Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan

LEK WAR

Semua warga kampungku yakin, lelaki bujang berusia 30 tahun itu buta. Matanya memang terbuka. Setiap orang yang menatapnya pasti hanya akan menangkap bulatan berselaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Namun, lelaki yang biasa dipanggil Lek War itu tidak pernah sedetikpun merasa buta. Dalam dirinya ada suatu keyakinan bahwa dunia ini memang gelap dan serba hitam.
    Ia sudah amat sering mendengar cerita ataupun penjelasan dari ayah-ibunya, saudara-saudara, dan para tetangganya tentang wajah dunia yang sebenarnya: tentang matahari yang bagai pijar panas menyilaukan, tentang laut dan langit yang berwarna kebiruan, tentang pohon-pohonan yang berdaun hijau, tentang kulitnya yang coklat kehitaman, tentang kucingnya yang berkaki empat dan berbulu putih kecoklat-coklatan, dan tentang apa saja yang ada disekelilingnya.
    Tapi, Lek War sama sekali tidak percaya itu semua. Ia menganggap semua itu hanyalah bayangan-bayangan mereka saja. Sama seperti ketika dia membayangkan nasi hangat yang dimakannya setiap hari berwarna merah kekuning-kuningan, telapak tangannya biru kehijau-hijauan, atau air kamar mandinya berwarna merah kecoklatan. Ia amat yakin yang ada hanyalah kegelapan. Dalam kegelapan itulah dia menganggap setiap orang bebas membayangkan bentuk dan warna apa saja tentang benda-benda yang dikenalnya sesuka hatinya. Orang bebas membayangkan telapak tangannya berwarna merah atau hijau, kakinya coklat atau biru, dan kepalanya hitam atau putih.
    Dengan keyakinan pada kemampuan penglihatannya itu Lek War merasa bisa bebas bergerak ke manapun tanpa bantuan orang lain. Ia juga sangat yakin mengenal bentuk setiap margasatwa dan liku-liku lingkungan di sekelilingnya melalui rabaan tangannya. Dengan keyakinan dan cara itulah dengan sangat cepat dia bisa mengenal keadaan dan hampir semua benda di rumahnya, bahkan situasi di sekitar rumahnya. Kemampuan ini membuatnya semakin yakin bahwa dirinya memang benar-benar tidak buta. Oleh karena itu, tiap pergi ke mana pun dia tidak mau dibimbing oleh siapa pun.
    "Anwar, kau harus diantar adikmu agar tidak tersesat, agar tidak menabrak-nabrak," kata ibunya ketika Lek War pamit untuk pergi ke masjid yang terletak sekitar dua ratus meter di seberang kampungnya.
    "Tidak usah, Bu. Aku sudah sering ke sana. Aku bisa berjalan sendiri," jawab Lek War yakin.
    "Lho, kamu ini buta, Anwar. Banyak parit dan selokan yang harus kamu lewati. Kalau kamu kecebur selokan, bagaimana?"
    "Ibu ini bagaimana? Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku ini tidak buta. Aku seperti ibu dan adik-adik. Aku bisa melihat masjid itu. Bisa melihat selokan. Bisa melihat semuanya. Sudahlah! Ibu jangan terlalu khawatir. Aku bukan anak kecil lagi!"
    "Ya sudah kalau tidak mau diantar. Tetapi pakailah tongkat ini untuk membantu perjalananmu agar tidak kecemplung selokan."
    "Wah, apalagi pakai tongkat, Bu. Aku malu. Apa memangnya aku sudah kakek-kakek, harus pakai tongkat segala. Aku kan masih muda. Lihat ini, aku belum bungkuk. Aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan dengan tegap," jawab lelaki buta itu sambil menegakkan tubuhnya. "Tongkatnya saya kempit saja, Bu," kata Lek War akhirnya setelah sang ibu berhasil memaksanya agar dia selalu membawa tongkat kayu bulat itu.
    Dengan langkah tegap sambil mengempit tongkat, Lek War pun berangkat menuju masjid di seberang kampung. Anak-anak kecil yang melihat segera menguntit dan menggodanya. Mereka tahu persis bahwa lelaki yang biasa mereka panggil Lek War itu paling marah kalau dikatakan atau disindir bahwa dirinya buta. Namun, mereka justru senang memancing kemarahan lelaki itu.
    "Lek War, sore-sore begini mau ke mana?" tanya seorang anak.
    "Saya tuntun ya, Lek War," kata yang lain sambil menggandeng pergelangan tangan lelaki itu.
    "Apa? Dituntun? Memangnya saya tidak bisa jalan sendiri! Memangnya saya ini buta!" jawab Lek War agak marah sambil melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman anak itu.
    "Banyak selokan lho, Lek War. Nanti kalau kecebur bagaimana?" anak itu menggoda lagi.
    "Apa? Kecebur selokan? Memangnya saya ini tidak bisa melihat selokan?"
    "Lho, Lek War sudah melihat selokan, ya? Selokan itu apa toh, Lek?"
    "Selokan itu kan tanah yang banyak rumputnya, toh?"
    "Wah, Lek War ngawur. Selokan itu yang banyak airnya, bukan banyak rumputnya."
    "Lha iya. Maksudku tadi ya banyak airnya. Tapi, kan banyak rumputnya juga toh?"
    "Benar juga, Lek. Di tepi selokan memang banyak rumputnya. Lek War ternyata pintar juga."
    "Memangnya kalian saja yang pintar. Sudah sana, kalian pulang saja. Jangan mengikuti aku terus. Nanti bisa-bisa aku dikira tukang topeng monyet! Kalau ada yang nanggap, apa kalian mau jadi monyetnya?!"
    “Wah, Lek War ngeledek. Masak kita disuruh jadi monyet!” sahut anak-anak.
    “Lho, jadi monyet kan enak, ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas!” timpal Lek War lagi.
    “Ngawur, Lek War! Masak, monyet ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas pula. Memangnya Lek War pernah melihat monyet?”
     “Sering! Aku sering melihat monyet pakai dasi dan jas kok!’’
     “Seperti apa?”
     “Ya kira-kira seperti kamulah!”
     “Lek War ngawur! Yang ke mana-mana naik mobil mewah, dan selalu pakai jas dan dasi itu konglomerat! Bukan monyet!’’
     “Jadi, monyet itu beda ya dengan konglomerat?”
     “Beda, Lek!”
     “Tapi, sama-sama suka merebut makanan orang lain, kan?”
     “Yang suka merebut makanan orang itu monyet, bukan konglomerat!”
     “La iya, sama, kan!”
     “Dasar…!”
     Sambil asyik berdebat dengan anak-anak, Lek War terus berjalan dengan langkah mantap lurus ke arah barat. Namun, baru berjalan sekitar lima puluh meter dia tercebur masuk selokan yang cukup dalam dan penuh air. Rupanya dia lupa bahwa jalan itu berbelok dan di tepinya ada selokan yang cukup lebar dan dalam.
    Kurang ajarnya, anak-anak tidak memperingatkan Lek War tentang adanya selokan itu. Mereka malah tertawa ngakak melihat Lek War terjerembab. Mereka segera mendekatinya untuk memberikan pertolongan sambil melihat reaksi lelaki itu. Tapi, dengan kepercayaan penuh pada kemampuannya sendiri, Lek War buru-buru bangkit dengan seluruh tubuh basah kuyup.
    "Lha, itu namanya selokan, Lek War," goda anak-anak.
    "Lha iya. Siapa bilang ini lapangan bola? Benar, kan, banyak airnya?"
    "Benar, Lek! Tetapi kenapa Lek War masuk selokan? Nggak melihat ya, Lek?"
    "Wah, kalian ini kok tidak tanggap. Saya kan memang mau mengukur dalamnya selokan ini dengan tongkat saya. Ternyata cukup dalam, ya? Lihat ini tongkat saya basah sampai ke pangkalnya. Tubuh saya juga ikut basah."
    "Wah, Lek War ini bagaimana toh? Sudah jelas-jelas kecebur selokan masih mungkir juga. Makanya, kalau dituntun jangan menolak!"
    "Kalian kok tidak percaya toh? Saya ini tidak kecemplung, tetapi memang sengaja menceburkan diri untuk menjajaki kedalaman selokan ini. Anak kecil jangan suka ngeyel toh!"
    Lelaki buta itu kemudian mencoba naik kembali ke jalan. Anak-anak itu membantunya dengan menarik tangan Lek War. Kali ini dia tidak menolak bantuan tersebut. Anak-anak juga membantu mengambilkan sandal jepitnya dan memasangkan di kakinya. Ia mulai tampak menggigil kedinginan karena hampir seluruh tubuhnya basah kuyup. Untung selokan itu tidak berisi air comberan, melainkan air irigasi untuk mengairi puluhan petak sawah di sebelah selatan kampungnya.
    "Pulang saja dulu, Lek War. Ganti pakaian dulu, nanti masuk angin," saran anak-anak itu.
    Kali ini Lek War menurutinya. Ia berjalan pulang ke rumahnya, tetap tidak mau dituntun. Bahkan, ditemani jalanpun ia tidak mau. Ia melangkah tegap dan mantap sendirian sambil mengempit tongkatnya seperti seorang pejabat militer yang sedang menginspeksi pasukan.
  Beberapa saat kemudian anak-anak menyadari bahaya baru mengancam Lek War. Arah jalannya tidak lurus ke rumahnya lagi, tetapi melenceng beberapa derajat ke kiri.
    "Lek War, awaaas! Menabrak pohon!" teriak anak-anak itu.
    Terlambat. Lelaki itu benar-benar manabrak pohon asam besar di tepi jalan. Ia terjatuh ke sisi pohon. Cepat-cepat ia berdiri dan merangkul pohon tersebut, bahkan kemudian memeluk pohon itu dengan kedua tangannya. Anak-anak kampung yang melihatnya tertawa dan segera merubungnya.
    "Lek War gimana toh? Wong jalan kok nabrak pohon?" goda anak-anak itu.
    "Nabrak dengkulmu! Aku hanya mau mengukur besarnya pohon ini dengan tanganku. Kalian tidak tahu ya. Pohon ini dulu yang menanam aku bersama bapakku, ketika aku masih kecil. Aku ingin tahu sekarang besarnya sudah seberapa."
    Sambil menutup keningnya yang sedikit terluka dan benjol akibat benturan itu dengan telapak tangan kirinya, Lek War berjalan lagi ke arah rumahnya. Anak-anak kampung mengikuti di belakangnya. Kali ini Lek War membisu saja, hanya sesekali tampak meringis kesakitan sambil memijit-mijit keningnya.
                             ***
    Semakin sering Lek War pergi ke luar rumah semakin sering dia mengalami kecelakaan yang menyedihkan sekaligus menggelikan. Hampir tiap hari ada-ada saja tragedi kecil yang menimpanya: tercebur selokan, tercebur ke sawah penuh lumpur, menabrak orang lewat, menabrak pagar, menabrak pohon, menabrak tiang listrik, menabrak orang yang sedang jongkok buang air besar di tepi selokan, tertabrak sepeda, terpeleset kulit pisang, digigit kucing karena menginjak ekornya, dan bahkan pernah menabrak penjual es dawet sampai dagangannya tumpah ruah di jalan.
    Namun, Lek War tidak kapok untuk tetap keluyuran kemana-mana dan tetap ngotot untuk berjalan sendiri dengan langkah tegap sambil mengempit tongkatnya. Hingga pada suatu hari warga sekampungnya geger karena tiba-tiba lelaki buta itu lenyap dari peredaran. Mula-mula ibunya yang dibuat kaget. Ketika terbangun pada dinihari dia sudah tidak melihat Lek War di tempat tidurnya, di ruang tengah rumah. Padahal, biasanya dia masih meringkuk di sana dan baru bangun sekitar pukul setengah lima pagi untuk mengumandangkan azan subuh di musala depan rumahnya.
    Bukan kebiasaan Lek War untuk keluyuran pada malam hari dan dinihari. Aktivitasnya di luar rumah selalu dimulai pada waktu subuh dengan menjadi muazin di musala kecil itu. Oleh karena itu, Mbok Partinah -- wanita kurus tua yang melahirkan Lek War --merasa terkejut dan agak cemas. Apalagi malam itu hujan deras. Ia segera mencarinya di kamar mandi, di WC, di dapur, di kolong tempat tidur, dan di lumbung padi. Siapa tahu dia ngelindur dan tersesat ke lumbung, pikirnya. Mbok Parti juga mencarinya di musala, gardu ronda, dan semua tempat yang biasa dipakai untuk nongkrong anaknya. Akan tetapi, ia tidak menemukan anaknya yang buta itu.
    Dengan tergopoh-gopoh wanita tua itu kembali ke gardu ronda dan membunyikan kentongan yang tergantung di terasnya keras-keras sambil berteriak "Tolong! Tolooong! Anakku hilang! Anakku hilaaang!"
    Beberapa saat kemudian orang kampung berbondong-bondong ke gardu ronda. Mereka mengerumuni Mbok Parti yang masih terus memukul kentongan keras-keras sambil berteriak-teriak histeris.
    "Ayo kita cari Lek War!" teriak seorang pemuda tiba-tiba di tengah kerumunan itu.
   “Ayo kita cariii!”
   Seperti dikomando, orang-orang kampung pun segera berpencar mencari Lek War. Mereka melacak lelaki buta itu ke seluruh sudut kampung. Bahkan, ke kuburan, selokan-selokan, sawah-sawah, dan sepanjang tanggul sungai yang sedang banjir.
    "Saya menemukan sandal di tepi kali! Jangan-jangan ini sandal Lek War! Jangan-jangan Lek War tenggelam di kali dan terseret banjir!" teriak seseorang tiba-tiba sambil menenteng sebuah sandal jepit yang putus talinya dan berjalan buru-buru ke arah beberapa orang yang masih mengerumuni Mbok Parti di gardu ronda. Begitu sampai dia langsung memperlihatkan sandal jepit itu pada Mbok Parti.
    "Ya, ini sandal anak saya," sahut wanita tua itu dengan nada sangat terkejut. "Anwar pasti hanyut di kali!"
    "Lek War hanyut di kali!" teriak yang lain ikut terkejut.
    "Tolong! Tolong! Anakku hanyut di kali! Tolooong! Tolooong!" teriak wanita itu lebih histeris sambil bangkit dan memukul kentongan lebih keras lagi.
    Orang-orang segera berbondong-bondong menuju tanggul sungai yang melintas di sebelah utara kampung itu. Kemudian, dengan bantuan petromaks, lampu senter, dan obor, mereka menyusur kali mencari Lek War. Beberapa orang yang pandai berenang langsung melepas pakaian dan mencebur ke kali. Dengan bantuan tali mereka menyelam ke dasar kali di sekitar tempat ditemukannya sandal jepit Lek War.
    Sampai matahari terbit, pencarian terhadap Lek War terus dilakukan. Beberapa polisi setempat juga sudah datang untuk ikut membantu pencarian. Bahkan, satu regu SAR Brimob dari kota juga ikut sibuk menyusur kali dengan perahu karet, tali panjang, dan peralatan selam. Seakan-akan pagi itu semua orang mencurahkan seluruh perhatian, daya, dan tenaganya untuk mencari Lek War. Hampir sepanjang tanggul sungai itu dipenuhi manusia. Semuanya mencemaskan nasib Lek War.
    Di puncak kecemasan Mbok Parti, ketika orang-orang mulai kelelahan mencari Lek War dan air banjir di kali itu sudah agak surut, tiba-tiba bayangan Lek War muncul di ujung jalan bagian timur kampung.
    "Itu Lek War!" teriak seseorang.
    "Itu Lek War!" teriak yang lain.
    ”Ya, itu Lek War!”
    Orang-orang pun berbondong-bondong ke arah Lek War yang sedang berjalan tegap dan mantap lurus ke rumahnya sambil mengempit tongkatnya, layaknya seorang komandan yang baru kembali dari medan perang yang dimenangkannya. Orang-orang langsung mengerumuninya.
    "Dari mana, Lek War?!" tanya orang-orang bagaikan koor.
    "Nonton wayang," jawab lelaki buta itu sambil nyengir dan terus berjalan tegap menuju rumahnya, tanpa mempedulikan orang-orang kampung yang mencemaskannya.
    Malam itu memang ada pergelaran wayang kulit semalam suntuk di kampung seberang, sekitar satu kilometer dari rumah Lek War.
    "Wong edan!" gerutu orang-orang kampung sambil ngeloyor pulang ke rumah masing-masing. Kali ini mereka merasa 'dikerjai' oleh lelaki buta itu.

Yogyakarta, 1992           

* Cerpen ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 10 Oktober 1992.
Baca Lengkapnya....

MATI TERTAWA

Lurah KRT Durna Diningrat merencanakan sesuatu yang aneh. Ia akan melarang warganya tertawa. Semua tontonan di desa yang bisa membuat para penontonnya tertawa pun akan dilarang. Ia akan membersihkan desanya dari lelucon-lelucon macam apa pun. Pokoknya, dia menginginkan desanya, Desa Konglorejo, bersih dari suara tawa yang dianggapnya mulai berbau subversif. Sekdes Raden Sastropetruk sangat terkejut ketika diminta lurahnya agar membuatkan eska larangan tertawa itu.
    Sastropetruk termenung sesaat sambil memandangi tubuh lurahnya yang sedang berjalan lamban meninggalkannya seperti seekor kerbau kekenyangan. Ia pandangi pantat lurahnya yang tepos dan pinggangnya yang hilang ditelan lemak perutnya yang gendut. Ia kemudian menatap secarik kertas di tangannya yang berisi perintah tertulis dengan tulisan tangan agar secepatnya membuatkan eska itu. Ia segera menyadari bahwa eska itu sangat penting dan mendesak, juga mengandung pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pribadi, sehingga lurahnya memerlukan datang sendiri padanya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak paham, mengapa tiba-tiba lurahnya akan melarang warganya tertawa.
    “Maaf, Pak Lurah, saya belum berhasil merumuskan alasan yang tepat mengapa tertawa dilarang dan dianggap subversif,” kata Sastropetruk keesokan harinya ketika menghadap.
    “Kamu ini bagaimana? Begitu saja tidak bisa!”
    “Masalahnya bukan hanya soal bisa atau tidak bisa, Pak! Tetapi, kita kan perlu memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada warga desa kita agar mereka benar-benar paham kenapa tertawa dilarang dan dianggap subversif!”
    Sastropetruk menanggapi lurahnya dengan nada tinggi dan agak emosional. Tampaknya, tanpa disadarinya, kedongkolannya pada lurahnya yang sudah lama berdenyut-denyut di dalam dadanya meledak saat itu. Semalaman dia memang tidak bisa tidur. Kepalanya pusing mencari rumusan tentang hubungan antara tertawa dan subversif. Stabilitas emosinya menjadi terganggu.
    “Coba jelaskan dulu, Pak, tertawa subversif itu yang bagaimana?”
    Lurah Durna tidak menjawab. Akan tetapi, tiba-tiba dia meringis kesakitan sambil mendekap rahang kanan dan kirinya dengan kedua telapak tangannya. Sastropetruk menjadi ingat bahwa lurahnya sangat alergi pada suara keras, suara orang marah, bentakan dan tawa yang terlalu keras. Penyakit gigi dan darah tingginya bisa kambuh seketika karena itu. Ia teringat peristiwa yang terjadi di balai desa dua minggu yang lalu ketika diadakan festifal dagelan se-pedesaan. Ada satu kelompok peserta yang kelucuannya benar-benar luar biasa, sehingga seluruh penonton tertawa terbahak-bahak sampai menggetarkan daun-daun pintu dan jendela-jendela balai desa. Ketika itulah, tiba-tiba lurah Durna berdiri sambil mengaduh keras dan mendekap rahangnya, lalu sempoyongan dan jatuh terkapar di tengah-tengah penonton.
    Sastropetruk segara menduga, barangkali karena peristiwa itulah lurahnya bermaksud melarang warganya tertawa. Akan tetapi, dia menjadi ngeri membayangkan, bagaimana kalau penyakit lurahnya semakin parah dan alergi terhadap suara apa pun. Ia tidak tahu apakah warganya juga akan dilarang mengeluarkan suara apa pun, termasuk menyanyi, bersiul, batuk-batuk dan berbicara. Bagaimana jadinya suasana desanya nanti. Desa yang semula penuh senyum dan tawa, penuh tegur sapa keramahan, tiba-tiba sunyi dan berubah menjadi desa yang penuh dengan orang-orang gagu.
    Sastropetruk keluar dari ruang kerja lurah, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Selama hampir satu jam dia merenung, tetapi tetap tidak sanggup membuat konsep eska larangan tertawa itu. Ia tidak berhasil merumuskan alasan yang masuk akal, yang menurut perhitungannya bisa diterima oleh warganya. Kepalanya malah pusing tujuh keliling. Akhirnya, dia pulang sebelum jam kerja habis, tanpa pamit pada lurahnya. Sampai di rumah dia langsung mengurung diri di dalam kamar. Esok harinya dia bolos tidak masuk kantor. Begitu juga esoknya, dan esoknya, sampai seminggu lebih.
    Sastropetruk kemudian merasa benar-benar terkejut. Ternyata eska larangan tertawa telah beredar. Eska itu telah dikirimkan ke setiap ketua erte di Desa Konglorejo. Banyak warganya yang mulai ribut, mengganggap larangan tertawa itu tidak masuk akal. Beberapa warga datang ke rumah Sastropetruk menanyakan kejelasan  eska larangan tertawa itu. Sastropetruk sangat terkejut melihat tanda tangannya telah dipalsukan pada eska itu. Tanda tangannya tertera jelas di kanan bawah eska itu. Padahal dia tidak pernah membuat dan menandatangani eska semacam itu.
    Ia buru-buru datang ke rumah ketua erte untuk mencegah agar eska itu tidak diumumkan dulu pada warga. Dia bermaksud melacak dulu siapa yang telah memalsukan tanda tangannya. Akan tetapi terlambat, ketua ertenya sudah terlanjur mengumpulkan warganya dan mengumumkan isi eska itu. Bahkan setiap kepala keluarga telah membawa pulang satu lembar fotokopi eska larangan tertawa itu. Sastropetruk buru-buru ke kantor kelurahan dan langsung menghadap lurahnya.
    “Pak Lurah ini bagaimana? Mengapa tanda tangan saya dipalsukan?”
    “Saya keburu pusing menunggumu. Disuruh membuat eska malah menghilang. Tidak ada jalan lain, saya suruh Kaur Kesra membuat dan memalsukan tanda tanganmu.”
    “Tetapi, mengapa tidak Bapak tanda tangani sendiri?”
    “Sejak semula sudah kukatakan, konsep eska pelarangan dan penjelasannya merupakan tanggung jawabmu, tetapi kau malah menghilang. Sudahlah. Relakan saja tanda tangan palsumu itu.”
    “Tetapi, bagaimana saya harus menjelaskan pada warga jika mereka bertanya tentang alasan larangan tertawa itu? Saya belum menemukan alasan paling pas. Saya khawatir, mereka akan bereaksi di luar perhitungan kita.”
    “Dikarang sajalah. Cari alasan yang kira-kira pas. Asal penyakit gigiku jangan dibawa-bawa.”
                ***   

     Benar juga dugaan Sastropetruk. Eska larangan tertawa itu cukup mengganggu stabilitas warga Konglorejo. Keresahan mulai muncul di mana-mana. Eska baru itu menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, dari atas tempat-tempat tidur sampai tempat-tempat kerja, dari warung-warung kaki lima sampai restoran-restoran kelas menengah, dari ranjang pelacur pinggir jalan sampai ranjang wanita panggilan. Para seniman segara mengadakan pertemuan khusus, sementara para gali, pencopet, pelajar dan mahasiswa segara melakukan unjuk rasa. Mereka berkumpul di depan kantor kelurahan.
    Selama hampir tiga jam para pengunjuk rasa itu dibiarkan duduk di atas rumput halaman depan gedung tua kantor kelurahan itu. Merasa tidak ditanggapi, emosi anak-anak muda pengunjuk rasa itu meluap. Seperti dikomando, tiba-tiba secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak sekeras-kerasnya. Tiba-tiba pula seseorang melemparkan batu ke kaca jendela kantor itu, “Pyarr!” kaca itu pun pecah berantakan. Seperti terpancing yang lain meledakkan kejengkelannya. Batu-batu, sandal, sepatu, botol minuman, dan apa saja yang ada di sekitar mereka tiba-tiba berhamburan menghantam kaca jendela serta pintu kantor tua itu.
   Lurah Durna, Sekdes Sastropetruk, dan semua aparat kelurahan itu segera berlindung di balik meja. Tiba-tiba Lurah Durna mendekap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, lalu mendekap rahangnya sambil mengaduh keras, lantas pingsan. Untung aparat keamanan segera turun tangan. Unjuk rasa itu dibubarkan. Sepuluh pemuda sempat ditangkap dan dimintai keterangan. Lurah Durna sendiri dan Sekdesnya sekeluarga diungsikan ke desa tetangga sampai situasi dianggap aman kembali.
    Kursi kepemimpinan desa menjadi kosong, dan dalam kekosongan inilah gejolak warga Konglorejo terus berkembang. Para cendikiawan, mahasiswa, seniman, budayawan, ulama, dan pastor berkumpul membahas hubungan antara tertawa dan subversif. Akhirnya, mereka mengambil suatu keputusan yang sangat controversial, bahkan dari kacamata ideologi bisa dianggap sangat ekstrem dan radikal, yakni membalik logika tertawa.
    “Kita selama ini sebenarnya hanya diperalat oleh sense of humor kita saja. Sebenarnya kita bisa saja bersikap sebaliknya, yakni bersikap serius terhadap hal-hal yang lucu dan tidak menertawakan segala macam humor. Sebaliknya, kita menertawakan hal-hal yang serius. Logika kita tentang tertawa sebaliknya kita balik saja secara total. Kita anggap segala macam dagelan dan humor sebagai sesuatu yang serius. Sebaliknya, menganggap segala yang serius dan doktriner, yang kultural edukatif, yang mengerutkan dahi, yang kontemplatif, atau apalah istilahnya, sebagai sesuatu yang menggelikan dan patut ditertawakan,” kata Robert Tukul, cendikiawan yang memimpin pertemuan itu, yang kebetulan baru saja meneliti hubungan antara tertawa dan logika manusia.
    Forum tampaknya menyetujui gagasan kontroversial itu. Mereka sepakat untuk membalik logika tertawa. Mereka bahkan akan menganggapnya sebagai bagian mendasar suatu gerakan budaya untuk menyehatkan kembali iklim keterbukaan dan demokrasi di desa tersebut. Kesepakatan itu kemudian dimasyarakatkan sampai ke tingkat erte. Dalam waktu singkat, semua warga Konglorejo pun menerima dan memahami gagasan itu. Bahkan, mereka bertekad untuk mengamalkannya.
    Karena segala macam lelucon tidak lagi mengundang tawa, orang akhirnya enggan melakukannya. Melucu, baik di pinggir jalan, di warung maupun di panggung dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia. Begitu pula segala macam nasihat, indoktrinasi, debat, diskusi, renungan, dan segala macam pembicaraan serius juga tidak dilakukan orang, karena hanya akan ditertawakan dan dianggap sia-sia. Desa Konglorejo benar-benar bersih dari suara tawa sekaligus bersih dari suasana serius. Suasana pergaulan terasa mengambang: lucu tidak, serius juga tidak.
    Bersihnya Konglorejo dari suara keras tawa itu dianggap merupakan kondisi paling aman bagi Lurah Durna dan Sekdesnya untuk kembali memegang tampuk pemerintahan. Untuk kembali merangkul para seniman dan menarik simpati para budayawan serta cendikiawan, Lurah Durna merencanakan pementasan ketoprak yang dari awal sampai akhir penuh nasihat-nasihat dan dikemas secara sangat serius. Ia ingin menunjukkan pada warganya bahwa itulah kesenian yang paling kultural edukatif. Sutradara pilihan dan sejumlah pemain andalan dilibatkan dalam pementasan. Di luar dugaan, balai desa tempat ketoprak itu digelar penuh sesak. Hampir semua warga ingin menyaksikan paket kesenian tersebut.
    Adegan pertama yang penuh dengan nasehat pun dimulai. Anehnya, hampir semua penonton, kecuali Lurah Durna, tertawa terbahak-bahak. Padahal, tidak ada satu adegan pun yang lucu. Lurah Durna bingung. Ia segera berdiri dan mencari sesuatu yang menjadi sasaran tertawaan orang. Akan tetapi, begitu dia berdiri tawa hadirin semakin membahana. Bahkan, deretan penonton di belakangnya sampai terpingkal-pingkal. Lurah Durna merasa dialah yang ditertawakan. Ia tidak tahu bahwa logika tertawa warganya telah terbalik. Ia mulai merasa tersinggung. Kepala dan giginya mulai terasa senut-senut. Sambil mendekap rahangnya, dia berjalan sempoyongan menuju mimbar yang terletak di sebelah kiri panggung. Ia bermaksud memarahi warganya.
    Begitu Lurah Durna sampai di mimbar, justru dia tertawa terbahak-bahak melihat konde palsu salah seorang pemain ketoprak copot dan menggelinding dari panggung menuju penonton, sementara pemiliknya jatuh terjerembab ketika bermaksud menangkap konde yang menggelinding cepat itu. Tawa Lurah Durna pun makin membahana bagai tidak terbendung. Bersamaan dengan itu, tawa penonton justru berhenti. Mereka bersikap serius sambil memandang lurah dan pemain wanita itu sacara bergantian dengan kening berkerut.
    Melihat penonton bersikap berlawanan dengan dirinya, Lurah Durna makin tersinggung. Namun, karena perasaan gelinya, ledakan tawanya benar-benar tidak bisa dibendung. Antara rasa geli dan marah akhirnya berbaur menjadi satu dalam dirinya. Ini justru membuat kepalanya semakin senut-senut dan sakit giginya terasa makin menggigit. Ia lalu berjalan sempoyongan meninggalkan mimbar seperti orang mabuk berat, sambil terus tertawa dan mengacungkan tangannya ke arah tubuh pemain wanita yang terjerembab itu.
   Tiba-tiba kaki sang lurah terperosok di anak tangga. Ia pun terjerembab keras. Dahinya membentur lantai semen. Aparat desanya segera menghambur ke arahnya. Mereka membalik tubuh lurahnya. Mereka meraba detak jantungnya. Detak jantung Lurah Durna sudah berhenti. Akan tetapi mulutnya masih tetap menganga seperti orang tertawa. Rupanya lurah yang membenci tawa itu justru mati sambil tertawa.

Yogyakarta, Februari 1991
*Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 3 Februari 1991
Baca Lengkapnya....

LEHER

Sejak membeli pesawat tivi, keluarga Barjo terserang penyakit aneh. Leher mereka seperti terganjal besi yang menegang dari pangkal tulang tengkorak sampai ke pangkal dada. Mereka terpaksa selalu mendongakkan kepala ke atas. Kepala mereka tidak bisa lagi ditundukkan ke bawah, ke depan, ke kanan, dan ke kiri. Mereka hanya bisa diam atau menggeleng sambil tetap mendongak ke langit.
    “Ini gara-gara Bapak memasang tivi di atap rumah,” kata Surti, putrinya, sambil terbatuk-batuk sehabis menuangkan minuman ke mulutnya.
    “Lalu harus di pasang di mana?” sahut Pak Barjo di bawah kepulan asap rokoknya dengan mata terpejam-pejam karena pegal. ”Dulu ketika akan kuletakkan di ruang tamu, kalian menolak. Katanya, belajar kalian terganggu. Lalu ketika akan kutaruh di ruang tengah, kalian juga protes. Katanya, mengganggu tidur. Lantas di mana? Rumah kita kan Cuma terdiri tiga ruangan ini,” sambungnya.
    “Tapi, ya jangan di atap, Pak. Masa tiap hari kita harus mendongak ke atas. Ini akibatnya. Kepala kita tidak bisa dikembalikan seperti semula. Mendongak ke atas terus. Ini lebih mengganggu belajar saya, Pak. Bahkan saya tidak dapat lagi belajar dengan baik, karena tangan saya tidak tahan harus secara terus-menerus mengangkat buku ke atas dan menghadapkannya ke bawah untuk dapat saya baca,” lanjut Surti sambil menuang lagi teh hangat ke mulutnya. Akan tetapi, karena kurang hati-hati, teh itu tertuang semua sehingga mbludak masuk ke hidungnya. Surti terbatuk-batuk keras, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya agar mulutnya bisa menghadap ke bawah dan teh itu tumpah ke lantai.
    Sejak sebulan yang lalu Surti memang tidak bisa lagi melihat ke bawah, apalagi melihat kakinya sendiri. Ini juga dialami Sutris, kakaknya. Sehingga, hampir setiap hari dia terbalik memasang sepatu atau sandal di kakinya. Bahkan, dia sering salah pasang. Kaki kiri memakai sandal merah, tetapi kaki kanan memakai sandal hijau. Repotnya lagi, kakinya tidak bisa lagi merasakan mana sandal mana sepatu. Sehingga pernah suatu hari teman-teman sekelasnya tertawa sampai terkencing-kencing gara-gara dia memakai sandal jepit dan sepatu secara bersama. Kaki kiri memakai sandal jepit, kaki kanan memakai sepatu.
                ***   

  Semula teman-teman Sutris dan Surti heran, kenapa tiba-tiba mereka selalu bergaya seperti Batara Narada, selalu mendongak ke atas. Ada yang menganggap mereka telah berubah menjadi congkak hanya karena ayah mereka telah membeli tv. Ada pula yang menduga, mereka terkena cultural shock gara-gara televisi. Baru setelah Surti dan Sutris mengajak mereka berkunjung ke rumahnya dan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, mereka paham bahwa keluarga Pak Barjo sedang terserang penyakit leher yang berat dan sulit disembuhkan.
    Perlakuan yang tidak kalah menyedihkan dialami Pak Barjo di lingkungan kantornya dan di dalam bus kota setiap akan berangkat ke kantor. Karena bus sering penuh, dia sering tidak bisa membungkukkan badannya untuk melihat ke depan dari dalam bus. Sehingga dia sering tidak tahu kalau bus yang ditumpangi telah jauh melewati kantornya, sehingga dia harus naik bus lagi berbalik arah menuju kantornya. Bahkan, dia sering kebablasan sampai ke terminal. Akibatnya, selain pengeluaran transportasinya naik tajam, dia juga amat sering terlambat masuk kantor.
    Sering pula Pak Barjo tanpa sengaja duduk di tempat duduk bus kota yang sudah ada penumpangnya, sehingga harus menerima dampratan yang menyakitkan. Bahkan, dia pernah dihajar seorang lelaki brewok gara-gara menduduki pangkuan istri lelaki itu tanpa sengaja. Ia langsung turun dari bus walau masih jauh dari kantornya. Akan tetapi, karena tergesa-gesa, begitu turun dari bus dia terjerembab masuk selokan.
    Banyak pula komentar miring dari teman-teman sekantornya. Ada yang meledek bahwa Pak Barjo terkena kutukan Tuhan karena terlalu sering menjilat atasannya, ada yang menyindir sebagai korban kecongkakannya sendiri, ada pula yang menilai sebagai korban ambisinya yang berlebihan sehingga tidak bisa lagi melihat ke bawah.
    “Mana mungkin saya punya ambisi menjadi direktur, wong ijasah saya saja cuma SD,” kata Pak Barjo membela diri. “Saya dan keluarga saya benar-benar terkena penyakit leher yang aneh ini,” tambahnya.
    Karena merasa kasihan, teman-teman Pak Barjo pernah membawanya ke ’bengkel manusia’ tempat praktik seorang dukun ahli tulang dan syaraf yang juga memiliki ilmu debus. Mula-mula leher barjo dikenteng dan kepalanya diluruskan. Akan tetapi, begitu tangan sang dukun dilepaskan, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas. Walau hal ini berulang kali dilakukan, selalu gagal. Saking jengkelnya, dia melepas kepala Barjo dan menyambung kembali sambil meluruskannya. Namun, kepala itu tetap saja membandel dan kembali mendongak ke atas.
    Barjo kemudian berobat kepada seorang dokter bersama anak dan istrinya. Dokter itu mengatakan bahwa mereka tidak sakit apa-apa. “Ini hanya soal kebiasaan, Pak. Hanya Bapak sendiri yang bisa mengobatinya dengan cara melawan kebiasaan itu,” kata dokter.
    “Kebiasaan bagaimana, Pak Dokter? Berani sumpah, sejak kecil saya tidak punya kebiasaan mendongak ke langit. Apalagi sampai menyuruh anak dan istri saya mengikuti kebiasaan buruk ini. Sejak tiga bulan yang lalu kami memang terpaksa nonton tivi tiap hari dengan mendongakkan kepala, karena tivi kami ditempatkan di atap rumah. Seminggu kemudian tiba-tiba leher kami seperti diganjal besi panjang. Kami tidak bisa lagi menganggukkan kepala. Kepala kami terus mendongak ke atas,” cerita Pak Barjo.
    “Nah, pasti tivi itu menjadi sumber penyebabnya. Sebaiknya dipindahkan saja, Pak. Jangan ditaruh di atas,” saran dokter.
    Sebelum memiliki tivi, keluarga Barjo memang normal-normal saja. Setidaknya, posisi kepala dan leher mereka. Mereka juga bukan tergolong keluarga yang congkak, karena memang tidak memiliki sesuatupun yang bisa dicongkakkan. Mereka tergolong keluarga miskin, keluarga pegawai rendah yang hanya menempati rumah kontrakan, yang hanya terdiri dari tiga petak kecil. Karena itulah, setelah membeli pesawat tivi hitam putih 12 inci, mereka kerepotan untuk menempatkannya. Petak paling belakang sudah dipergunakan sebagai kamar tidur bersama istrinya, petak tengah untuk tidur kedua anaknya, sedang petak paling depan untuk ruang tamu sekaligus ruang belajar kedua anaknya.
    Ketiga petak kamar berukuran masing-masing 2x2 meter persegi itu pun sudah penuh berbagai barang. Teras belakang sudah dimanfaatkan untuk dapur darurat bersama tetangga belakang. Sedang kanan kiri rumahnya berhimpitan dengan rumah lain. Untuk mandi dan buang air, mereka memanfaatkan kamar mandi umum. Mereka memang tinggal di perkampungan yang kumuh dan sangat padat. Ruang yang masih agak kosong barangkali hanya teras depan yang berukuran sekitar 1x2 meter persegi. Namun, untuk menempatkan tivi di teras depan, dia takut kalau dianggap pamer oleh para tetangganya yang rata-rata bermulut usil. Akhirnya, Pak Barjo terpaksa menempatkan tivi itu di atap rumah dengan mengikatnya dan menghadapkan layar kacanya ke bawah. Tapi, akibatnya cukup fatal. Seluruh keluarganya terserang penyakit leher yang aneh itu.
    Bu Barjo barangkali yang bernasib paling buruk. Setiap pergi ke pasar hampir selalu dimaki dan diajak berkelahi dengan bakul-bakul pasar atau pengunjung lain, karena hampir selalu menabrak orang yang berpapasan dengannya. Suatu hari ia bahkan pernah menabrak bakul dawet sampai dawetnya tumpah ruah di tengah pasar. Bu Barjo sendiri terjerembab di atas tumpahan dawet itu, bertindihan dengan bakul dawet.
    Bu Barjo akhirnya menghindari kekonyolan-kekonyolan di pasar. Ia cukup berbelanja di warung tetangganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Teman-teman sekolah Sutris dan Surti akhirnya juga bisa memahami keanehan yang menimpa mereka, begitu juga teman-teman kerja Pak Barjo. Bahkan, kru bus kota yang menjadi langganannya dan semua penumpang yang mengenalnya pun mulai memahami kelainan yang dideritanya. Mereka malah sering membantu Pak Barjo mencarikan tempat duduk yang kosong, menolongnya ketika naik dan turun dari bus, serta memberitahunya begitu bus yang ditumpanginya sampai di dekat kantornya.
    Anehnya, yang tidak mau memahami kelainan yang diderita keluarga Barjo justru para tetangga mereka. Hampir setiap hari mereka terlibat konflik serius dengan tetangga sendiri. Mereka juga selalu menjadi bahan pembicaraan yang nadanya selalu buruk. Karena itulah, justru di kampung sendiri mereka merasa seperti hidup di neraka.
    “Mereka kan cuma pura-pura saja tidak bisa menunduk. Masa hanya gara-gara nonton tivi bisa begitu,” Yu Tarmi membuka diskusi tentang keluarga Barjo di warung belanja Bu Parmin.
    “Barangkali hanya untuk menarik perhatian saja, Yu, agar kita tahu bahwa si Barjo itu telah membeli tivi,” sahut Mbok Kasmonah.
    “Bukan barangkali lagi, Yu. Memang iya!” Bu Parmin ikut-ikutan menimpali. “Coba saja bayangkan, Yu. Sudah berlagak mendongak begitu, masih suka nabrak-nabrak orang kalau berjalan. Kemarin saya hampir masuk selokan di depan itu gara-gara ditabrak Yu Barjo. Untung saja ada Dik Siyem yang cepat-cepat memegang tangan saya,” sambungnya sambil menunjuk selokan di tepi gang masuk ke warungnya.
    “Itu masih lumayan, Yu. Kepala saya dua hari yang lalu malah tersodok dengkulnya ketika saya sedang membungkuk membetulkan sandal jepit saya yang lepas talinya. Hampir saja saya tampar mukanya. Untung dia cepat-cepat merengek minta maaf,” cerita Mbok Kasmonah berapi-api.
    “Anak saya yang kecil tadi pagi juga menjadi korban tingkah si Barjo itu. Kakinya diinjak sampai menangis menjerit-jerit kesakitan. Coba bayangkan, Yu. Anak sekecil itu diinjak kakinya oleh orang sebesar Barjo. Sepatunya banyak pakunya lagi. Kaki anak saya sampai berdarah,” cerita Bu Parmi, tidak kalah emosionalnya. “Hampir saja Bapaknya anak-anak tadi berkelahi dengan si Barjo itu. Untung saja Pak RT segera datang melerai. Kalau tidak, mungkin leher si Barjo sudah dipuntir sama bapaknya anak-anak biar putus sekalian,” tambahnya sambil menggerakkan tangan menirukan seolah suaminya benar-benar memuntir leher Pak Barjo.
    “Wah, payah, ya, punya tetangga seperti itu. Hampir tiap hari bikin perkara.”
    “Bagaimana kalau kita usul saja sama Pak RT agar si Barjo dan keluarganya disuruh pindah ke kampung lain? Mereka di sini toh hanya kontrak. Saya dengar masa kontrak rumahnya juga hampir habis.”
    “Saya setuju itu.”
    “Kalau Pak RT tidak mau, kita usir saja ramai-ramai!”
    “Saya setuju!”
    “Saya juga setuju!”
 Ketika suhu pembicaraan di warung Bu Parmin semakin memanas, tiba-tiba terdengar jeritan anak kecil, disusul teriakan minta tolong … “Tolong! Tolong! Leher anak saya diinjak Pak Barjo! Tolong! Anak saya mau dibunuh! Tolong!”
    Diskusi di warung Bu Parmin pun bubar. Hampir seluruh warga kampung menghambur ke arah datangnya suara itu. Tampak Pak Barjo di tepi jalan sedang membopong anak kecil sambil duduk di tanah. Tangis anak itu telah berhenti. Tubuhnya terkulai, pingsan.
    Melihat orang-orang menghambur ke arahnya, Pak Barjo panik. “Maaf, maaf, saya tidak sengaja. Tadi anak ini jatuh terpeleset dan secara tidak sengaja saya menginjaknya,” kata Pak Barjo pada ibu anak itu juga kepada orang-orang yang berdiri mengelilinginya.
    Ibu anak itu tidak menggubris kata-kata Pak Barjo. Ia merebut anaknya. Tiba-tiba anak itu siuman. Tangisnya meledak lagi. Kemarahan ibu itu tidak terbendung. Ia mencopot sandal plastiknya lalu memukulkannya ke kepala Pak Barjo. Ibu-ibu yang lain terpancing dengan kemarahan itu. Mereka menggebuki Pak Barjo beramai-ramai. Pak Barjo bangkit dan lari menuju rumahnya. Orang-orang pun terus memburunya.
    “Ampun! Ampun! Jangan bunuh saya!” teriak Pak Barjo.
    “Ayo! Hajar saja!”
    “Ampun! Ampun!”
    “Injak-injak saja lehernya biar lurus!”
    “Aduh! Tolong!”
    “Itu tivinya! Hancurkan saja sekalian!”
    Orang-orang kampung itu semakin kalap. Tivi 12 inci yang ditempatkan di atap rumah kecil itu ikut menjadi sasaran. Mereka merontokkan tivi itu dan menghancurkannya. Bu Barjo dan kedua anaknya juga ikut menjadi korban. Untung polisi segera datang. Pak Barjo, Bu Barjo, Sutris dan Surti segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang terlibat ‘main hakim sendiri’ itu diperiksa polisi. Lima orang ditahan dengan sangkaan menjadi penyulut peristiwa penganiayaan itu dan dianggap mengobarkan kebencian orang kampung terhadap keluarga Barjo yang malang.
    Anehnya, begitu pulang dari rumah sakit, leher mereka kembali normal. Tidak jelas penyebabnya, apakah karena telah diinjak-injak orang kampung, atau karena pesawat tivi penyebab penyakit leher itu sudah tidak ada lagi.

Yogyakarta, Maret 1991

* Cerpen ini memenangkan Suara Merdeka Awards 1992.
Baca Lengkapnya....

SASTRA DAN KUALITAS KECENDEKIAAN

Judul di atas mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Itu adalah sebuah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra dapat menjadi sumber nilai dan sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya.  

Kalangan pragmatik  -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya – berkeyanikan  bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan.

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra.


Orientasi Sastra

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya. Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.[1]

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart)[2] berkembang.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli[3] dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore[4] juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran[5] ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra,[6] sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah – seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP)[7] dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ -- sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra. Kalaupun ada yang membicarakannya, biasanya oleh ‘kalangan sendiri’ karena dorongan sentimen primordialnya. Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat)  sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu[8]

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugesti untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah  dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ‘sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

Dalam konteks tersebut, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar  (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.[9]


Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino,[10] sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando. Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal[11] juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi,[12] dan Hamzah Fansuri,[13] ikut mendorong proses rekonseptualisasi tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa bangsanya ke arah yang lebih baik.


Sumber Kesadaran Bangsa
Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal – Polemik Kebudayaan – yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan  bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan. Evolusi sastra Chairil Anwar – yang didalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan – adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah proklamasi kemerdekaan yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail[14] menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.


Penutup
Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.

Jakarta, 15 Juni 2006


Daftar Rujukan

1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981
2. Cahyono, Imam, Cendekiawan dan Perburuan Kekuasaan, artikel pada Harian Kompas, Kamis, 11 November, 2004, halaman 4.
3. Hasanuddin WS, Prof, Dr, Mhum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Penerbit Titian Ilmu, Bandung, cetakan pertama 2004.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, Drs, MTI,  Antara Kecendekiaan dan Budaya Berkarya, makalah untuk Simposium Pemberdayaan Ummat, ICMI Orsat Kairo, di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Kairo, 19 April 2002.
5. Heryanto. Ariel, MA, Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985.
6. Selden, Raman, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, Harvester-Wheatsheaf, University of Lancaster, 1985.

[1] Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981
[2] Konsep ataupun prinsip lart pour lart atau seni untuk seni pertama kali berkembang di Prancis. Para penganut prinsip ini meyakini bahwa seni diciptakan untuk seni itu sendiri, tidak ada kaitannya dengan masalah moral atau tujuan-tujuan pragmatis lainnya.
[3] Novel Max Havelaar karya Multatuli dipercayai menjadi sumber inspirasi bagi munculnya gerakan politik etis di kalangan eksekutif pemerintahan Hindia-Belanda. Dari gerakan ini muncul niat baik (political will) untuk lebih mencerdaskan kaum pribumi, hingga banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan dan penerbitan untuk pribumi seperti Balai Pustaka.
[4] Tagore adalah penyair India penerima Nobel Sastra tahun 1913.
[5] Kahlil Gibran adalah penyair AS kelahiran Libanon. Buku-buku kumpulan sajaknya, seperti Sang Nabi (The Prophet) menjadi best seller di seluruh dunia.
[6] Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah organisasi budayawan underbow PKI. Salah satu tokohnya adalah Pramoedya Ananta Toer.
[7] FLP lahir dari majalah cerpen Annida, dimotori oleh Helvy Tiana Rosa dkk. Jumlah anggotanya kini mencapai ribuan, tersebar di seluruh Tanah Air dan di luar negeri.
[8] Cuplikan bait kedua dan ketiga sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM.
[9] Cuplikan bait kelima dan keenam sajak Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar.
[10] GL Morino adalah sastrawan Prancis yang pandangan-pandangannya sangat pragmatis.
[11] Mohammad Iqbal adalah penyair Pakistan yang juga dikenal sebagai pemikir besar di dunia Islam.
[12] Jalaluddin Rumi adalah penyair besar Persia. Sajak-sajaknya banyak dijadikan kajian oleh para orientalis Barat, seperti Annemarie Schimmer, terutama dalam kajian tasawuf.
[13] Hamzah Fansuri adalah penyair Muslim-sufistik zaman Kesultanan Aceh. Abdul Hadi WM menempatkannya sebagai pelopor sastra Melayu-Indonesia.
[14] Atas perannya ini Taufiq Ismail mendapat predikat sebagai Pelopor Angkatan 66 dari HB Jassin.
Baca Lengkapnya....

Membembentuk Karakter Siswa dengan Pengajaran Sastra

Kata kunci terpenting dalam prasaran ini adalah karakter – kata serapan dari bahasa Inggris, character, yang belum dibakukan oleh Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada dalam KBBI hanya padanannya, yakni watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Padanan dari watak, menurut KBBI, adalah budi pekerti dan tabiat. Kata karakter justru diakomodasi oleh  Leksikon Sastra Indonesia , dan dimaknai sebagai watak atau sifat-sifat kejiwaan (akhlak, budi pekerti, tabiat, etos) yang membedakan seseorang dengan orang lain.

Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak  lahir (genetik), juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif  berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif, malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup) sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet, santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).

Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama” dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius, serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong (solider).

Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan karakter kolektif.  Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan, dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan nilai dan chaos.

Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar  karena tidak dapat bersikap tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman edan”   seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.

Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra,  menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.

Dulu, ketika masih ada pelajaran budi pekerti, pembentukan karakter siswa dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan, selain tentu juga melalui pelajaran agama dan Pancasila – yang sila-silanya merupakan intisari dari nilai-nilai agama. Pelajaran yang juga dapat diandalkan perannya dalam ikut membentuk karakter siswa adalah apresiasi sastra. Peran pelajaran sastra makin penting ketika pelajaran budi pekerti dan Pancasila tidak diberikan lagi di sekolah, sementara waktu yang tersedia untuk pelajaran agama juga sangat terbatas dan rata-rata guru agama hanya sempat memberikan pengetahuan secukupnya tentang agama sehingga pemahaman dan penghayatan agama siswa rata-rata masih kurang.

Pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Sebut saja ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:

Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.

Tentang potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya  –  meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk  menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan pragmatik  berkeyanikan  bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq berjuang keras agar siswa, dan kaum terpelajar bangsa ini, benar-benar melek sastra. Sementara, Kuntowijoyo, menggagas pentingnya dikembangan sastra profetik, yakni sastra yang membawa misi kenabian, atau sastra yang mencerahkan.

Lebih dari itu, kalangan pragmatik meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan. Orientasi penciptaan karya sastra, menurut Abrams (1981), memang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-literer. Dan, pandangan pragmatik itu sesuai dengan orientasi kedua  Abram yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.

Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart)  berkembang.

Pada orientasi kedua, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran social baru, seperti novel Max Havelar karya Multatuli  dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore  juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran  ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia. Karena itu, tidak berlebihan jika Mosye Dayan begitu takut pada sajak-sajak patriotik penyair Palestina, dan menangkapi penyair-penyair pejuang seperti Fatwa Tuqan.  Seperti diyakini GL Morino,  sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.

Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino tadi,   sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’ 

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama. Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya, termasuk kearifan sikap dan pemikirannya.

Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya, yang lebih baik.

Jika disarikan dan disederhanakan, maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran. Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.

Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya. Keenam,fungsi inspiratif,  karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan.  Ketujuh,  fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.

Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter  yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.

Membangun sikap apresiatif
Membangun sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran sastra. Apresiasi --  berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang didasarkan pada pemahaman.  Menurut Leksikon Sastra Indonesia,  apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.

Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.

Sebaliknya, seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali. Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru sendiri.

Sebagian orang berpendapat bahwa yang namanya minat seseorang, termasuk minat pada karya sastra, tidak dapat dipaksakan. Karena, minat datang dari dalam hati. Begitu juga minat siswa pada sastra, tidak dapat dipaksanakan. Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi bukan harga mati. Sebab, minat seseorang, seperti halnya selera, dapat dibangun secara pelan-pelan tapi pasti. Begitu juga minat siswa pada sastra, dapat dibangun melalui praktek pengajaran sastra yang benar dengan menciptakan situasi pengajaran yang mampu mendorong siswa pelan-pelan meminati karya sastra.

Langkah pertama, adalah menciptakan suasana belajar-mengajar yang menarik dan menyenangkan agar siswa merasa enjoy di dalamnya, atau dapat menikmati proses belajar sastra dengan menyenangkan. Penciptaan situasi yang demikian ini menuntut kreativitas guru dalam mengajar, dan tidak bias hanya bertumpu pada cara mengajar yang konvensional di depan kelas. Cara-cara sebagai berikut dapat dipertimbangkan:

1. Mengajak siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak daun  jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris kalimat yang puitis.

2. Belajar di luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.

3. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah. Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.

4. Dalam mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.

5. Setelah sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan sejarah sastra yang diperlukan.

Langkah kedua adalah memberi penghargaan pada siswa yang unggul dalam pelajaran sastra. Misalnya, memberi hadiah buku sastra pada siswa yang puisi atau cerpennya dinilai terbaik, juga pada siswa yang membaca puisi atau cerpennya dinilai paling bagus, serta pada siswa pembahasan atau pendapatnya paling pas saat membahas karya sastra. Nah, akan lebih seru lagi kalau dalam memilih yang terbaik itu melibatkan seluruh siswa. Misalnya, semua puisi siswa ditempel pada papan tulis dan semua siswa ikut menilainya.

Tapi, dalam menilai pembacaan puisi, tentu akan menghadapi problem waktu. Hal ini dapat diatasi dengan mengelompokkan siswa, misalnya ke dalam lima kelompok, dan masing-masing kelompok memilih seorang siswa wakilnya untuk beradu baca puisi dengan wakil kelompok lain. Dengan cara demikian, suasana bermain yang menyenangkan akan tercipta tanpa melupakan pokok pelajaran sastranya. Jadi, semi belajar sambil bermain.

Langkah ketiga adalah menyediakan ruang berekspresi bagi siswa yang berbakat di bidang sastra. Misalnya, menyediakan majalah dinding atau majalah sekolah untuk menampung karya-karya siswa, baik puisi, cerpen, esei, maupun resensi, dan yang karyanya dimuat mendapatkan hadiah buku sastra. Perlu juga diadakan lomba baca puisi tengah tahunan (menjelang libur atau awal liburan) untuk mendorong minat siswa dan menemukan bakat siswa dalam baca puisi.

Langkah berikutnya adalah meyakinkan pada siswa bahwa sastra itu penting untuk diapresiasi, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai positif yang penting diketahui dan dihayati oleh siswa. Yakinkan, bahwa manusia yang berbudaya adalah manusia yang cinta sastra, maka jika ingin dianggap manusia berbudaya, cintailah sastra dan bacalah karya-karya sastra. Yakinkan pula bagi yang berbakat menulis puisi atau cerpen agar terus menekuninya sebagai hobi yang positif, yang akan sangat bermanfaat dan member nilai plus bagi mereka kelak.

Selama ini, tampaknya pengajaran sastra di sekolah berlangsung kurang menarik, sehingga kurang mampu menumbuhkan minat siswa untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Mereka umumnya mengikuti pelajaran sastra ‘karena terpaksa’ hanya demi absensi. Pelajaran sastra juga cenderung dianggap sebagai momok, karena sulit, tapi tidak penting karena hasilnya tidak tercantum pada nilai rapor. Pelajaran sastra hanya merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia,  dan jika dipersentase nilai pelajaran sastra hanya menyumbang tidak sampai 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase lain disumbang oleh nilai keterampilan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, tata bahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya. Kecilnya persentase sumbangan nilai pelajaran sastra itu menjadi salah satu penyebab kurang bersungguh-sungguhnya siswa dalam mengikuti pelajaran sastra serta guru dalam mengajar apresiasi sastra.

Idealnya, seperti pernah diusulkan oleh Taufiq Ismail dan banyak sastrawan lain, pelajaran apresiasi sastra Indonesia dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, berdiri sendiri dan hasil prestasi belajar sastra siswa terwujud sebagai nilai tersendiri pada rapornya. Tetapi, ini memerlukan langkah besar yang dimulai dari kebijakan pemerintah pusat, yang memerlukan proses politik yang panjang. Karena itu, dari pada terus menerus ‘menunggu godot’ lebih baik kita mulai dari langkah-langkah kecil seperti di atas.

Indikator terpenting adanya sikap apresiatif  terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku. Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.

Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat. Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra. Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.

Memisahkan pengajaran sastra
Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan juga sekarang pada era KTSP – yang di Jawa sering diplesetkan menjadi kurikulum terapno sak penake dewe.

Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra, yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan.

Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot (tokoh absurd dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett). Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau bahkan seperti teriakan di tengah padang pasir.

Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada minat dan kreativitas serta kesungguhan guru bahasanya. Karena itu, sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra, dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal, dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa.***

Jakarta,  Februari 2011

Daftar Pustaka:
1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
2. Hasanuddin WS, Prof. Dr., dkk., Leksikon Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung, cetakan kedua, 2008.
3. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menyoal Pengajaran Seni dan Sastra di Sekolah”, makalah untuk Talk Show Pengajaran Seni dan Sastra dalam Tangerang Art Festival 2005.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Puisi dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Penulisan Puisi bagi Guru SMU, Pusat Bahasa, Jakarta, 2006.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Cerpen dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Menulis Cerpen bagi Guru SMU, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 2006.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Mengajarkan Apresiasi Sastra dengan Benar”, makalah untuk Diklat Pengajaran Apresiasi Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta, 2006.
7. Hatikah, Tika, dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005.
8. Kurniawati, Diyan, dkk, Bahasa Indonesia, Intan Pariwara, Solo, 2003.
9. Sukartinah, Dra., N, Bahasa dan Sastra Indonesia, untuk SMU Semester I, CV Thursina, Bandung, cetakan kedua, 2003.
10. Rendra, “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”, teks pidato saat menerima gelar Doktor Honoris Causa, di UGM, 4 Maret 2008.
11. Berbagai artikel di internet tentang pengembangan pengajaran sastra berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP).


Ahmadun Yosi Herfanda: Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia, Pasca-Sarjana Universitas Gunungjati, Cirebon, 19 Februari 2011.
Baca Lengkapnya....

Tradisi, Lokalitas, dan Urbanitas Cerpen Indonesia

Dibanding puisi dan novel,  cerita pendek (cerpen)  – dalam prototip estetika konvensional -- terbilang sebagai bentuk ekspresi sastra modern (asal Barat) yang paling belakang masuk ke Indonesia.  Puisi modern sudah mulai ditulis oleh Amir Hamzah dan JE Tatengkeng dalam dasawarsa 1920-an, dengan masuknya pengaruh soneta dan ‘puisi bebas’ yang ‘membongkar’ estetika puisi tradisional Melayu.

Novel bahkan sudah mulai ditulis jauh sebelum itu, yakni dalam tahun 1890-an, yang ditandai dengan terbitnya novel realistic Nyai Isah karya F. Wiggers, Nyai Dasima karya G. Francis, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan.  Sedangkan cerpen baru hadir ke khasanah sastra Indonesia dalam paruh akhir dasawarsa 1930-an, dengan hadirnya cerpen-cerpen Muhammad Kasim dan Suman HS, lalu disusul cerpen-cerpen Hamka, Armijn Pane dan Idrus.

Meskipun datang paling belakang, tradisi penulisan cerpen, terutama pada masa post-kolonial (masa kemerdekaan), berkembang begitu pesat di Indonesia. Laju perkembangan tersebut makin tampak setelah terbit majalah cerpen pertama di Indonesia Kisah (1953-1957), disusul majalah cerpen Sastra (1961-1964) dan majalah sastra Horison (1966-sekarang). Produktivitas penulisan cerpen kemudian mengalami booming setelah mendapatkan tempat terhormat di media massa cetak – surat kabar dan majalah – sejak tahun 1970-an sampai kini.

Pesatnya perkembangan cerpen dalam khasanah sastra Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat (manusia) pada dasarnya menyukai dongeng. Cerpen yang dapat dianggap sebagai metamorfosis dongeng  dengan cepat dapat menemukan penggemarnya di kalangan masyarakat banyak, terutama masyarakat terpelajar. Kedua, gaya cerpen yang umumnya realistik menjadi media refleksi yang pas bagi masyarakat yang sedang bergerak menuju perubahan untuk menemukan jati dirinya sebagai individu yang modern maupun sebagai bangsa yang berdaulat.

Ketiga, dalam bentuknya yang relatif pendek, cerpen bisa memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat terpelajar perkotaan (komunitas urban) yang cenderung makin sibuk dan hanya memiliki waktu yang terbatas untuk memenuhi hasratnya pada dongeng-dongeng (fiksi) kontemporer. Dan, keempat, cerpen merupakan karya sastra yang paling dimanjakan di media-media massa cetak – hampir semua media massa cetak Indonesia memiliki rubrik cerpen – sehingga produktivitas dan kreativitas para cerpenis  terpacu dengan cepat.
      
Dari Tradisi ke Urban
Sejak diperkenalkan oleh ‘bapak cerpen Indonesia’  – Muhammad Kasim, Suman HS, Hamka, Armijn Pane, dan Idrus -- cerpen sudah membawa cita rasa yang sangat urbanistik dan menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat terpelajar perkotaan. Karena itulah, ketika harus berbicara tentang tradisi dan lokalitas cerpen Indonesia, kita akan lebih banyak berbicara tentang tradisi dan lokalitas (warna lokal) yang 'diserap' cerpen Indonesia, bukan yang menjadi akar pertumbuhannya. Cerpen menjadi media baru untuk menuturkan kembali tradisi dalam cita rasa modern, dan lebih dari itu adalah menafsirkan kembali, mendialogkan, mempertanyakan, atau bahkan menggugatnya.

Upaya untuk mengangkat tradisi dan lokalitas ke dalam cerita pendek telah dimulai oleh Muhammad Kasim dan Suman HS dengan menggali dan mengangkat cerita-cerita rakyat ke dalam cerpen. Upaya Muhammad Kasim dapat kita lihat pada cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Teman Duduk (1936), dan upaya Suman HS dapat kita lihat dalam Kawan Bergelut (1938). Mereka mengeksplorasi kekayaan dan tradisi lokal untuk disajikan kembali dengan citarasa modern dalam karya sastra bertipologi cerita pendek yang lebih merujuk pada tipologi short story dalam khasanah sastra Barat. Namun, belum tampak adanya upaya untuk menggugat tradisi, selain menafsirkannya kembali dengan citarasa baru yang lebih dekat dengan citarasa masyarakat terpelajar perkotaan (urban).

Sementara, cerpen-cerpen Hamka dalam Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) dan Idrus dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948) lebih banyak mengangkat persoalan sosial yang aktual pada zamannya, sehingga makin memberi citarasa urban pada tradisi cerpen Indonesia. Begitu juga cerpen-cerpen Armijn Pane dalam Kisah Antara Manusia (1953) yang lebih banyak mengangkat persoalan psikologis masyarakat urban yang sedang menghadapi proses perubahan zaman, sehingga lebih mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat kota, yang nyaris tidak menampakkan akar sama sekali pada tradisi dan lokalitas.

Cerpenis penting yang muncul kemudian, A.A. Navis, dalam cerpen monumentalnya, Robohnya Surau Kami (1956), dengan lugas menggugat tradisi kaum santri yang lebih mengutamakan ritual agama dan cenderung melupakan urusan dunia. Tokoh Haji Saleh yang rajin beribadah justru dimasukkan Tuhan ke neraka, karena miskin dan tidak dapat beramal kepada sesamanya. Sang haji sempat protes pada Tuhan, tapi malaikat menghalaunya kembali ke neraka. Koreksi terhadap tradisi kaum santri yang hanya mementingkan kesalehan ritual itu saya kira tetap relevan sampai sekarang, karena kinipun mayoritas kaum santri kita masih cenderung hanya mengutamakan ritual, dan ke sanalah orientasi dakwah para dai kita pada umumnya sehingga malah cenderung membawa umat ke keterbelakangan.

Dalam sepanjang sejarah perkembangan cerpen di Indonesia upaya untuk berdialog dengan tradisi dan kekayaan lokal terus dilakukan oleh sejumlah cerpenis kita, baik yang mencoba menafsir kembali maupun yang menggugatnya. Beberapa cerpenis terkini, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Khairil Gibran, misalnya, mencoba menggali serta menafsir kembali tradisi dan kearifan lokal. Begitu juga beberapa cerpenis yang lebih senior, seperti Kuntowijoyo dan Danarto, yang menggali nilai-nilai kedalaman spiritual tasawuf (mistik) Jawa. Sementara, Oka Rusmini banyak mengkritisi tradisi masyarakat Hindu Bali.

Namun, lagi-lagi, yang dominan adalah cerpen-cerpen yang mengangkat persoalan masyarakat perkotaan yang makin mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, meskipun dalam Kitab Omong Kosong (Bentang, 2004) mengangkat lakon-lakon dalam pewayangan (Jawa), namun dalam kumpulan-kumpulan cerpen lainnya seperti Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), dan Saksi Mata (1995) lebih banyak mengangkat persoalan masyarakat perkotaan dan mewakili citarasa masyarakat urban. Begitu juga cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember (2000) dan Bibir Dalam Pispot (2002), Kurni Effendi dalam Bercinta di Bawah Bulan (2004), Hudan Hidayat dalam Orang Sakit (2000) dan Keluarga Gila (2002), serta cerpen-cerpen Linda Cristanti dalam Kuda Terbang Mario Pinto (2003).

Citarasa ‘urbanistik’ makin mengental ketika tradisi penulisan cerpen Indonesia dimaraki karya para perempuan penulis yang dengan gamblang mengangkat persoalan-persoalan seksual dengan sikap ‘memberontak’ dari batas-batas moral tradisional dan ketabuan, seperti diperlihatkan Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2003). Dengan pemberontakannya itu, mereka seperti menegaskan ketidakberpihakannya pada tradisi dan menempatkan cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban yang liberalistik.

Dari kalangan perempuan santri, seperti Abidah el Khalieqy, Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, memang juga banyak ditulis cerpen-cerpen yang berpihak pada moral, tetapi tetap lebih mewakili citarasa masyarakat perkotaan atau Islam kosmopolitan daripada masyarakat tradisional ataupun pedesaan. Cerpen-cerpen Abidah dalam Menari di Atas Gunting (2001) – dan di berbagai buku lain -- yang ‘nyastra’ tentu adalah konsumsi masyarakat terpelajar perkotaan. Begitu juga cerpen-cerpen Asma Nadia, yang tersebar di berbagai buku, seperti cerpen Ranti Menderas, meskipun Islami tapi umumnya mengangkat persoalan kaum perempuan muda Muslim perkotaan (Islam kosmopolitan), dan karena itu sangat pas disebut sebagai ‘chicklit Islami’ dan menjadi konsumsi masyarakat (perempuan) perkotaan.

Para cerpenis yang masih intensif berdialog dengan tradisi dan lokalitas umumnya adalah mereka yang masih tinggal di daerah, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Oka Rusmini. Kalaupun mereka hijrah ke Jakarta, setidaknya sudah dimatangkan oleh daerahnya dan relatif terhindar dari ‘pertarungan hidup’ kota metropolitan sehingga tetap membawa nuansa tradisi dan kekayaan lokal. Namun, jumlah mereka tidaklah banyak. Geliat peradaban urban yang lebih dominan di Jakarta membuat para cerpenis umumnya lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan masyarakat urban dari pada persoalan daerah asalnya ataupun misalnya warna Betawi yang sudah terpinggirkan bersama kekayaan budayanya.

Industri penerbitan dan media massa cetak juga sangat kuat pengaruhnya dalam ikut menyeret produksi cerpen ke citarasa yang sangat urbanistik. Kenyataannya, pasar terbesar industri media massa cetak dan buku sastra (kumpulan cerpen) memang masyarakat terpelajar perkotaan. Cerpen-cerpen yang dimuat di majalah-majalah wanita seperti Femina, Sarinah, dan Kartini, serta surat-surat kabar besar seperti Kompas, Repulika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Jawa Pos, adalah cerpen-cerpen yang umumnya dikemas sesuai citarasa masyarakat terpelajar perkotaan tersebut.

Begitu juga buku-buku kumpulan cerpen yang banyak beredar di toko-toko buku yang umumnya memang ada di kota-kota besar, yang orientasi pasar penerbitannya memang masyarakat terpelajar perkotaan. Dan, memang merekalah yang memiliki daya beli yang tinggi dan minat baca yang terus membaik. Lebih-lebih, cerpen-cerpen yang kemudian mengerucut menjadi semacam chicklit, teenlit, dan fiksi-fiksi seksual.

Proses Kreatif dan Kekayaan Lokal
Ketika menulis cerpen, seorang cerpenis sesungguhnya hampir tidak mungkin hanya berdiri sebagai ‘manusia tekstual’ yang hanya mengeksplorasi imaji-imaji personal yang asing dari lingkungannya, setidaknya dari teks-teks yang telah ada sebelumnya. Cerpen memang fiksi, dan fiksi adalah dunia rekaan. Tetapi, saat melahirkannya, seorang cerpenis akan lebih banyak berperan sebagai ‘manusia kontekstual’ yang mencoba memaknai dunia sekelilingnya. Karena itu, wajar jika para cerpenis Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan manusia kota dan lingkungan perkotaan. 

Dan, karena itu pula wajar jika sensibilitas lokal lebih banyak ditampakkan oleh mereka yang tinggal di daerah, atau setidaknya, memiliki kesadaran untuk dengan sengaja menggali tradisi dan kekayaan lokal dari daerah asalnya atau budaya etnis lain yang menarik perhatiannya. Cerpen-cerpen Oka Rusmini, yang berproses kreatif di Denpasar, misalnya, sangat kental warna budaya etnis Bali. Begitu juga cerpen-cerpen Azhari – yang berproses kreatif di Aceh – kental warna sosial dan konflik-bersenjata di Aceh. Bisa disebut juga cerpen-cerpen Taufik Ikram Jamil yang berproses kreatif di Riau dan kental warna sosial-budaya Melayu (Riau). Sementara, cerpen-cerpen Danarto, meskipun berproses kreatif di Jakarta, banyak yang kental warna tasawuf (mistik) Jawa, sehingga ia sering disebut-sebut sebagai salah satu tokoh ‘gerakan kembali ke Timur’ dalam sastra Indonesia. 

Epilog
Karena tradisi penulisan cerpen berasal dan lebih banyak bertumbuh di tengah masyarakat urban, dan bahkan menjadi bentuk ekspresi masyarakat urban, maka sesungguhnya membawa lokalitas (warna lokal) ke dalam cerpen sama artinya dengan memasukkan kekayaan lokal ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban. Kenyataannya, yang umumnya terjadi memang bukan bagaimana melokalkan cerpen, tapi sebaliknya meng-urban-kan lokalitas ke dalam cerpen. Yakni, bagaimana mengemas lokalitas ke dalam cerpen sesuai dengan citarasa masyarakat urban – ke dalam bentuk cerpen yang menarik dan memenuhi selera masyarakat terpelajar perkotaan.

Demikianlah sesungguhnya yang terjadi dalam sastra Indonesia, lokalitas diusung ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban, sebab sesungguhnya sastra Indonesia lebih mewakili peradaban masyarakat urban. Karena itu, tidak salah jika ada anggapan bahwa untuk menjadi sastrawan Indonesia ternama harus menjadi bagian dari masyarakat urban, harus hijrah dari desa ke kota. Jika bukan orangnya, setidaknya, karya-karyanya.

Bisa saja seseorang sastrawan Indonesia tetap tinggal di desa, tetapi karya-karyanya harus dipasarkan kepada masyarakat urban -- baik melalui media massa maupun penerbitan buku -- sebab merekalah yang punya apresiasi dan daya beli. Fenomena tersebut masih akan berlangsung lama mengingat lambannya pemerintah dalam mengatasi berbagai kesenjangan -- sosial-budaya-ekonomi – antara desa dan kota, serta antara daerah dan pusat.

Proyek-proyek pengadaan buku dan kepustakaan, seperti penerbitan ‘kitab-kitab sastra’ Horison, buku Inpres dan peningkatan buku perpustakaan sekolah, memang cukup berhasil memeratakan buku sastra ke daerah-daerah. Mungkin juga meningkatkan minat baca masyarakat terpelajar (siswa), tapi bukan menaikkan daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra. Apalagi, pasca-kenaikan harga BBM, masyarakat kelas menengah ke bawah kembali dijerembabkan ke urusan perut, dan buku-buku sastra yang makin mahal kembali menjadi barang mewah bagi mereka.

Meskipun merupakan ‘sastra pendatang’, cerpen sebenarnya dapat menjadi media dialog yang efektif antara nilai-nilai lama (tradisi) dan nilai-nilai baru (modernitas) agar proses modernisasi bangsa tetap memiliki jati diri. Cerpen juga dapat menjadi media yang efektif untuk menggali dan mereaktaualisasikan nilai-nilai dan kearifan lokal agar bangsa ini tetap memiliki jati diri, dan tidak tercerabut sepenuhnya dari akar budaya Nusantara. Tetapi, hal itu tidak akan terjadi tanpa upaya intensif dari para cerpenis untuk terus menggali, mereaktualisasi, dan mendialogkan nilai-nilai serta kearifan lokal ‘budaya ibu’ masing-masing.
                               
Jakarta, Oktober 2005

Daftar Pustaka
1. Ajidarma, Seno Gumira, Kitab Omong Kosong, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2004).
2. Danarto, Adam Makrifat kumpulan cerpen (Pustaka Jaya, Jakarta, 1982)
3. Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001)
4. Eddy, Nyoman Tusthi, Kamus Istilah Sastra Indonesia (Nusa Indah, Ende, 1991).
5. Hasanuddin WS, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004).
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Dokumen Jibril, antologi cerpen penulis perempuan Indonesia (Penerbit Republika, Jakarta, 2004).
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Pembisik, antologi cerpen Republika (Penerbit Republika, Jakarta, 2002).
8. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Kota yang Bernama dan Tak Bernama, antologi cerpen Temu Sastra Jakarta 2003 (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003).
9. Herfanda, Ahmadun Yosi, dkk., ed., Yang Dibalut Lumut, antologi cerpen Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 (Direktorat Kepemudaan, Dirjen PLSP, Depdiknas, Jakarta, 2003).
10. Ismail, Taufiq, dkk., ed., Horison Sastra Indonesia: Kitab Cerpen (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001).
11. Rampan, Korrie Layun, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2005).
12. Sumardjo, Jakob, Segi Sosiologi Novel Indonesia (Pustaka Prima, Bandung, 1981).
Baca Lengkapnya....