Tampilkan postingan dengan label ESAI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ESAI. Tampilkan semua postingan

SASTRA DAN KUALITAS KECENDEKIAAN

Judul di atas mengandaikan bahwa sastra dapat menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Itu adalah sebuah pengandaian yang berpijak pada pendekatan yang pragmatik tentang sastra, bahwa karya sastra dapat menjadi sumber nilai dan sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya.  

Kalangan pragmatik  -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya – berkeyanikan  bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.

Lebih dari itu, kalangan pragmatik bahkan meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan.

Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra.


Orientasi Sastra

Meyakini kebermaknaan dan peran sastra dalam proses perubahan sosial sebenarnya tidak terlalu berlebihan, meskipun tidak semua sastrawan mempercayainya. Apalagi, sekadar meyakini manfaat sastra untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan pembacanya. Jika keyakinan non-literer tersebut dirujukkan kepada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), pandangan pragmatik itu sesuai dengan ‘orientasi kedua’ yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.[1]

Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart)[2] berkembang.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel Max Havelar karya Multatuli[3] dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore[4] juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran[5] ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.

Orientasi kedua itu pula sebenarnya yang menjadi tujuan penciptaan karya sastra di kalangan kaum sosialis dengan konsep realisme sosialnya. Tetapi kemudian, pada perkembangannya yang ekstrem, seperti tampak pada para sastrawan Lekra,[6] sastra hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk kepentingan ideologi, politik, dan kekuasaan. Ini memang ‘jebakan’ yang paling berbahaya dari orientasi yang terlampau pragmatis. Pencapaian prestasi estetik tidak lagi menjadi tujuan, sebab sastra sekadar sebagai alat politik, dan politik itulah sang panglima yang harus diabdi oleh sastra untuk tujuan kekuasaan.

Tanpa bermaksud mensejajarkan agama dengan ideologi kaum Marxis, penciptaan karya sastra untuk tujuan dakwah – seperti dipraktekkan oleh para penulis Forum Lingkar Pena (FLP)[7] dengan gerakan yang sering disebut sebagai ‘gerakan fiksi Islami’ -- sebenarnya juga berada pada jalur orientasi yang pragmatis tersebut. Indikasi yang ekstrem dari ‘gerakan fiksi Islami’ adalah cenderung dikesampingkannya tujuan dan prestasi estetik, dengan sikap yang sangat ‘hitam-putih’ dalam mendekati persoalan-persoalan kehidupan yang diangkat ke dalam karya. Nilai-nilai agama diformulasikan secara sangat formalistik dan tujuan-tujuan non-literer (dakwah) cenderung ditempatkan sebagai yang utama.

Orientasi yang terlampau pragmatis, baik dalam konteks sastra dakwah maupun sastra ideologi, memang sah-sah saja. Tetapi, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa orientasi yang terlampau pragmatis akan menyebabkan pertumbuhan sastra menjadi pincang, karena prestasi-prestasi estetiknya akan cenderung tertinggal. Ini sangat tampak, baik pada karya-karya sastra kaum sosialis maupun gerakan sastra dakwah. Itu pula, antara lain, kenapa karya-karya fiksi Islami yang dewasa ini marak di Tanah Air tidak cukup mengundang perhatian dari kalangan kritisi maupun akademisi sastra. Kalaupun ada yang membicarakannya, biasanya oleh ‘kalangan sendiri’ karena dorongan sentimen primordialnya. Guna menghindari jebakan orientasi yang terlampau pragmatis itu, diperlukan keseimbangan antara orientasi pragmatis dan orientasi estetik dalam proses penciptaan, agar karya sastra yang lahir tidak hanya bermakna secara tematik tapi juga unggul estetikanya.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama.

Karya sastra juga memiliki efek pencerahan yang tidak jauh berbeda, ketika sang pengarang (penyair) memanfaatkan alam sebagai simbol pemikirannya, seperti misalnya dilakukan Abdul Hadi WM dalam sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat, yang mengkristalkan konsep tasawuf dan menyadarkan kedekatan mahkluk dengan Tuhannya, sekaligus sebuah kesaksian (syahadat)  sang penyair bahwa ia adalah ‘arah’ pada angin Tuhan:

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan, kita begitu dekat
Bagai angin dan arahnya
Aku arah pada anginmu[8]

Begitu juga ketika karya sastra diorientasikan sebagai pancaran perasaan dan pikiran sastrawannya. Ketika pikiran sastrawannya adalah sikap kritis terhadap keadaan di sekitarnya, maka tanpa disengaja karya sastranya akan memiliki kekuatan pencerahan. Dan, ketika perasaan yang diekspresikan sang penyair adalah perasaan cinta, kasih sayang, pada sesama, maka perasaan itu akan menjadi kekuatan sugesti untuk memancarkan perasaan cinta dan kasih sayang pembaca pada sesama.

Dengan demikian, sebenarnya, tidak semua karya sastra yang memiliki kekuatan pencerah  dan menjadi sumber inspirasi perubahan sosial adalah ‘sastra Marxis’ atau realisme sosialis. Tetapi, ia adalah karya sastra yang lahir dari sikap peduli terhadap pentingnya peningkatan kualitas hati nurani dan intelektualitas pembacanya dan sikap kritis terhadap lingkungannya. Hati nurani dan intelektualitas pada dasarnya adalah inti kecendekiaan seseorang. Dari sisi ini pula karya sastra diyakini dapat ikut meningkatkan kecendekiaan pembacanya.

Dalam konteks tersebut, ‘kaum sastra kontekstual’ meyakini bahwa karya-karya besar seperti Max Havelar  (Multatuli), Uncle Tom Cabin (Beecher Stower), dan sajak-sajak Rabindranat Tagore telah menginspirasi perubahan sosial di lingkungan masyarakat pembacanya masing-masing. Max Havelar menginspirasi gerakan politik etis di Hindia Belanda, sajak-sajak Tagore mendorong gerakan pembebasan bangsa India dari penjajahan Inggris, dan Uncle Tom Cabin menginspirasi gerakan anti-perbudakan di Amerika Serikat.

Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:

Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.[9]


Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino,[10] sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mosye Dayan bahkan menganggap bahwa sebuah sajak patriotik penyair Palestina lebih berbahaya daripada satu kompi pasukan komando. Kenyataannya, garakan Intifada banyak dikobarkan oleh sajak-sajak patriotik para penyair Palestina yang ditulis pada tembok-tempok dan beredar di bawah tanah. Dan, semangat untuk merdeka, untuk bebas dari penindasan kaum Zionis, itulah yang tidak mungkin dipadamkan oleh tentara Israel. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’

Di dalam khasanah sastra Islam, sajak-sajak Mohammad Iqbal[11] juga disebut-sebut ikut mendorong proses rekonstruksi pemikiran Islam. Sedangkan sajak-sajak Jalaluddin Rumi,[12] dan Hamzah Fansuri,[13] ikut mendorong proses rekonseptualisasi tasawuf. Bahkan, menjadi sumber rujukan penting para peneliti tasawuf, mengingat fungsi puisi sebagai sarana pengajaran dan ekspresi penghayatan sufistik para tokohnya.

Jadi, ada semacam keyakinan bahwa karya sastra merupakan sumber nilai yang memiliki kekuatan pencerahan sekaligus sumber inspirasi bagi proses perubahan sosial. Tokoh-tokoh seperti Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, dan Emha Ainun Najib juga meyakini bahwa karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu agen perubahan. Dan, di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar sebagai agen perubahan sosial guna membawa bangsanya ke arah yang lebih baik.


Sumber Kesadaran Bangsa
Kesadaran yang juga penting untuk dimiliki oleh cendekiawan adalah kesadaran sejarah dan rasa kebangsaan (nasionalisme). Membaca karya sastra yang berdimensi sejarah dan mengaitkannya dengan masalah kebangsaan dapat ikut menumbuhkan kesadaran tersebut. Dengan membaca karya sastra yang berdimensi sejarah, kita juga dapat melihat evolusi ataupun perubahan visi kebangsaan di mana karya sastra ikut mengalami evolusi tematik yang seirama.

Pada masa Mohammad Yamin, misalnya, masalah kebangsaan yang dihadapi adalah bagaimana menyadarkan dan kemudian membangkitkan rasa kebangsaan masyarakat. Maka yang lahir adalah sajak-sajak cinta tanah air yang romantik, karena ketika itu memiliki tanah air yang merdeka masih sebatas ‘impian’. Sajak menjadi salah satu media bagi kalangan pergerakan nasional untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya memiliki satu bangsa yang merdeka.

Di tataran filsafat dan kebudayaan, Sutan Takdir Ali Syahbana dan Ki Hajar Dewantara kemudian mengentalkan rasa kebangsaan itu melalui proses kristalisasi konsep budaya bangsa. Tidak hanya melalui sajak-sajaknya Takdir mencoba meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa, tapi juga melalui sebuah polemik yang sangat terkenal – Polemik Kebudayaan – yang hingga kini masih menjadi rujukan bagi banyak pemikir budaya dalam meninjau ulang dan mencari arah terbaik kebudayaan  bangsa ke depan.

Pada medio awal dasawarsa 1940-an, Chairil Anwar menangkap semangat kemerdekaan yang mengkristal sejak masa kebangkitan pergerakan nasional itu ke dalam sajak-sajak heroik dan penuh etos pemberontakan. Dengan semangat ‘binatang jalang’ ia melahirkan sajak-sajak yang tidak hanya membawa pemberontakan estetik, tapi juga memompa semangat pemberontakan terhadap penjajah Belanda untuk mencapai kemerdekaan. Evolusi sastra Chairil Anwar – yang didalamnya menyimpan evolusi rasa kebangsaan – adalah evolusi yang sudah sampai pada tahap pembebasan. Kesadaran akan rasa kebangsaan telah mengkristal begitu keras, hingga tinggal menunggu saatnya untuk diledakkan. Bentuk ledakannya adalah proklamasi kemerdekaan yang siap dibela sampai titik darah terakhir.

Pasca-kemerdekaan sastra seperti kehilangan momentum untuk berbicara tentang patriotisme, nasionalisme dan pemupukan rasa kebangsaan. Dari sinilah kemudian Taufiq Ismail[14] menerjemahkan perannya pada pembangunan bangsa melalui sajak-sajak kesaksian sejarah di seputar pergeseran kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru. Peran ini pula yang secara lebih kritis dan tajam diambil oleh Rendra dengan sajak-sajak kritik sosialnya dalam Potret Pembangunan Dalam Puisi (1980). Namun, jika rasa nasionalisme dapat diterjemahkan sebagai rasa cinta dan kepedulian pada nasib bangsa, maka karya-karya Taufiq dan Rendra dapat dimasukkan ke dalamnya.


Penutup
Sastra Indonesia kontemporer dewasa ini banyak diwarnai kecenderungan (mainstream) sastra seksual, feminis, dan bahkan masokis. Memang tampak juga kecenderungan lain, seperti maraknya fiksi Islami dan masih bersambungnya benang merah sastra religius dan sufistik, tetapi wacana sastra lebih banyak diwarnai persoalan-persoalan sastra yang bersikap memberontak dan bersemangat pembebasan nilai (liberalisasi).

Meskipun begitu, tidak berarti karya sastra tidak dapat lagi ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Bagaimanapun, seperti pernah ditegaskan oleh Umar Kayam, karya sastra adalah refleksi dari realitas kehidupan di sekitarnya. Dan, karena itu, bagaimanapun isi dan corak estetiknya, adalah tantangan bagi kaum cendekiawan untuk memahami dan merenungkan realitas itu, guna menyikapinya secara tepat.

Jakarta, 15 Juni 2006


Daftar Rujukan

1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981
2. Cahyono, Imam, Cendekiawan dan Perburuan Kekuasaan, artikel pada Harian Kompas, Kamis, 11 November, 2004, halaman 4.
3. Hasanuddin WS, Prof, Dr, Mhum, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Penerbit Titian Ilmu, Bandung, cetakan pertama 2004.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, Drs, MTI,  Antara Kecendekiaan dan Budaya Berkarya, makalah untuk Simposium Pemberdayaan Ummat, ICMI Orsat Kairo, di Auditorium Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar, Kairo, 19 April 2002.
5. Heryanto. Ariel, MA, Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985.
6. Selden, Raman, A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory, Harvester-Wheatsheaf, University of Lancaster, 1985.

[1] Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981
[2] Konsep ataupun prinsip lart pour lart atau seni untuk seni pertama kali berkembang di Prancis. Para penganut prinsip ini meyakini bahwa seni diciptakan untuk seni itu sendiri, tidak ada kaitannya dengan masalah moral atau tujuan-tujuan pragmatis lainnya.
[3] Novel Max Havelaar karya Multatuli dipercayai menjadi sumber inspirasi bagi munculnya gerakan politik etis di kalangan eksekutif pemerintahan Hindia-Belanda. Dari gerakan ini muncul niat baik (political will) untuk lebih mencerdaskan kaum pribumi, hingga banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan dan penerbitan untuk pribumi seperti Balai Pustaka.
[4] Tagore adalah penyair India penerima Nobel Sastra tahun 1913.
[5] Kahlil Gibran adalah penyair AS kelahiran Libanon. Buku-buku kumpulan sajaknya, seperti Sang Nabi (The Prophet) menjadi best seller di seluruh dunia.
[6] Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah organisasi budayawan underbow PKI. Salah satu tokohnya adalah Pramoedya Ananta Toer.
[7] FLP lahir dari majalah cerpen Annida, dimotori oleh Helvy Tiana Rosa dkk. Jumlah anggotanya kini mencapai ribuan, tersebar di seluruh Tanah Air dan di luar negeri.
[8] Cuplikan bait kedua dan ketiga sajak Tuhan, Kita Begitu Dekat karya Abdul Hadi WM.
[9] Cuplikan bait kelima dan keenam sajak Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar.
[10] GL Morino adalah sastrawan Prancis yang pandangan-pandangannya sangat pragmatis.
[11] Mohammad Iqbal adalah penyair Pakistan yang juga dikenal sebagai pemikir besar di dunia Islam.
[12] Jalaluddin Rumi adalah penyair besar Persia. Sajak-sajaknya banyak dijadikan kajian oleh para orientalis Barat, seperti Annemarie Schimmer, terutama dalam kajian tasawuf.
[13] Hamzah Fansuri adalah penyair Muslim-sufistik zaman Kesultanan Aceh. Abdul Hadi WM menempatkannya sebagai pelopor sastra Melayu-Indonesia.
[14] Atas perannya ini Taufiq Ismail mendapat predikat sebagai Pelopor Angkatan 66 dari HB Jassin.
Baca Lengkapnya....

Tradisi, Lokalitas, dan Urbanitas Cerpen Indonesia

Dibanding puisi dan novel,  cerita pendek (cerpen)  – dalam prototip estetika konvensional -- terbilang sebagai bentuk ekspresi sastra modern (asal Barat) yang paling belakang masuk ke Indonesia.  Puisi modern sudah mulai ditulis oleh Amir Hamzah dan JE Tatengkeng dalam dasawarsa 1920-an, dengan masuknya pengaruh soneta dan ‘puisi bebas’ yang ‘membongkar’ estetika puisi tradisional Melayu.

Novel bahkan sudah mulai ditulis jauh sebelum itu, yakni dalam tahun 1890-an, yang ditandai dengan terbitnya novel realistic Nyai Isah karya F. Wiggers, Nyai Dasima karya G. Francis, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan.  Sedangkan cerpen baru hadir ke khasanah sastra Indonesia dalam paruh akhir dasawarsa 1930-an, dengan hadirnya cerpen-cerpen Muhammad Kasim dan Suman HS, lalu disusul cerpen-cerpen Hamka, Armijn Pane dan Idrus.

Meskipun datang paling belakang, tradisi penulisan cerpen, terutama pada masa post-kolonial (masa kemerdekaan), berkembang begitu pesat di Indonesia. Laju perkembangan tersebut makin tampak setelah terbit majalah cerpen pertama di Indonesia Kisah (1953-1957), disusul majalah cerpen Sastra (1961-1964) dan majalah sastra Horison (1966-sekarang). Produktivitas penulisan cerpen kemudian mengalami booming setelah mendapatkan tempat terhormat di media massa cetak – surat kabar dan majalah – sejak tahun 1970-an sampai kini.

Pesatnya perkembangan cerpen dalam khasanah sastra Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat (manusia) pada dasarnya menyukai dongeng. Cerpen yang dapat dianggap sebagai metamorfosis dongeng  dengan cepat dapat menemukan penggemarnya di kalangan masyarakat banyak, terutama masyarakat terpelajar. Kedua, gaya cerpen yang umumnya realistik menjadi media refleksi yang pas bagi masyarakat yang sedang bergerak menuju perubahan untuk menemukan jati dirinya sebagai individu yang modern maupun sebagai bangsa yang berdaulat.

Ketiga, dalam bentuknya yang relatif pendek, cerpen bisa memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat terpelajar perkotaan (komunitas urban) yang cenderung makin sibuk dan hanya memiliki waktu yang terbatas untuk memenuhi hasratnya pada dongeng-dongeng (fiksi) kontemporer. Dan, keempat, cerpen merupakan karya sastra yang paling dimanjakan di media-media massa cetak – hampir semua media massa cetak Indonesia memiliki rubrik cerpen – sehingga produktivitas dan kreativitas para cerpenis  terpacu dengan cepat.
      
Dari Tradisi ke Urban
Sejak diperkenalkan oleh ‘bapak cerpen Indonesia’  – Muhammad Kasim, Suman HS, Hamka, Armijn Pane, dan Idrus -- cerpen sudah membawa cita rasa yang sangat urbanistik dan menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat terpelajar perkotaan. Karena itulah, ketika harus berbicara tentang tradisi dan lokalitas cerpen Indonesia, kita akan lebih banyak berbicara tentang tradisi dan lokalitas (warna lokal) yang 'diserap' cerpen Indonesia, bukan yang menjadi akar pertumbuhannya. Cerpen menjadi media baru untuk menuturkan kembali tradisi dalam cita rasa modern, dan lebih dari itu adalah menafsirkan kembali, mendialogkan, mempertanyakan, atau bahkan menggugatnya.

Upaya untuk mengangkat tradisi dan lokalitas ke dalam cerita pendek telah dimulai oleh Muhammad Kasim dan Suman HS dengan menggali dan mengangkat cerita-cerita rakyat ke dalam cerpen. Upaya Muhammad Kasim dapat kita lihat pada cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Teman Duduk (1936), dan upaya Suman HS dapat kita lihat dalam Kawan Bergelut (1938). Mereka mengeksplorasi kekayaan dan tradisi lokal untuk disajikan kembali dengan citarasa modern dalam karya sastra bertipologi cerita pendek yang lebih merujuk pada tipologi short story dalam khasanah sastra Barat. Namun, belum tampak adanya upaya untuk menggugat tradisi, selain menafsirkannya kembali dengan citarasa baru yang lebih dekat dengan citarasa masyarakat terpelajar perkotaan (urban).

Sementara, cerpen-cerpen Hamka dalam Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) dan Idrus dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948) lebih banyak mengangkat persoalan sosial yang aktual pada zamannya, sehingga makin memberi citarasa urban pada tradisi cerpen Indonesia. Begitu juga cerpen-cerpen Armijn Pane dalam Kisah Antara Manusia (1953) yang lebih banyak mengangkat persoalan psikologis masyarakat urban yang sedang menghadapi proses perubahan zaman, sehingga lebih mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat kota, yang nyaris tidak menampakkan akar sama sekali pada tradisi dan lokalitas.

Cerpenis penting yang muncul kemudian, A.A. Navis, dalam cerpen monumentalnya, Robohnya Surau Kami (1956), dengan lugas menggugat tradisi kaum santri yang lebih mengutamakan ritual agama dan cenderung melupakan urusan dunia. Tokoh Haji Saleh yang rajin beribadah justru dimasukkan Tuhan ke neraka, karena miskin dan tidak dapat beramal kepada sesamanya. Sang haji sempat protes pada Tuhan, tapi malaikat menghalaunya kembali ke neraka. Koreksi terhadap tradisi kaum santri yang hanya mementingkan kesalehan ritual itu saya kira tetap relevan sampai sekarang, karena kinipun mayoritas kaum santri kita masih cenderung hanya mengutamakan ritual, dan ke sanalah orientasi dakwah para dai kita pada umumnya sehingga malah cenderung membawa umat ke keterbelakangan.

Dalam sepanjang sejarah perkembangan cerpen di Indonesia upaya untuk berdialog dengan tradisi dan kekayaan lokal terus dilakukan oleh sejumlah cerpenis kita, baik yang mencoba menafsir kembali maupun yang menggugatnya. Beberapa cerpenis terkini, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Khairil Gibran, misalnya, mencoba menggali serta menafsir kembali tradisi dan kearifan lokal. Begitu juga beberapa cerpenis yang lebih senior, seperti Kuntowijoyo dan Danarto, yang menggali nilai-nilai kedalaman spiritual tasawuf (mistik) Jawa. Sementara, Oka Rusmini banyak mengkritisi tradisi masyarakat Hindu Bali.

Namun, lagi-lagi, yang dominan adalah cerpen-cerpen yang mengangkat persoalan masyarakat perkotaan yang makin mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, meskipun dalam Kitab Omong Kosong (Bentang, 2004) mengangkat lakon-lakon dalam pewayangan (Jawa), namun dalam kumpulan-kumpulan cerpen lainnya seperti Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), dan Saksi Mata (1995) lebih banyak mengangkat persoalan masyarakat perkotaan dan mewakili citarasa masyarakat urban. Begitu juga cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember (2000) dan Bibir Dalam Pispot (2002), Kurni Effendi dalam Bercinta di Bawah Bulan (2004), Hudan Hidayat dalam Orang Sakit (2000) dan Keluarga Gila (2002), serta cerpen-cerpen Linda Cristanti dalam Kuda Terbang Mario Pinto (2003).

Citarasa ‘urbanistik’ makin mengental ketika tradisi penulisan cerpen Indonesia dimaraki karya para perempuan penulis yang dengan gamblang mengangkat persoalan-persoalan seksual dengan sikap ‘memberontak’ dari batas-batas moral tradisional dan ketabuan, seperti diperlihatkan Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2003). Dengan pemberontakannya itu, mereka seperti menegaskan ketidakberpihakannya pada tradisi dan menempatkan cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban yang liberalistik.

Dari kalangan perempuan santri, seperti Abidah el Khalieqy, Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, memang juga banyak ditulis cerpen-cerpen yang berpihak pada moral, tetapi tetap lebih mewakili citarasa masyarakat perkotaan atau Islam kosmopolitan daripada masyarakat tradisional ataupun pedesaan. Cerpen-cerpen Abidah dalam Menari di Atas Gunting (2001) – dan di berbagai buku lain -- yang ‘nyastra’ tentu adalah konsumsi masyarakat terpelajar perkotaan. Begitu juga cerpen-cerpen Asma Nadia, yang tersebar di berbagai buku, seperti cerpen Ranti Menderas, meskipun Islami tapi umumnya mengangkat persoalan kaum perempuan muda Muslim perkotaan (Islam kosmopolitan), dan karena itu sangat pas disebut sebagai ‘chicklit Islami’ dan menjadi konsumsi masyarakat (perempuan) perkotaan.

Para cerpenis yang masih intensif berdialog dengan tradisi dan lokalitas umumnya adalah mereka yang masih tinggal di daerah, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Oka Rusmini. Kalaupun mereka hijrah ke Jakarta, setidaknya sudah dimatangkan oleh daerahnya dan relatif terhindar dari ‘pertarungan hidup’ kota metropolitan sehingga tetap membawa nuansa tradisi dan kekayaan lokal. Namun, jumlah mereka tidaklah banyak. Geliat peradaban urban yang lebih dominan di Jakarta membuat para cerpenis umumnya lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan masyarakat urban dari pada persoalan daerah asalnya ataupun misalnya warna Betawi yang sudah terpinggirkan bersama kekayaan budayanya.

Industri penerbitan dan media massa cetak juga sangat kuat pengaruhnya dalam ikut menyeret produksi cerpen ke citarasa yang sangat urbanistik. Kenyataannya, pasar terbesar industri media massa cetak dan buku sastra (kumpulan cerpen) memang masyarakat terpelajar perkotaan. Cerpen-cerpen yang dimuat di majalah-majalah wanita seperti Femina, Sarinah, dan Kartini, serta surat-surat kabar besar seperti Kompas, Repulika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Jawa Pos, adalah cerpen-cerpen yang umumnya dikemas sesuai citarasa masyarakat terpelajar perkotaan tersebut.

Begitu juga buku-buku kumpulan cerpen yang banyak beredar di toko-toko buku yang umumnya memang ada di kota-kota besar, yang orientasi pasar penerbitannya memang masyarakat terpelajar perkotaan. Dan, memang merekalah yang memiliki daya beli yang tinggi dan minat baca yang terus membaik. Lebih-lebih, cerpen-cerpen yang kemudian mengerucut menjadi semacam chicklit, teenlit, dan fiksi-fiksi seksual.

Proses Kreatif dan Kekayaan Lokal
Ketika menulis cerpen, seorang cerpenis sesungguhnya hampir tidak mungkin hanya berdiri sebagai ‘manusia tekstual’ yang hanya mengeksplorasi imaji-imaji personal yang asing dari lingkungannya, setidaknya dari teks-teks yang telah ada sebelumnya. Cerpen memang fiksi, dan fiksi adalah dunia rekaan. Tetapi, saat melahirkannya, seorang cerpenis akan lebih banyak berperan sebagai ‘manusia kontekstual’ yang mencoba memaknai dunia sekelilingnya. Karena itu, wajar jika para cerpenis Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan manusia kota dan lingkungan perkotaan. 

Dan, karena itu pula wajar jika sensibilitas lokal lebih banyak ditampakkan oleh mereka yang tinggal di daerah, atau setidaknya, memiliki kesadaran untuk dengan sengaja menggali tradisi dan kekayaan lokal dari daerah asalnya atau budaya etnis lain yang menarik perhatiannya. Cerpen-cerpen Oka Rusmini, yang berproses kreatif di Denpasar, misalnya, sangat kental warna budaya etnis Bali. Begitu juga cerpen-cerpen Azhari – yang berproses kreatif di Aceh – kental warna sosial dan konflik-bersenjata di Aceh. Bisa disebut juga cerpen-cerpen Taufik Ikram Jamil yang berproses kreatif di Riau dan kental warna sosial-budaya Melayu (Riau). Sementara, cerpen-cerpen Danarto, meskipun berproses kreatif di Jakarta, banyak yang kental warna tasawuf (mistik) Jawa, sehingga ia sering disebut-sebut sebagai salah satu tokoh ‘gerakan kembali ke Timur’ dalam sastra Indonesia. 

Epilog
Karena tradisi penulisan cerpen berasal dan lebih banyak bertumbuh di tengah masyarakat urban, dan bahkan menjadi bentuk ekspresi masyarakat urban, maka sesungguhnya membawa lokalitas (warna lokal) ke dalam cerpen sama artinya dengan memasukkan kekayaan lokal ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban. Kenyataannya, yang umumnya terjadi memang bukan bagaimana melokalkan cerpen, tapi sebaliknya meng-urban-kan lokalitas ke dalam cerpen. Yakni, bagaimana mengemas lokalitas ke dalam cerpen sesuai dengan citarasa masyarakat urban – ke dalam bentuk cerpen yang menarik dan memenuhi selera masyarakat terpelajar perkotaan.

Demikianlah sesungguhnya yang terjadi dalam sastra Indonesia, lokalitas diusung ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban, sebab sesungguhnya sastra Indonesia lebih mewakili peradaban masyarakat urban. Karena itu, tidak salah jika ada anggapan bahwa untuk menjadi sastrawan Indonesia ternama harus menjadi bagian dari masyarakat urban, harus hijrah dari desa ke kota. Jika bukan orangnya, setidaknya, karya-karyanya.

Bisa saja seseorang sastrawan Indonesia tetap tinggal di desa, tetapi karya-karyanya harus dipasarkan kepada masyarakat urban -- baik melalui media massa maupun penerbitan buku -- sebab merekalah yang punya apresiasi dan daya beli. Fenomena tersebut masih akan berlangsung lama mengingat lambannya pemerintah dalam mengatasi berbagai kesenjangan -- sosial-budaya-ekonomi – antara desa dan kota, serta antara daerah dan pusat.

Proyek-proyek pengadaan buku dan kepustakaan, seperti penerbitan ‘kitab-kitab sastra’ Horison, buku Inpres dan peningkatan buku perpustakaan sekolah, memang cukup berhasil memeratakan buku sastra ke daerah-daerah. Mungkin juga meningkatkan minat baca masyarakat terpelajar (siswa), tapi bukan menaikkan daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra. Apalagi, pasca-kenaikan harga BBM, masyarakat kelas menengah ke bawah kembali dijerembabkan ke urusan perut, dan buku-buku sastra yang makin mahal kembali menjadi barang mewah bagi mereka.

Meskipun merupakan ‘sastra pendatang’, cerpen sebenarnya dapat menjadi media dialog yang efektif antara nilai-nilai lama (tradisi) dan nilai-nilai baru (modernitas) agar proses modernisasi bangsa tetap memiliki jati diri. Cerpen juga dapat menjadi media yang efektif untuk menggali dan mereaktaualisasikan nilai-nilai dan kearifan lokal agar bangsa ini tetap memiliki jati diri, dan tidak tercerabut sepenuhnya dari akar budaya Nusantara. Tetapi, hal itu tidak akan terjadi tanpa upaya intensif dari para cerpenis untuk terus menggali, mereaktualisasi, dan mendialogkan nilai-nilai serta kearifan lokal ‘budaya ibu’ masing-masing.
                               
Jakarta, Oktober 2005

Daftar Pustaka
1. Ajidarma, Seno Gumira, Kitab Omong Kosong, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2004).
2. Danarto, Adam Makrifat kumpulan cerpen (Pustaka Jaya, Jakarta, 1982)
3. Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001)
4. Eddy, Nyoman Tusthi, Kamus Istilah Sastra Indonesia (Nusa Indah, Ende, 1991).
5. Hasanuddin WS, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004).
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Dokumen Jibril, antologi cerpen penulis perempuan Indonesia (Penerbit Republika, Jakarta, 2004).
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Pembisik, antologi cerpen Republika (Penerbit Republika, Jakarta, 2002).
8. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Kota yang Bernama dan Tak Bernama, antologi cerpen Temu Sastra Jakarta 2003 (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003).
9. Herfanda, Ahmadun Yosi, dkk., ed., Yang Dibalut Lumut, antologi cerpen Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 (Direktorat Kepemudaan, Dirjen PLSP, Depdiknas, Jakarta, 2003).
10. Ismail, Taufiq, dkk., ed., Horison Sastra Indonesia: Kitab Cerpen (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001).
11. Rampan, Korrie Layun, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2005).
12. Sumardjo, Jakob, Segi Sosiologi Novel Indonesia (Pustaka Prima, Bandung, 1981).
Baca Lengkapnya....

Membaca ‘Indonesia-Australia’ dalam Cerpen

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka ‘bercermin’ untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi – cerita pendek (cerpen) maupun novel – seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia juga suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Kini, ketika tradisi mendongeng secara lisan lenyap, budaya audio-visual mengisi kebutuhan masyarakat akan dongeng melalui sinetron, telenovela, dan film impor.

Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah ‘mimpi-mimpi indah’ tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam ‘mimpi-mimpi indah’ itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir. Karena itu, wajar saja, kalau yang selalu menempati rating tinggi adalah sinetron dan telenovela yang menjual mimpi.
Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung ‘mendongeng’ (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja dan kumpulan cerpen remaja.
Fiksi kontemporer yang disebut chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan ‘dunia mimpi’. Karena itu, chicklit dan teenlit cepat berkembang dengan banyak menemukan peminat.

***
Baca Lengkapnya....

700 Puisi dari 37 Tahun Kepenyairan Diah Hadaning



Saya mengenal nama Diah Hadaning (DH) pada tahun 1978, ketika mulai mencoba-coba mengirimkan sajak-sajak ke media massa, saat masih tinggal di kampung, selepas dari SMA. Nama yang puitis itu saya temukan di Mingguan Swadesi. Bagi penulis pemula yang tinggal di desa, di Kaliwungu, Kendal, kolom puisi Swadesi cukup menggoda untuk menjadi salah satu media publikasi. Dua tahun kemudian, tahun 1980, saya sempat bertemu langsung dalam sebuah acara sastra di Harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta. Saat itu saya memang sudah kuliah di Yogya dan sudah aktif menulis di media massa, termasuk di Bernas.
Saat itu, DH sebenarnya sudah hijrah ke Jakarta (sejak 1975), menjadi redaktur Swadesi, dan kemudian mendirikan LSM bimbingan menulis, Warung Sastra Diha. Awal 1980-an, tepatnya 1982, prestasi DH melejit dengan meraih Anugerah Puisi Putera dari Gapena Malaysia, sebuah penghargaan yang dua tahun sebelumnya diraih oleh Sapardi Djoko Damono. Puisi-puisi DH pun terus setia mengunjungi penggemarnya lewat Swadesi, Suara Karya Minggu, Sinar Harapan, Pelita, dan berbagai media massa lain. Tahun 1987, ketika saya mengikuti ajang Temu Penyair Indonesia, yang diadakan oleh DKJ era Abdul Hadi WM, kami bertemu kembali di TIM. Tentu, saat itu, DH masih muda dan cantik. Kemudian, setelah saya hijrah ke Jakarta, kami lantas sama-sama aktif di KSI, karena memiliki kepedulian yang sama pada para penyair pinggiran yang luput dari perhatian pusat-pusat sastra di Jakarta.
Hari ini, Alhamdulillah, saya mendapat kehormatan untuk mengantarkan buku kumpulan puisi terbarunya, 700 Puisi Pilihan, Perempuan yang Mencari (Yayasan Japek dan Pustaka Yashiba, 2010), setebal 700 halaman dan berisi 700 puisi pilihan. Semuanya serba tujuh (7), karena memang diterbitkan dalam rangka hari ulang tahunnya yang ke-70. Buku ini merupakan buku kumpulan puisi modern Indonesia yang ketebalannya menempati urutan kedua setelah Kerygma & Martyria  karya Remy Sylado (Gramedia Pustaka Utama, 2004) setebal  1.056 halaman, yang tercatat di MURI sebagai  buku kumpulan puisi paling tebal di Indonesia. Dan, Alhamdulillah, atas buku kumpulan puisinya ini DH juga mendapatkan MURI dengan kategori ”Penulis Antologi Puisi Tertebal pada Usia Tertua, 700 Halaman pada Usia 70 Tahun”.
Memiliki buku kumpulan puisi sangat tebal, tentu merupakan prestasi sekaligus prestise, dan sekaligus dapat mengukuhkan posisi kepenyairan seseorang. Tetapi, buku tebal tampaknya tidak selalu segalanya. Buktinya, buku tebal Remy Silado itu dikalahkan oleh buku tipis hanya setebal 80 halaman, kumpulan puisi Kekasihku (Gramedia, 2004) karya Joko Pinurbo, dalam ajang Khatulistiwa Literary Awards (KLA) 2005. Keduanya sama-sama masuk nominasi, tapi Kekasihku yang berhasil meraih KLA 2005.
Meskipun begitu, buku tebal tetaplah potensial untuk mengusung berbagai keunggulan. Setidaknya, karena ketebalannya, ia dapat merekam perjalanan panjang kepenyairan seseorang, termasuk (yang utama) perkembangan estetik dan tematiknya. Dan, begitulah buku kumpulan puisi tebal DH, yang merekam sajak masa awal kepenyairannya pada awal 1970-an hingga sekarang. Buku Perempuan yang Mencari ini memuat puisi yang ditulis DH pada Desember 1973, yakni “Wanita dan Bumi Merdeka” (hlm. 691), dan sajak paling anyarnya, yakni “Balada Lanjar, Lelaki Malang yang Mencari Keadilan” yang ditulis pada Februari 2010, dua bulan sebelum buku ini diluncurkan. Dengan demikian, buku ini merekam sekitar 37 tahun masa kepenyair DH, suatu rentang masa kepenyairan yang sangat panjang.
Pada rentang waktu yang panjang itulah, melalui buku ini, kita dapat melihat perkembangan estetik dan tematik sajak-sajak DH. Pada aspek estetik, kita dapat melihat bagaimana perkembangan pemahaman, wawasan, pencarian, serta penemuan puitika DH dan bagaimana ia mengaplikasikannya saat menulis puisi. Apakah ia cukup bertumpu pada bakat alam dengan pemanfaatan puitika (aspek instrinksik puisi) secara apa adanya (sederhana saja), ataukah terus mencari dengan temuan-temuan puitika baru yang lebih segar dan pas untuk mewadahi ide-ide kreatifnya.
Begitu juga ketika kita menyimak perkembangan tematik (isi dan pesan) yang diangkat ke dalam sajak-sajaknya dari waktu ke waktu, kita dapat melihat apakah DH hanya sibuk berbicara tentang kegelisahan batinnya atau mencoba terus berdialog dengan keadaan zamannya yang terus berubah dengan berbagai persoalan baru yang makin pelik.

Perkembangan Puitika
Mencermati perkembangan puitika sajak-sajak DH berarti harus menyimak sajak-sajaknya sejak yang tertua sampai yang terbaru, meskipun dapat saja dengan melompat-lompat. Uniknya, urutan tahun penciptaan sajak-sajak dalam buku ini disusun mundur ke belakang, dari sajak yang terbaru (di depan) sampai sajak yang terlama. Jadi, kalau kita membaca dari depan (dari kiri ke kanan) berarti melakukan pelacakan mundur ke belakang. Jika ingin mencermati sajak terlama hingga terkini, berarti harus membukanya dari kanan ke kiri, seperti membuka Alquran.
Sajak terlama DH, yakni “Wanita dan Bumi Merdeka” (hlm 690-691) nyaris sama sekali tidak memerhatikan aspek instrinksik (tipografi, rima, ritme, diksi, dan pencitraan) puisi. Bahasanya lugas, nyaris tanpa imaji asosiatif maupun simbolik yang puitis dan sugestif. Kalaupun ada imaji simbolik, maka tidak dalam deretan baris-baris puitis yang prismatik, tapi tetap dalam  baris-baris pernyataan yang verbal, dalam deretan kata-kata yang denotatif. Rima dan ritmenya juga tidak tergarap. Begitu juga tipografinya. Puisi ini hanya terdiri dari 58 potong baris pernyataan kritis tentang eksitensi kaum wanita dan keadaan zamannya (1973) yang disusun begitu saja tanpa mengenal pembaitan. Gaya penyajian yang sama juga tampak pada puisi tertua keduanya, “Dari Debu-debu Revolusi” (hlm 689) yang ditulis pada tahun 1974, yang juga menyoal keadaan zaman (bangsa) secara kritis, sbb.

DARI DEBU-DEBU REVOLUSI

Kendati kami telah jadi debu dan tanah
Terdapat sepanjang pantai dan lembah
Belum hirup hangat mentari kemerdekaan
Belum reguk segar nimat kebebasan
Namun bukan berarti
Segala yang pernah kami korbankan
Buat perabuk lading tempat kau bertanam
Dan kukatakan sekarang
Segala kami yang nyawanya masih gentayangan
Sampai yang damai di sisi Tuhan
Kami tak pernah relakan
Bumi hangat
Yang kami basuh dengan darah
Rimba padat
Yang kami dekap dengan cinta pasrah
Kau buat padang penggembalaan
Bagi domba-domba kelaparan
Percuma kami jadi debu beterbangan
Bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
Galaknya tekad sekadar kata pajangan
Bukan untuk itu kami telah sedia mati
Namun buat matikan madu laut katulistiwa
Tempat anak-anak masa depan
Bebas berkubang sambil minum dan tertawa
Tanpa cemas pada neraka dunia

Yogya, 1974

Kesadaran estetik baru muncul pada sajak tertua DH yang ketiga, yakni “Jakarta 75” (hlm 688), yang mencatat peristiwa hijrahnya ke Jakarta, dan ditulis pada Juni 1975. Sajak ini mulai mengenal pembaitan, sehingga tipografinya tampak lebih manis, dengan rima dan ritme yang mulai tertata dengan apik. Meskipun citraan-citraannya tidak bermakna asosiatif ataupun simbolik yang mengandung makna yang dalam dan luas, tapi imaji-imaji alam yang dipadu dengan imaji perkotaan – rembulan di langitmu terpotong puncak gedung, matahari di langitmu terpotong siluet benang --muncul secara sangat puitis dan mengesankan:

JAKARTA 75

Glamournya menyebar liar
Sampai ke kota tua
Mengejek kampung utara
Aku ternganga
Ketika suatu saat
Harus mengetuk pintunya
Untuk bermukim

Glamournya memilih-milih
Tak sampai pada jalan menuju rumahku
Aku bukan sahabat
Aku datang tanpa diundang
Salah diri terbongkok udang
Nembang menatap awang-awang
Jakarta, bagaimana harus menyebutmu

Rembulan di langitmu
Terpotong puncak gedung
Matahari di langitmu
Terpotong siluet benang
Impian di langitmu
Membuatku jadi kepompong
Akankah di sini lama aku

Jakarta, Juni 1975

Membandingkan sajak tertua pertama, kedua dan ketiganya tersebut, tampak adanya semacam loncatan pencapaian prestasi estetik pada proses kepenyairan DH. Sayangnya, tahun 1973 dan 1974 hanya diwakili masing-masing satu sajak. Sedangkan tahun 1975 hanya dua sajak, yang pencapaian estetiknya kurang lebih sama. Kita tidak melihat ada sajak-sajak seperti apa sebelum DH mengalami loncatan pencapaian estetik pada sajak-sajak tahun 1975.
Dan, pencapaian estetik pada sajak tahun 1975 itu kemudian cenderung dipertahankan oleh DH pada sajak-sajak setelahnya, dengan ciri khas: transparan tapi tetap puitis, sederhana tapi indah, dan menghindari ungkapan-ungkapan yang cenderung gelap. Ibaratnya, jangan cari kegelapan pada sajak-sajak DH, tapi carilah pada sajak-sajak Afrizal Malna (Afrizalian) dan para pengikutnya. Ciri lain yang dominan pada sajak-sajak DH adalah kecenderungannya untuk memperhatikan makna kata dan kebermanfaatannya bagi pembaca. Kecenderungan ini dapat kita lihat pada sajak yang ditulisnya hingga sepuluh tahun, dua puluh tahun, tiga puluh tahun, dan tiga puluh tujuh tahun kemudian, saat DH mulai bermain-main dengan citraan-citraan simbolik yang unik dan segar, namun tetap komunikatif dan jelas pesan pencerahannya. Coba simak sajak DH yang ditulis pada bulan Agustus 1986 (hlm 594), sajak tahun 1994 (hlm 468), sajak Maret 2004 (hlm 143), dan sajak Januari 2010 berikut ini:

PESAN SEEKOR INDUK BURUNG KEPADA ANAKNYA

Kemerdekaan yang tumbuh di sayapmu
Adalah jantung kehidupan
Terbanglah jauh
Bukit-bukit dan lazuardi
Adalah kekasih dalam hidup mati

Kaulihat jua
Hijau lumut padang rumput
Telah melekat di kanvas para pelukis
Harum aroma mata air
Kini menetes di kalam penyair
Kilauan mutiara manusia
Telah disumbat dalam botol-botol aqua

Kauterbanglah jauh-jauh
Sebelum musim berbunga pestisida
Kaungembaralah jauh-jauh
Sebelum pemburu menyalamimu dengan peluru
O, jaga sayapmu yang merdeka
Setialah berkisah tentang kehijauan
Saat manusia kehilangan pohon-pohon kecintaan
Dan menggantinya dengan plastik-plastik
Tanpa urat kehidupan

Jakarta, Agustus 1986


SUNGAI-SUNGAI TANPA MUARA

Mengalir dari berbagai arah
Membeit-belit kota baja
Mengalir lamban mengusung
Mimpi para urban
Mengusung hari-hari hilang warna
Lalu membelit-belit wilayah hatimu

Sungai-sungai tanpa muara
Karena setiap rusuk tanah
Telah masuk dalam
Kepala yang menganga

Sungai-sungai mengalir berputar-putar
Sisa hutan menangis diam-diam
Barangkali saat angin mati
Dan tasbih-tasbih suarakan barzanji
Sungai-sungai temukan muaranya lagi

1994


BENDERA-BENDERA DI JALAN RAYA

Hari ini bendera-bendera berkibaran
Jalan raya mandi warna
Bocah-bocah anak rimba beton
Menengok selintas lalu bergegas
Ketinggalan bus kota

Di halte bocah-bocah anak urban
Menunggu kesempatan, sementara pandangnya
Sesekali tertuju ria pada bendera
Yang melambai dari seberang jalan
Mengirim salam

Bendera terus melambai
Warna-warna bias pelangi
Digetar angin memanggili
Seorang bocah terkesima
Bendera-bendera di jalan raya

Adakah kejujuran
Adakah kecurangan
Di balik kibarnya

Bogor, Maret 2004


PROYEKSI DARI SENTANI

Gerimis pagi Bekasi melukis bias wajah
Lelaki tua dari Sentani lama – Yan Yapo
Memadat di wajah coklat tua
Dua anak muda Papua
Di lembab Januari
Tempat kakek moyangnya kini
Menjaga bumi Papua sejati

Yan Yapo, tak bisa kuterjemahkan
Yan Yapo, tak bisa kuuraikan
Sendainya di tanahmu
Terjadi keajaiban usung perubahan
Seandainya di hari-harimu
Papua tak lagi ulang-ulang lagu “sorata”
Yamdena tak disapa bencana kering memasir
Tambang-tambangmu tak disentuh gadai
Yang lamanya puluhan tahun, wahai

Yan Yapo, gunung hijau jadi lembah terburai
Kulihat lekat di wajah gelap
Dua anak muda Papua di Panti
Yang tak mengerti arus sejarah tumpah darah
Tergerogoti aneka sewa-menyewa
O, biji emas ada saatnya ludas
O, perubahan jangan jadi kano kandas

Bekasi, Januari 2010

Kepedulain Sosial
Secara tematik, sajak-sajak DH, sejak masa awal kepenyairannya sampai saat ini, adalah sajak-sajak peduli sosial. Dalam buku ini nyaris tidak ditemukan sajak yang berkutat dalam kegelisahan personalnya, baik tentang cinta, kesepian, maupun kerinduan pada seseorang. Dalam bersajak, DH lebih menempatkan diri sebagai mahluk sosial yang terpanggil untuk ikut memperhatikan, dan jika bisa memperbaiki, keadaan buruk lingkungan hidupnya, sejak lingkungan alam, lingkungan sosial, sampai lingkungan politik. Di sela-sela kepeduliannya itu, DH mencari dan terus mencari, keadilan dan kebenaran sejati, yang makin raib dari kehidupan.
Sajak-sajak yang dikutip secara melompat-lompat di atas dengan jelas menunjukkan kepedulian DH itu. DH sangat peduli pada nasib kaumnya, nasib bocah-bocah miskin yang mengadu nasib di kota, lingkungan alam yang makin rusak, nasib anak-anak bangsa yang terpinggirkan, sampai kondisi politik yang tidak memihak pada rakyat. Jika pada tahun 1980-an sempat muncul ide tentang pentingnya sajak-sajak yang kontekstual, sajak-sajak yang peduli pada persoalan masyarakatnya, seperti dilontarkan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto (lihat buku Perdebatan Sastra Kontekstual, Penerbit Rajawali, Jakarta, cetakan pertama, 1985), maka sajak-sajak DH dapat disebut sebagai contohnya.
Jika dirujukkan pada pemikiran MH Abrams (dalam  A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, first edition, 1981) tentang orientasi sastra (orientasi penciptaan), maka sikap DH dalam bersastra dapat dikelompokkan ke dalam sikap atau orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik,  yang memandang karya sastra sebagai  media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya, yang cenderung mementingkan kebermanfaatan non-literer, seperti membangun sikap kritis dan pencerahan nurani pembacanya. Suatu orientasi penciptaan yang juga dipilih oleh Rendra, Tagore, Kahlil Gibran, Kuntowijoyo (dengan istilah sastra profetiknya), dan Emha Ainun Nadjib dengan gerakan seni maiyah-nya.
Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.
Pada 'orientasi kedua' Abram, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran sosial, seperti novel  Max Havelar  karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia.
Persoalannya, dewasa ini, karya-karya “sastra terlibat” atau “sastra kontekstual” ataupun “sastra profetik” kurang mendapatkan tempat di kalangan para akademisi dan elit sastra Indonesia. Yang kini cenderung dimanjakan justru karya-karya sastra yang kurang jelas komitmen estetiknya, yang cenderung hanya memberhalakan estetika dan keindahan bahasa, tanpa peduli apakah isinya bermanfaat bagi pembaca atau tidak. Tak heran, jika buku tebal seperti karya DH ini akan kurang dilirik oleh para elit sastra yang terlibat pada tradisi-tradisi pemberian penghargaan sastra di Indonesia. Padahal, semestinya, pada buku-buku kumpulan puisi seperti inilah penghargaan sastra diberikan.
Selamat, DH, atas terbitnya buku kumpulan sajak tebal tebal ini, atas sampainya usia pada angka keramat 70 tahun. Semoga tetap produktif, kreatif, sehat dan bahagia. Meski elit sastra Indonesia masih melihat karya-karya sastra yang tak sesuai selera estetiknya dengan sebelah mata, percayalah Tuhan tidak akan pernah tidur. Tuhan akan terus mencatat karya-karya sastra yang memang ditulis untuk kemaslahatan umat manusia, dan akan memberikan pahala berlipat ganda melalui pintu-pintu yang tidak terduga!

                                                                               Jakarta, 4 Mei 2010.
Baca Lengkapnya....