RAHASIA CINTA

Rahasia cinta ada pada bunga yang tak pernah ingkar
Memekarkan dirinya demi kupu-kupu
Yang membutuhkan madu untuk menitikkan serbuk sari
Pada benih hingga tumbuh buah ranum bagi kehidupan

Rahasia cinta ada pada kesetiaan pantai yang selalu
Sabar menunggu kecupan ombak, dan atas kesabarannya
Ombak selalu bergairah memberikan kecupan pada
Bibir sang pantai, hingga tak ada detik yang terlewat
Dari kasih sayangnya

Rahasia cinta ada pada gairah dan kesetiaan
Yang selalu mempertemukan dua hati yang saling
Merindu untuk bersua dan menyatukan nafas
Dalam kehidupan yang penuh makna

Rahasia cinta ada pada semua yang bersedia menyayangi
Tanpa berhitung bakal mendapat apa setelah memberi
Rahasia cinta ada pada hati yang terbuka untuk menerima
Bagai samodra yang selalu ikhlas menerima tiap gelisah muara,
Menghidupi berjuta nelayan dan memeram resah
Berjuta nakhoda yang selalu merindu dermaga

Rahasia cinta ada pada hati
Yang selalu bersedia berbagi
Dari luka hingga nikmat paling sejati
Rahasia cinta ada di dalam dada
Yang tulus menjadi samodra maaf
Dengan lautan pengertian
Bagi yang satu dengan lainnya

Kota Tua, 2010
Baca Lengkapnya....

KAU DAN AKU

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam dekapan
rahasia Cinta

Jakarta, 1999/2009
Baca Lengkapnya....

GENDON

Karena lelaki itu hampir selalu menghabiskan sepanjang harinya untuk tidur mlungker di serambi masjid, orang pun menjulukinya Gendon. Ia adalah lelaki tunanetra yang tidak begitu jelas asal usulnya. Tiba-tiba saja dia sudah berada di masjid kampungku dan menyerahkan seluruh hidup matinya pada warga di sekeliling masjid.
    Tidak seorang pun tahu pukul berapa ia datang, diantar siapa, dan berasal dari mana. Orang-orang kampung hanya mencatat dalam ingatan masing-masing, bahwa pagi itu, ketika waktu Subuh tiba, mereka dikejutkan oleh suara azan yang sangat aneh dari mesjid tua itu.
    Suara azan yang dikumandangkan dengan bantuan corong dari seng itu segera membangunkan warga sekitar masjid kecil yang lebih layak disebut sebagai mushalla. Orang-orang kaget karena sudah cukup lama masjid itu sepi dari suara azan subuh. Bahkan, hampir tidak pernah digunakan untuk sembahyang berjamaah kecuali pada hari Jumat.
    Begitu azan terdengar, Bu Malik, menantu almarhum Kiai Solikhin yang rumahnya bersebelahan dengan masjid, langsung terbangun. Ia merasakan seperti ada suara malaikat yang bergetar keras di telinganya dan menghentak seluruh syarafnya. Suara azan yang melengking tinggi itu seperti mengiris-iris hatinya sampai ngilu.
    Bu Malik lantas menengok suaminya. Ia rupanya juga sudah terbangun oleh suara azan itu. Dalam keremangan cahaya listrik lima watt, Pak Malik, anak tertua Kiai Solikhin, tampak duduk memeluk lututnya sambil memperhatikan suara aneh itu. Akan tetapi, kemudian dia menguap dan tidur lagi sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
    Karena penasaran pada suara azan itu, Bu Malik keluar menuju masjid. Tanpa diduga, beberapa tetangganya yang tinggal di kanan kiri masjid juga ikut keluar untuk mengintip pemilik suara aneh yang menggetarkan hati itu.
    "Suara siapa itu, Bu," tanya seorang tetangganya.
    "Saya tidak tahu. Saya mau melihatnya," jawab Bu Anwar sambil bersijingkat ke jendela samping masjid.
    "Siapa, Bu?" tanya tetangganya lagi.
    Bu Malik hanya menggeleng.
    Para tetangganya kemudian ikut mengintip pemilik suara aneh itu. Namun, tidak seorangpun mengenal lelaki kurus bersarung dan berpeci lusuh yang dengan penuh perasaan mengalunkan azan Subuh.
    Selesai azan, lelaki itu membaca Shalawat Nabi. Cukup lama. Karena tidak ada seorang pun yang datang untuk berjamaah Subuh, baik imam maupun makmum, akhirnya lelaki itu mengumandangkan qomat.
    Bersamaan dengan geletar suara qomat, tiba-tiba muncul degupan aneh di dada Bu Malik. Degupan itu kemudian dengan begitu kuat menyeret langkahnya ke tempat wudu dan menggerakkan tangannya untuk berwudu serta melangkah kembali ke masjid. Ia lalu mengambil mukena di lemari masjid dan berdiri di belakang lelaki asing itu untuk menjadi makmumnya.
    Langkah Bu Malik rupanya diikuti oleh beberapa tetangganya yang ikut mengintip di jendela masjid. Mereka pun melakukan shalat Subuh untuk pertama kali di masjid itu sejak meninggalnya Kiai Solikhin dua tahun lalu.
    Usai shalat, orang asing itu menyalami Lek Sodikun, salah seorang tetangga Bu Malik yang ikut berjamaah. Mereka pun kaget melihat mata lelaki itu. Orang asing itu ternyata tuna netra.
    "Lho, Bapak tidak bisa melihat?" tanya Bu Malik.
    "Ya, Bu," jawab lelaki itu.
    "Bapak dari mana?" tanya Lek Sodikun.
    "Mengapa Bapak tiba-tiba ada di sini?" tanya yang lain.
    "Saya sendiri tidak tahu, saya ini berasal dari mana. Sejak kecil saya hidup dari masjid ke masjid. Sehabis sembahyang malam di masjid terakhir tempat saya tinggal yang tidak saya ketahui namanya dan daerah mana, tiba-tiba ada seseorang yang membawa saya. Saya di bawa naik mobil dan diturunkan di sini. Ketika saya tanya, siapa dia dan akan membawa saya ke mana, dia hanya bilang bahwa saya akan tahu sendiri nanti dan saya dilarang bertanya lagi. Setelah saya diturunkan dia hanya berkata, di sinilah tempatku yang baru," cerita lelaki buta itu.
    "Lantas, siapa namamu?" tanya Bu Malik.
    "Namaku Slamet, Bu."
    "Lalu, keluargamu di mana?"
    "Saya tidak punya siapa-siapa, Bu. Tidak punya keluarga, tidak ada yang tahu saya anak siapa. Sejak kecil saya buta dan sejak kecil pula saya tinggal dan hidup di masjid. Sejak kecil saya hidup dari belas kasihan orang-orang di sekitar masjid yang tiap hari secara bergiliran memberi makan saya," cerita Slamet.
    "Kalau begitu, tinggal saja di masjid ini. Sudah lama masjid ini tidak ada yang mengurus. Kalau waktu shalat tiba juga tidak ada yang azan. Soal makan, jangan khawatir. Saya akan memberimu setiap hari," kata Bu Malik.
    "Saya juga bersedia memberimu makan," sambung Lek Sodikun.
    "Saya juga," ujar yang lain.
    "Kalau begitu kami akan memberi makan secara bergiliran," ujar Bu Malik sambil menyentuh dengkul lelaki buta itu.
    Sejak hari itulah hidup mati Slamet menjadi tanggungan warga di sekitar masjid kampungku. Bu Malik mengatur giliran memberi makan Slamet sehari tiga kali. Mula-mula di mata warga setempat lelaki itu tampak menyenangkan. Ia sangat rajin mengurus masjid, azan tiap waktu shalat tiba dan mengaji hampir sepanjang hari. Masjid yang semula sepi dan terbengkelai itu menjadi ramai kembali.
    Anggapan masyarakat terhadap Slamet pun terus berkembang. Ia tidak lagi sekedar dianggap sebagai muazin dan pemakmur masjid, tetapi juga dianggap sebagai wali tiban. Orang-orang pun berebutan memberinya makan dan memanjakannya. Slamet semakin lama bertambah gemuk saja.
    Bukan begitu saja. Slamet, sebagai wali tiban, juga menjadi tempat tumpahan suka duka warga kampung. Bahkan, juga menjadi semacam konsultan agama, keluarga, dan segala macam persoalan kampung.
    Semakin lama Slamet makin sibuk melayani orang-orang kampung. Setiap hari selalu ada persoalan yang diadukan kepadanya. Bahkan, kemudian banyak juga yang menanyakan nomor buntut SDSB yang bakal keluar. Hal yang paling membuatnya tidak tahan adalah semakin banyaknya orang yang suka memancing-mancingnya untuk ngrasani warga kampung yang dianggap punya borok, ngrasani Lek Parto yang anaknya menjadi perawan tua, Surtiyem yang hamil tanpa suami, Pak Kasman yang kaya mendadak dan dianggap punya tuyul, Pak Kasno yang korupsi, atau Pak Kadus yang memanipulasi uang proyek irigasi, dan banyak lagi. Inilah yang membuat dia terpaksa memutuskan untuk menutup forum konsultasi gratisnya dan memilih tidur untuk mengisi waktu luangnya.
    Slamet segera minta tolong seorang pemuda kampung untuk menulis 'Mulai hari ini tidak terima tamu' pada selembar kertas karton. Kertas ini ia pasang pada dinding serambi masjid. Setiap habis makan pagi, makan siang, dan makan malam dia tidur di bawah tulisan itu. Ia hanya bangun tiap waktu azan tiba, kemudian sembahyang, makan dan tidur lagi. Ini berjalan sampai berbulan-bulan hingga warga kampung menjulukinya ‘Gendon’.
    "Untuk menghindari dosa lebih baik saya tidur," jawab Slamet ketika Bu Malik menanyakan perubahan kebiasaannya yang mendadak itu, tanpa mau menjelaskan dosa apa yang dimaksudnya.
    Semula orang-orang kampung maklum saja atas perubahan kebiasaan Slamet itu. Ini karena mereka terlanjur menganggapnya sebagai wali tiban. Mereka menganggap wajar, bahwa seorang wali kadang-kadang memang suka berbuat yang aneh-aneh. Mereka dengan suka rela tetap memberi makan pada Slamet sesuai giliran masing-masing. Sampai pada suatu ketika desa mereka dilanda musim paceklik, sawah-sawah diserang hama wereng, dan panen gagal total. Warga kampung mulai keberatan untuk memberi makan Slamet. Konflik tentang Slamet pun mulai muncul.
    "Maaf, Bu Malik, mulai besok saya tidak sanggup lagi memberi makan Slamet," kata Mbok Sodikun di serambi masjid seusai sembahyang Asar. "Sawah saya kena wereng semua, tidak bisa dipanen. Untuk makan sendiri saja repot, Bu."
    "Saya juga tidak bisa lagi, Bu," sambung Bu Pardi.
    "Saya juga tidak bisa," timpal yang lain lagi.
    "Aduh! Apa harus saya yang menanggung semuanya sekarang. Sawah saya juga kena wereng. Ibu-ibu ini bagaimana? Beban saya kan terlalu berat nanti. Apalagi sekarang Slamet makannya semakin banyak. Ibu-ibu dulu kan sudah sanggup untuk membantu," jawab Bu Malik dengan nada kecewa.
    "Habis bagaimana lagi, Bu. Keadaan kami sedang paceklik," kata Mbok Sodikun.
    "Bagaimana kalau Slamet kita suruh pindah saja ke masjid lain," usul Bu Pardi.
    "Ya, kita suruh pindah saja. Lagi pula dia sekarang kerjanya cuma tidur saja, mlungker seperti gendon," kata yang lain.
    "Apa tidak kasihan dia?"
    "Kasihan bagaimana? Kita sendiri sedang kekurangan makan."
    "Salah kita, dulu kita sanggup memberi makan dia."
    "Sudahlah! Biar saya saja yang memberi makan," kata Bu Malik akhirnya.
    Akan tetapi, keputusan Bu Malik itu menimbulkan konflik tersendiri dengan suaminya. Pak Malik keberatan untuk menanggung seluruh kebutuhan hidup lelaki tunanetra itu. Bahkan, Pak Malik kemudian memutuskan untuk memindahkan Slamet ke masjid lain.
    Sore itu, Pak Malik bermaksud 'membuang' Slamet ke luar kampung. Ia mengambil sepedanya untuk memboncengkan lelaki itu. Akan tetapi, begitu dia memegang stang sepedanya, tiba-tiba terdengar derum mobil yang berhenti di depan masjid. Sesaat kemudian, derum itu mengeras dan lenyap tiba-tiba.
    Pak Malik cepat-cepat memburu suara itu, tetapi tidak menemukan apa-apa di depan masjid. Dengan penasaran dia lantas menengok ke dalam masjid. Tidak ada siapa-siapa. Slamet, yang biasanya tidur di serambi masjid, juga tidak kelihatan lagi. Ia lantas mencarinya ke seluruh sudut masjid, WC, kamar mandi, dan tempat wudu. Tetap saja lelaki itu tidak ditemukan.
    "Bu, Slamet hilang!" teriak Pak Malik.
    Bu Malik pun segera ikut mencari Slamet, begitu juga orang-orang sekitar masjid. Bahkan, mereka juga mencarinya ke seluruh sudut kampung. Slamet tetap tidak ditemukan. Juga tidak ditemukan jejak ban mobil di depan masjid, padahal tanah di depan masjid basah karena baru saja turun hujan – hujan yang juga aneh karena tiba-tiba turun di tengah musim kemarau. Mereka makin terheran-heran ketika kemudian menemukan pesan Slamet tertulis pada selembar kertas yang tergeletak di pintu masjid:
    Bapak-Ibu tidak perlu repot-repot memikirkan makan saya lagi. Juga tidak perlu susah-susah memindahkan saya ke masjid lain. Sebab sang Gendon kini telah berubah menjadi Kwangwung. Dengan sayapnya kini sang Kwangwung terbang ke langit. Selamat tinggal. (Slamet)
    Warga kampungku semakin yakin bahwa lelaki tunanetra itu benar-benar wali tiban yang raib kembali karena tugasnya di masjid kampungku telah selesai.

Yogyakarta, 22 Maret 1992

*Cerpen ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Juni 1992, dan memenangkan juara harapan Suara Merdeka Awards ‘92.
Baca Lengkapnya....

LEK WAR

Semua warga kampungku yakin, lelaki bujang berusia 30 tahun itu buta. Matanya memang terbuka. Setiap orang yang menatapnya pasti hanya akan menangkap bulatan berselaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Namun, lelaki yang biasa dipanggil Lek War itu tidak pernah sedetikpun merasa buta. Dalam dirinya ada suatu keyakinan bahwa dunia ini memang gelap dan serba hitam.
    Ia sudah amat sering mendengar cerita ataupun penjelasan dari ayah-ibunya, saudara-saudara, dan para tetangganya tentang wajah dunia yang sebenarnya: tentang matahari yang bagai pijar panas menyilaukan, tentang laut dan langit yang berwarna kebiruan, tentang pohon-pohonan yang berdaun hijau, tentang kulitnya yang coklat kehitaman, tentang kucingnya yang berkaki empat dan berbulu putih kecoklat-coklatan, dan tentang apa saja yang ada disekelilingnya.
    Tapi, Lek War sama sekali tidak percaya itu semua. Ia menganggap semua itu hanyalah bayangan-bayangan mereka saja. Sama seperti ketika dia membayangkan nasi hangat yang dimakannya setiap hari berwarna merah kekuning-kuningan, telapak tangannya biru kehijau-hijauan, atau air kamar mandinya berwarna merah kecoklatan. Ia amat yakin yang ada hanyalah kegelapan. Dalam kegelapan itulah dia menganggap setiap orang bebas membayangkan bentuk dan warna apa saja tentang benda-benda yang dikenalnya sesuka hatinya. Orang bebas membayangkan telapak tangannya berwarna merah atau hijau, kakinya coklat atau biru, dan kepalanya hitam atau putih.
    Dengan keyakinan pada kemampuan penglihatannya itu Lek War merasa bisa bebas bergerak ke manapun tanpa bantuan orang lain. Ia juga sangat yakin mengenal bentuk setiap margasatwa dan liku-liku lingkungan di sekelilingnya melalui rabaan tangannya. Dengan keyakinan dan cara itulah dengan sangat cepat dia bisa mengenal keadaan dan hampir semua benda di rumahnya, bahkan situasi di sekitar rumahnya. Kemampuan ini membuatnya semakin yakin bahwa dirinya memang benar-benar tidak buta. Oleh karena itu, tiap pergi ke mana pun dia tidak mau dibimbing oleh siapa pun.
    "Anwar, kau harus diantar adikmu agar tidak tersesat, agar tidak menabrak-nabrak," kata ibunya ketika Lek War pamit untuk pergi ke masjid yang terletak sekitar dua ratus meter di seberang kampungnya.
    "Tidak usah, Bu. Aku sudah sering ke sana. Aku bisa berjalan sendiri," jawab Lek War yakin.
    "Lho, kamu ini buta, Anwar. Banyak parit dan selokan yang harus kamu lewati. Kalau kamu kecebur selokan, bagaimana?"
    "Ibu ini bagaimana? Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku ini tidak buta. Aku seperti ibu dan adik-adik. Aku bisa melihat masjid itu. Bisa melihat selokan. Bisa melihat semuanya. Sudahlah! Ibu jangan terlalu khawatir. Aku bukan anak kecil lagi!"
    "Ya sudah kalau tidak mau diantar. Tetapi pakailah tongkat ini untuk membantu perjalananmu agar tidak kecemplung selokan."
    "Wah, apalagi pakai tongkat, Bu. Aku malu. Apa memangnya aku sudah kakek-kakek, harus pakai tongkat segala. Aku kan masih muda. Lihat ini, aku belum bungkuk. Aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan dengan tegap," jawab lelaki buta itu sambil menegakkan tubuhnya. "Tongkatnya saya kempit saja, Bu," kata Lek War akhirnya setelah sang ibu berhasil memaksanya agar dia selalu membawa tongkat kayu bulat itu.
    Dengan langkah tegap sambil mengempit tongkat, Lek War pun berangkat menuju masjid di seberang kampung. Anak-anak kecil yang melihat segera menguntit dan menggodanya. Mereka tahu persis bahwa lelaki yang biasa mereka panggil Lek War itu paling marah kalau dikatakan atau disindir bahwa dirinya buta. Namun, mereka justru senang memancing kemarahan lelaki itu.
    "Lek War, sore-sore begini mau ke mana?" tanya seorang anak.
    "Saya tuntun ya, Lek War," kata yang lain sambil menggandeng pergelangan tangan lelaki itu.
    "Apa? Dituntun? Memangnya saya tidak bisa jalan sendiri! Memangnya saya ini buta!" jawab Lek War agak marah sambil melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman anak itu.
    "Banyak selokan lho, Lek War. Nanti kalau kecebur bagaimana?" anak itu menggoda lagi.
    "Apa? Kecebur selokan? Memangnya saya ini tidak bisa melihat selokan?"
    "Lho, Lek War sudah melihat selokan, ya? Selokan itu apa toh, Lek?"
    "Selokan itu kan tanah yang banyak rumputnya, toh?"
    "Wah, Lek War ngawur. Selokan itu yang banyak airnya, bukan banyak rumputnya."
    "Lha iya. Maksudku tadi ya banyak airnya. Tapi, kan banyak rumputnya juga toh?"
    "Benar juga, Lek. Di tepi selokan memang banyak rumputnya. Lek War ternyata pintar juga."
    "Memangnya kalian saja yang pintar. Sudah sana, kalian pulang saja. Jangan mengikuti aku terus. Nanti bisa-bisa aku dikira tukang topeng monyet! Kalau ada yang nanggap, apa kalian mau jadi monyetnya?!"
    “Wah, Lek War ngeledek. Masak kita disuruh jadi monyet!” sahut anak-anak.
    “Lho, jadi monyet kan enak, ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas!” timpal Lek War lagi.
    “Ngawur, Lek War! Masak, monyet ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas pula. Memangnya Lek War pernah melihat monyet?”
     “Sering! Aku sering melihat monyet pakai dasi dan jas kok!’’
     “Seperti apa?”
     “Ya kira-kira seperti kamulah!”
     “Lek War ngawur! Yang ke mana-mana naik mobil mewah, dan selalu pakai jas dan dasi itu konglomerat! Bukan monyet!’’
     “Jadi, monyet itu beda ya dengan konglomerat?”
     “Beda, Lek!”
     “Tapi, sama-sama suka merebut makanan orang lain, kan?”
     “Yang suka merebut makanan orang itu monyet, bukan konglomerat!”
     “La iya, sama, kan!”
     “Dasar…!”
     Sambil asyik berdebat dengan anak-anak, Lek War terus berjalan dengan langkah mantap lurus ke arah barat. Namun, baru berjalan sekitar lima puluh meter dia tercebur masuk selokan yang cukup dalam dan penuh air. Rupanya dia lupa bahwa jalan itu berbelok dan di tepinya ada selokan yang cukup lebar dan dalam.
    Kurang ajarnya, anak-anak tidak memperingatkan Lek War tentang adanya selokan itu. Mereka malah tertawa ngakak melihat Lek War terjerembab. Mereka segera mendekatinya untuk memberikan pertolongan sambil melihat reaksi lelaki itu. Tapi, dengan kepercayaan penuh pada kemampuannya sendiri, Lek War buru-buru bangkit dengan seluruh tubuh basah kuyup.
    "Lha, itu namanya selokan, Lek War," goda anak-anak.
    "Lha iya. Siapa bilang ini lapangan bola? Benar, kan, banyak airnya?"
    "Benar, Lek! Tetapi kenapa Lek War masuk selokan? Nggak melihat ya, Lek?"
    "Wah, kalian ini kok tidak tanggap. Saya kan memang mau mengukur dalamnya selokan ini dengan tongkat saya. Ternyata cukup dalam, ya? Lihat ini tongkat saya basah sampai ke pangkalnya. Tubuh saya juga ikut basah."
    "Wah, Lek War ini bagaimana toh? Sudah jelas-jelas kecebur selokan masih mungkir juga. Makanya, kalau dituntun jangan menolak!"
    "Kalian kok tidak percaya toh? Saya ini tidak kecemplung, tetapi memang sengaja menceburkan diri untuk menjajaki kedalaman selokan ini. Anak kecil jangan suka ngeyel toh!"
    Lelaki buta itu kemudian mencoba naik kembali ke jalan. Anak-anak itu membantunya dengan menarik tangan Lek War. Kali ini dia tidak menolak bantuan tersebut. Anak-anak juga membantu mengambilkan sandal jepitnya dan memasangkan di kakinya. Ia mulai tampak menggigil kedinginan karena hampir seluruh tubuhnya basah kuyup. Untung selokan itu tidak berisi air comberan, melainkan air irigasi untuk mengairi puluhan petak sawah di sebelah selatan kampungnya.
    "Pulang saja dulu, Lek War. Ganti pakaian dulu, nanti masuk angin," saran anak-anak itu.
    Kali ini Lek War menurutinya. Ia berjalan pulang ke rumahnya, tetap tidak mau dituntun. Bahkan, ditemani jalanpun ia tidak mau. Ia melangkah tegap dan mantap sendirian sambil mengempit tongkatnya seperti seorang pejabat militer yang sedang menginspeksi pasukan.
  Beberapa saat kemudian anak-anak menyadari bahaya baru mengancam Lek War. Arah jalannya tidak lurus ke rumahnya lagi, tetapi melenceng beberapa derajat ke kiri.
    "Lek War, awaaas! Menabrak pohon!" teriak anak-anak itu.
    Terlambat. Lelaki itu benar-benar manabrak pohon asam besar di tepi jalan. Ia terjatuh ke sisi pohon. Cepat-cepat ia berdiri dan merangkul pohon tersebut, bahkan kemudian memeluk pohon itu dengan kedua tangannya. Anak-anak kampung yang melihatnya tertawa dan segera merubungnya.
    "Lek War gimana toh? Wong jalan kok nabrak pohon?" goda anak-anak itu.
    "Nabrak dengkulmu! Aku hanya mau mengukur besarnya pohon ini dengan tanganku. Kalian tidak tahu ya. Pohon ini dulu yang menanam aku bersama bapakku, ketika aku masih kecil. Aku ingin tahu sekarang besarnya sudah seberapa."
    Sambil menutup keningnya yang sedikit terluka dan benjol akibat benturan itu dengan telapak tangan kirinya, Lek War berjalan lagi ke arah rumahnya. Anak-anak kampung mengikuti di belakangnya. Kali ini Lek War membisu saja, hanya sesekali tampak meringis kesakitan sambil memijit-mijit keningnya.
                             ***
    Semakin sering Lek War pergi ke luar rumah semakin sering dia mengalami kecelakaan yang menyedihkan sekaligus menggelikan. Hampir tiap hari ada-ada saja tragedi kecil yang menimpanya: tercebur selokan, tercebur ke sawah penuh lumpur, menabrak orang lewat, menabrak pagar, menabrak pohon, menabrak tiang listrik, menabrak orang yang sedang jongkok buang air besar di tepi selokan, tertabrak sepeda, terpeleset kulit pisang, digigit kucing karena menginjak ekornya, dan bahkan pernah menabrak penjual es dawet sampai dagangannya tumpah ruah di jalan.
    Namun, Lek War tidak kapok untuk tetap keluyuran kemana-mana dan tetap ngotot untuk berjalan sendiri dengan langkah tegap sambil mengempit tongkatnya. Hingga pada suatu hari warga sekampungnya geger karena tiba-tiba lelaki buta itu lenyap dari peredaran. Mula-mula ibunya yang dibuat kaget. Ketika terbangun pada dinihari dia sudah tidak melihat Lek War di tempat tidurnya, di ruang tengah rumah. Padahal, biasanya dia masih meringkuk di sana dan baru bangun sekitar pukul setengah lima pagi untuk mengumandangkan azan subuh di musala depan rumahnya.
    Bukan kebiasaan Lek War untuk keluyuran pada malam hari dan dinihari. Aktivitasnya di luar rumah selalu dimulai pada waktu subuh dengan menjadi muazin di musala kecil itu. Oleh karena itu, Mbok Partinah -- wanita kurus tua yang melahirkan Lek War --merasa terkejut dan agak cemas. Apalagi malam itu hujan deras. Ia segera mencarinya di kamar mandi, di WC, di dapur, di kolong tempat tidur, dan di lumbung padi. Siapa tahu dia ngelindur dan tersesat ke lumbung, pikirnya. Mbok Parti juga mencarinya di musala, gardu ronda, dan semua tempat yang biasa dipakai untuk nongkrong anaknya. Akan tetapi, ia tidak menemukan anaknya yang buta itu.
    Dengan tergopoh-gopoh wanita tua itu kembali ke gardu ronda dan membunyikan kentongan yang tergantung di terasnya keras-keras sambil berteriak "Tolong! Tolooong! Anakku hilang! Anakku hilaaang!"
    Beberapa saat kemudian orang kampung berbondong-bondong ke gardu ronda. Mereka mengerumuni Mbok Parti yang masih terus memukul kentongan keras-keras sambil berteriak-teriak histeris.
    "Ayo kita cari Lek War!" teriak seorang pemuda tiba-tiba di tengah kerumunan itu.
   “Ayo kita cariii!”
   Seperti dikomando, orang-orang kampung pun segera berpencar mencari Lek War. Mereka melacak lelaki buta itu ke seluruh sudut kampung. Bahkan, ke kuburan, selokan-selokan, sawah-sawah, dan sepanjang tanggul sungai yang sedang banjir.
    "Saya menemukan sandal di tepi kali! Jangan-jangan ini sandal Lek War! Jangan-jangan Lek War tenggelam di kali dan terseret banjir!" teriak seseorang tiba-tiba sambil menenteng sebuah sandal jepit yang putus talinya dan berjalan buru-buru ke arah beberapa orang yang masih mengerumuni Mbok Parti di gardu ronda. Begitu sampai dia langsung memperlihatkan sandal jepit itu pada Mbok Parti.
    "Ya, ini sandal anak saya," sahut wanita tua itu dengan nada sangat terkejut. "Anwar pasti hanyut di kali!"
    "Lek War hanyut di kali!" teriak yang lain ikut terkejut.
    "Tolong! Tolong! Anakku hanyut di kali! Tolooong! Tolooong!" teriak wanita itu lebih histeris sambil bangkit dan memukul kentongan lebih keras lagi.
    Orang-orang segera berbondong-bondong menuju tanggul sungai yang melintas di sebelah utara kampung itu. Kemudian, dengan bantuan petromaks, lampu senter, dan obor, mereka menyusur kali mencari Lek War. Beberapa orang yang pandai berenang langsung melepas pakaian dan mencebur ke kali. Dengan bantuan tali mereka menyelam ke dasar kali di sekitar tempat ditemukannya sandal jepit Lek War.
    Sampai matahari terbit, pencarian terhadap Lek War terus dilakukan. Beberapa polisi setempat juga sudah datang untuk ikut membantu pencarian. Bahkan, satu regu SAR Brimob dari kota juga ikut sibuk menyusur kali dengan perahu karet, tali panjang, dan peralatan selam. Seakan-akan pagi itu semua orang mencurahkan seluruh perhatian, daya, dan tenaganya untuk mencari Lek War. Hampir sepanjang tanggul sungai itu dipenuhi manusia. Semuanya mencemaskan nasib Lek War.
    Di puncak kecemasan Mbok Parti, ketika orang-orang mulai kelelahan mencari Lek War dan air banjir di kali itu sudah agak surut, tiba-tiba bayangan Lek War muncul di ujung jalan bagian timur kampung.
    "Itu Lek War!" teriak seseorang.
    "Itu Lek War!" teriak yang lain.
    ”Ya, itu Lek War!”
    Orang-orang pun berbondong-bondong ke arah Lek War yang sedang berjalan tegap dan mantap lurus ke rumahnya sambil mengempit tongkatnya, layaknya seorang komandan yang baru kembali dari medan perang yang dimenangkannya. Orang-orang langsung mengerumuninya.
    "Dari mana, Lek War?!" tanya orang-orang bagaikan koor.
    "Nonton wayang," jawab lelaki buta itu sambil nyengir dan terus berjalan tegap menuju rumahnya, tanpa mempedulikan orang-orang kampung yang mencemaskannya.
    Malam itu memang ada pergelaran wayang kulit semalam suntuk di kampung seberang, sekitar satu kilometer dari rumah Lek War.
    "Wong edan!" gerutu orang-orang kampung sambil ngeloyor pulang ke rumah masing-masing. Kali ini mereka merasa 'dikerjai' oleh lelaki buta itu.

Yogyakarta, 1992           

* Cerpen ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 10 Oktober 1992.
Baca Lengkapnya....