Tampilkan postingan dengan label DIKTAT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DIKTAT. Tampilkan semua postingan

Bahasa Pers, Antara Ketaatan dan Pengingkaran

Abstract:
As public reading, mass media, aspecially newspaper, is most intensive information media dialogue with society (reader). Newspaper not only presenting any important information, but also various ideas to smart and enableness of society. Added by control function, newspaper become important media to forming public opinion, and even agent change of social.

In running the function of as information media, media control and forming of public opinion, and also agent change of that social, national newspaper exploit Indonesian. In consequence, what until to reader not merely newspaper content, but also follow the example of or byword in have Indonesian. Realized or  not, newspaper become one of  the reference of is necessary for society in have correct and good Indonesian to.

Especial guidance of journalese, or which was often referred as " mass media Ianguage", is standard Indonesian. But, in practice him, each newspaper develop "language style" alone, so that expand immeasurable mass media Ianguage variant. That variant not only in elocution and presentation of article, but also in spelling, especially in writing of absorption words of foreign Ianguage, like Arab Ianguage, English, and Latin.

Difference of mass media Ianguage variant or style will immeasurable more and more if us perceive writing of absorption words of other foreign Ianguage. Also if us perceive news title stylistic which eliminating many suffix and prefixes, and also trespass principle forming of word (morphology). Not to mention if us perceive elocution in writing of news. So that, in mass media Ianguage variant found by variant again, typically the each newspaper.

So far, mass media circle tend to to assume that  mass media Ianguage style as equity, with argument that mass media Ianguage is true as separate vaian. There is also from mass media circle assuming that setlement of Ianguage conducted by Pusat Bahasa Depdiknas tend to dropped behind, so that they intend placed x'self  in " front line" development of Indonesian, including pioneering setlement of absorbent new terms of vernacular and foreign Ianguage.

Among them there even exist which isn't it " setlement" with his own principle. Is seen from Indonesian dynamics side as Ianguage which is life and continue to spring up, role of just the journalese of course the best of. But, seen from important side of him permanence of Indonesian, straggling of variation of in that mass media Ianguage variant of flange can bewilder society of Indonesian. And, what most harm is society which subscribe to newspaper which the was Indonesian of ugly mean or far below the mark correct and good Indonesian. On a long term, condition of like that potential to of course follow to destroy growth of Indonesian as a whole.

Because that ugly possibility, presumably Pusat Bahasa require to construction of Ianguage by intensive again to journalist circle and newspaper editor, to be more obedient them at principles  have correct and good Indonesian. While to depress tendency and straggling of mass media Ianguage variation, circle organizer of national newspaper require to "formulation with" mass media Ianguage style having the national character, to become guidance with. Will far better if national  mass media have Ianguage style which relative uniform and do not each other differing one another.
                                                       ***


Pendahuluan

Istilah pers, menurut Haris Sumadiria, mengandung dua arti.  Arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, yakni surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, istilah pers tidak hanya menunjuk pada media cetak berkala, tapi juga mencakup media elektronik auditif dan audiovisual berkala, yakni radio, dan televisi, serta media on line, yakni internet. Dalam arti luas, pers juga disebut media massa.
Karena itu, pengertian bahasa pers dalam arti luas juga menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang dipakai oleh media massa. Namun, karena terlalu luasnya ruang lingkup bahasa pers, maka pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada bahasa pers dalam pengertian sempit tersebut, yakni bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh media cetak berkala, seperti surat kabar, tabloid, dan majalah, khususnya surat-surat kabar nasional. Kalaupun dalam pembahasan nanti kadang-kadang juga menyebut bahasa Indonesia di media on line (internet), hanya dimaksudkan untuk memperluas cakupan pemakaian istilah tertentu guna melihat saling pengaruh ataupun dampak pemakaian bahasa tersebut secara lebih luas.

Dalam pengertian yang lebih spesifik, bahasa pers sering juga disebut bahasa jurnalistik.  Istilah spesifik -- bahasa jurnalistik -- ini hanya menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik yang berupa berbagai tipologi berita, seperti berita langsung (straight news), berita investigatif (investigative news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita kisah (feature). Karena itu, pembicaraan tentang bahasa jurnalistik tidak pernah memasukkan tipologi tulisan di luar berita, seperti artikel ilmiah popular dan esei (opini), kolom, advertorial, serta fiksi (cerpen dan novel), yang juga banyak terdapat di media cetak.

Pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas mencerabutnya dari bahasa Indonesia baku. Bagaimanapun, bahasa pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa Indonesia, bersama anggota-anggota keluarga lainnya, seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah, bahasa politik, bahasa gaul, dan bahasa komedi. Dengan kata lain, bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia. Karena itu, meskipun berkembang dengan  karakter khas – singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif   -- bahasa pers tetap berinduk pada bahasa Indonesia baku. Artinya, dalam pengembangannya, seprogresif apapun dalam memperkenalkan kosa-kosa kata baru, bahasa pers tetap harus menjadikan bahasa Indonesia baku sebagai rujukan utama, serta tetap harus taat pada kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Posisi bahasa pers

Posisi atau kedudukan bahasa pers dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi keudukannya terhadap bahasa Indonesia baku, bahasa pers adalah salah satu varian, di samping varian-varian yang lain, seperti bahasa sastra, bahasa gaul, bahasa ilmiah, bahasa politik, dan bahasa komedi. Sedangkan dari sisi kedudukannya di tengah masyarakat pemakai bahasa Indonesia, bahasa pers adalah salah satu rujukan penting, dan bahkan “guru bahasa” bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia yang baik dan benar. Dengan demikian, baik-buruknya perkembangan bahasa Indonesia di masyarakat juga ikut ditentukan oleh bahasa pers.

Posisi bahasa pers yang sangat strategis tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peran pers bagi masyarakat. Sebagai bacaan publik sehari-hari, media massa cetak, khususnya surat kabar, merupakan media informasi yang paling intensif berdialog dengan masyarakat (pembaca). Surat kabar tidak hanya menyajikan berbagai informasi penting, tapi juga berbagai gagasan  pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah fungsi kontrol yang diembannya, surat kabar menjadi media penting pembentukan opini publik, dan bahkan agen perubahan sosial.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media kontrol dan pembentukan opini publik, serta agen perubahan sosial itu, surat kabar nasional memanfaatkan bahasa Indonesia. Karena itu, yang sampai kepada pembaca bukan hanya isi surat kabar bersangkutan, tapi juga contoh atau keteladanan dalam berbahasa Indonesia. Surat kabar akan menjadi salah satu rujukan penting bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Secara universal, dan diadopsi ke dalam UU Pokok Pers, pers memiliki lima fungsi utama. Pertama, fungsi informasi (to inform), yakni memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secepat-cepatnya. Kedua, fungsi edukasi (to educate), yakni apapun informasi yang disebarluaskan oleh pers hendaknya dalam rangka mendidik masyarakat.

Ketiga, fungsi koreksi (to influence) atau juga sering disebut fungsi kontrol, yakni ikut mengontrol kekuasaan legislatif, eksekitif, dan yudikatif, agar tetap berjalan pada rel (aturan main) yang benar. Keempat, fungsi rekreasi (to entertain), yakni pers juga harus bisa menjadi wahana hiburan yang sehat dan mencerahkan. Dan, kelima, fungsi mediasi (to mediate), yakni pers harus dapat menjadi mediator untuk menyampaikan kabar tentang berbagai peristiwa penting yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam kaitannya dengan fungsi edukasi itu pula pers dituntut untuk dapat mendidik pembacanya dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, fungsi edukasi tidak saja harus tercermin pada materi isi berita, gambar, fiksi dan artikel-artikelnya, tetapi juga harus tampak pada bahasanya. Dalam hal ini, pada tingkat wacana, semua pakar dan praktisi pers sepakat, bahwa bahasa yang dipakai oleh pers, ataupun media massa, harus merujuk pada bahasa Indonesia baku, yakni bahasa Indonesia resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa dan pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.

Dewasa ini pers, dengan berbagai rubrikasinya, juga semakin dianggap sebagai salah satu sumber terpenting ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentu juga sumber ilmu pengetahuan bahasa sekaligus contoh praktek berhasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam posisi ini, dan dalam kaitannya dengan fungsi edukasi tadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pers  adalah “guru bahasa” yang langsung mencontohkan praktek berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat luas, dan contoh prakteknya adalah bahasa pers itu sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya bahasa pers menempati posisi yang sangat strategis sebagai rujukan dan teladan berbahasa bagi masyarakat luas. Fungsi keteladanan bahasa pers akan semakin fital, jika mengingat intensitas dan frekuensinya yang tinggi dalam berdialog dengan masyarakat (pembaca). Karena itu, tidak ada kata lain bagi bahasa pers untuk tidak menaati kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kaidah yang dimaksud meliputi kaidah penyusunan kalimat yang benar (sintaksis), kaidah pembentukan kata yang benar (morfologi), sampai kaidah pengejaan dan pedoman pembentukan istilah serta penyerapan kata-kata dari bahasa asing. Sedangkan etika berbahasa menyangkut kesantunan berbahasa sesuai dengan cita rasa budaya Indonesia. Misalnya, menghindari kata-kata yang tidak sopan, vulgar, porno, dan berselera rendah.

Pada tingkat wacana, para pakar dan praktisi pers umumnya sepakat bahwa bahasa pers yang berkualitas adalah bahasa pers yang tetap taat pada kaidah-kaidah bahasa baku, selalu menaati prinsip-prinsip dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesepakatan ini sering kita dengar dalam berbagai forum pembahasan dan buku-buku tentang bahasa pers. Tetapi, dalam praktek masih sangat sering terlihat kenyataan yang berbeda: terjadi banyak pengingkaran terhadap kesepakatan ideal tersebut.

Jutaan kesalahan

Pada uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia, dan karena itu tetap harus taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Tesis tersebut juga mengisyaratkan bahwa bahasa pers adalah satu varian – bukan banyak varian – dari bahasa Indonesia. Dengan demikian, mestinya varian bahasa semua pers – semua surat kabar, semua tabloid, semua majalah, dan semua media on line – berada dalam satu varian bahasa yang sama, dan sama-sama taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku.

Namun, dalam prakteknya, masing-masing surat kabar mengembangkan “gaya bahasa”  sendiri, termasuk dalam penulisan kata-kata serapan, sehingga berkembanglah varian bahasa pers yang beragam. Dengan kata lain, di dalam varian bahasa pers juga muncul varian-varian tersendiri, atau yang lebih tepat disebut sub varian. Sehingga, gaya bahasa tiap media massa cetak dan media massa on line cenderung berbeda-beda. Misalnya, ada “gaya bahasa” khas Republika, ada “gaya bahasa” khas Koran Tempo, ada “gaya bahasa” khas Kompas, dan bervariasi pula “gaya bahasa” media-media on line.

Keberagaman varian itu tidak hanya dalam gaya bertutur dan penyajian tulisan untuk memenuhi prinsip-prinsip bahasa pers -- singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif -- tetapi juga dalam ejaan, terutama dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, dan Latin. Dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing itu tidak ada keseragaman antar-pers, sehinga banyak kata-kata serapan yang ditulis dalam dua sampai tiga versi.

Ironisnya, sebagian besar penulisan kata-kata serapan itu tidak mengikuti pedoman pembentukan istilah yang telah dirumuskan oleh Pusat Bahasa Depdiknas. Bahkan, banyak yang melakukan pengejaan sendiri yang berbeda dengan ejaan kosa kata yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, banyak praktisi pers yang mengingkari komitmen untuk taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Jika dicari dan dihitung melalui google, jumlah pengingkaran (kesalahan) seperti itu bahkan dapat mencapai jutaan kasus.

Sebagai contoh aktual adalah dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni kata-kata yang sebenarnya telah dikenal selama berabad-abad dan menjadi keseharian masyarakat, seperti salat, takwa, wudu dan ustaz,  masing-masing surat kabar memilih ejaan yang berbeda-beda. Untuk kata salat, misalnya, Koran Tempo dan Kompas, memilih cara penulisan yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni salat. Sedangkan Republika memilih mengembalikannya pada transliterasi  langsung dari Arab ke Latin, yang lebih dekat dengan pengucapan Arabnya, yakni shalat. Bahkan, sejak bulan Ramadhan yang lalu, khususnya pada rubrik Dunia Islam, Republika menulis salat dengan sholat. Begitu juga untuk kata takwa, Koran Tempo dan Kompas mengikuti cara penulisan yang telah dibakukan dalam KBBI, yakni takwa. Sedangkan Republika, sama dengan kasus  kata salat, memilih taqwa.

Tetapi, Kompas dan Koran Tempo juga tidak selalu benar. Dalam penulisan kata ustaz justru yang benar (sesuai dengan yang dibakukan dalam KBBI) hanya Koran Sindo dan Suara Merdeka, yakni ustaz. Sedangkan Kompas dan Koran Tempo memilih ustad, dan Republika lagi-lagi berpedoman pada prinsip transliterasi Arab-Latin, yakni ustadz. Sedangkan untuk penulisan kata wudu, tidak ada satupun surat kabar yang mengikuti KBBI, dengan menulis wudu. Rata-rata surat kabar menulis wudhu, atau wudlu. Begitu juga media-media on line. 

Perbedaan gaya atau varian bahasa pers, atau lebih tepatnya ketidakseragaman penulisan kata-kata serapan, akan makin terlihat parah kalau kita mengamati penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing lainnya, terutama kata-kata asing yang berasal dari bahasa Inggris, seperti iven (event) dan gender, dua istilah yang relatif baru dan banyak dipakai di media massa. Rata-rata surat kabar menulis jender, padahal yang benar menurut KBBI adalah gender. Sedangak untuk kata iven – belum dibakukan dalam KBBI – hanya Republika yang menulis iven. Sedangkan Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos, memilih even.

Dari fakta-fakta tersebut di atas sudah terlihat betapa masih simpang siurnya sistem penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dan betapa banyak kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Jika dihitung, dalam sehari mungkin ada puluhan, bahkan ratusan, kesalahan penulisan kata serapan yang terjadi di pers atau media massa Indonesia. Sebab, pelacakan melalui google, dengan memilih pencarian dalam bahasa Indonesia, menemukan jutaan kesalahan penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, pada jutaan materi tulisan yang dapat diakses.

Untuk kata salat, misalnya, ditemukan 3.000.000 materi tulisan dengan kata shalat dan 746.000 materi tulisan dengan kata sholat, termasuk materi-materi tulisan yang dimuat Republika. Berarti ada 3.746.000 kesalahan penulisan kata salat. Untuk penulisan kata ustaz, ditemukan 2.280.0000 materi tulisan dengan kata ustad dan 694.000 materi tulisan dengan kata ustadz, termasuk materi tulisan di Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Berarti ada 2.974.000 kesalahan penulisan kata ustaz.  Sedangkan untuk penulisan kata takwa, ditemukan 887.000 materi tulisan dengan kata taqwa. Dan, untuk penulisan kata wudu, ditemukan 331.000 materi tulisan dengan kata wudhu, dan 59.800 materi tulisan dengan kata wudlu.

Jika dijumlah, terhitung sampai tanggal 20 September 2008, ketika pencarian dilakukan, hanya dalam penulisan empat kata serapan saja – salat, ustaz, takwa, dan wudu – terjadi 7.997.000 (hampir delapan juta) kesalahan penulisan di berbagai media masaa cetak dan on line berbahasa Indonesia yang dapat diakses melalui google. Jumlah kesalahan penulisan kata serapan akan lebih banyak lagi jika ditambah semua kata serapan yang ada dalam bahasa Indonesia dan juga ditambah yang terjadi di media-media yang tidak dapat diakses melalui google.

Jika pengamatan diperluas lagi, akan banyak ditemukan lagi gaya penulisan judul berita yang banyak menghilangkan awalan dan akhiran, serta menyalahi kaidah pembentukan kata jadian (morfologi). Belum lagi kalau kita mengamati gaya bertutur dalam penulisan berita di berbagai surat kabar, yang sering dipenuhi kalimat-kalimat yang tidak logis dan tidak baku. Begitu juga kalau kita mencermati media-media cetak bersegmen remaja, yang ditaburi gaya bahasa gaul yang sama sekali tidak baku, tidak hanya pada kutipan langsung tapi juga pada narasi-narasi yang mestinya menggunakan bahasa Indonesia baku.

Ketidakbakuan, atau ketidakseragaman, menjadi parah terutama karena keterbatasan kemampuan wartawan dan redaktur masing-masing media massa dalam berbahasa tulis, serta kurangnya wawasan dan persepsi mereka tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang lebih banyak mereka sumbang bisa jadi  adalah “kesalahan” berbahasa, tapi pembaca bisa jadi menganggapnya sebagai contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau bahasa Indonesia yang sedang tren, sehingga mereka tiru begitu saja. Dan, di sinilah letak bahayanya, karena tanpa sadar media massa dan masyarakat secara bersama-sama akan merusak bahasa Indonesia.

Penyebab dan solusi

Jika ditelusur dan dikaji dengan seksama, ada beberapa faktor penyebab terjadinya pengingkaran oleh kalangan pers terhadap kaidah bahasa Indonesia baku.
Pertama, perbedaan pedoman pembentukan istilah yang diserap dari bahasa asing, khususnya Arab, ke bahasa Indonesia. Beberapa surat kabar dan media on line, seperti Republika dan eramuslim.com, berpedoman pada kaidah transliterasi internasional, yakni sebatas penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, yakni dari abjad Arab ke abjad Latin. Jadi, kata-kata seperti sholat hanya diganti huruf-hurufnya dari abjad Arab ke abjad Latin, sehingga pengucapannya tetap dibiarkan dalam pengucapan bahasa aslinya. Dengan kata lain, kata-kata tersebut tidak diindonesiakan.

Sedangkan KBBI berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dengan semangat mengindonesiakan atau menyerap penuh kata-kata tersebut menjadi kata-kata dalam citarasa bahasa Indonesia. Karena dalam dalam EYD tidak dikenal gabungan konsonan sh, maka shalat ditulis salat. Tapi, karena Republika berpedoman pada prinsip transliterasi tadi, maka tetap menulisnya dengan shalat atau sholat. Jadi, kata tersebut tidak diindonesiakan, tapi hanya disalin abjadnya saja.
Kedua, KBBI mengubah cita rasa kata sholat dari cita rasa bahasa Arab ke cita rasa bahasa Indonesia, sehingga menulisnya dengan salat. Sedangkan Republika dan beberapa media lain, khususnya media yang sangat kental semangat Islamnya, tetap mempertahankan cita rasa bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, sehingga menulisnya dengan sholat.

Ketiga, ada semacam kekhawatiran di kalangan praktisi media Islam, dan sementara cendekiawan Muslim, jika kata sholat sepenuhnya diindonesiakan menjadi salat, maknanya akan terdistorsi, sehingga kesan sakralnya menjadi hilang. Jadi, ada semacam alasan ideologis di antara mereka. Begitu juga halnya dengan kata taqwa dan ramadhan, dengan alas an ideologis yang sama juga dipilih yang tetap memiliki cita rasa bahasa aslinya, tanpa sepenuhnya diindonesiakan. Belakangan, bahkan beberapa media massa Islam, cetak maupun on line, lebih memilih kata saum daripada puasa. Sedangkan Pusat Bahasa, dalam melakukan pembakuan ke dalam KBBI kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-kebahasaan tersebut, sehingga terlalu “nasionalis”.

Keempat, khusus untuk kata-kata serapan baru, yang dewasa ini bertaburan di media massa dan komunikasi masyarakat sehari-hari, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa gaul dan bahasa daerah, seperti iven (event), dan  jomblo, Pusat Bahasa dengan KBBI, yang diperbaharui hanya lima tahun sekali, terkesan tertinggal atau terlambat, sehingga media massa melakukan pembakuan sendiri dengan cara masing-masing.

Dan, faktor penyebab kelima, tentu adalah kurangnya wawasan dan kemampuan para wartawan serta redaktur media massa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tulisan-tulisan mereka tidak mencerminkan sebagai contoh bahasa tulis yang baik dan benar.

Selain fator-faktor tersebut di atas, selama ini juga banyak kalangan pers yang cenderung menganggap bahwa keberagaman gaya bahasa pers sebagai kewajaran, dengan argumentasi bahwa bahasa pers memang merupakan vaian tersendiri yang dipraktekkan secara luwes, progresif dan kontekstual, agar bahasa pers selalu menarik dan sangat dekat dengan realitas bahasa yang berkembang di masyarakat. Dan, persoalan sering muncul, karena dalam praktek tersebut banyak kalangan pers yang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku..

Tidak kurang pula dari kalangan pers yang menganggap bahwa media massa memang merupakan “pelopor” pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia, sehingga mereka sengaja menempatkan diri di “garis depan” pengembangan bahasa Indonesia, termasuk memelopori pembakuan istilah-istilah baru yang diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah guna memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Hanya masalahnya, sekali lagi, mereka melakukan “pembakuan” dengan aturan sendiri, sehingga menyalahi prosedur pembakuan yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Dilihat dari sisi dinamika bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan terus bertumbuh, peran kebahasaan media massa yang progresif tersebut tentu baik-baik saja asal tetap berpedoman pada kaidah yang baku dan ada keseragaman antar-media massa. Jika tidak ada keseragaman, dilihat dari sisi pentingnya kebakuan bahasa Indonesia, keliaran variasi di dalam varian bahasa pers itu tentu dapat mengarah pada pijinisasi bahasa dan dapat membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Dan, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang berlangganan surat kabar yang bahasa Indonesianya rata-rata buruk atau jauh di bawah standar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena mengganggap bahasa surat kabar yang dibacanya adalah benar -- padahal penuh kesalahan -- maka bahasa Indonesia mereka bisa ikut rusak. Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu tentu potensial ikut merusak perkembangan bahasa Indonesia secara keseluruhan.

Karena kemungkinan buruk itulah, kiranya Pusat Bahasa perlu melakukan pembinaan bahasa secara lebih intensif lagi terhadap kalangan wartawan dan redaktur media massa, agar mereka lebih taat pada kaidah-kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk menekan kecenderungan pijinisasi dan keliaran variasi bahasa pers, kalangan pengelola media massa nasional juga perlu melakukan semacam “perumusan bersama” gaya bahasa pers yang bersifat nasional, untuk menjadi pedoman bersama.

Sedangkan untuk mengurangi ketertinggalan, kiranya Pusat Bahasa perlu memperpendek frekuensi pembakuan kata-kata serapan baru, yang semula lima tahun sekali menjadi setahun sekali. Hal ini sangat dimungkinkan dengan telah adanya KBBI on line, agar dapat menjadi rujukan yang tetap aktual bagi semua pemakai bahasa Indonesia, khususnya kalangan pers, guna menghindari kesimpangsiuran penulisan kata-kata seraan baru. Hal yang juga sangat penting adalah memasyarakatkan KBBI on line secara lebih luas dan intensif.

Penutup

Meskipun tetap diperlakukan sebagai varian bahasa tersendiri, tetap akan jauh lebih baik jika pers nasional memiliki gaya bahasa yang seragam, dan masing-masing surat kabar tidak mengembangkan gaya bahasanya sendiri yang saling berbeda satu sama lain. Tentu, gaya bahasa pers nasional yang disepakati bersama itu diupayakan betul-betul berdasarkan kaidah bahasa Indonesia baku, gaya bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Bagaimanapun, Pusat Bahasa telah bekerja keras selama puluhan tahun untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sangatlah tidak bertanggung jawab jika upaya tersebut malah diingkari oleh kalangan media massa, yang mestinya justru harus mendukung penuh upaya pembakuan tersebut.***

Jakarta, 20 September 2008


Daftar rujukan:
1. Anderson, Douglas A., News Writing and Reporting for Today's Media, McGraw-Hill Inc, New York, 1994.
2. Connery, Thomas B., A Sourcebook of American Literary Journalism, Greenwood Press, New York, 1992.
3. Charity, Arthur, Doing Public Journalism, The Guilford Press, New York, 1995.
4. Hadimaja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
5. Mansoor, Sofia, dan Nik Solihin, Peristilahan, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
6. Mappatoto, Andi Baso, Teknik Penulisan Feature, Gramedia, Jakarta, 1992.
7. PWI Pusat, Pers Nasional, Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan, Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional, Jakarta, 1989.
8. Provost, Gary, 100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda, Dahara Prize, Semarang, 1987.
9. Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi III, 2008.
10. Razak, Abdul, Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi, Gramedia, Jakarta, 1986.
11. Republika, Redaksi, Gaya Bahasa Republika 2007, Republika, Jakarta, 2007.
12. Rivers, William L., Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, Gramedia, Jakarta, 1997.
13. Siregar, Ashadi dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Karya Unipress, Yogyakarta, 1982.
14. Strentz, Herbert, Reporter dan Sumber Berita, Gramedia, Jakarta, 1993.
15. Sudarsana, Gunawan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Indonesia Tera, Magelang, cetakan kelima, 2008.
16. Sumadiria, AS Haris, Drs., MSi, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, Juli 2008.
17. Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa, Angkasa, Bandung, 1983.
18. Tim Pustaka Widyatama, EYD Lengkap, Pustaka Widiatama, Yogyakarta, cetakan pertama, 2008.



Biografi:

AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Tahun 2007 terpilih menjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010), dan tahun 2008 terpilih sebagai ketua umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Sehari-hari kini ia menjadi redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta, dan tutor sastra Pusat Bahasa Depdiknas.

Selain puisi, Ahmadun juga banyak menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).

Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta iven sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.

Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering,  Taman Budaya Sumatera Utara, Medan.  Oktober  2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi pembicara dan ketua siding pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.

Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),  Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).

Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Sajak-sajak dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net.  Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com.
Baca Lengkapnya....

Menuju Metode Pengajaran Sastra yang Ideal*

Pendidikan seni di sekolah (SMU) yang selama ini paling banyak mendapat sorotan adalah pengajaran seni-sastra. Almarhum HB Jassin, misalnya, sudah mengeluhkan buruknya sistem pengajaran sastra di sekolah sejak tahun 1970-an. Menurut Jassin, pengajaran sastra di sekolah hanya menitikberatkan pada hafalan nama angkatan, nama pengarang dan judul karya mereka. Sehingga, yang didapatkan siswa hanya sebatas pengetahuan sejarah sastra, dan bukan apresiasi sastra. Padahal, peningkatan apresiasi sastra yang seharusnya menjadi tujuan utama pengajaran sastra di sekolah.

Sinyalemen yang sama juga dilontarkan beberapa sastrawan dan pakar pengajaran sastra dalam tahun 1980-an, antara lain oleh Suminto A. Sayuti. Dan, sekitar 30 tahun kemudian, tahun 2000-an, penyair Taufiq Ismail masih juga mengeluhkan hal yang sama. Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara XIII di Surabaya, 27 September 2004, misalnya, ia masih mengatakan bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya.

Berbeda dengan pengajaran cabang-cabang kesenian lain, seperti seni lukis, dan nyanyi, pengajaran sastra tidak menitik-beratkan pada praktek membuat karya sastra. Pada pelajaran menggambar, misalnya, lazimnya siswa mendapatkan sedikit teori dan banyak praktek menggambar. Begitu juga pada seni musik atau karawitan, jika ada. Sementara, dalam seni sastra, siswa lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan sejarah sastra. Sebab, ini pula yang dibutuhkan siswa ketika menghadapi ujian akhir ataupun Ebtanas. Selain itu, pelajaran sastra juga melekat pada pelajaran bahasa Indonesia, bukan berdiri sendiri seperti halnya pelajaran menggambar.

Posisi pengajaran sastra yang melekat pada pengajaran bahasa itulah yang sampai dewasa ini banyak dikritik oleh para sastrawan dan pengamat pengajaran sastra seperti Taufiq Ismail. Mereka, antara lain mengusulkan agar pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa, menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sebab, dengan melekat pada pengajaran bahasa, seperti yang terjadi selama ini, pengajaran sastra kurang mendapat porsi dan perhatian yang memadai dari guru-guru bahasa Indonesia.

Dengan posisi melekat seperti itu, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

***

Meskipun masih menjadi bagian dari pengajaran bahasa Indonesia, pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.
Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi,  Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, Jawa Pos).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah minimnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

***

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20% nilai bahasa Indonesia pada rapornya – persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

                            Cipasera, 25 Februari 2005

WACANA

Kreativitas Guru, Tumpuan Pengajaran Sastra
Ahmadun Yosi Herfanda
Sastrawan dan wartawan Republika

Saya selalu merasa bahagia tiap kali membaca karya-karya siswa SMU, puisi maupun cerpen, yang dimuat di suplemen //Kaki Langit// Majalah //Horison//. Meskipun di satu sisi, suplemen tersebut kerap dianggap memerosotkan wibawa majalah tersebut, tetapi di sisi lain suplemen tersebut cukup menggairahkan budaya menulis kreatif di kalangan siswa. Suplemen tersebut juga menjadi bukti makin banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Jika dikaitkan dengan persoalan pengajaran sastra, yang selama ini sering dikeluhkan, karya-karya siswa SMU pada suplemen tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni //Bahasa Indonesia// (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, //Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia// (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku //Bahasa Indonesia 1A//, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo,  Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku //Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia// jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi,  Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, dikutip dari //Jawa Pos//).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah masih kurangnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.
    ***

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, bertumpu pada kreativitas guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Namun, sembari menunggu kebijakan 'pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa' -- yang belum jelas akan disetujui atau tidak -- alangkah baiknya jika para guru bahasa dapat memaksimalkan pengajaran sastra di sekolah masing-masing. Meskipun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi.

Langkah sederhananya adalah mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan pada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin. Sementara, siswa-siswa yang berbakat menulis kreatif dapat dipupuk melalui kegiatan ekstra kurikuler di luar jam pelajaran resmi.

Tradisi kompetitif dengan memberi penghargaan pada karya siswa, baik resensi sastra maupun karya kreatif (cerpen dan puisi), dapat juga dipilih untuk merangsang budaya baca dan tulis siswa. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam mengajarkan sastra menjadi tumpuan utama. Hanya dengan kesungguhan, kecintaan, dan kreativitas guru, kualitas pengajaran sastra di sekolah dapat didongkrak secepatnya, agar apresiasi sastra kaum terpelajar kita bisa ditingkatkan lagi.n
_

* Makalah untuk Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007 Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 10 April 2007.
Baca Lengkapnya....