700 Puisi dari 37 Tahun Kepenyairan Diah Hadaning



Saya mengenal nama Diah Hadaning (DH) pada tahun 1978, ketika mulai mencoba-coba mengirimkan sajak-sajak ke media massa, saat masih tinggal di kampung, selepas dari SMA. Nama yang puitis itu saya temukan di Mingguan Swadesi. Bagi penulis pemula yang tinggal di desa, di Kaliwungu, Kendal, kolom puisi Swadesi cukup menggoda untuk menjadi salah satu media publikasi. Dua tahun kemudian, tahun 1980, saya sempat bertemu langsung dalam sebuah acara sastra di Harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta. Saat itu saya memang sudah kuliah di Yogya dan sudah aktif menulis di media massa, termasuk di Bernas.
Saat itu, DH sebenarnya sudah hijrah ke Jakarta (sejak 1975), menjadi redaktur Swadesi, dan kemudian mendirikan LSM bimbingan menulis, Warung Sastra Diha. Awal 1980-an, tepatnya 1982, prestasi DH melejit dengan meraih Anugerah Puisi Putera dari Gapena Malaysia, sebuah penghargaan yang dua tahun sebelumnya diraih oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi DH pun terus setia mengunjungi penggemarnya lewat Swadesi, Suara Karya Minggu, Sinar Harapan, Pelita, dan berbagai media massa lain. Tahun 1987, ketika saya mengikuti ajang Temu Penyair Indonesia, yang diadakan oleh DKJ era Abdul Hadi WM, kami bertemu kembali di TIM. Tentu, saat itu, DH masih muda dan cantik. Kemudian, setelah saya hijrah ke Jakarta, kami lantas sama-sama aktif di KSI, karena memiliki kepedulian yang sama pada para penyair pinggiran yang luput dari perhatian pusat-pusat sastra di Jakarta.
Hari ini, Alhamdulillah, saya mendapat kehormatan untuk mengantarkan buku kumpulan puisi terbarunya, 700 Puisi Pilihan, Perempuan yang Mencari (Yayasan Japek dan Pustaka Yashiba, 2010), setebal 700 halaman dan berisi 700 puisi pilihan. Semuanya serba tujuh (7), karena memang diterbitkan dalam rangka hari ulang tahunnya yang ke-70. Buku ini merupakan buku kumpulan puisi modern Indonesia yang ketebalannya menempati urutan kedua setelah Kerygma & Martyria  karya Remy Sylado (Gramedia Pustaka Utama, 2004) setebal  1.056 halaman, yang tercatat di MURI sebagai  buku kumpulan puisi paling tebal di Indonesia. Dan, Alhamdulillah, atas buku kumpulan puisinya ini DH juga mendapatkan MURI dengan kategori ”Penulis Antologi Puisi Tertebal pada Usia Tertua, 700 Halaman pada Usia 70 Tahun”.
Memiliki buku kumpulan puisi sangat tebal, tentu merupakan prestasi sekaligus prestise, dan sekaligus dapat mengukuhkan posisi kepenyairan seseorang. Tetapi, buku tebal tampaknya tidak selalu segalanya. Buktinya, buku tebal Remy Silado itu dikalahkan oleh buku tipis hanya setebal 80 halaman, kumpulan puisi Kekasihku (Gramedia, 2004) karya Joko Pinurbo, dalam ajang Khatulistiwa Literary Awards (KLA) 2005. Keduanya sama-sama masuk nominasi, tapi Kekasihku yang berhasil meraih KLA 2005.
Meskipun begitu, buku tebal tetaplah potensial untuk mengusung berbagai keunggulan. Setidaknya, karena ketebalannya, ia dapat merekam perjalanan panjang kepenyairan seseorang, termasuk (yang utama) perkembangan estetik dan tematiknya. Dan, begitulah buku kumpulan puisi tebal DH, yang merekam sajak masa awal kepenyairannya pada awal 1970-an hingga sekarang. Buku Perempuan yang Mencari ini memuat puisi yang ditulis DH pada Desember 1973, yakni “Wanita dan Bumi Merdeka” (hlm. 691), dan sajak paling anyarnya, yakni “Balada Lanjar, Lelaki Malang yang Mencari Keadilan” yang ditulis pada Februari 2010, dua bulan sebelum buku ini diluncurkan. Dengan demikian, buku ini merekam sekitar 37 tahun masa kepenyair DH, suatu rentang masa kepenyairan yang sangat panjang.
Pada rentang waktu yang panjang itulah, melalui buku ini, kita dapat melihat perkembangan estetik dan tematik sajak-sajak DH. Pada aspek estetik, kita dapat melihat bagaimana perkembangan pemahaman, wawasan, pencarian, serta penemuan puitika DH dan bagaimana ia mengaplikasikannya saat menulis puisi. Apakah ia cukup bertumpu pada bakat alam dengan pemanfaatan puitika (aspek instrinksik puisi) secara apa adanya (sederhana saja), ataukah terus mencari dengan temuan-temuan puitika baru yang lebih segar dan pas untuk mewadahi ide-ide kreatifnya.
Begitu juga ketika kita menyimak perkembangan tematik (isi dan pesan) yang diangkat ke dalam sajak-sajaknya dari waktu ke waktu, kita dapat melihat apakah DH hanya sibuk berbicara tentang kegelisahan batinnya atau mencoba terus berdialog dengan keadaan zamannya yang terus berubah dengan berbagai persoalan baru yang makin pelik.

Perkembangan Puitika
Mencermati perkembangan puitika sajak-sajak DH berarti harus menyimak sajak-sajaknya sejak yang tertua sampai yang terbaru, meskipun dapat saja dengan melompat-lompat. Uniknya, urutan tahun penciptaan sajak-sajak dalam buku ini disusun mundur ke belakang, dari sajak yang terbaru (di depan) sampai sajak yang terlama. Jadi, kalau kita membaca dari depan (dari kiri ke kanan) berarti melakukan pelacakan mundur ke belakang. Jika ingin mencermati sajak terlama hingga terkini, berarti harus membukanya dari kanan ke kiri, seperti membuka Alquran.
Sajak terlama DH, yakni “Wanita dan Bumi Merdeka” (hlm 690-691) nyaris sama sekali tidak memerhatikan aspek instrinksik (tipografi, rima, ritme, diksi, dan pencitraan) puisi. Bahasanya lugas, nyaris tanpa imaji asosiatif maupun simbolik yang puitis dan sugestif. Kalaupun ada imaji simbolik, maka tidak dalam deretan baris-baris puitis yang prismatik, tapi tetap dalam  baris-baris pernyataan yang verbal, dalam deretan kata-kata yang denotatif. Rima dan ritmenya juga tidak tergarap. Begitu juga tipografinya. Puisi ini hanya terdiri dari 58 potong baris pernyataan kritis tentang eksitensi kaum wanita dan keadaan zamannya (1973) yang disusun begitu saja tanpa mengenal pembaitan. Gaya penyajian yang sama juga tampak pada puisi tertua keduanya, “Dari Debu-debu Revolusi” (hlm 689) yang ditulis pada tahun 1974, yang juga menyoal keadaan zaman (bangsa) secara kritis, sbb.

DARI DEBU-DEBU REVOLUSI

Kendati kami telah jadi debu dan tanah
Terdapat sepanjang pantai dan lembah
Belum hirup hangat mentari kemerdekaan
Belum reguk segar nimat kebebasan
Namun bukan berarti
Segala yang pernah kami korbankan
Buat perabuk lading tempat kau bertanam
Dan kukatakan sekarang
Segala kami yang nyawanya masih gentayangan
Sampai yang damai di sisi Tuhan
Kami tak pernah relakan
Bumi hangat
Yang kami basuh dengan darah
Rimba padat
Yang kami dekap dengan cinta pasrah
Kau buat padang penggembalaan
Bagi domba-domba kelaparan
Percuma kami jadi debu beterbangan
Bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
Galaknya tekad sekadar kata pajangan
Bukan untuk itu kami telah sedia mati
Namun buat matikan madu laut katulistiwa
Tempat anak-anak masa depan
Bebas berkubang sambil minum dan tertawa
Tanpa cemas pada neraka dunia

Yogya, 1974

Kesadaran estetik baru muncul pada sajak tertua DH yang ketiga, yakni “Jakarta 75” (hlm 688), yang mencatat peristiwa hijrahnya ke Jakarta, dan ditulis pada Juni 1975. Sajak ini mulai mengenal pembaitan, sehingga tipografinya tampak lebih manis, dengan rima dan ritme yang mulai tertata dengan apik. Meskipun citraan-citraannya tidak bermakna asosiatif ataupun simbolik yang mengandung makna yang dalam dan luas, tapi imaji-imaji alam yang dipadu dengan imaji perkotaan – rembulan di langitmu terpotong puncak gedung, matahari di langitmu terpotong siluet benang --muncul secara sangat puitis dan mengesankan:

JAKARTA 75

Glamournya menyebar liar
Sampai ke kota tua
Mengejek kampung utara
Aku ternganga
Ketika suatu saat
Harus mengetuk pintunya
Untuk bermukim

Glamournya memilih-milih
Tak sampai pada jalan menuju rumahku
Aku bukan sahabat
Aku datang tanpa diundang
Salah diri terbongkok udang
Nembang menatap awang-awang
Jakarta, bagaimana harus menyebutmu

Rembulan di langitmu
Terpotong puncak gedung
Matahari di langitmu
Terpotong siluet benang
Impian di langitmu
Membuatku jadi kepompong
Akankah di sini lama aku

Jakarta, Juni 1975

Membandingkan sajak tertua pertama, kedua dan ketiganya tersebut, tampak adanya semacam loncatan pencapaian prestasi estetik pada proses kepenyairan DH. Sayangnya, tahun 1973 dan 1974 hanya diwakili masing-masing satu sajak. Sedangkan tahun 1975 hanya dua sajak, yang pencapaian estetiknya kurang lebih sama. Kita tidak melihat ada sajak-sajak seperti apa sebelum DH mengalami loncatan pencapaian estetik pada sajak-sajak tahun 1975.
Dan, pencapaian estetik pada sajak tahun 1975 itu kemudian cenderung dipertahankan oleh DH pada sajak-sajak setelahnya, dengan ciri khas: transparan tapi tetap puitis, sederhana tapi indah, dan menghindari ungkapan-ungkapan yang cenderung gelap. Ibaratnya, jangan cari kegelapan pada sajak-sajak DH, tapi carilah pada sajak-sajak Afrizal Malna (Afrizalian) dan para pengikutnya. Ciri lain yang dominan pada sajak-sajak DH adalah kecenderungannya untuk memperhatikan makna kata dan kebermanfaatannya bagi pembaca. Kecenderungan ini dapat kita lihat pada sajak yang ditulisnya hingga sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, dan tiga puluh tujuh tahun kemudian, saat DH mulai bermain-main dengan citraan-citraan simbolik yang unik dan segar, namun tetap komunikatif dan jelas pesan pencerahannya. Coba simak sajak DH yang ditulis pada bulan Agustus 1986 (hlm 594), sajak tahun 1994 (hlm 468), sajak Maret 2004 (hlm 143), dan sajak Januari 2010 berikut ini:

PESAN SEEKOR INDUK BURUNG KEPADA ANAKNYA

Kemerdekaan yang tumbuh di sayapmu
Adalah jantung kehidupan
Terbanglah jauh
Bukit-bukit dan lazuardi
Adalah kekasih dalam hidup mati

Kaulihat jua
Hijau lumut padang rumput
Telah melekat di kanvas para pelukis
Harum aroma mata air
Kini menetes di kalam penyair
Kilauan mutiara manusia
Telah disumbat dalam botol-botol aqua

Kauterbanglah jauh-jauh
Sebelum musim berbunga pestisida
Kaungembaralah jauh-jauh
Sebelum pemburu menyalamimu dengan peluru
O, jaga sayapmu yang merdeka
Setialah berkisah tentang kehijauan
Saat manusia kehilangan pohon-pohon kecintaan
Dan menggantinya dengan plastik-plastik
Tanpa urat kehidupan

Jakarta, Agustus 1986


SUNGAI-SUNGAI TANPA MUARA

Mengalir dari berbagai arah
Membeit-belit kota baja
Mengalir lamban mengusung
Mimpi para urban
Mengusung hari-hari hilang warna
Lalu membelit-belit wilayah hatimu

Sungai-sungai tanpa muara
Karena setiap rusuk tanah
Telah masuk dalam
Kepala yang menganga

Sungai-sungai mengalir berputar-putar
Sisa hutan menangis diam-diam
Barangkali saat angin mati
Dan tasbih-tasbih suarakan barzanji
Sungai-sungai temukan muaranya lagi

1994


BENDERA-BENDERA DI JALAN RAYA

Hari ini bendera-bendera berkibaran
Jalan raya mandi warna
Bocah-bocah anak rimba beton
Menengok selintas lalu bergegas
Ketinggalan bus kota

Di halte bocah-bocah anak urban
Menunggu kesempatan, sementara pandangnya
Sesekali tertuju ria pada bendera
Yang melambai dari seberang jalan
Mengirim salam

Bendera terus melambai
Warna-warna bias pelangi
Digetar angin memanggili
Seorang bocah terkesima
Bendera-bendera di jalan raya

Adakah kejujuran
Adakah kecurangan
Di balik kibarnya

Bogor, Maret 2004


PROYEKSI DARI SENTANI

Gerimis pagi Bekasi melukis bias wajah
Lelaki tua dari Sentani lama – Yan Yapo
Memadat di wajah coklat tua
Dua anak muda Papua
Di lembab Januari
Tempat kakek moyangnya kini
Menjaga bumi Papua sejati

Yan Yapo, tak bisa kuterjemahkan
Yan Yapo, tak bisa kuuraikan
Sendainya di tanahmu
Terjadi keajaiban usung perubahan
Seandainya di hari-harimu
Papua tak lagi ulang-ulang lagu “sorata”
Yamdena tak disapa bencana kering memasir
Tambang-tambangmu tak disentuh gadai
Yang lamanya puluhan tahun, wahai

Yan Yapo, gunung hijau jadi lembah terburai
Kulihat lekat di wajah gelap
Dua anak muda Papua di Panti
Yang tak mengerti arus sejarah tumpah darah
Tergerogoti aneka sewa-menyewa
O, biji emas ada saatnya ludas
O, perubahan jangan jadi kano kandas

Bekasi, Januari 2010

Kepedulain Sosial
Secara tematik, sajak-sajak DH, sejak masa awal kepenyairannya sampai saat ini, adalah sajak-sajak peduli sosial. Dalam buku ini nyaris tidak ditemukan sajak yang berkutat dalam kegelisahan personalnya, baik tentang cinta, kesepian, maupun kerinduan pada seseorang. Dalam bersajak, DH lebih menempatkan diri sebagai mahluk sosial yang terpanggil untuk ikut memperhatikan, dan jika bisa memperbaiki, keadaan buruk lingkungan hidupnya, sejak lingkungan alam, lingkungan sosial, sampai lingkungan politik. Di sela-sela kepeduliannya itu, DH mencari dan terus mencari, keadilan dan kebenaran sejati, yang makin raib dari kehidupan.
Sajak-sajak yang dikutip secara melompat-lompat di atas dengan jelas menunjukkan kepedulian DH itu. DH sangat peduli pada nasib kaumnya, nasib bocah-bocah miskin yang mengadu nasib di kota, lingkungan alam yang makin rusak, nasib anak-anak bangsa yang terpinggirkan, sampai kondisi politik yang tidak memihak pada rakyat. Jika pada tahun 1980-an sempat muncul ide tentang pentingnya sajak-sajak yang kontekstual, sajak-sajak yang peduli pada persoalan masyarakatnya, seperti dilontarkan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), maka sajak-sajak DH dapat disebut sebagai contohnya.
Jika dirujukkan pada pemikiran MH Abrams (dalam  A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), maka sikap DH dalam bersastra dapat dikelompokkan ke dalam sikap atau orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik,  yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya, yang cenderung mementingkan kebermanfaatan non-literer, seperti membangun sikap kritis dan pencerahan nurani pembacanya. Suatu orientasi penciptaan yang juga dipilih oleh Rendra, Tagore, Kahlil Gibran, Kuntowijoyo (dengan istilah sastra profetiknya), dan Emha Ainun Nadjib dengan gerakan seni maiyah-nya.
Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada 'orientasi kedua' Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel  Max Havelar  karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.
Persoalannya, dewasa ini, karya-karya “sastra terlibat” atau “sastra kontekstual” ataupun “sastra profetik” kurang mendapatkan tempat di kalangan para akademisi dan elit sastra Indonesia. Yang kini cenderung dimanjakan justru karya-karya sastra yang kurang jelas komitmen estetiknya, yang cenderung hanya memberhalakan estetika dan keindahan bahasa, tanpa peduli apakah isinya bermanfaat bagi pembaca atau tidak. Tak heran, jika buku tebal seperti karya DH ini akan kurang dilirik oleh para elit sastra yang terlibat pada tradisi-tradisi pemberian penghargaan sastra di Indonesia. Padahal, semestinya, pada buku-buku kumpulan puisi seperti inilah penghargaan sastra diberikan.
Selamat, DH, atas terbitnya buku kumpulan sajak tebal tebal ini, atas sampainya usia pada angka keramat 70 tahun. Semoga tetap produktif, kreatif, sehat dan bahagia. Meski elit sastra Indonesia masih melihat karya-karya sastra yang tak sesuai selera estetiknya dengan sebelah mata, percayalah Tuhan tidak akan pernah tidur. Tuhan akan terus mencatat karya-karya sastra yang memang ditulis untuk kemaslahatan umat manusia, dan akan memberikan pahala berlipat ganda melalui pintu-pintu yang tidak terduga!

                                                                               Jakarta, 4 Mei 2010.

2 komentar:

  1. trimakasih sudah menjadikan q sedikit tahu tentang Ibu DiHa

    BalasHapus
  2. Saya suka puisi Ibu DH, salah satunya karena puisinya banyak bicara tentang budaya.

    BalasHapus