Pergeseran Konstelasi Sastra Indonesia

Munculnya kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra sejak awal 1990-an telah membuat kekuatan dan potensi sastra Indonesia tidak lagi terpusat di Jakarta. Konstelasi sastra Indonesia terpecah (terdekonstruksi) ke dalam kelompok-kelompok besar dan kecil yang masing-masing menyumbangkan sekaligus mencoba mempengaruhi perkembangan serta kecenderungan estetik sastra Indonesia kontemporer.
Kelompok-kelompok penulis dan pecinta sastra itu mulai berlahiran ketika semangat melawan pusat — Jakarta dengan TIM dan Horison-nya — menguat pada awal 1990-an, setelah didorong oleh oponi-opini kritis dan keras dari sastrawan-sastrawan muda daerah terkemuka saat itu, terutama Emha Ainun Najib, sejak akhir 1980-an.

Sejak didirikan pada awal 1970-an, DKJ dengan TIM-nya, yang masih menjadi satu-satunya dewan kesenian di Indonesia, memang berhasil mencitrakan diri sebagai ‘pusat sastra’ nasional yang berwibawa. Para sastrawan seakan belum dianggap berkelas nasional jika belum ‘dibaptis’ (ditampilkan) oleh DKJ di TIM. Demikian juga majalah Horison, sebelum sastra koran ‘membagi’ perannya, dianggap sebagai satu-satunya ‘kiblat kualitatif’ sastra Indonesia.

Bersamaan dengan mengendorkan selektivitas pengurus DKJ, wibawa TIM sebagai pusat sastra pada awal 1990-an sebenarnya sudah mulai runtuh. Begitu juga halnya dengan Horison, yang pisisinya sebagai kiblat sastra berangsur bergeser ketika rubrik sastra koran-koran Jakarta ikut mengambil bagian perannya. Tetapi, untuk mengubah pandangan para sastrawan daerah terhadap pusat tidaklah gampang, sehingga mereka tetap bermimpi dan berebut masuk ke sana. Sementara, diam-diam, pusat-pusat sastra itu juga tidak mau kehilangan perannya begitu saja.

Dari situlah kemudian muncul semacam ‘gerakan penyadaran’ bahwa DKJ-TM bukanlah segalanya. Pusat-pusat lain bisa saja dimunculkan dengan kemungkinan akses ke media massa yang tidak kalah dibanding DKJ-TIM. Peran pusat nilai sastra harus dibagi, sehingga peluang bagi para penulis daerah dan Jakarta sendiri terbuka semakin luas untuk diakui secara nasional.

Awal Gerakan

Gerakan untuk membentuk kekuatan tandingan dimulai oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas (Semarang) dengan gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman pada akhir 1980-an. Kemudian, pada awal 1990-an lahir Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ), Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Gorong-gorong, Teater Utan Kayu (TUK), dan komunitas-komunitas lain yang menebar di kota-kota besar di Tanah Air.

Belakangan, dari majalah cerpen Annida, lahir juga Forum Lingkar Pena yang mewadahi para penulis fiksi remaja Islami, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) dengan situs web (web site) sastranya, dan Rumah Dunia yang mendenyutkan kehidupan sastra di Banten.

Menebarnya konstelasi sastra tersebut, selain disemangati keinginan untuk menumbuhkan pusat-pusat sastra baru, juga untuk membuka ruang-ruang alternatif baru bagi pemasyarakatan karya-karya mereka, terutama yang merasa tidak tertampung oleh pusat. Kegiatan utama yang mereka selenggarakan, terutama meliputi,
Pertama, mengadakan forum-forum sastra untuk menampilkan para sastrawan dan penulis karya kreatif yang menjadi anggota dan kolega kelompok, baik forum diskusi, kajian karya, temu sastrawan maupun pentas karya sastra.

Kedua, menerbitkan jurnal-jurnal dan antologi karya sastra, terutama untuk menampung karya-karya anggota dan kolega mereka, seperti dilakukan KSI, TUK, Rumah Dunia, dan FLP.

Ketiga, membuka media sastra saiber sebagai media publikasi karya yang bebas dan terbuka untuk mendorong budaya cinta menulis, seperti dilakukan YMS melalui Cybersastra.net.

Dan, keempat, membuka dan membangun jaringan sastra baru sampai ke luar negeri, sehingga untuk tampil di luar negeri tidak lagi tergantung pada rekomendasi DKJ.

Pada perkembangannya kemudian, dominasi dan otoritas yang mereka lawan, pada akhirnya tidak hanya DKJ-TIM dan Horison, tapi juga otoritas sastra koran yang makin hari makin menggeser peran Horison sebagai kiblat sastra Indonesia. Cybersastra.net yang dikelola YMS, misalnya, antara lain dibuka untuk mengimbangi dominasi sastra koran sekaligus menampung karya-karya sastra yang makin membanjir.

Sementara, rubrik sastra koran sendiri, diam-diam, juga dikelola untuk membagi beban majalah Horison yang begitu berat dan gagap dalam menanggapi perkembangan sastra Indonesia mutakhir.

Konstelasi estetik

Menebarnya konstelasi sastra Indonesia pada akhirnya juga mengubah peta potensi dan kekuatan estetika sastra. Ketika Horison masih menjadi kiblat estetik, yang oleh Emha dituding mengembangkan anutan tunggal, kekuatan-kekuatan estetik individual sastrawan menumpuk atau bermuara ke majalah sastra tersebut. Ketika sastra koran berhasil membagi peran Horison, muara kekuatan estetik itu bermuara ke banyak media. Tetapi sebaliknya, kekuatan-kekuatan estetik individual mengelompok ke komunitas-komunitas sastra.

Perubahan konstelasi tersebut juga mengubah sumber pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia. Ketika Horison masih menjadi kiblat, majalah ini juga sekaligus menjadi sumber pengaruh perkembangan estetika sastra Indonesia, terutama estetika puisi. Ketika rubrik puisi Horison masih dipegang Sapardi Djoko Damono, tampak sekali berkembang apa yang disebut Emha sebagai anutan tunggal.

Sajak imajis bergaya Sapardi banyak diambil sebagai gaya para penyair muda pada dasawarsa 1980-an. Namun, setelah kiblat sastra menyebar ke koran-koran Jakarta, anutan tunggal itu pun mencair. Bahkan, sebenarnya, sejak 1980-an, Abdul Hadi WM sudah merintis estetika alternatif (sufistik) melalui rubrik Dialog Berita Buana.

Saat ini, ketika peran komunitas bergeser — tidak lagi untuk mendekonstruksi dominasi pusat — dan makin menguat pada pengembangan kecenderungan sastra, sumber pengaruh pun terbagi ke komunitas-komunitas sastra tersebut. KSI yang dekat dengan komunitas buruh, misalnya, diam-diam ‘mengembangkan’ sastra humanisme-sosial sekaligus sosial religius. Sementara, komunitas TUK lebih cenderung ke humanisme-liberal. Ada juga komunitas baru yang membawa bendera CWI, yang mencoba mengembangkan humanisme-psikologis, namun terjebak ke imaji-imaji yang masokistik.

Di antara komunitas-komunitas yang ada saat ini, yang paling berhasil memberikan pengaruh luas sebenarnya adalah FLP dengan fiksi Islaminya. Buku-buku fiksi Islami dari penulis-penulis FLP tidak hanya laris, tapi juga mempengaruhi banyak penulis di luar FLP untuk ikut-ikutan menulis fiksi Islami.

Kecenderungan itu bahkan menjadi lahan baru bagi para penerbit kecil maupun besar untuk berbisnis buku fiksi Islami. Namun, kita juga tidak dapat menafikan luasnya pengaruh humanisme-liberal, terutama yang bersemangat feminisme-liberal. Setidaknya, karya-karya mereka cukup menarik perhatian dan mengundang banyak polemik.

Di tengah iklim kebebasan dan keterbukaan saat ini, tampaknya, sulit muncul lagi kekuatan sastra yang dapat mengendalikan perkembangan sastra dengan anutan tunggalnya. Kelompok-kelompok ataupun pusat-pusat kekuatan sastra akan gampang terpecah dan bergeser. Apalagi, ketika para kapitalis industri bubaya (penerbitan karya sastra) ikut bermain dalam kondisi pasar yang sangat dinamis, suatu kecenderungan sastra akan gampang cepat berubah. Lihat saja, kecenderungan fiksi seksual kini pun sudah mulai surut.

Intervensi para kapitalis di tengah pusat-pusat yang menyebar dan kecenderungan pasar sastra yang begitu dinamis, memang menjadi tantangan berat bagi para penulis kreatif. Yang tidak mampu cepat menangkap peluang, akan gampang tertinggal dan terlupakan. Apalagi, ketika para pengelola produksi buku dan media sastra juga tertarik untuk mengikuti fenomena dan peristiwa yang terjadi di luar sastra, seperti reformasi dan tsunami.

Penulis yang tidak memanfaatkan peluang itu, setidaknya untuk sesaat, akan terlupakan. Tapi, yakinlah, karya sastra yang besar tidak sepenuhnya bergantung pada momentum-momentum sesaat seperti itu.
Tulisan ini merupakan prasaran untuk Diskusi Sastra Tengah Bulanan, Rumah Dunia, Serang, 22 Mei 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar