk tanah penuh dawet, satu kendi penuh gula jawa yang sudah dicairkan dan satu guci santan. Keduanya terkapar di atas adonan dawet yang tumpah ruah di atas jalanan berpasir.
Orang-orang yang melihat adegan konyol itu tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga anak-anak sekolah yang tadi ditabraknya.
“Dasar Sontoloyo!” umpat anak-anak itu.
Bakul dawet bernama Samiun yang terkenal galak itu marah besar. Begitu bangkit dia langsung memaki-maki Pak Lurah.
“Bajingan! Berjalan semaunya saja! Matanya ditaruh di mana?!”
“Maaf, maaf, Pak Samiun. Saya tidak sengaja. Nanti saya ganti.”
Namun, bakul dawet itu tanpa melihat siapa penabraknya langsung mengambil tangkai pikulan dan menghantamkannya ke tubuh Pak Lurah. Lurah yang pandai main silat itu tidak gampang digebuk. Ia berhasil menangkis serangan mendadak itu dan menangkap ujung pikulan tersebut.
Tarik-menarik tangkai pikulan pun terjadi. Pak Lurah dan Pak Samiun sama-sama mengerahkan kekuatannya. Tanpa diduga, kaki kiri Pak Samiun menendang tepat mengenai burung Pak Lurah.
“Aduh!”
Pak Lurah mengaduh keras dan melepaskan ujung pikulan itu. Ia lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke burungnya.
Melihat lawannya hampir KO, Pak Samiun menggebuk punggung Pak Lurah. Pak Lurah jatuh terjerembab ke atas tumpukan dawet. Untung dua anggota hansip segera datang melerai perkelahian yang cukup seru itu.
***
Peristiwa-peristiwa aneh akibat ulah Lurah Sontoloyo segera menyebar menjadi bahan pembicaraan yang cukup menggemparkan Desa Blokomerto. Banyak di antara mereka yang menganggap lurahnya telah gila akibat terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu kebatinan. Semakin banyak pula warga desa yang merasa cemas karena khawatir anak-anak kecil akan menjadi korban laku jalan mundur lurahnya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak menahan anak-anaknya tinggal di rumah. Desa Blokomerto menjadi sepi.
Menyadari semakin meluasnya dampak buruk laku mundurnya, Lurah Sontoloyo segera mengumpulkan semua pamong desa dan pemuka masyarakat setempat untuk mengadakan rembug desa istimewa.
“Saudara-saudara tidak perlu cemas terhadap laku jalan mundur yang saya jalani sejak Jumat kliwon lalu. Saudara-saudara seharusnya justru ikut melakukannya. Ini demi kemajuan desa kita,” tegas Pak Lurah setelah menceritakan panjang lebar latar belakang laku jalan mundurnya
“Apakah Pak Lurah yakin dengan berjalan mundur kita semua akan bisa maju? Apakah tidak malah menimbulkan banyak kecelakaan dan kekonyolan seperti yang Bapak alami sendiri?” tanya Sekdesnya.
“Itulah yang ingin saya yakinkan pada saudara-saudara, bahwa jalan mundur, menurut wangsit yang saya terima, merupakan satu-satunya cara untuk membuat desa kita menjadi maju. Saya yakin akan kebenaran wangsit itu karena saya terima setelah bertapa selama empat puluh hari di tepi Kali Progo,” jawab Pak Lurah.
“Jangan-jangan Pak Lurah salah tafsir.”
“Tidak. Saya yakin tidak keliru. Suara wangsit itu sangat jelas. Warga desa kita, Desa Blokomerto, sebenarnya memang dikodratkan menjadi masyarakat yang tidak cocok untuk berjalan maju. Jika kita tetap mempertahankan kebiasaan kita itu, kita akan tetap menjadi masyarakat yang terbelakang. Kita tidak akan pernah bisa maju. Karena itu, kita harus mengubah kebiasaan kita. Jika semula kita biasa berjalan maju ke depan, harus kita ganti dengan berjalan mundur ke belakang,” jelas Pak Lurah. “ Kita semua tahu, kejayaan bangsa kita telah terjadi di masa lalu pada saat nenek moyang kita berhasil membangun candi Borobudur dan Prambanan yang menakjubkan itu. Kita harus bisa menemukan kejayaan itu kembali, dan ini hanya bisa dicapai dengan berjalan mundur,” lanjutnya.
Dalam rembuk desa istimewa itu akhirnya diputuskan bahwa seluruh warga Blokomerto diharuskan mengikuti laku jalan mundur lurahnya. Yang tidak mau mengikuti akan menerima sanksi, yaitu dikeluarkan dari desa.
Tiga hari kemudian, persis pada malam Jumat Kliwon, Lurah Sontoloyo memimpin gerakan jalan mundur massal yang diikuti hampir seluruh warga desa. Seusai diadakan selamatan mereka berbaris rapi di depan balai desa, kemudian melakukan jalan mundur bersama. Mula-mula mereka berjalan keliling desa, kemudian melintas jauh ke luar desa. Mereka melintasi persawahan, ladang singkong, menyeberang sungai, naik-turun pebukitan, dan akhirnya sampai di kaki sebuah bangunan raksasa dari batu yang mereka kenal sebagai candi Borobudur.
“Saudara-saudara, perjalanan kita berhasil. Kita telah menemukan tonggak kejayaan yang kita cari,” teriak Lurah Sontoloyo gembira. “Sekarang juga kita bangun gubuk-gubuk sementara di sini. Kita hidupkan kembali kejayaan masa lalu yang telah kita temukan ini!”
Mereka pun segera bubar mencari kayu, kardus, plastik, daun kelapa dan apa saja yang dapat dipakai untuk membuat gubuk-gubuk sementara. Sebelum matahari terbit gubuk-gubuk mereka telah berdiri hampir di sekeliling candi. Bahkan, Lurah Sontoloyo nekat membuat gubuk dari potongan-potongan bambu dan kardus di kaki stupa puncak candi itu. Para wanita kemudian menyalakan api ditengah tungku yang mereka buat dari tumpukan batu untuk menyiapkan minuman dan sarapan.
Hari pun merambat siang dan makin banyak turis asing yang mengunjungi candi. Gubuk-gubuk yang muncul mendadak itu menarik perhatian para wisman. Mereka memotreti gubuk-gubuk itu bersama para penghuninya.
“Lihatlah saudara-saudara, usaha kita telah mulai menampakkan hasil. Kita menjadi pusat perhatian mereka. Orang-orang asing ini mengagumi kejayaan masa lampau yang telah kita temukan kembali,” kata Pak Lurah di tengah para warganya yang sedang menjadi tontonan para wisman.
Nemun, tiba-tiba terdengar suara truk meraung-raung semakin keras. Sebuah truk besar penuh petugas tibum mendekati gubuk-gubuk mereka dikawal sebuah kijang polisi. Para tibum dan polisi itu segera berlonjatan turun dan mengepung Lurah Sontoloyo beserta warganya. Gubuk-gubuk mereka dibongkar dan ditumpuk menjadi satu, kemudian dibakar habis. Lurah Sontoloyo bersama warganya ditangkap dan dimasukkan ke pusat penampungan gelandangan.
Sebulan kemudian mereka dikirim ke daerah transmigrasi di pedalaman Irian Jaya karena desa mereka termasuk daerah calon genangan waduk raksasa yang akan segera dibangun oleh pemerintah. Beberapa hari kemudian terdengar kabar, Lurah Sontoloyo beserta 360 warganya melakukan gerakan jalan mundur dengan mengenakan koteka!
Yogyakarta, September 1991
* Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 6 Oktober 1991
Keluarga Pak Lurah sendiri tentu yang lebih dulu di buat geger. Begitu turun dari tempat tidur dia langsung menabrak Bu Lurah yang sedang membawa secangkir kopi panas ke kamarnya. Bu Lurah hampir terjengkang. Cangkir kopinya terlempar ke lantai tegel dan pecah berkeping-keping. Bu Lurah langsung memelototi suaminya sambil membungkuk mengusap-usap ujung kakinya yang tersiram kopi panas.
“Bapak ini bagaimana toh? Kalau masih ngantuk mbok ya tidur lagi. Jangan berjalan sambil merem!”
“Maaf, Bu. Tenanglah. Saya sedang nglakoni, menjalankan wangsit,” jawab Pak Lurah sambil membantu membersihkan kaki istrinya dari sisa-sisa tumpahan kopi.
“Wangsit apa, Pak? Wangsit kok pakai nabrak-nabrak!”
“Mulai hari ini saya harus berjalan mundur.”
“Bapak ini aneh-aneh saja. Masak wangsit kok berjalan mundur.”
“Sudahlah, Bu. Diam dulu. Nanti saya jelaskan.”
Lurah Sontoloyo berjalan mundur lagi menuju kamar mandi. Akan tetapi, sial, begitu memasuki ruang makan tubuhnya yang gendut itu menabrak meja makan. Meja itu pun terguling bersama isinya.
Mendengar suara “grompyang” di ruang makan, Bu Lurah langsung memburunya.
“Bapaaak! Kau ini sebenarnya kenapa toh?”
Pak Lurah tidak menjawab, melainkan berjalan mundur ke kamar mandi.
Melihat ulah suaminya itu, lebih-lebih setelah menyadari bahwa hidangan pagi yang telah disiapkannya berantakan di lantai, Bu Lurah menjadi marah besar. Ia segera memburu suaminya ke kamar mandi. Akan tetapi, pintunya dikunci dari dalam.
“Bapak ini maunya bagaimana toh?!” hardik Bu Lurah dari depan pintu kamar mandi. “Tadi menumpahkan kopi panas. Sekarang makanan di atas meja ditumpahkan semua! Apa Bapak tidak tahu, masaknya susah! Sejak pukul lima tadi ketika Bapak masih ngorok. Kita mau sarapan apa nanti? Nglakoni ya nglakoni, tetapi jangan ngawur begitu!”
Bu Lurah terus mengomel. Pak Lurah yang tengah berada di dalam kamar mandi hanya diam saja. Yang terdengar hanya suara kentutnya, yang keras dan panjang. Berkali-kali pula.
“Aduuuh, Bapak ini bagaimana toh. Dimarahi malah kentut! Dasar wong edan!”
“Sudahlah, Bu. Nanti selesai mandi saya jelaskan.” Pak Lurah akhirnya bersuara juga, disusul suara kentut lagi, yang lebih keras dan panjang.
“Wong edan!” Bu Lurah hanya bisa mengumpat lagi sambil meninggalkan kamar mandi.
Saat-saat menegangkan terjadi lagi ketika Bu Lurah akan melepas suaminya berangkat ke Balai Desa. Ia menghendaki agar suaminya tidak melaksanakan wangsitnya itu di luar rumah, melainkan cukup di dalam rumah saja. Akan tetapi, menurut Lurah Sontoloyo, wangsit yang diterimanya mengharuskan ia melakoninya kapan saja dan di mana saja.
“Kalau Bapak tetap nekad berjalan mundur ke kantor, Bapak bisa dikira gila, lho. Kita bisa malu, Pak!” ujar Bu Lurah sambil membersihkan sepatu suaminya.
“Ini sudah menjadi risiko saya, Bu. Percayalah! Mereka nanti pasti akan paham.”
“Pak, kalau nanti kita menjadi bahan tertawaan warga desa bagaimana? Apa kita tidak malu?”
“Sudahlah. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Aku berangkat dulu.”
Lurah Sontoloyo nekat juga berjalan mundur ke balai desanya yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Benar juga apa yang dikhawatirkan Bu Lurah. Dan, inilah yang menjadi awal sumber kegemparan warga desa Blokomerto. Baru berjalan kira-kira dua ratus meter dari rumahnya, Pak Lurah sudah menabrak sekelompok anak sekolah yang sedang berjalan di tepi selokan kampung itu. Pak Lurah bersama tiga korbannya terjengkang masuk selokan yang penuh air. Untung airnya bukan air comberan, melainkan air irigasi.
Pak Lurah segera naik ke jalan, begitu juga tiga siswa SMP yang tercebur tadi. Sementara itu, teman-temannya yang terhindar dari tabrakan konyol itu tertawa cekikikan.
“Bapak ini bagaimana toh? Berjalan kok nabrak-nabrak?”
“Maaf, Dik. Tidak sengaja.”
“Lho, bukankah ini Pak Lurah, Pak Sontoloyo? Tadi melamun, ya, Pak?”
Menyadari dirinya menjadi perhatian orang lewat, Lurah Sontoloyo buru-buru meninggalkan tempat itu sambil tetap berjalan mundur. Orang-orang yang melihatnya menjadi kaget.
“Lho. Lho! Jalannya salah, Pak! Jangan mundur!” kata seorang siswa yang tadi tertabrak.
“Sedang latihan olah raga jalan mundur kok, Dik,” sahut Pak Lurah sambil terus mundur makin cepat.
“Wah, makanya tadi menabrak-nabrak. Benar-benar sontoloyo dia,” komentar anak-anak tadi.
Kali ini Pak Lurah bernasib sial lagi. Baru berjalan kira-kira lima puluh meter dari tempat itu, dia menabrak penjual dawet yang sedang memikul dagangannya menuju kompleks SD Inpres di ujung jalan. Penjual dawet bersama Lurah Sontoloyo terjengkang ke belakang diikuti terbantingnya dua periuk tanah penuh dawet, satu kendi penuh gula jawa yang sudah dicairkan dan satu guci santan. Keduanya terkapar di atas adonan dawet yang tumpah ruah di atas jalanan berpasir.
Orang-orang yang melihat adegan konyol itu tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga anak-anak sekolah yang tadi ditabraknya.
“Dasar Sontoloyo!” umpat anak-anak itu.
Bakul dawet bernama Samiun yang terkenal galak itu marah besar. Begitu bangkit dia langsung memaki-maki Pak Lurah.
“Bajingan! Berjalan semaunya saja! Matanya ditaruh di mana?!”
“Maaf, maaf, Pak Samiun. Saya tidak sengaja. Nanti saya ganti.”
Namun, bakul dawet itu tanpa melihat siapa penabraknya langsung mengambil tangkai pikulan dan menghantamkannya ke tubuh Pak Lurah. Lurah yang pandai main silat itu tidak gampang digebuk. Ia berhasil menangkis serangan mendadak itu dan menangkap ujung pikulan tersebut.
Tarik-menarik tangkai pikulan pun terjadi. Pak Lurah dan Pak Samiun sama-sama mengerahkan kekuatannya. Tanpa diduga, kaki kiri Pak Samiun menendang tepat mengenai burung Pak Lurah.
“Aduh!”
Pak Lurah mengaduh keras dan melepaskan ujung pikulan itu. Ia lalu menempelkan kedua telapak tangannya ke burungnya.
Melihat lawannya hampir KO, Pak Samiun menggebuk punggung Pak Lurah. Pak Lurah jatuh terjerembab ke atas tumpukan dawet. Untung dua anggota hansip segera datang melerai perkelahian yang cukup seru itu.
***
Peristiwa-peristiwa aneh akibat ulah Lurah Sontoloyo segera menyebar menjadi bahan pembicaraan yang cukup menggemparkan Desa Blokomerto. Banyak di antara mereka yang menganggap lurahnya telah gila akibat terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu kebatinan. Semakin banyak pula warga desa yang merasa cemas karena khawatir anak-anak kecil akan menjadi korban laku jalan mundur lurahnya. Oleh karena itu, mereka lebih banyak menahan anak-anaknya tinggal di rumah. Desa Blokomerto menjadi sepi.
Menyadari semakin meluasnya dampak buruk laku mundurnya, Lurah Sontoloyo segera mengumpulkan semua pamong desa dan pemuka masyarakat setempat untuk mengadakan rembug desa istimewa.
“Saudara-saudara tidak perlu cemas terhadap laku jalan mundur yang saya jalani sejak Jumat kliwon lalu. Saudara-saudara seharusnya justru ikut melakukannya. Ini demi kemajuan desa kita,” tegas Pak Lurah setelah menceritakan panjang lebar latar belakang laku jalan mundurnya
“Apakah Pak Lurah yakin dengan berjalan mundur kita semua akan bisa maju? Apakah tidak malah menimbulkan banyak kecelakaan dan kekonyolan seperti yang Bapak alami sendiri?” tanya Sekdesnya.
“Itulah yang ingin saya yakinkan pada saudara-saudara, bahwa jalan mundur, menurut wangsit yang saya terima, merupakan satu-satunya cara untuk membuat desa kita menjadi maju. Saya yakin akan kebenaran wangsit itu karena saya terima setelah bertapa selama empat puluh hari di tepi Kali Progo,” jawab Pak Lurah.
“Jangan-jangan Pak Lurah salah tafsir.”
“Tidak. Saya yakin tidak keliru. Suara wangsit itu sangat jelas. Warga desa kita, Desa Blokomerto, sebenarnya memang dikodratkan menjadi masyarakat yang tidak cocok untuk berjalan maju. Jika kita tetap mempertahankan kebiasaan kita itu, kita akan tetap menjadi masyarakat yang terbelakang. Kita tidak akan pernah bisa maju. Karena itu, kita harus mengubah kebiasaan kita. Jika semula kita biasa berjalan maju ke depan, harus kita ganti dengan berjalan mundur ke belakang,” jelas Pak Lurah. “ Kita semua tahu, kejayaan bangsa kita telah terjadi di masa lalu pada saat nenek moyang kita berhasil membangun candi Borobudur dan Prambanan yang menakjubkan itu. Kita harus bisa menemukan kejayaan itu kembali, dan ini hanya bisa dicapai dengan berjalan mundur,” lanjutnya.
Dalam rembuk desa istimewa itu akhirnya diputuskan bahwa seluruh warga Blokomerto diharuskan mengikuti laku jalan mundur lurahnya. Yang tidak mau mengikuti akan menerima sanksi, yaitu dikeluarkan dari desa.
Tiga hari kemudian, persis pada malam Jumat Kliwon, Lurah Sontoloyo memimpin gerakan jalan mundur massal yang diikuti hampir seluruh warga desa. Seusai diadakan selamatan mereka berbaris rapi di depan balai desa, kemudian melakukan jalan mundur bersama. Mula-mula mereka berjalan keliling desa, kemudian melintas jauh ke luar desa. Mereka melintasi persawahan, ladang singkong, menyeberang sungai, naik-turun pebukitan, dan akhirnya sampai di kaki sebuah bangunan raksasa dari batu yang mereka kenal sebagai candi Borobudur.
“Saudara-saudara, perjalanan kita berhasil. Kita telah menemukan tonggak kejayaan yang kita cari,” teriak Lurah Sontoloyo gembira. “Sekarang juga kita bangun gubuk-gubuk sementara di sini. Kita hidupkan kembali kejayaan masa lalu yang telah kita temukan ini!”
Mereka pun segera bubar mencari kayu, kardus, plastik, daun kelapa dan apa saja yang dapat dipakai untuk membuat gubuk-gubuk sementara. Sebelum matahari terbit gubuk-gubuk mereka telah berdiri hampir di sekeliling candi. Bahkan, Lurah Sontoloyo nekat membuat gubuk dari potongan-potongan bambu dan kardus di kaki stupa puncak candi itu. Para wanita kemudian menyalakan api ditengah tungku yang mereka buat dari tumpukan batu untuk menyiapkan minuman dan sarapan.
Hari pun merambat siang dan makin banyak turis asing yang mengunjungi candi. Gubuk-gubuk yang muncul mendadak itu menarik perhatian para wisman. Mereka memotreti gubuk-gubuk itu bersama para penghuninya.
“Lihatlah saudara-saudara, usaha kita telah mulai menampakkan hasil. Kita menjadi pusat perhatian mereka. Orang-orang asing ini mengagumi kejayaan masa lampau yang telah kita temukan kembali,” kata Pak Lurah di tengah para warganya yang sedang menjadi tontonan para wisman.
Nemun, tiba-tiba terdengar suara truk meraung-raung semakin keras. Sebuah truk besar penuh petugas tibum mendekati gubuk-gubuk mereka dikawal sebuah kijang polisi. Para tibum dan polisi itu segera berlonjatan turun dan mengepung Lurah Sontoloyo beserta warganya. Gubuk-gubuk mereka dibongkar dan ditumpuk menjadi satu, kemudian dibakar habis. Lurah Sontoloyo bersama warganya ditangkap dan dimasukkan ke pusat penampungan gelandangan.
Sebulan kemudian mereka dikirim ke daerah transmigrasi di pedalaman Irian Jaya karena desa mereka termasuk daerah calon genangan waduk raksasa yang akan segera dibangun oleh pemerintah. Beberapa hari kemudian terdengar kabar, Lurah Sontoloyo beserta 360 warganya melakukan gerakan jalan mundur dengan mengenakan koteka!
Yogyakarta, September 1991
* Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 6 Oktober 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar