REINKARNASI

kukembalikan dagingku pada ikan
kuserahkan darahku pada kerang
makanlah milikku, ambil seluruhku
kukembalikan tulangku pada tripang

jika aku mati
hanya tinggal tanah
jiwaku membumbung
ke kekosongan

bertahun-tahun aku mengail
berhutang nyawa pada ikan
berabad-abad aku minum
berhutang hidup pada laut
berwindu-windu aku berlari
berhutang api pada matahari
tiba saatnya nanti kukembalikan
semua hutangku pada mereka

kukembalikan jasadku pada tanah
sukmaku kembali ke tiada
: zat pemilik segalanya!

Jakarta, 1992.
Baca Lengkapnya....

MONOLOG SEORANG VETERAN YANG TERCECER DARI ARSIP NEGARA

Bendera-bendera berkibar di udara
Dan, orang-orang berteriak ‘’telah bebas negeri kita”
Tapi aku tertatih sendiri
Di bawah patung kemerdekaan yang letih
Dan tersuruk di bawah mimpi reformasi

Kau pasti tak mengenaliku lagi
Seperti dulu, ketika tubuhku terkapar penuh luka
Di sudut stasiun Jatinegara, setelah sebutir peluru
Menghajarku dalam penyerbuan itu
Dan negeri yang kacua mengubur
Sejarah dalam gundukan debu

Setengah abad lewat kita melangkah
Di tanah merdeka, sejak Soekarno-Hatta
Mengumumkan kebebasan negeri kita
Lantas kalian dirikan partai-partai
Juga kursi-kursi kekuasaan di atasnya
Gedung-gedung berjulangan
Hotel-hotel berbintang, toko-toko swalayan
Jalan-jalan layang, mengembang bersama
Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi,
Yang membengkakkan perutmu sendiri
Sedang kemiskinan dan kebodohan
Tetap merebak di mana-mana
Dan, aku pun masih prajurit tanpa nama
Tanpa tanda jasa, tanpa seragam veteran
Tanpa kursi jabatan, tanpa gaji bulanan
Tanpa tanah peternakan, tanpa rekening siluman
Tanpa istri simpanan

Meskipun begitu, aku sedih juga
Mendengarmu makin terjerat hutang
Dan keinginan IMF yang makin menggencet
Kebijakan negara.
Karena itu, maaf, saat engkau
menyapaku, “Merdeka!”
Dengan rasa sembilu
Aku masih menjawab, “Belum!”

Jakarta, 1998-2008.
Baca Lengkapnya....

Penyair Dunia Mengaduk Budaya di Sungai Musi

Membaca puisi di atas geladak Kapal Sigentar Alam yang melaju di atas Sungai Musi, Palembang, penyair Emha Ainun Nadjib harus mengandalkan spontanitas dan kemampuan vokalnya melawan deru angin dan suara mesin. Tapi, sajak yang ia rangkai secara spontan di atas kapal cukup apik dan retoris: Palembang,
Aku melihat
para penyembah cinta
dari Belanda, Italia,
Jerman, Australia…
Membawa cinta untuk diaduk
di atas kapal malam ini.
Palembang,
Marilah kita melakukan
pernikahan budaya
melalui puisi…

Emha memang dikenal piawai berimprovisasi dan merangkai retorika secara spontan. Sementara, penyair-penyair lain termasuk beberapa penyair manca negara yang tidak mengandalkan improvisasi, agak keteter dan suara mereka pecah oleh terjangan angin yang cukup kencang. ”Suaraku hilang diterbangkan angin,” ujar Flavio Santi, penyair dari Italia, usai membaca sajak di kapal itu.

Meskipun begitu, acara baca puisi di atas kapal pesiar tersebut menjadi sesi yang sangat unik dan mengesankan bagi para peserta The Indonesian International Poetry Festival (IIPF) 2006, yang digelar di Palembang (2-3 Juli) dan Jakarta (5-8 Juli), itu. Tidak hanya di panggung gedung kesenian, mereka juga mencoba mengaduk budaya lewat puisi di atas kapal, di tengah sungai, seperti kutipan sajak spontan Emha di atas.

Festival yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) ini diikuti sekitar 40 penyair dari 37 negara. Selain Santi, dari manca negara ada Hans Wap, Tsead Bruinja, dan Peter Swanborn (Belanda), Martin Jankowski (Jerman), Flavio Santi (Italia), Anni Sumari (Finlandia), Hal Jugde (Australia), Khairulizam (Malaysia), serta Madeleine Lee (Singapura).

Di kota empek-empek Palembang, acara utama digelar di gedung Graha Budaya. Para penyair bergantian membaca puisi dalam bahasa ibu (asli) mereka masing-masing, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Selain Emha, beberapa penyair Indonesia yang tampil di Palembang, antara lain Taufiq Ismail, D Zawawi Imran, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman, Dorothea Rosa Herliani, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Raudal Tanjung Banua.

Sebuah buku antologi puisi setebal 476 halaman, bertajuk Poetry and Sincerity, yang dieditori oleh Agus R Sarjono dan Martin Mooij, melengkapi even sastra yang bernuansa wisata dan penuh semangat persahabatan tersebut. ”Festival ini didedikasikan untuk semangat persahabatan dan kemanusiaan,” ujar Agus, yang juga ketua panitia festival.

Bagi para penyair Indonesia, kata pengamat sastra yang juga angota panitia festival, Maman S Mahayana, festival puisi ini dapat membuka peluang untuk mengenal karya dan sosok penyair dari negara-negara lain. Mereka dapat saling berkenalan sehingga lingkup pergaulan sastra mereka menjadi lebih luas. ”Pengenalan itu akan memperkaya perspektif, gagasan, dan proses kreatif penciptaan puisi bagi mereka,” katanya.

Festival puisi ini juga diyakini dapat meningkatkan kesepahaman lintas budaya melalui puisi. Pengamat sastra dari Universitas Tasmania yang kini sedang menekuni studi tentang Indonesia, Heather Curnov, melihat even ini dapat menjadi forum dialog budaya antar-bangsa guna membangun saling pengertian. ”Penyair-penyair dari berbagai negara dapat bertemu dan berdialog bebas tentang sastra dan budaya masing-masing,” katanya.

Dengan menyaksikan festival ini, para pengamat sastra juga dapat memperbandingkan gagasan, gaya pembacaan puisi, dan estetika bahasa dari banyak penyair dari negara lain. Tampak, misalnya, para penyair Indonesia dan Malaysia lebih ekspresif dalam membaca sajak di panggung. Sedangkan penyair-penyair Eropa dan Australia lebih dingin dan datar.

Sajak-sajak para penyair Eropa dan Australia rata-rata juga lebih sederhana dan komunikatif, serta banyak mengangkat pengalaman keseharian, termasuk catatan perjalanan. Sedangkan sajak-sajak penyair Indonesia cenderung berestetika lebih rumit dengan tema-tema yang berat, serta cenderung berfilsafat, atau berisi kritik sosial-politik yang tajam dan pedas.

Meskipun begitu, ada benang merah yang jelas menyatukan karya-karya mereka, yakni semangat kemanusiaan. Martin Mooij yakin, nilai-nilai kemanusiaan yang disuarakan oleh para penyair itu akan berumur panjang dan bermakna universal. ”Penyair tidak akan berhenti melontarkan suara-suara manusia yang lemah di tengah puncak kekerasan perang, pembungkaman, tekanan senjata, atau penjara,” tulisnya pada pengantar buku.

Di Jakarta, acara utama digelar di Teater Kecil dan Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) serta di areal air mancur Monas. Sederet penyair Indonesia, seperti Abdul Hadi WM, Aslan Abidin, Anwar Putra Bayu, Azhari, Gus tf Sakai, Godi Suwarna, Nenden Lilis, Sitor Situmorang, T Wijaya, dan Warih Wisatsana, menambah kesemarakan pentas baca puisi, yang diantarkan oleh Santi Diansari dan Acep Zamzam Noor. Emha, yang tampil bersama grup musik Kiai Kanjeng, menambah daya tarik pertunjukan.

Sesi acara yang juga menarik dan mengesankan adalah penayangan rekaman seluruh acara festival dengan teknologi digital-hologram di atas air mancur Monas. Tayangan digital yang digarap oleh Hery Dim dan Malhamang Zamzam itu sempat memukau ribuan penonton yang sedang berekreasi di Monas. Para penyair dari manca negara pun sempat dibuat takjub. ”Baru pertama kali ini saya mengikuti acara sastra yang spektakuler seperti ini,” komentar penyair Jerman, Martin Jankowski.

Betapa tidak, di udara terbuka, di atas air mancur Monas, terpampang ‘layar virtual’ yang selama sekitar dua jam menayangkan cuplikan-cuplikan terpenting acara festival, sejak pembukaan di Palembang, sampai pentas terakhir di TIM. Malam harinya (8 Juli) acara ditutup di Teater Kecil TIM. Dan, berakhirlah perhelatan besar yang begitu bermakna dan sangat mengesankan itu.
Baca Lengkapnya....

Menyorot Bahasa Indonesia dalam Film Kita

Ada indikasi bahwa bahasa dalam film kita tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Adalah peneliti dari Pusat Bahasa Depdiknas, Yayah B Lumintang, yang mengemukakan indikasi itu pada diskusi Bahasa dalam Film Kita dalam rangka Festival Film Indonesia (FFI) 2008, di Gedung Film, Jakarta, pekan lalu.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Yayah menemukan banyak bukti bahwa bahasa dalam film-film nasional banyak diwarnai bahasa gaul (slank dan prokem) serta kuatnya pengaruh bahasa asing. Menurutnya, agar menarik, bahasa film tidak harus demikian. Dia mencontohkan film Gee yang bahasa Indonesianya sangat bagus namun tetap menarik.

Ada sedikit perbedaan persepsi tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film. Perbedaan ini terasa sekali dalam diskusi. Kalangan pakar bahasa, seperti Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, menginginkan agar bahasa dalam film sedekat mungkin dengan bahasa baku, meskipun tidak harus diseragamkan. Semangat senada juga tampak dari prasaran pembicara lain, Direktur Perfilman Depbudpar Ukus Kuswara.

Sementara, kalangan praktisi perfilman memandang bahwa bahasa Indonesia dalam film bersifat fleksibel, sesuai kebutuhan karakterisasi tokoh cerita, latar sosial-budaya, dan kepentingan pasar. Artis, produser, dan sutradara Lola Amaria, bahkan cenderung memandang pasar sebagai yang utama. Karena itu, baginya, untuk merebut pasar, sah-sah saja dialog dalam film banyak memunculkan bahasa gaul, dan memakai bahasa asing (Inggris) untuk judulnya.

Di tengah perbedaan itu, pengusaha bioskop dan produser film, Chand Parves Servia, memilih bersikap moderat. Film, menurutnya, adalah cermin keseharian masyarakat, termasuk keseharian masyarakat dalam berbahasa. “Bahasa dalam film bisa dianggap mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari,” katanya.

Karena itu, menurutnya, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film tidak dapat ditafsirkan secara kaku, tetapi harus secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan karakterisasi dan realitas keseharian tokoh cerita serta latar sosial-budaya yang hendak digambarkannya.

Dari sinilah tampak ada tarik-menarik antara keinginan untuk mencerminkan bahasa sehari-hari masyarakat yang diangkat ke dalam film dan kepentingan untuk memenuhi prinsip berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, Parves tetap sutuju perlunya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Dua sisi

Penggunaan bahasa dalam film, menurut Parves, dapat dilihat dari dua sisi, yakni bahasa lisan (dialog dan narasi) serta bahasa tulis (judul dan credit tittle). Bahasa lisan dalam film yang diangkat dari skenario yang ditulis oleh penulis yang penguasaan bahasanya baik, akan menghasilkan bahasa lisan (dialog) yang baik pula — kecualai diubah oleh sutradara yang penguasaan bahasanya kurang baik. Namun, bila penguasaan bahasa sutradaranya baik, maka film yang diangkat dari skenario yang bahasanya kurang baik pun dapat menghasilkan film dengan bahasa yang baik.

Bahasa lisan dalam film kita, menurut Parves, sesungguhnya sudah dapat dikatakan baik. Namun, kadang-kadang masih terdapat kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, terutama berkaitan dengan logika bahasa. Sering ada tokoh yang mengucapkan dialog yang tidak sesuai dengan karakternya, misalnya tukang becak menggunakan bahasa orang gedongan. Selain itu, dalam penggunaan bahasa tulis, film kita juga sering salah ejaan.

Selain sebagai media hiburan, menurut Parves, film juga menjadi ‘guru bahasa’. Kekurangan atau kesalahan bahasa dalam film kita, sangat besar pengaruhnya terhadap anak-anak dan remaja yang banyak ‘berguru’ pada film bioskop dan sinetron. “Dengan keseriusan bersama, kesalahan penggunaan bahasa dalam film akan dapat dihindari,” katanya.

Parves yakin, untuk menghasilkan film-film dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak perlu ahli bahasa. Yang diperlukan, tegasnya, adalah kemauan bersama para insan film. Semangat inilah yang cukup menggembirakan Dendy Sugono dan Ukus Kuswara, yang sama-sama mengharapkan penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Namun, Dendy tidak akan menyeragamkan bahasa film. Sebab, menurutnya, pengeritan bahasa Indonesia yang baik dan benar (dalam film) bersifat fleksibel, dinamis, wajar, dan kontekstual. “Bahasa adalah cermin dinamika kehidupan. Film juga cermin dinamika kehidupan. Bahasa yang berkembang di masyarakat tercermin dalam film,” katanya.

Meskipun begitu, Dendy mengingatkan pentingnya politik identitas dalam film kita, dengan bersikap setia pada kosa kata bahasa Indonesia, dan sedapat mungkin menghindari bahasa asing, termasuk pada judul film. Sebab, semakin banyaknya bahasa asing pada film kita sama artinya dengan makin lunturnya identitas kebangsaan kita.

Untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia dalam film, forum lantas mengajukan beberapa kesimpulan dan rekomendasi penting. Salah satunya, merekomendasikan agar Festival Film Indonesia (FFI) tetap mempertahankan penghargaan untuk kategori film berbahasa Indonesia terbaik, yang pada FFI 2007 diraih oleh film Kala produksi MD Pictures.

Forum juga mengusulkan agar Pusat Bahasa Depdiknas, dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa, yang digelar tiap tahun, dapat memberikan penghargaan bagi film dengan bahasa Indonesia terbaik.
Baca Lengkapnya....