Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan

Membaca ‘Indonesia-Australia’ dalam Cerpen

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka ‘bercermin’ untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi – cerita pendek (cerpen) maupun novel – seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia juga suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Kini, ketika tradisi mendongeng secara lisan lenyap, budaya audio-visual mengisi kebutuhan masyarakat akan dongeng melalui sinetron, telenovela, dan film impor.

Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah ‘mimpi-mimpi indah’ tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam ‘mimpi-mimpi indah’ itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir. Karena itu, wajar saja, kalau yang selalu menempati rating tinggi adalah sinetron dan telenovela yang menjual mimpi.
Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung ‘mendongeng’ (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja dan kumpulan cerpen remaja.
Fiksi kontemporer yang disebut chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan ‘dunia mimpi’. Karena itu, chicklit dan teenlit cepat berkembang dengan banyak menemukan peminat.

***
Baca Lengkapnya....

Resonansi Indonesia

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, aceh, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya tembok pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam asuhan
burung garuda

Jakarta, 1984/1999

Sumber: Republika Online, edisi : 22 Agustus 1999
Baca Lengkapnya....

Bahasa Pers, Antara Ketaatan dan Pengingkaran

Abstract:
As public reading, mass media, aspecially newspaper, is most intensive information media dialogue with society (reader). Newspaper not only presenting any important information, but also various ideas to smart and enableness of society. Added by control function, newspaper become important media to forming public opinion, and even agent change of social.

In running the function of as information media, media control and forming of public opinion, and also agent change of that social, national newspaper exploit Indonesian. In consequence, what until to reader not merely newspaper content, but also follow the example of or byword in have Indonesian. Realized or  not, newspaper become one of  the reference of is necessary for society in have correct and good Indonesian to.

Especial guidance of journalese, or which was often referred as " mass media Ianguage", is standard Indonesian. But, in practice him, each newspaper develop "language style" alone, so that expand immeasurable mass media Ianguage variant. That variant not only in elocution and presentation of article, but also in spelling, especially in writing of absorption words of foreign Ianguage, like Arab Ianguage, English, and Latin.

Difference of mass media Ianguage variant or style will immeasurable more and more if us perceive writing of absorption words of other foreign Ianguage. Also if us perceive news title stylistic which eliminating many suffix and prefixes, and also trespass principle forming of word (morphology). Not to mention if us perceive elocution in writing of news. So that, in mass media Ianguage variant found by variant again, typically the each newspaper.

So far, mass media circle tend to to assume that  mass media Ianguage style as equity, with argument that mass media Ianguage is true as separate vaian. There is also from mass media circle assuming that setlement of Ianguage conducted by Pusat Bahasa Depdiknas tend to dropped behind, so that they intend placed x'self  in " front line" development of Indonesian, including pioneering setlement of absorbent new terms of vernacular and foreign Ianguage.

Among them there even exist which isn't it " setlement" with his own principle. Is seen from Indonesian dynamics side as Ianguage which is life and continue to spring up, role of just the journalese of course the best of. But, seen from important side of him permanence of Indonesian, straggling of variation of in that mass media Ianguage variant of flange can bewilder society of Indonesian. And, what most harm is society which subscribe to newspaper which the was Indonesian of ugly mean or far below the mark correct and good Indonesian. On a long term, condition of like that potential to of course follow to destroy growth of Indonesian as a whole.

Because that ugly possibility, presumably Pusat Bahasa require to construction of Ianguage by intensive again to journalist circle and newspaper editor, to be more obedient them at principles  have correct and good Indonesian. While to depress tendency and straggling of mass media Ianguage variation, circle organizer of national newspaper require to "formulation with" mass media Ianguage style having the national character, to become guidance with. Will far better if national  mass media have Ianguage style which relative uniform and do not each other differing one another.
                                                       ***


Pendahuluan

Istilah pers, menurut Haris Sumadiria, mengandung dua arti.  Arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, yakni surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, istilah pers tidak hanya menunjuk pada media cetak berkala, tapi juga mencakup media elektronik auditif dan audiovisual berkala, yakni radio, dan televisi, serta media on line, yakni internet. Dalam arti luas, pers juga disebut media massa.
Karena itu, pengertian bahasa pers dalam arti luas juga menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang dipakai oleh media massa. Namun, karena terlalu luasnya ruang lingkup bahasa pers, maka pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada bahasa pers dalam pengertian sempit tersebut, yakni bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh media cetak berkala, seperti surat kabar, tabloid, dan majalah, khususnya surat-surat kabar nasional. Kalaupun dalam pembahasan nanti kadang-kadang juga menyebut bahasa Indonesia di media on line (internet), hanya dimaksudkan untuk memperluas cakupan pemakaian istilah tertentu guna melihat saling pengaruh ataupun dampak pemakaian bahasa tersebut secara lebih luas.

Dalam pengertian yang lebih spesifik, bahasa pers sering juga disebut bahasa jurnalistik.  Istilah spesifik -- bahasa jurnalistik -- ini hanya menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik yang berupa berbagai tipologi berita, seperti berita langsung (straight news), berita investigatif (investigative news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita kisah (feature). Karena itu, pembicaraan tentang bahasa jurnalistik tidak pernah memasukkan tipologi tulisan di luar berita, seperti artikel ilmiah popular dan esei (opini), kolom, advertorial, serta fiksi (cerpen dan novel), yang juga banyak terdapat di media cetak.

Pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas mencerabutnya dari bahasa Indonesia baku. Bagaimanapun, bahasa pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa Indonesia, bersama anggota-anggota keluarga lainnya, seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah, bahasa politik, bahasa gaul, dan bahasa komedi. Dengan kata lain, bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia. Karena itu, meskipun berkembang dengan  karakter khas – singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif   -- bahasa pers tetap berinduk pada bahasa Indonesia baku. Artinya, dalam pengembangannya, seprogresif apapun dalam memperkenalkan kosa-kosa kata baru, bahasa pers tetap harus menjadikan bahasa Indonesia baku sebagai rujukan utama, serta tetap harus taat pada kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Posisi bahasa pers

Posisi atau kedudukan bahasa pers dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi keudukannya terhadap bahasa Indonesia baku, bahasa pers adalah salah satu varian, di samping varian-varian yang lain, seperti bahasa sastra, bahasa gaul, bahasa ilmiah, bahasa politik, dan bahasa komedi. Sedangkan dari sisi kedudukannya di tengah masyarakat pemakai bahasa Indonesia, bahasa pers adalah salah satu rujukan penting, dan bahkan “guru bahasa” bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia yang baik dan benar. Dengan demikian, baik-buruknya perkembangan bahasa Indonesia di masyarakat juga ikut ditentukan oleh bahasa pers.

Posisi bahasa pers yang sangat strategis tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peran pers bagi masyarakat. Sebagai bacaan publik sehari-hari, media massa cetak, khususnya surat kabar, merupakan media informasi yang paling intensif berdialog dengan masyarakat (pembaca). Surat kabar tidak hanya menyajikan berbagai informasi penting, tapi juga berbagai gagasan  pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah fungsi kontrol yang diembannya, surat kabar menjadi media penting pembentukan opini publik, dan bahkan agen perubahan sosial.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media kontrol dan pembentukan opini publik, serta agen perubahan sosial itu, surat kabar nasional memanfaatkan bahasa Indonesia. Karena itu, yang sampai kepada pembaca bukan hanya isi surat kabar bersangkutan, tapi juga contoh atau keteladanan dalam berbahasa Indonesia. Surat kabar akan menjadi salah satu rujukan penting bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Secara universal, dan diadopsi ke dalam UU Pokok Pers, pers memiliki lima fungsi utama. Pertama, fungsi informasi (to inform), yakni memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secepat-cepatnya. Kedua, fungsi edukasi (to educate), yakni apapun informasi yang disebarluaskan oleh pers hendaknya dalam rangka mendidik masyarakat.

Ketiga, fungsi koreksi (to influence) atau juga sering disebut fungsi kontrol, yakni ikut mengontrol kekuasaan legislatif, eksekitif, dan yudikatif, agar tetap berjalan pada rel (aturan main) yang benar. Keempat, fungsi rekreasi (to entertain), yakni pers juga harus bisa menjadi wahana hiburan yang sehat dan mencerahkan. Dan, kelima, fungsi mediasi (to mediate), yakni pers harus dapat menjadi mediator untuk menyampaikan kabar tentang berbagai peristiwa penting yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam kaitannya dengan fungsi edukasi itu pula pers dituntut untuk dapat mendidik pembacanya dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, fungsi edukasi tidak saja harus tercermin pada materi isi berita, gambar, fiksi dan artikel-artikelnya, tetapi juga harus tampak pada bahasanya. Dalam hal ini, pada tingkat wacana, semua pakar dan praktisi pers sepakat, bahwa bahasa yang dipakai oleh pers, ataupun media massa, harus merujuk pada bahasa Indonesia baku, yakni bahasa Indonesia resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa dan pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.

Dewasa ini pers, dengan berbagai rubrikasinya, juga semakin dianggap sebagai salah satu sumber terpenting ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentu juga sumber ilmu pengetahuan bahasa sekaligus contoh praktek berhasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam posisi ini, dan dalam kaitannya dengan fungsi edukasi tadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pers  adalah “guru bahasa” yang langsung mencontohkan praktek berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat luas, dan contoh prakteknya adalah bahasa pers itu sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya bahasa pers menempati posisi yang sangat strategis sebagai rujukan dan teladan berbahasa bagi masyarakat luas. Fungsi keteladanan bahasa pers akan semakin fital, jika mengingat intensitas dan frekuensinya yang tinggi dalam berdialog dengan masyarakat (pembaca). Karena itu, tidak ada kata lain bagi bahasa pers untuk tidak menaati kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kaidah yang dimaksud meliputi kaidah penyusunan kalimat yang benar (sintaksis), kaidah pembentukan kata yang benar (morfologi), sampai kaidah pengejaan dan pedoman pembentukan istilah serta penyerapan kata-kata dari bahasa asing. Sedangkan etika berbahasa menyangkut kesantunan berbahasa sesuai dengan cita rasa budaya Indonesia. Misalnya, menghindari kata-kata yang tidak sopan, vulgar, porno, dan berselera rendah.

Pada tingkat wacana, para pakar dan praktisi pers umumnya sepakat bahwa bahasa pers yang berkualitas adalah bahasa pers yang tetap taat pada kaidah-kaidah bahasa baku, selalu menaati prinsip-prinsip dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesepakatan ini sering kita dengar dalam berbagai forum pembahasan dan buku-buku tentang bahasa pers. Tetapi, dalam praktek masih sangat sering terlihat kenyataan yang berbeda: terjadi banyak pengingkaran terhadap kesepakatan ideal tersebut.

Jutaan kesalahan

Pada uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia, dan karena itu tetap harus taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Tesis tersebut juga mengisyaratkan bahwa bahasa pers adalah satu varian – bukan banyak varian – dari bahasa Indonesia. Dengan demikian, mestinya varian bahasa semua pers – semua surat kabar, semua tabloid, semua majalah, dan semua media on line – berada dalam satu varian bahasa yang sama, dan sama-sama taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku.

Namun, dalam prakteknya, masing-masing surat kabar mengembangkan “gaya bahasa”  sendiri, termasuk dalam penulisan kata-kata serapan, sehingga berkembanglah varian bahasa pers yang beragam. Dengan kata lain, di dalam varian bahasa pers juga muncul varian-varian tersendiri, atau yang lebih tepat disebut sub varian. Sehingga, gaya bahasa tiap media massa cetak dan media massa on line cenderung berbeda-beda. Misalnya, ada “gaya bahasa” khas Republika, ada “gaya bahasa” khas Koran Tempo, ada “gaya bahasa” khas Kompas, dan bervariasi pula “gaya bahasa” media-media on line.

Keberagaman varian itu tidak hanya dalam gaya bertutur dan penyajian tulisan untuk memenuhi prinsip-prinsip bahasa pers -- singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif -- tetapi juga dalam ejaan, terutama dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, dan Latin. Dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing itu tidak ada keseragaman antar-pers, sehinga banyak kata-kata serapan yang ditulis dalam dua sampai tiga versi.

Ironisnya, sebagian besar penulisan kata-kata serapan itu tidak mengikuti pedoman pembentukan istilah yang telah dirumuskan oleh Pusat Bahasa Depdiknas. Bahkan, banyak yang melakukan pengejaan sendiri yang berbeda dengan ejaan kosa kata yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, banyak praktisi pers yang mengingkari komitmen untuk taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Jika dicari dan dihitung melalui google, jumlah pengingkaran (kesalahan) seperti itu bahkan dapat mencapai jutaan kasus.

Sebagai contoh aktual adalah dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni kata-kata yang sebenarnya telah dikenal selama berabad-abad dan menjadi keseharian masyarakat, seperti salat, takwa, wudu dan ustaz,  masing-masing surat kabar memilih ejaan yang berbeda-beda. Untuk kata salat, misalnya, Koran Tempo dan Kompas, memilih cara penulisan yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni salat. Sedangkan Republika memilih mengembalikannya pada transliterasi  langsung dari Arab ke Latin, yang lebih dekat dengan pengucapan Arabnya, yakni shalat. Bahkan, sejak bulan Ramadhan yang lalu, khususnya pada rubrik Dunia Islam, Republika menulis salat dengan sholat. Begitu juga untuk kata takwa, Koran Tempo dan Kompas mengikuti cara penulisan yang telah dibakukan dalam KBBI, yakni takwa. Sedangkan Republika, sama dengan kasus  kata salat, memilih taqwa.

Tetapi, Kompas dan Koran Tempo juga tidak selalu benar. Dalam penulisan kata ustaz justru yang benar (sesuai dengan yang dibakukan dalam KBBI) hanya Koran Sindo dan Suara Merdeka, yakni ustaz. Sedangkan Kompas dan Koran Tempo memilih ustad, dan Republika lagi-lagi berpedoman pada prinsip transliterasi Arab-Latin, yakni ustadz. Sedangkan untuk penulisan kata wudu, tidak ada satupun surat kabar yang mengikuti KBBI, dengan menulis wudu. Rata-rata surat kabar menulis wudhu, atau wudlu. Begitu juga media-media on line. 

Perbedaan gaya atau varian bahasa pers, atau lebih tepatnya ketidakseragaman penulisan kata-kata serapan, akan makin terlihat parah kalau kita mengamati penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing lainnya, terutama kata-kata asing yang berasal dari bahasa Inggris, seperti iven (event) dan gender, dua istilah yang relatif baru dan banyak dipakai di media massa. Rata-rata surat kabar menulis jender, padahal yang benar menurut KBBI adalah gender. Sedangak untuk kata iven – belum dibakukan dalam KBBI – hanya Republika yang menulis iven. Sedangkan Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos, memilih even.

Dari fakta-fakta tersebut di atas sudah terlihat betapa masih simpang siurnya sistem penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dan betapa banyak kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Jika dihitung, dalam sehari mungkin ada puluhan, bahkan ratusan, kesalahan penulisan kata serapan yang terjadi di pers atau media massa Indonesia. Sebab, pelacakan melalui google, dengan memilih pencarian dalam bahasa Indonesia, menemukan jutaan kesalahan penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, pada jutaan materi tulisan yang dapat diakses.

Untuk kata salat, misalnya, ditemukan 3.000.000 materi tulisan dengan kata shalat dan 746.000 materi tulisan dengan kata sholat, termasuk materi-materi tulisan yang dimuat Republika. Berarti ada 3.746.000 kesalahan penulisan kata salat. Untuk penulisan kata ustaz, ditemukan 2.280.0000 materi tulisan dengan kata ustad dan 694.000 materi tulisan dengan kata ustadz, termasuk materi tulisan di Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Berarti ada 2.974.000 kesalahan penulisan kata ustaz.  Sedangkan untuk penulisan kata takwa, ditemukan 887.000 materi tulisan dengan kata taqwa. Dan, untuk penulisan kata wudu, ditemukan 331.000 materi tulisan dengan kata wudhu, dan 59.800 materi tulisan dengan kata wudlu.

Jika dijumlah, terhitung sampai tanggal 20 September 2008, ketika pencarian dilakukan, hanya dalam penulisan empat kata serapan saja – salat, ustaz, takwa, dan wudu – terjadi 7.997.000 (hampir delapan juta) kesalahan penulisan di berbagai media masaa cetak dan on line berbahasa Indonesia yang dapat diakses melalui google. Jumlah kesalahan penulisan kata serapan akan lebih banyak lagi jika ditambah semua kata serapan yang ada dalam bahasa Indonesia dan juga ditambah yang terjadi di media-media yang tidak dapat diakses melalui google.

Jika pengamatan diperluas lagi, akan banyak ditemukan lagi gaya penulisan judul berita yang banyak menghilangkan awalan dan akhiran, serta menyalahi kaidah pembentukan kata jadian (morfologi). Belum lagi kalau kita mengamati gaya bertutur dalam penulisan berita di berbagai surat kabar, yang sering dipenuhi kalimat-kalimat yang tidak logis dan tidak baku. Begitu juga kalau kita mencermati media-media cetak bersegmen remaja, yang ditaburi gaya bahasa gaul yang sama sekali tidak baku, tidak hanya pada kutipan langsung tapi juga pada narasi-narasi yang mestinya menggunakan bahasa Indonesia baku.

Ketidakbakuan, atau ketidakseragaman, menjadi parah terutama karena keterbatasan kemampuan wartawan dan redaktur masing-masing media massa dalam berbahasa tulis, serta kurangnya wawasan dan persepsi mereka tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang lebih banyak mereka sumbang bisa jadi  adalah “kesalahan” berbahasa, tapi pembaca bisa jadi menganggapnya sebagai contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau bahasa Indonesia yang sedang tren, sehingga mereka tiru begitu saja. Dan, di sinilah letak bahayanya, karena tanpa sadar media massa dan masyarakat secara bersama-sama akan merusak bahasa Indonesia.

Penyebab dan solusi

Jika ditelusur dan dikaji dengan seksama, ada beberapa faktor penyebab terjadinya pengingkaran oleh kalangan pers terhadap kaidah bahasa Indonesia baku.
Pertama, perbedaan pedoman pembentukan istilah yang diserap dari bahasa asing, khususnya Arab, ke bahasa Indonesia. Beberapa surat kabar dan media on line, seperti Republika dan eramuslim.com, berpedoman pada kaidah transliterasi internasional, yakni sebatas penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, yakni dari abjad Arab ke abjad Latin. Jadi, kata-kata seperti sholat hanya diganti huruf-hurufnya dari abjad Arab ke abjad Latin, sehingga pengucapannya tetap dibiarkan dalam pengucapan bahasa aslinya. Dengan kata lain, kata-kata tersebut tidak diindonesiakan.

Sedangkan KBBI berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dengan semangat mengindonesiakan atau menyerap penuh kata-kata tersebut menjadi kata-kata dalam citarasa bahasa Indonesia. Karena dalam dalam EYD tidak dikenal gabungan konsonan sh, maka shalat ditulis salat. Tapi, karena Republika berpedoman pada prinsip transliterasi tadi, maka tetap menulisnya dengan shalat atau sholat. Jadi, kata tersebut tidak diindonesiakan, tapi hanya disalin abjadnya saja.
Kedua, KBBI mengubah cita rasa kata sholat dari cita rasa bahasa Arab ke cita rasa bahasa Indonesia, sehingga menulisnya dengan salat. Sedangkan Republika dan beberapa media lain, khususnya media yang sangat kental semangat Islamnya, tetap mempertahankan cita rasa bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, sehingga menulisnya dengan sholat.

Ketiga, ada semacam kekhawatiran di kalangan praktisi media Islam, dan sementara cendekiawan Muslim, jika kata sholat sepenuhnya diindonesiakan menjadi salat, maknanya akan terdistorsi, sehingga kesan sakralnya menjadi hilang. Jadi, ada semacam alasan ideologis di antara mereka. Begitu juga halnya dengan kata taqwa dan ramadhan, dengan alas an ideologis yang sama juga dipilih yang tetap memiliki cita rasa bahasa aslinya, tanpa sepenuhnya diindonesiakan. Belakangan, bahkan beberapa media massa Islam, cetak maupun on line, lebih memilih kata saum daripada puasa. Sedangkan Pusat Bahasa, dalam melakukan pembakuan ke dalam KBBI kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-kebahasaan tersebut, sehingga terlalu “nasionalis”.

Keempat, khusus untuk kata-kata serapan baru, yang dewasa ini bertaburan di media massa dan komunikasi masyarakat sehari-hari, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa gaul dan bahasa daerah, seperti iven (event), dan  jomblo, Pusat Bahasa dengan KBBI, yang diperbaharui hanya lima tahun sekali, terkesan tertinggal atau terlambat, sehingga media massa melakukan pembakuan sendiri dengan cara masing-masing.

Dan, faktor penyebab kelima, tentu adalah kurangnya wawasan dan kemampuan para wartawan serta redaktur media massa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tulisan-tulisan mereka tidak mencerminkan sebagai contoh bahasa tulis yang baik dan benar.

Selain fator-faktor tersebut di atas, selama ini juga banyak kalangan pers yang cenderung menganggap bahwa keberagaman gaya bahasa pers sebagai kewajaran, dengan argumentasi bahwa bahasa pers memang merupakan vaian tersendiri yang dipraktekkan secara luwes, progresif dan kontekstual, agar bahasa pers selalu menarik dan sangat dekat dengan realitas bahasa yang berkembang di masyarakat. Dan, persoalan sering muncul, karena dalam praktek tersebut banyak kalangan pers yang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku..

Tidak kurang pula dari kalangan pers yang menganggap bahwa media massa memang merupakan “pelopor” pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia, sehingga mereka sengaja menempatkan diri di “garis depan” pengembangan bahasa Indonesia, termasuk memelopori pembakuan istilah-istilah baru yang diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah guna memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Hanya masalahnya, sekali lagi, mereka melakukan “pembakuan” dengan aturan sendiri, sehingga menyalahi prosedur pembakuan yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Dilihat dari sisi dinamika bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan terus bertumbuh, peran kebahasaan media massa yang progresif tersebut tentu baik-baik saja asal tetap berpedoman pada kaidah yang baku dan ada keseragaman antar-media massa. Jika tidak ada keseragaman, dilihat dari sisi pentingnya kebakuan bahasa Indonesia, keliaran variasi di dalam varian bahasa pers itu tentu dapat mengarah pada pijinisasi bahasa dan dapat membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Dan, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang berlangganan surat kabar yang bahasa Indonesianya rata-rata buruk atau jauh di bawah standar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena mengganggap bahasa surat kabar yang dibacanya adalah benar -- padahal penuh kesalahan -- maka bahasa Indonesia mereka bisa ikut rusak. Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu tentu potensial ikut merusak perkembangan bahasa Indonesia secara keseluruhan.

Karena kemungkinan buruk itulah, kiranya Pusat Bahasa perlu melakukan pembinaan bahasa secara lebih intensif lagi terhadap kalangan wartawan dan redaktur media massa, agar mereka lebih taat pada kaidah-kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk menekan kecenderungan pijinisasi dan keliaran variasi bahasa pers, kalangan pengelola media massa nasional juga perlu melakukan semacam “perumusan bersama” gaya bahasa pers yang bersifat nasional, untuk menjadi pedoman bersama.

Sedangkan untuk mengurangi ketertinggalan, kiranya Pusat Bahasa perlu memperpendek frekuensi pembakuan kata-kata serapan baru, yang semula lima tahun sekali menjadi setahun sekali. Hal ini sangat dimungkinkan dengan telah adanya KBBI on line, agar dapat menjadi rujukan yang tetap aktual bagi semua pemakai bahasa Indonesia, khususnya kalangan pers, guna menghindari kesimpangsiuran penulisan kata-kata seraan baru. Hal yang juga sangat penting adalah memasyarakatkan KBBI on line secara lebih luas dan intensif.

Penutup

Meskipun tetap diperlakukan sebagai varian bahasa tersendiri, tetap akan jauh lebih baik jika pers nasional memiliki gaya bahasa yang seragam, dan masing-masing surat kabar tidak mengembangkan gaya bahasanya sendiri yang saling berbeda satu sama lain. Tentu, gaya bahasa pers nasional yang disepakati bersama itu diupayakan betul-betul berdasarkan kaidah bahasa Indonesia baku, gaya bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Bagaimanapun, Pusat Bahasa telah bekerja keras selama puluhan tahun untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sangatlah tidak bertanggung jawab jika upaya tersebut malah diingkari oleh kalangan media massa, yang mestinya justru harus mendukung penuh upaya pembakuan tersebut.***

Jakarta, 20 September 2008


Daftar rujukan:
1. Anderson, Douglas A., News Writing and Reporting for Today's Media, McGraw-Hill Inc, New York, 1994.
2. Connery, Thomas B., A Sourcebook of American Literary Journalism, Greenwood Press, New York, 1992.
3. Charity, Arthur, Doing Public Journalism, The Guilford Press, New York, 1995.
4. Hadimaja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
5. Mansoor, Sofia, dan Nik Solihin, Peristilahan, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
6. Mappatoto, Andi Baso, Teknik Penulisan Feature, Gramedia, Jakarta, 1992.
7. PWI Pusat, Pers Nasional, Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan, Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional, Jakarta, 1989.
8. Provost, Gary, 100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda, Dahara Prize, Semarang, 1987.
9. Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi III, 2008.
10. Razak, Abdul, Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi, Gramedia, Jakarta, 1986.
11. Republika, Redaksi, Gaya Bahasa Republika 2007, Republika, Jakarta, 2007.
12. Rivers, William L., Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, Gramedia, Jakarta, 1997.
13. Siregar, Ashadi dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Karya Unipress, Yogyakarta, 1982.
14. Strentz, Herbert, Reporter dan Sumber Berita, Gramedia, Jakarta, 1993.
15. Sudarsana, Gunawan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Indonesia Tera, Magelang, cetakan kelima, 2008.
16. Sumadiria, AS Haris, Drs., MSi, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, Juli 2008.
17. Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa, Angkasa, Bandung, 1983.
18. Tim Pustaka Widyatama, EYD Lengkap, Pustaka Widiatama, Yogyakarta, cetakan pertama, 2008.



Biografi:

AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Tahun 2007 terpilih menjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010), dan tahun 2008 terpilih sebagai ketua umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Sehari-hari kini ia menjadi redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta, dan tutor sastra Pusat Bahasa Depdiknas.

Selain puisi, Ahmadun juga banyak menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).
Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).

Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta iven sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.

Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering,  Taman Budaya Sumatera Utara, Medan.  Oktober  2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi pembicara dan ketua siding pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.

Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),  Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).

Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Sajak-sajak dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net.  Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com.
Baca Lengkapnya....

SEBUNGKUS NASI REFORMASI

Sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam menjerit kecil tergencet tubuh para demonstran yang roboh bertindihan di aspal jalanan. Peluru-peluru berdesingan menyusul serentetan suara tembakan yang membelah udara sore kota Jakarta.

‘’Awas nasinya, jangan sampai tumpah!’’ teriak seorang gadis kepada lelaki di depannya. Dalam posisi tiarap, ia sedikit mengangkat kepalanya. Sebutir peluru tiba-tiba mendesing, nyaris menyambar telinganya, dan sang gadis langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua lengannya.

Si lelaki, berjaket kuning kumal, sambil tetap bertiarap, menyelamatkan sebungkus nasi itu dari gencetan tubuh kawan-kawannya, lantas mengangkatnya tinggi-tinggi dengan tangan kanannya. Tapi, sebutir peluru karet menyambar tangannya, sehingga bungkusan itu terpental ke tengah jalan raya. Dan, tragis sekali! Sepatu-sepatu tentara yang tebal dan berat menginjak bungkusan nasi itu, diikuti ratusan kaki demonstran yang cerai berai dirangsek satu resimen pasukan anti huru hara.

Sang gadis -- yang tangan kirinya kini diseret oleh seorang tentara -- sambil menunjuk-nunjuk kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu pun berteriak keras, ''Nasi saya, Pak! Tolong nasi saya! Ada yang hampir mati kena sakit mag. Harus segera diberi nasi dan obat. Jika tidak, bisa mati!''. Tapi sang tentara tidak peduli pada kata-katanya, dan terus menyeretnya tanpa ampun.

Sepintas, ia pun sempat melihat, kawannya yang berjaket kuning kumal tadi, digebuk berkali-kali dengan pentungan karet oleh dua tentara hingga terkapar, lalu dilempar ke dalam truk militer. Khawatir akan bernasib serupa, ia buru-buru berkata, “Lepaskan saya, Pak! Saya bukan demonstran! Saya anggota PMI. Lihat, ini di lengan saya ada tanda palang merah!''

''Nggak bilang dari tadi!?! Diseret ikut aja! Memangnya enak ya diseret tentara? Brengsek!'' tentara itu melepas tangan sang gadis, sambil mengomel dan mendorong gadis itu agak keras, menjauh. ''Ambil tuh nasi kamu, udah jadi bubur diinjak-injak demonstran!''

Gadis itu sempoyongan, hampir terjatuh, menabrak serdadu yang lain, yang langsung memelototinya, dan menodongkan senapan otomatis padanya. Khawatir akan diseret lagi seperti tadi, gadis itu langsung meminta maaf sambil membungkuk-bungkuk. ''Maaf, maaf, Pak, tidak sengaja. Saya bukan demonstran. Saya anggota PMI, mau menolong yang terluka! Ini lihat tandanya!''

''Kopral, biarkan monyet jelek itu pergi!'' teriak tentara yang tadi menyeret gadis itu. Tampaknya ia salah seorang komandan lapangan. Sebenarnya, jengkel juga hati sang gadis dikatakan monyet jelek. Tapi, toh takkan ada gunanya kalau ia balik mengata-ngatainya.

Tentara yang tertabrak tadi menghentikan todongan senjatanya, dan terus melangkah lurus ke depan, ke arah para demonstran yang berhasil menjebol barikade aparat keamanan dan berlari ke arah gedung MPR, tanpa menoleh-noleh lagi, tanpa mempedulikan gadis itu, bagai robot-robot yang digerakkan oleh mesin otomatis yang dikendalikan dari jauh dengan remote controle.

Sang gadis lantas berjalan tertatih-tatih melawan arus massa. Matanya jelalatan mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi. Jalannya agak terpincang-pincang, mungkin telapak kakinya yang terbungkus sepatu cat hitam lecet, atau pergelangan kakinya terseleo. Berkali-kali ia hampir menabrak arus massa, polisi dan tentara. Ia buru-buru menyelamatkan diri ke tepi, dengan mata tetap mencari-cari sebungkus nasi dalam kantung plastik hitam tadi.

Di tengah situasi kacau balau seperti itu sebungkus nasi memang menjadi barang langka. Nasi itu ia beli dengan susah payah, dan itu adalah stok terakhir dari warung tenda di depan stasiun TVRI Pusat. Sementara peluhun penjaja nasi lain sudah kehabisan stok, atau sengaja menutup warungnya karena khawatir akan terjadi kerusuhan. Karena itu, sang gadis berusaha keras untuk menemukan kembali kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi tadi.

Setelah berusaha keras sekitar seperempat jam, ia temukan juga kantung plastik hitam itu, persis di bawah jembatan layang Taman Ria Senayan. Bungkusannya sudah gepeng, entah sudah diinjak oleh berapa ratus sepatu. Ia bermaksud mengambilnya, tapi sepeleton tentara bergerak cepat melewati jalan tempat nasi itu tergeletak. ''Ya Ampuuun!'' teriak gadis itu sambil melongo dan mengusap dadanya, ketika melihat puluhan sepatu militer bergedebum menginjak-injak sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu.

Selewat tragedi  kecil tersebut, gadis yang di dadanya tertempel nama Hesti Marhastuti itu buru-buru berlari kecil ke tengah jalan dan memungut kantung plastik hitam berisi sebungkus nasi itu. Begitu kembali ke pinggir jalan, ia memeriksa isi kantung itu, ingin memastikan apa yang terjadi dengan nasinya. Ia terbelalak, bungkusan nasi itu telah benar-benar gepeng seperti dilindas buldoser. Tapi, ajaibnya, kertas pembungkusnya sama sekali tidak robek. Begitu juga kantung plastik hitam yang melindunginya.

Gadis itu tampak penasaran. Ia ingin tahu apa yang terjadi dengan nasi dan lauk-pauknya. Ia letakkan bungkusan gepeng itu di bibir pot bunga di tepi jalan. Dan, sambil duduk di bibir pot, pelan-pelan ia melepaskan karet pengikat bungkusan nasi itu. Dengan hati-hati pula ia membukanya, seperti seorang penjinak bom sedang melepas kabel-kabel bom waktu, seakan khawatir bungkusan itu akan meledak. Dan, begitu bungkusan tersebut terbuka, gadis itu lebih terbelalak lagi melihat telur rebusnya remuk, tahunya ringsek, sayur lodehnya lumat bersama sambal dan nasi. Benar kata tentara tadi, nasi itu telah menjadi bubur.

Sambil menyusupkan jari-jari tangan kirinya ke celah-celah rambut pendek di kepalanya, sang gadis memelototi nasi yang telah menjadi bubur itu. Pikirannya pun melayang kepada Dirwan, seorang pengunjuk rasa yang terkapar di salah satu sudut gedung MPR karena digerogoti sakit mag yang parah. ''Dirwan harus segera makan nasi dan obat agar sembuh. Nasi ini harus segera sampai padanya,'' gumamnya.

Ia lantas memeriksa bagian demi bagian nasi yang dibelinya di warung tenda di depan gedung TVRI Pusat itu, barangkali ada kotoran yang masuk. Setelah yakin seratus persen bersih -- yakin nasi itu belum tercemar kotoran sepatu tentara -- ia membungkusnya lagi, dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam.
Gadis itu lantas berlari tertatih-tatih ke arah para tentara pergi memburu para demonstran. Tepatnya ke arah gedung MPR. Tapi, sebuah barikade berlapis, PHH, dan pasukan Kostrad, menghadangnya tidak jauh dari pintu masuk gedung MPR. Tampak pula beberapa Panser, mobil pemadam kebakaran, dan truk-truk militer yang hidungnya dilengkapi perisai berlapis kawat berduri.

Gadis itu tampak keder dan ragu-ragu, bagaimana bisa menembus barikade yang luar biasa ketat tersebut. Pikirannya kembali melayang kepada Dirwan, yang pasti sedang menunggunya dengan cemas sambil sesekali mengerang kesakitan. Tidak hanya obat anti mag yang harus disuapkan ke mulutnya, tapi juga sebungkus nasi, roti, atau apapun, yang dapat mengisi lambungnya yang kosong. “Jangan-jangan ia sudah pingsan,” pikirnya.
            ***

SUDAH tiga hari Dirwan menginap di gedung MPR, ikut meneriakkan reformasi untuk menumbangkan rezim otoriter yang korup. Dan, saking bersemangatnya, ia lupa makan dan magnya pun kambuh. Sialnya, saat magnya kumat, perbekalan kelompoknya habis dan suplai makanan dari LSM terlambat. Maka, tergeletaklah ia sambil sesekali mengerang-ngerang kesakitan. ''Tolong, carikan aku nasi dan obat mag. Jika tidak, aku bisa mati,'' rintih Dirwan sambil memegangi perutnya.

“Tenanglah, Dirwan. Aku berjanji segera kembali dengan nasi dan obat mag untukmu,” kata sang gadis ketika itu, mencoba menenangkan kegelisahan sang demonstran.

Ingat janji dan penderitaan sahabatnya itu, semangat gadis anggota PMI itu  berkobar lagi. Ia mencoba mendekati seorang komandan PHH yang tadi ikut menyeretnya, dan minta agar diijinkan masuk ke komplek gedung MPR. ''Saya anggota PMI yang tadi, Pak. Lihat ini tandanya! Ada seseorang yang harus segera ditolong di dalam! Mohon saya diperbolehkan masuk!'' katanya.

''Mau anggota PMI, mau anggota PMA, siapapun tak boleh masuk! Cepat menyingkir dari sini! Atau pengen diseret lagi kayak tadi?!'' jawab sang tentara, ketus.

''Aduh, kasihan kawan saya, Pak! Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati! Boleh ya, Pak, saya masuk?'' gadis itu merajuk lagi.

''Sudah saya katakan, siapapun tak boleh masuk! Cepat menjauh dari sini! Atau mau kutembak?'' kali ini sang tentara menodongkan senapan otomatis ke jidat sang gadis. Ia tidak tahu, isi senapan itu peluru karet atau peluru beneran. Sepintas ia ingat, sering ada demonstran yang terkena peluru beneran. ''Kalaupun isi senapan itu peluru karet, bisa benjol juga jidatku kena tembak dari jarak dekat begini,'' pikirnya.

Sang gadis keder juga mengingat itu. Ia tidak ingin mati konyol terkena peluru tentara, atau pingsan dengan jidat benjol. Ia pun terpaksa mundur, agak menjauh dari barikade itu. Ia mencari akal, menunggu kesempatan, untuk dapat masuk secara paksa. Tiba-tiba muncul arak-arakan mahasiswa dari arah Semanggi, bukan hanya ratusan, tapi ribuan. Naga-naganya mereka akan merangsek masuk ke gedung MPR. Ada kabar beredar, malam itu ribuan mahasiswa akan menguasai gedung wakil rakyat. ''Wah, bakal seru,'' pikir sang gadis. Ia melihat ada kesempatan untuk ikut merangsek masuk.

Betul juga dugaan sang gadis. Meskipun sudah diperingatkan melalui pengeras suara agar tidak mendekat, barisan ribuan demonstran itu terus merangsek barikade tentara. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran pun tak bisa dihindari lagi. Bunyi senapan otomatis berletusan dari aparat, dibalas hujan batu dari para demonstran. Gas air mata berkali-kali ditembakkan. Air dari mobil pemadam kebakaran pun disemprot-semprotkan ke barisan mahasiswa. Mereka kocar-kacir. Ada yang tiarap. Ada yang ambil langkah seribu. Ada yang terjungkal kena peluru. Ada yang kena pentung bertubi-tubi, meskipun sudah berteriak-teriak minta ampun. Tapi, banyak juga yang berhasil lolos masuk ke komplek gedung MPR.

Gadis itu memanfaatkan kesempatan tersebut untuk ikut lolos ke dalam. Bersama mahasiswa ia berlari menembus barikade tentara. Tapi, belum sampai melewati pintu gerbang komplek gedung MPR, kaki tentara bersepatu kulit tebal menjegal kakinya, dan pentungan karet bertubi-tubi memukul punggungnya. Ia jatuh terguling dan bungkusan nasi di dalam kantung plastik hitam di tangannya terpental lagi ke jalan raya. Kali ini, giliran tubuhnya yang terinjak-injak sepatu tentara dan kaki-kaki mahasiswa yang berlarian tak tentu arah, dalam kepulan gas air mata dan terpaan keras air dari mobil pemadam kebakaran.

Berkali-kali ia mencoba bangkit, tapi berkali-kali kembali terguling karena diterjang orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Akhirnya ia hanya bisa melindungi kepalanya dengan kedua lengannya, kemudian memejamkan matanya. Dan, yang terakhir ia ingat adalah puluhan sepatu tentara menginjan-injak perut dan dadanya yang kerempeng, lalu ribuan kunang-kunang menari di matanya, dan gegelapan total memerangkap kesadarannya.
            ***

TIDAK jelas, berapa jam gadis itu pingsan. Ketika kesadarannya pulih kembali, hari sudah gelap. Bentrok antara aparat dan demonstran telah reda. Suasana jalan di depan komplek gedung MPR pun sudah agak lengang. Namun, yang pertama-tama ia ingat adalah sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam dan wajah cemas Dirwan yang menunggunya di salah satu sudut gedung MPR. Maka, dengan matanya ia mencoba menemukan kembali nasi bungkusnya itu. Dan, sekitar lima meter dari tempatnya terbaring, dalam terpaan cahaya lampu merkuri, tampak bayang-bayang kantung plastik hitam yang kedua ujungnya melambai-lambai diterpa angin. “Itu pasti nasiku,” gumamnya.

Saat itulah, di depan sang gadis tersaji pemandangan yang cukup dramatis. Kantung plastik hitam itu tergeletak di tengah jalan raya, persis di depan gerbang masuk ke komplek gedung MPR. Sementara, di latar belakang kantung plastik itu, tepatnya di pintu gerbang tersebut, tampak puluhan tentara berderet dalam dua lapis. Dua panser dan satu mobil pemadam kebakaran juga tampak siaga di kanan kiri gerbang.

Di tengah suasana jalan yang sudah lengang dari hiruk pikuk demonstrasi, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam itu seperti menjadi aktor yang sangat penting. Seakan, hanya untuk mengawasi sebungkus nasi itulah puluhan tentara bersiaga di pintu gerbang, agar sang nasi tidak dapat menyusup masuk ke komplek gedung MPR. Hesti membayangkan, seandainya ia nekat merangkak untuk mengambil nasi itu, mungkin akan disambut berondongan tembakan, lemparan bom gas air mata, atau semprotan air dari mobil pemadam kebakaran.

Dalam perasaan kecut, hesti tiba-tiba seperti mendengar rintihan parau, “Hesti, kenapa kamu lama sekali. Aku sudah sekarat. Rasanya sebentar lagi akan mati.” Ia yakin, itu suara Dirwan yang makin cemas menunggunya dengan lambung nyeri, tubuh menggigil, dan keringat dingin bercucuran.

Demi mendengar suara itu sang gadis mencoba untuk bangkit. Tapi, ia merasa tidak punya sisa kekuatan lagi, bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya sekalipun. Seluruh tubuhnya – yang basah kuyup terkena air dari mobil pemadam kebakaran – terasa pegal dan nyeri. Dan, rasa yang paling nyeri ada di bawah dada dan kemaluannya. Mungkin tulang rusuknya patah terinjak sepatu tentara. Tapi, apa penyebab rasa nyeri pada kemaluannya? Ia tidak tahu, dan hanya bisa bergidik memikirkannya.

Dengan sisa-sisa tenaganya, ia meraba rasa nyeri di bawah dadanya. Ia yakin, satu atau dua tulang rusuknya patah akibat terinjak sepatu tentara. Ketika ia menekan rusuknya, rasa nyeri makin menjadi-jadi dan ini membuatnya merintih kesakitan. Ia kemudian memberanikan diri meraba kemaluannya yang masih dibungkus celana panjang putih seragam PMI. Ia terkejut meraba ada cairan kental keluar menembus celananya. Buru-buru ia menarik jari-jari tangannya, memeriksa dengan matanya, dan menciumnya. “Kemaluanku berdarah!” batinnya.

Gadis itu bergidik. Ia khawatir telah menjadi korban perkosaan. Tapi, oleh siapa dan dilakukan di mana? Mungkinkah ia diperkosa di tengah jalan? Biadab sekali jika begitu. Ia jadi curiga, jangan-jangan, ketika pingsan, ia dinaikkan ke dalam mobil oleh seseorang, entah siapa, lalu dibawa ke suatu tempat yang sepi, diperkosa di sana, lalu dibawa lagi ke jalan di depan gedung MPR dan dilempar begitu saja di tepi jalan. Ia merasa ngeri membayangkan apa yang telah menimpanya. Ia lantas menggerakkan tangannya ke belakang punggungnya, untuk memastikan di mana tepatnya kini tubuhnya terbaring. Begitu telapak tangannya menyentuh tembok berlumut, iapun menyadari bahwa tubuhnya kini terbaring meringkuk persis di tepi jalan, di bawah tembok pembatas jalan tol Gatot Subroto.
Dengan tetap meringkuk, ia mengamati situasi di dalam komplek gedung MPR. Komplek wakil rakyat itu kini sudah dipenuhi pengunjuk rasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah naik sampai ke atap gedung dan mengibar-kibarkan bendera serta merentangkan beberapa spanduk. Namun, dalam kegelapan malam, tidak jelas spanduk-spanduk itu bertuliskan apa. Mungkin sudah ribuan mahasiswa yang berhasil menduduki komplek gedung bundar itu, pikirnya. Tapi, bagaimana nasib Dirwan? Makin cemas saja ia mengingatnya.

Dalam kecemasan dan ketidakberdayaan, gadis itu mulai bertanya-tanya, kenapa tidak ada yang menemukannya, menolongnya, atau mengangkatnya ke mobil tentara. Apakah semua orang sudah tidak peduli lagi pada nasib orang lain? Di mana pula tentara yang tadi menendang dan memukulnya? Apakah tentara-tentara yang siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatnya? Apakah semua orang telah menganggapnya sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di tepi jalan raya, dan cukup menyerahkannya pada petugas kebersihan untuk melemparnya ke truk sampah?

Gadis itu mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padamu, maka kamulah yang harus menolong dirimu sendiri, batinnya. “Hidup ini keras, Hesti. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri,” kata ayahnya, suatu hari, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta.

Apakah Dirwan juga sedang menghadapi ketidakpedulian yang sama? Jika begitu, siapa yang bisa menolongnya kalau ia benar-benar dalam keadaan sekarat? Ia makin cemas saja. Ia tahu, kata-kata ayahnya memang benar. Tapi ia sadar, tidak tiap saat seseorang dapat menolong dirinya sendiri. Dalam keadaan tertentu nasib seseorang sering tergantung pada pertolongan orang lain. Dan, itulah nasib Dirwan saat ini, juga nasib dirinya, dan itu pula alasannya masuk PMI, agar tiap saat siap menolong orang lain yang membutuhkannya. Tapi, siapa kini yang bakal menolongnya?

Menyadari dirinya lebih tampak sebagai seonggok sampah dalam gelap malam, maka satu-satunya harapan gadis itu adalah datangnya para petugas kebersihan, seragam kuning yang biasa membersihkan kota Jakarta di tengah malam. Tapi, berapa jam lagi mereka akan datang? Ia tidak tahu, sebab di pergelangan tangannya kini tidak ada jam lagi. Dan, karena itu, ia hanya bisa menunggu sambil menggigil kedinginan, dengan seluruh tubuh pegal dan nyeri. Ia berharap belum pingsan ketika ditemukan, sehingga masih sempat memenuhi janjinya, membawakan sebungkus nasi dan satu kaplet obat mag untuk Dirwan, bagaimanapun keadaan sahabatnya itu kini.

Begitu ditemukan oleh petugas kebersihan, gadis itu langsung minta dipapah masuk ke dalam gedung MPR sambil membawa sebungkus nasi yang tadi tergeletak di tengah jalan. Ia betul-betul ingin membuktikan janjinya kepada sahabatnya itu. Maka, begitu berhasil menerobos masuk ke komplek gedung wakil rakyat itu, ia langsung menuju ruangan tempat Dirwan tadi tergeletak dengan sakit magnya. Tapi, tidak ada lagi Dirwan di sana. Yang ada hanya beberapa mahasiswa yang sedang sibuk membuat  spanduk dan poster.

Hesti ingin sekali bertanya pada mereka di mana Dirwan. Tapi ia keburu pingsan sebelum pertanyaan itu sempat diucapkan. Dan, sebungkus nasi di dalam kantung plastik hitam, yang telah menempuh perjalanan panjang dan berliku, itu akhirnya cuma tergeletak basi di pojok salah satu ruangan gedung wakil rakyat!

Jakarta,  Desember 2001
Baca Lengkapnya....

LEDAKAN DI RUMAH EMAK

LEDAKAN DI RUMAH EMAK

Telepon bedering ketika aku sudah akan mengunci pintu kamar untuk berlari ke jalan raya mencari taksi. Aku bangun agak terlambat, sehingga harus buru-buru ke kantor untuk menghindari ocehan kepala bagianku yang cerewet. Dan, suara di telepon itu benar-benar membuatku sangat panik….

''Elyah, ini Emak. Pulanglah sekarang juga! Ada yang....'' suara Emak di seberang, tapi tiba-tiba terputus oleh suara ledakan, ''blaaarrr!!!'' keras sekali hingga gagang teleponku terasa ikut bergetar, kemudian terdengar jeritan Emak, ''Allahu Akbar!'' dan telepon terputus.

''Emak, Emaaaak! Apa yang terjadi?! Emaaak!'' teriakku. ''Emak! Emaaak!'' tak ada jawaban, kecuali suara ''tut tut tut....'' Aku buru-buru meletakkan gagang telepon, lalu kuangkat lagi, dan kuputar nomor rumah Emak, 0651-773679, tak ada jawaban, kecuali suara mesin otomatis dari Telkom, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan, untuk sementara tidak dapat dihubungi.''

Kuletakkan lagi gagang telepon, kuangkat lagi, kuputar lagi nomor itu, berulang-ulang, tapi yang terdengar tetap jawaban mesin yang sama. Aku menjadi sangat panik. Apa yang terjadi dengan Emak? Apakah rumah Emak terkena mortir, atau lemparan granat tentara? Atau bom rakitan GAM? Dan Emak jadi korban? Ya Allah, apa yang menimpa Emak sepagi ini? Ya Allah, selamatkanlah Emak!

Aku benar-benar merasa sangat cemas. Aku ingat, dua hari yang lalu terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di ujung kampung, tak jauh dari rumah Emak. Tiga hari sebelumnya, rumah Emak juga sempat digeledah oleh tentara karena dicurigai menjadi tempat persembunyian anggota GAM. ''Semua kamar diobrak-abrik sama anggota. Juga kamar Kakak. Emak diseret ke markas tentara, diinterogasi selama tiga jam, bahkan sempat dipukuli sampai wajah Emak biru-biru. Tapi dilepaskan lagi,'' cerita adikku lewat telepon dua malam yang lalu.

Apakah Emak akan senasib dengan Ayah yang tewas secara misterius sebulan lalu? Jasad Ayah, juga kata adikku lewat telepon, ditemukan di pinggir jembatan dengan luka-luka bekas tusukan senjata tajam di leher, dan dadanya robek. ''Ngeri sekali, Kak, kami semua jadi takut!'' kata Cut Khasanah, adikku itu.
Keesokan harinya kubaca di koran Jakarta, ayahku tewas akibat penganiayaan berat. Jelasnya, ayahku menjadi korban pembunuhan -- salah satu korban dari tujuh korban 'pembunuhan misterius' yang ditemukan pada pekan itu. Emakku, juga aku, sangat terpukul atas kejadian itu. Apalagi, sehari setelah itu, Emak diseret ke bukit di belakang rumah oleh tiga orang bertopeng dan nyaris diperkosa. Untung, aparat kemanan yang sedang patroli, bersama beberapa tetanggku, berhasil memburu dan menyelamatkannya. Orang-orang bertopeng itu menghilang dan Emak ditemukan terkapar pingsan di jalan setapak dengan pakaian robek-robek nyaris telanjang.

Emakku kini harus menjanda dengan empat anak, dan mengalami tekanan psikologis yang sangat berat berat. Sering mimpi buruk dan menjerit-jerit sendiri di tengah tidurnya. Hidup kami juga menjadi tidak tenang, seperti terus diintai oleh tangan-tangan maut yang entah berasal dari mana. Rumah emak dijaga ketat oleh tentara, dan Tjut Khasanah – satu-satunya adik perempuanku – diungsikan ke rumah saudara Ayah di Banda Aceh. Sedang aku sendiri menjadi takut pulang, dan hidup penuh was-was di Jakarta. Tapi, siapa pembunuh ayahku? Siapa tiga orang bertopeng yang nyaris memperkosa dan membunuh Emak? Polisi belum dapat menyingkapnya dengan jelas. Apalagi menangkap mereka.
                ***

Berlarutnya konflik di Serambi Mekah memang membuat 'negeri Fansuri' -- tempat kami lahir dan dibesarkan -- seperti menjadi rimba tak bertuan dan tanpa hukum yang pasti. Orang seakan dengan gampang dapat membunuh siapa saja atas nama apa saja. Tentara dengan gampang dapat melenyapkan seseorang atau sekelompok orang atas nama tugas negara, sementara mereka yang mengaku GAM -- dan dicap sebagai GPK oleh tentara -- tiap saat juga dapat mencabut nyawa siapa saja atas nama cita-cita dan kebebasan.

Dan, dua tahun terakhir ini keluargaku – terutama ayah dan emakku -- terjepit di antara dua tudingan yang memojokkan sekaligus membingungkan di tengah pertarungan dua kepentingan itu. Pihak tentara mencurigai ayahku sebagai aktivis GAM, tapi pihak GAM menuding ayahku sebagai mata-mata tentara. Kami sendiri, sekeluarga, tidak tahu mana yang benar. Yang kami tahu, ayah adalah seorang alumnus sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Ia seorang ustad yang saleh sekaligus petani yang sukses.

Tiap hari ayah pergi mengontrol ladang, menyetor hasil panen ke pasar, atau mencari bibit unggul di dinas pertanian. Sebelum Magrib Ayah biasanya sudah berada di rumah, mengimami mushalla di sebelah rumah kami, mengajar mengaji sampai waktu Isya tiba, dan selebihnya Ayah lebih banyak di rumah bersama kami. Begitu juga Emak, seorang santriwati yang dinikahi Ayah sebelum menyelesaikan pendidikan aliyah-nya di Banda Aceh, juga hanyalah seorang guru mengaji. Emak mengajar membaca Alquran pada anak-anak kampung tiap sehabis shalat Azhar di beranda rumah kami.

Jadi, apa kesalahan Ayah? Apa pula kesalahan Emak? Siapa pembunuh Ayah? Dan, siapa pula tiga lelaki bertopeng yang menculik dan mencoba memperkosa dan membunuh Emak? Dari pihak mana pembunuh itu, TNI atau GAM? Setan-setan atau hantu-hantu teroris dari mana mereka? Ataukah mereka dari kelompok – entah siapa otak di balik mereka – yang sengaja ingin memperkeruh keadaan untuk kepentingan tertentu? Atau, Ayah dan Emak hanya menjadi korban fitnah dan salah sasaran? Tidak ada jawaban yang jelas sampai sekarang. Lalu, apa yang terjadi dengan Emak pagi ini? “Ya Allah, lindungi Emak, lindungi keluarga kami, dari tangan-tangan zalim, hindarkan dari nasib yang lebih mengerikan!”

Aku benar-benar merasa sangat cemas. ''Elyah, pulanglah sekarang juga!'' kembali terngiang suara Emak. Tidak biasanya Emak memintaku pulang dengan cara begitu. Pasti ada apa-apa dengan Emak. Kuputar lagi nomor telepon Emak, 0651-773679, kembali terdengar suara, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan....'' Kuputar nomor telepon tetangga, terdengar suara yang sama. Kuputar nomor tetangga yang lain, suara yang sama terdengar juga. Ya Allah, apa yang terjadi dengan rumah Emak, apa yang terjadi dengan rumah para tetangga, apa yang terjadi dengan kampung kami? ''Elyah, pulanglah sekarang juga!''

Ya, aku harus pulang sekarang juga. Itu keputusanku. Tapi, apa yang harus kukatakan pada kepala bagianku di kantor. Bagaimana alasan pamitku? Aku pasti tidak akan diijinkan pulang oleh atasanku, yang cerewet, jika tidak ada alasan jelas untuk mudik mendadak. Apalagi pekerjaanku sedang menumpuk. Apa aku harus mengatakan Emak tewas, atau sakit keras? Tapi, apa benar itu yang menimpa Emak, dan apa ia percaya? Ah, tak peduli. Aku akan pamit lewat telepon saja. Aku harus pulang sekarang juga. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan Emak.

Aku melangkah lagi, tergesa ke tepi jalan raya. Kusetop taksi dan kuminta agak ngebut, namun bukan ke kantorku tapi ke terminal bus antarkota. Ya, hanya cara ini yang bisa kulakukan untuk pulang kampung dari Jakarta, mengingat gajiku yang masih pas-pasan untuk hidup membujang saja. Berarti aku masih harus memperpanjang kecemasanku sampai hampir dua hari lagi, sekitar tiga puluh lima jam lagi. Perasaanku pasti sangat tersiksa, tapi apa boleh buat!

Di terminal kubeli beberapa koran ibukota. Aku ingin tahu pergolakan macam apa lagi yang terjadi di dekat kampungku, dan berapa korban yang jatuh akibat pergolakan itu. Aku ingin mendapat jawaban sementara, apa sebenarnya yang menimpa Emak dan kampungku, dan apakah Emak menjadi korban peristiwa itu. Tapi, ah semoga tidak. Kalaupun ledakan tadi suara granat atau mortir, semoga Emak selamat, dan hanya sambungan teleponnya yang terputus. Kalaupun Emak akhirnya ditangkap oleh GAM atau tentara, semoga sebuah keajaiban melindunginya dan cepat dilepaskan kembali. Kami sangat mencintai Emak. Adik-adikku masih butuh dampingan Emak.

Kubuka lembar demi lembar koran yang kubeli, kubaca semua judul pada tiap halamannya. Aku ingin membaca Aceh. Ya, Aceh, ada berita apa lagi tentang Aceh hari ini. Benar. Beberapa peristiwa tentang konflik di Serambi Mekkah terpampang dengan judul-judul yang cukup mencolok, ''Tentara Serbu Markas GPK, 12 Tewas'', ''Tentara Lakukan Sweeping, 56 Warga Ditangkap'', ''Tentara Tembak Mati Tujuh GPK, Dua di Antaranya Perempuan''.

Ya Allah, tentara lagi, tentara lagi. Kenapa para anggota masih main tangkap dan main tembak. Katanya mereka takkan menggunakan kekuatan militer sesudah DOM dicabut? Sudah tiga bulan status DOM untuk Aceh dicabut, tapi anggota TNI masih main tangkap dan tembak. Apa tidak ada cara lain, yang lebih beradab, untuk menyelesaikan konflik di tanah kelahiranku itu? Kadang-kadang aku jadi benci dan muak pada TNI, bahkan pada penguasa negeri ini, penguasa yang telah menguras kekayaan Aceh, tapi tidak pernah mampu menciptakan suasana damai di sana, apalagi mensejahterakan rakyatnya! Aku kecewa berat pada TNI yang tidak kunjung berhasil meredam kekerasan di tanah kelahiranku. Aku kecewa berat pada pemerintah yang tidak pernah becus mengurus negeri ini. Aku kecewa berat pada GAM yang hanya menambah persoalan makin runyam. Ayahku tewas. Keluargaku terus-menerus diteror. Dan, kini Emak.... Apa yang terjadi dengan Emak?! ''Ya Allah, lindungilah Emak. Lindungilah keluarga kami!''
            ***

Entah sudah berapa ratus kalimat tanya, berapa ribu ungkapan kecewa, dan berapa juta suku kata kecemasan, yang berputar-putar di benakku, berkecamuk antara tidur dan jaga, antara kantuk dan doa, antara harapan dan keputusasaan, tahu-tahu bus sudah masuk sebuah garasi di Jambi dan semua penumpang diminta turun. Kami harus ganti bus. Bus ini harus masuk garasi untuk diservis dan ganti ban. ''Bus pengganti baru datang sekitar satu jam lagi,'' kata seorang kru bus.
Aku buru-buru turun dan langsung mencari Wartel. Kucoba lagi menelepon rumah. Masih tetap jawaban mesin otomatis dari Telkom. Kutelepon rumah kosku, barangkali ada telepon dan pesan dari Emak, atau dari adikku. Tidak ada telepon dari siapa-siapa, kata ibu kosku. Aku jadi makin khawatir dan cemas. Apa yang sebenarnya menimpa Emak? Di mana pula adik-adikku? Apa pula yang menimpa mereka?

Pukul delapan pagi ketika ledakan itu terjadi, adik-adikku pasti sudah berada di sekolah masing-masing. Tapi, sekarang sudah sore, dan mereka pasti sudah pulang dan tahu apa yang menimpa Emak. Kenapa mereka tidak meneleponku? Ataukah rumah Emak sudah dikepung tentara sejak pagi buta karena memang ada GAM yang diketahui lari ke sana, sehingga adik-adikku tidak dapat keluar dan ikut tewas dalam ledakan itu? ''Ya Allah, lindungilah mereka!''

Kecemasanku makin menjadi-jadi. Kucoba lagi menghubungi nomor-nomor telepon tetanggaku. Jawaban yang kudengar sama saja, dari mesin penjawab otomatis Telkom. Aku jadi yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungku, menimpa keluargaku, menimpa tetangga-tetanggaku. Tapi apa? Pertempuran hebat yang menghancurkan semuanya? Kebakaran? Bencana alam? Aku tidak tahu. Bisa jadi kampungku sengaja dibumihanguskan, entah oleh siapa dan atas perintah siapa. Dalam konflik Aceh yang makin runyam, apapun bisa terjadi, atas nama apa saja dan dengan alasan apa saja. Beberapa hari yang lalu, misalnya, beberapa rumah penduduk dibakar oleh tentara karena diyakini menjadi basis kegiatan GAM. Sementara, pada hari yang lain, seorang warga dibunuh – entah oleh siapa – setelah beredar isu bahwa dia mata-mata TNI.

Aku harus cepat-cepat sampai rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, jam berapa akan sampai kalau perjalanan tersendat-sendat begini. Dan, kenapa pula harus ganti bus dan masih harus menunggu lagi? Waktu rasanya berjalan lambat sekali, detik demi detik hanya menggelesot bagai seorang invalid. Makan pun aku sampai tersedak-sedak karena kegelisahan mengetuk-ngetuk seluruh syarafku. Begitu masuk bus lagi, aku langsung menelan pil anti mabuk agak berlebih agar tertidur -- teman pembunuh kebosananku dalam tiap menempuh perjalanan panjang. Aku menyerah pasrah pada sopir bus untuk membawaku ke Aceh, berapa jam pun dia mau. Karena toh percuma saja aku bercemas-cemas sendiri ingin cepat sampai kalau kemampuan lari bus tua ini hanya rata-rata 50 km perjam. Apalagi, banyak jalan rusak, naik turun dan berliku-liku.

Dan aku tidak tahu, berapa kali lagi bus harus beristirahat untuk memberi kesempatan makan pada penumpang, tahu-tahu aku dibangunkan oleh kru bus karena sudah sampai di terminal Banda Aceh. Aku langsung mencari taksi, dan yang kudapat mobil omprengan, untuk membawaku langsung ke rumah, tanpa peduli harus membayar berapa.

''Ada peristiwa apa di Blangkejren kemarin, Pak?'' tanyaku pada sopir. Aku tak sabar untuk segera tahu.

''Apa Cut belum dengar, ada banjir dan tanah longsor. Banyak yang tewas.''

Banjir? Tanah longsor? Dan banyak yang tewas?! Ada kecemasan baru yang kini menyeragpku. Jangan-jangan Emak dan adik-adikku ada dalam daftar korban tewas itu. ''Cepat bawa aku ke sana, Pak. Keluargaku ada di sana!''

Mengerikan sekali. Kampungku lenyap tertimbun tanah. Tinggal puing-puing, akar-akar pohon tumbang, dan balok-balok kayu yang bercuatan di atas lumpur. Ini lebih gawat dari ledakan granat atau bom rakitan. Bencana alam dapat menghancurkan apa saja dan membunuh siapa saja tanpa ampun, tanpa peringatan dan tanpa pertanyaan-pertanyaan lagi. Ya Allah, apa dosa kami sehingga Engkau mengazab kami dengan cara begitu? Di mana pula Emak dan adik-adikku?

''Cut Elyah, tabahkan hatimu. Rumahmu hancur tertimbun lumpur. Tapi, Emak dan adik-adikmu sudah ditemukan. Sekarang ada di rumah sakit,'' Pak Kepala Desa merangkulku begitu aku keluar dari mobil omprengan di ujung kampung. Rumah Emak memang berada di tepi jalan kabupaten, di lereng bukit yang agak gundul. Kulihat banyak tentara di situ. Orang-orang berseragam loreng itu menggali-gali dan mencari-cari korban yang masih tertimbun.

Aku kembali masuk ‘taksi gelap’ dan meluncur ke rumah sakit. Kutemukan Emakku terbaring dengan seluruh kaki dibalut perban. Tampak kedua adikku duduk menungguinya. Tapi di mana Cut Khasanah? ''Kak Elyah!'' teriak adik-adikku begitu melihat aku datang.

''Alhamdulillah, kalian selamat!''

''Ya, Kak, kami diungsikan tentara sebelum longsor terjadi.''

''Bagaimana Emak, di mana Adik Cut?''

''Kaki Emak patah, Kak, tertimpa tiang rumah. Emak juga diselamatkan tentara. Tapi, Kak Khasanah....''

''Elyah, syukurlah kau sudah tiba! Emak sengaja tidak meneleponmu. Emak khawatir akan mencemaskanmu dan mengganggu tugasmu di tempat kerja.''

''Lho, bukankah Emak kemarin pagi menelepon Elyah?''

''Bukan Emak yang menelepon.''

''Lalu siapa? Suaranya sangat mirip Emak, dan mengaku Emak. Elyah juga mendengar suara ledakan... dan jeritan Emak.''

''Ah, sudahlah, Elyah. Yang penting kau sudah tiba.''

''Di mana Adik Cut?''

''Dia… dia… tewas, Kak. Kak Khasanah tertimbun bersama Emak,'' kata adikku. Di matanya menggantung butiran air mata.

''Innalillahi...,'' aku tidak kuasa meneruskan ucapanku. Serasa ada yang lepas dari diriku. Tubuhku terasa limbung dan nyaris roboh. Seorang adik yang paling dekat denganku, telah direnggut oleh kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun. Adik terkecilku, Nur Rahmah, segera mendekapku.

“Tabahkan hatimu, Elyah, semuanya sudah kehendak Allah.” Emak mencoba menenangkanku!

Betulkah semua sudah kehendak Allah? Benakku masih bertanya-tanya. Enak sekali selama ini orang mengkambinghitamkan Tuhan tiap terjadi bencana. Padahal, sering manusia juga yang menjadi akar penyebabnya. Ya, aku ingat, bukit-bukit di atas kampungku rata-rata sudah gundul karena pohon-pohon besarnya ditebangi. Program penghijauan pun tidak berjalan karena dananya banyak dikorupsi. Ya, lagi-lagi aku harus menuding oknum-oknum penguasa yang tidak becus mengurus negeri ini.

Ketika banjir bandang melanda desa sebelah atas, kata Emak dengan mata berkaca-kaca, tentara sudah berusaha mengungsikan semua warga kampung, karena khawatir banjir serupa akan menerjang kampung kami. Kedua adik terkecilku ikut mengungsi lebih dulu dengan truk tentara, sedang Emak dan Cut Khasanah bermaksud mengemasi serta menyelamatkan barang-barang yang diperlukan.

Namun, persis pukul delapan pagi ketika telepon di rumah kosku berdering, tanah longsor menerjang rumah kami, mengubur Emak dan Cut Khasanah. Sebuah keajaiban menyelamatkan Emak, tapi Cut Khasanah tidak tertolong.

Satu anggota keluarga kami tewas lagi di Tanah Rencong. Tentu, kali ini aku tidak bisa menuding tantara sebagai penyebabnya. Tapi, siapa yang meneleponku pagi itu dan ledakan apa yang menghentikan suara di telepon itu? Mungkinkah itu suara Cut Khasanah? Dan, mungkinkah itu ledakan bom rakitan yang tersimpan di rumahku? Sampai aku kembali lagi ke Jakarta, sampai hari ini, aku tidak pernah tahu!

Kaliwungu, 17 Nov. 2001

*Cerpen ini telah dimuat di Majalah Horison edisi Agustus 2002 dengan judul “Ledakan”.
Baca Lengkapnya....

KOLUSI

Gerimis kecil senja hari membangun dunia aneh di jalan itu, di atas genangan-genangan kecil sisa air hujan. Angin menghempas-hempas, merontokkan daun-daun akasia dan kelopak-kelopak kembang semboja. Tiba-tiba,  seorang gadis dengan rok terusan kuning menyala dan rambut tergerai-gerai di udara berlari-lari kecil menyebrangi jalan itu.

Seorang lelaki gendut, yang tampaknya sedang menunggu seseorang di balik kaca jendela, terkesima melihat pemandangan menakjubkan itu. Apalagi ketika gadis itu berlari kecil kearahnya dan menguak pintu kantornya, mengantarkan bau parfum yang aneh. Ah, barangkali sales parfum merek baru, atau lulusan akademi sekretaris yang akan melamar kerja, pikirnya. "Mau ketemu siapa?"

"Pak Saliman."

"Oh, saya sendiri. Silakan duduk."

Gadis itu melangkah ringan ke kursi, meletakkan pantatnya di sana.

"Saya ditugaskan Mbah Sastro untuk menemui Bapak sore ini." Bibir gadis itu, yang merekah kemerahan seperti irisan buah semangka, meletup-letupkan kata-kata lugas tapi terasa lunak.

"Jadi, Adik mengantarkan tuyul dari Mbah Sastro?"

"Tidak."

"Lho, katanya Mbah Sastro mau mengirim tuyul sore ini."

"Benar."

"Mana tuyulnya?"

"Saya sendiri."

"Ah, yang bener? Masak ada tuyul secantik Anda. Yang saya tahu, tuyul itu kecil, jelek dan gundul."

"Itu sih tuyul kuno, tuyul masa lalu. Tuyul sekarang banyak yang cantik. Namanya saja tuyul kontemporer, Pak. Tuyul posmo." Kelopak mata gadis itu mulai mengerjab-ngerjab, menggoda.

"Apa? Tuyul posmo?" mata Pak Saliman terbelalak.

"Ya, tuyul posmo, posmodern."

"Jadi, wabah posmo juga merambah dunia tuyul?"

"Benar. Terjadi semacam pluralisasi budaya permalingan di kalangan para tuyul. Tiap tuyul dibebaskan mengembangkan seni malingnya sendiri-sendiri, mau langsung sikat, pakai katebelece pejabat tinggi,  me-mark up nilai proyek, atau ramai-ramai membobol bank seperti yang sekarang sedang trendi. Mereka juga bebas mengembangkan bentuk dirinya masing-masing. Ada yang memilih jadi perempuan cantik seperti saya, jadi lelaki gendut berdasi seperti konglomerat, sok kuasa seperti birokrat, atau tetap gundul jelek seperti aslinya."

"Jadi , ada semacam diversifikasi teknik permalingan, begitu?"

"Ya, begitulah."

Lelaki gendut itu mengangguk-angguk sambil menepuk-nepukkan telapak tangan kanannya ke atas pahanya dengan irama yang monoton, sementara matanya mengusap semili demi semili tiap lekuk keindahan wajah dan tubuh gadis itu -- layaknya seorang pelukis pemula yang sedang berlatih menangkap detail anatomi tubuh wanita untuk dipindahkan ke kanvasnya. Gadis itu pura-pura tersipu malu dan segera menundukkan kepalanya. Keheningan lantas menyergap mereka. Titik-titik air hujan terdengar makin keras memukul-mukul atap gedung dan daun-daunan di luar.

"Oh ya, siapa nama adik?" suara lelaki gendut itu memecah kebekuan.

"Mbah Sastro memanggil saya Monika."

"Kamu pasti bukan tuyul. Kamu cucu Mbah Sastro, bukan."

"Swear, saya tuyul asli."

"Okelah. Kalau kamu memang tuyul, apa yang bisa kamu lakukan untuk mendongkrak perusahaan saya yang hampir bangkrut ini?"

"Itu tergantung imbalan dan jabatan yang bapak berikan kepada saya. Jika nasib perusahaan Bapak ingin cepat terdongkrak, angkat saya menjadi wakil direktur." Gadis itu mengangkat wajahnya dan matanya kembali menantang.

''Jadi, tuyul butuh jabatan juga."

"Ya, sebagai sarana penyaluran bakat permalingannya."

''Butuh katebelece?"

"Kadang-kadang, bilamana perlu."

"Wah itu terlalu bertele-tele. Saya ingin yang praktis saja, yang tanpa prosedur birokrasi segala. Jelasnya, nyolong saja kamu sekarang. Entah pakai cara bagaimana, terserah kamu. Terserah, mau nyolong di bank atau menyikat habis uang saingan saya."

"Wah, sorry saja, Pak. Saya bukan jenis tuyul yang diprogram untuk keahlian model sikat langsung begitu. Itu sih bagian tuyul-tuyul berkepala gundul. Sorry aja. Itu bukan level saya.”

"Ya tuyul macam begitu yang saya minta dari Mbah Sastra. Yang dikirimnya kok malah yang kece macam kamu."

"Bapak ini maunya main langsung sikat saja. Bapak benar-benar tak punya jiwa wirausaha. Belajar entrepreneurship dikit dong, Pak. Orang kayak Bapak mestinya
jadi garong saja. Bukan jadi pengusaha.''

Gadis itu tersenyum setengah mencibir. Muka Pak Saliman jadi masam. Seumur-umur dia tidak pernah dinasehati orang. Apalagi oleh yang lebih muda atau anak buahnya. Eh, kini diceramahi oleh perempuan kece yang mengaku tuyul.

"Jangan macem-macem kamu! Kalau kau memang tuyul yang dikirim Mbah Sastro, nyolonglah sekarang juga."

"Kalau saya tidak mau?"

"Lebih baik saya batalkan kolusi saya dengan Mbah Sastro."

"Baiklah kalau begitu."

Gadis itu bangkit dari duduknya, menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilap seperti model iklan sampo, lantas melangkah pergi, menerobos pintu dan menyusup hujan rintik-rintik di luar. Leleki gendut itu hanya terpana melihat punggungnya.

Begitu gadis itu lenyap di kejauhan, telepon disudut ruangan itu berdering. Si gendut bangkit dari kursi, melenggang beberapa langkah, dan mengangkat gagang telepon.

"Ini Pak Saliman, ya?" suara dari seberang.

"Betul."

"Bapak ini bagaimana? Katanya minta tuyul? Sudah dikirim kok malah disuruh balik."

"Oh ini Mbah Sastro, ya?"

"Betul."

"Ya, Mbah. Saya memang minta tuyul. Tapi yang Mbah kirim kan bukan tuyul."

"Siapa bilang ? Itu si Monika, tuyulku yang paling istimewa."

"Jadi, gadis itu benar-benar tuyul Mbah Sastro?"

"La iya. Memangnya tuyul siapa?"

"Tapi, kenapa dia menolak ketika saya suruh nyolong?"

"Wah, Pak Saliman ini maunya main sikat saja. Kalau mau kaya, pakai seni sedikit dong. Jangan asal main sikat. Norak, Pak!"

"Lantas bagaimana, Mbah?"

"Terserah Bapak saja. Kalau memang tidak mau gulung tikar, turuti saja apa maunya si Monika.''
                                               ***

Agaknya, si gendut Saliman tidak menemukan pilihan selain memenuhi permintaan si cantik Monika menjadi wakil direkturnya. Tapi, ternyata bukan hanya jabatan itu yang dimintanya. Ia juga minta dikontrakkan sebuah villa di Puncak dan sebuah kamar di hotel mewah.

Si gendut tak tahu persis apa yang direncanakan dan dilakukan gadis itu. Lebih-lebih di luar kantor. Ia minta diberi kebebasan penuh untuk melakukan terobosan-terobosan rahasia tanpa harus menuruti mekanisme birokrasi perusahaannya. Si gendut hanya melihat, gadis itu amat sibuk keluar masuk kantor tiap hari, bahkan tiap jam. Teleponpun berdering-dering terus hampir tiap menit,  mencari Monika.

Dalam tiga minggu pertama masa kerjanya, gadis itu memang tidak mau diganggu oleh siapapun. Langkah-langkah rahasianya pun tidak mau diketahui oleh siapapun. Tak terkecuali oleh si gendut Saliman. Si gendut pun hanya sempat menangkap kelebatan tubuh gadis itu datang dan pergi, atau mengamatinya beberapa detik ketika gadis itu meletakkan pantat di kursinya, menyisir rambut, meratakan bedak dan lipstiknya, membuka-buka sejenak mapnya, lantas pergi lagi.
''Gila! Apa saja yang dilakukan si Monika. Benar-benar tuyul edan!" gerutu si gendut sembari membuka-buka komik Dora Emon. Sejak ada Monika, praktis si gendut setengah menganggur. Sebagian besar tugas dan wewenangnya sebagai direktur harus diserahkan kepada gadis itu. Ia hanya kebagian mengawasi disiplin kerja beberapa staf kantornya, yang bisa ia lakukan sambil membaca komik anak-anak.

"Kamu ini sopir apaan, sih?!"  tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar.

"Sopir mana yang kuat, Mbak. Dua hari dua malam jalan terus tanpa istirahat. Sopir bus kota saja ada istirahatnya."

"Tapi ini acara sangat penting?"

Si gendut Saliman meletakkan komiknya di atas meja dan memburu suara ribut-ribut itu. Ternyata Monika sedang bersitegang dengan sopirnya.

"Ada apa, Monika?"

"Ini lho, Pak, si Pardi disuruh mengantar tidak mau."

"Habis saya sudah tidak kuat lagi, Pak. Tobat dah!"

"Kan memang tugasmu mengantar Monika, Di."

"Tugas ya tugas. Tapi kalau terus-terusan begini bisa hancur tubuhku. Masak, dua hari dua malam jalan terus ke sana ke mari tanpa istirahat."

"Apa sih sebenarnya yang sedang kamu lakukan, Monika? Kok sibuk amat."

"Bapak tak perlu tahu. Kan Bapak sudah janji untuk tidak bertanya dulu tentang apa yang saya lakukan."

"Tapi saya kan atasanmu. Saya harus tahu semua yang kamu lakukan."

"Okelah. Sekarang terserah Bapak, mau melanggar janji dan semuanya berantakan sampai di sini, atau jalan terus dan Bapak tetap memegang janji."

Ditantang  begitu oleh Monika, si gendut terdiam dan mengerutkan keningnya. Agaknya ia harus berpikir keras untuk menjawab tantangan itu.

"Kamu minta diantar ke mena sih, Monika?"

"Ke Puncak. Ada janji penting."

"Sore-sore begini mau ke Puncak?"

"Ya."

"Pantas, si Pardi tak mau mengantarmu."

"Tapi ini amat penting, Pak. Kalau saya tidak datang, semuanya bisa gagal total."

"Kalau begitu, biar aku saja yang mengantarmu.”

"Bapak mau mengantar saya?"

"Ya apa boleh buat."

"Tapi Bapak harus janji hanya sampai jalan besar. Masuknya biar aku sendiri jalan kaki. Dan, Bapak tak perlu tahu apa yang saya lakukan di villa saya."

"Tak apa kalau memang maumu begitu."

Agaknya posisi memang harus dibalik untuk sementara. Si gendut tidak hanya harus kehilangan hampir semua wewenangnya selaku direktur, tapi kini ia juga harus menjadi sopir bawahannya, mengantar Monika jauh ke Puncak. ''Benar-benar tuyul edan!'' gerutunya.

Untunglah, berkat jalan tol Jagorawi yang mulus, jarak Jakarta-Ciawi ia sikat tidak lebih dari satu jam. Tak seberapa lama sampailah BMW-nya di jalan masuk menuju sebuah villa cukup mewah di lereng bukit. Hujan turun agak deras. Namun Monika bersikeras tidak mau diantar sampai ke pintu villa. Ini membuat si gendut Saliman makin curiga dan ingin tahu apa sebenarnya yang akan dilakukan gadis itu. Ia pura-pura memutar mobilnya balik ke arah Jakarta, tapi kemudian memutarnya kem-bali dan merakirnya di jalan masuk menuju villa yang dikontraknya untuk tuyul itu.

Hujan belum reda dan si gendut nekat keluar dari mobilnya, berjalan kaki mengendap-endap menuju villa itu. Ia amat terkejut ketika melihat sebuah Baby Benz hitam diparkir persis di depan pintu villa. Ia pun terus mengendap-endap ke samping villa itu.

Si gendut mengintip ke dalam lewat celah jendela. Tapi tak ada siapa-siapa. Hanya pakaian basah Monika tampak terpuruk di kursi kamarnya. Kemudian terdengar suara semprotan air cukup keras dari shower di kamar mandi. Agaknya si Monika tidak sendiri di kamar mandi itu.
"Kau memang benar-benar dahsyat, Monika," terdengar suara lelaki, berat dan agak serak.

"Ah, masak?" sahut suara Monika, genit.

"Tubuhmu benar-benar sempurna," suara laki-laki itu.

"Hi hi hi…."

"Coba lihat ini…."

"Hi hi hi hi…."

Monika makin cekikikan. Si gendut bisa membayangkan apa yang sedang dilakukan lelaki itu -- entah konglomerat mana, entah pejabat penting apa -- terhadap Monika di kamar mandi. Ingin sekali ia memanjat tembok dan mengintip mereka dari lubang angin. Tapi tubuhnya yang agak basah kehujanan makin menggigil saja. Sambil mengumpat-umpat ia pun melangkah cepat balik ke mobilnya.
                                        ***

Langit sudah gelap ketika si gendut sampai di kantornya. Kantor kontraktor itu sudah sepi. Pardi, sopir Monika, mendengkur di kursi ruang tamu. Si gendut langsung membangunkannya. "Di, kamu tahu apa yang dilakukan Monika selama ini?"

"Nggak tahu, Pak."

"Kamu mengantar ke mana saja tiap hari?"

"Ke sana ke mari, Pak. Ke kantor pejabat ini itu, menemui konglomerat ini itu, ke bank, belanja di supermarket, ke kamar hotelnya, ke Puncak, yah ke mana ajalah. Pokoknya macam-macamlah acaranya, sampai saya tidak bisa istirahat."

"Apa yang dia lakukan di Puncak dan di kamar hotelnya?"

"Nggak tahu, Pak. Saya hanya boleh menunggu di mobil atau di warung terdekat."

"Jangan-jangan pelacur kelas kakap dia."

"Kok Bapak berkata begitu?"

Tiba-tiba telepon berdering keras menghentikan pembicaraan mereka. Si gendut segera mengangkatnya. Begitu ujung gagang telepon menempel di telinganya, wajahnya berubah kemerahan. Agaknya ada suara yang tak enak dari si penelpon. Beberapa detik kemudian ia meletakkan gagang telepon itu dengan setengah membantingnya.

"Wah, gawat, Di. Nyonya Besar marah-marah. Saya pulang dulu."

"Hati-hati, Pak."

Pasti ada yang tidak beres, pikir si gendut. Baru pukul 20.15 istrinya sudah marah-marah. Dalam keadaan normal, dengan alasan sedang rapat, istrinya maklum saja dia pulang sampai pukul 22.00. Istrinya pasti mengira, dia punya skandal lagi. Tapi dengan siapa, dan siapa yang memfitnahnya?
Ia memang sudah dua kali terlibat skandal cinta dengan bawahannya. Pertama dengan sekretarisnya yang genit dan gampangan. Kedua dengan bendaharanya yang cantik tapi perawan tua. Keduanya sudah ia pecat atas desakan istrinya, yang sempat marah besar begitu mengetahui skandal itu. Bagaimana pun, ia memang tidak berani melakukan "perang habis-habisan" melawan istrinya -- yang memang kurang cantik dan bertubuh agak gembrot. Selain demi kedamaian hati ketiga anaknya, juga karena perusahaan yang memberinya jabatan direktur memang peninggalan almarhum mertuanya.

"Belum kapok ya, Pa?" sambut istrinya begitu si gendut duduk di depan meja makan.

"Kapok bagaimana, Ma?"

"Papa sudah berani memelihara perempuan lagi, kan?"

"Ah, jangan mengada-ada, Ma. Siapa bilang saya memelihara perempuan?"

"Jangan bohong, Pa. Tadi ada perempuan cantik mencari Papa ke sini."

"Perempuan cantik, siapa?"

"Masih mau mungkir juga? Papa punya peliharaan baru yang namanya Monika, bukan! Tadi dia ke sini pakai rok kuning menyala."

"Monika?" kepala si Gendut bagai di sambar geledek. "Benar-benar edan, anak itu. Bukanlah dia baru saja saya antar ke puncak?"

"Jad kau baru saja main cinta di puncak dengan perempuan itu? Kurang ajar! Kau tega, ya!"

"Pacaran apa? Dia itu pelacur!"

"Jadi, papa membawa pelacur ke puncak? Dasar hidung belang! Menjijikkan!"

Bu Saliman berlari masuk ke kamar, membanting pintunya dan menguncinya dari dalam. Tampaknya ia marah besar. Si gendut terperangah sesaat. Kepalanya makin pusing, bagaimana ia harus menjelaskan tentang si Monika pada istrinya. Dalam gelisah ia melangkah ke kamar kerjanya, mengangkat gagang telepon dan memutar nomor telepon kan-tornya.

"Pardi?"

"Ya, Pak."

"Untunglah kamu masih ada di situ."

"Ada apa, Pak?"

"Gawat, Di. Nyonya marah besar soal Monika. Ia mengira simpanan saya. Tadi dia ke sini mencari saya. Salahnya, saya tak pernah cerita soal Monika pada Nyonya. Tolong, jemput dia sekarang juga di kamar hotelnya dan bawa kemari. Kau harus ikut menjelaskan  tentang dia pada Nyonya.

"Baik, Pak."

Begitu meletakkan gagang telepon, si gendut lantas menuju pintu kamar istrinya. Terdengar tangis sesenggukan dari dalam kamar. "Buka pintu, Ma. Berilah Papa kesempatan untuk menjelaskannya."

"Semuanya sudah jelas. Papa memang bajingan!"

"Dengar dulu, Ma. Saya tadi memang mengantar dia ke Puncak. Tapi, percayalah, saya tak berbuat apa-apa dengan dia. Saya mengantarnya karena dia melakukan transaksi penting yang berkaitan dengan perusahaan kita. Dia itu staf baru bagian marketing. Hanya dugaan saya saja dia merangkap menjadi pelacur."

"Dia merangkap jadi peliharaan Papa, kan!"

"Jangan begitu, Ma."

"Tadi dia mengaku begitu."

"Ya peliharaan, maksudnya pegawai baru. Dia memang suka melucu begitu."

Gerimis masih memukul-mukul genteng dan daun-daunan di luar, ketika tiba-tiba terdengar derum mobil masuk pekarangan rumah Pak Saliman. "Nah, itu dia datang bersama Pardi, Ma. Mereka sengaja saya panggil untuk menjelaskan semuanya pada Mama."
                                               ***

Sang Nyonya Besar pada akhirnya memang bisa dijinakkan. Ia bisa memahami kehadiran Monika di perusahaan peninggalan almarhum ayahnya yang kini dikelola suaminya. Apalagi, di hadapannya, gadis itu bersumpah tidak akan mengganggu Pak Saliman. Ia juga berjanji untuk memajukan perusahaannya dengan memanfaatkan jaringan koneksi yang telah ia bangun dengan sejumlah pejabat dan konglomerat.

Namun, tidak berarti persoalan Monika selesai sampai di situ. Pada akhir bulan, ketika si gendut harus membayar gaji para karyawannya, Monika memberikan kejutan baru:

"Cadangan uang kita di bank habis, Pak. Besok kita tidak bisa membayar gaji para karyawan," kata kepala bagian keuangan, menghadap si Gendut dengan wajah pucat dan suara gemetar.

"Lho! Bukankah dua minggu lalu masih ada cadangan satu setengah milyar?"

"Ya. Kini sudah habis dipergunakan Monika. Katanya sudah disetujui Bapak."

"Tuyul edan!"

"Lho, kok tuyul?"

"Memang dia tuyul! Siapa lagi yang berani nekad menghabiskan uang segitu banyak kalau bukan tuyul edan!"

"Salah Bapak juga, terlalu cepat memberi kepercayaan pada dia."

"Pardiiii!"

"Yaaa, Pak!" yang dipanggil tergopoh-gopoh masuk.

"Ke mana kau antar Monika hari ini?!"

"Belum saya antar ke mana-mana, Pak. Sejak pagi belum kelihatan. Saya jemput di kamar hotelnya juga kosong."

"Wah, celaka kalau begitu. Uang kita di bank dia sikat habis. Benar-benar tuyul edan dia! Cepat kamu cari dia sampai ketemu. Kalau tidak, bisa tak gajian kamu besok."

Pardi, sopir gadis itu, berlari kecil keluar untuk mencari Monika.

Tapi tiba-tiba telepon di meja si gendut berdering. Ia langsung mengangkatnya, ternyata dari si tuyul.

"Monika, gila kamu!  Kamu kemanakan uang saya satu setengah milyar di bank?!" si gendut langsung menghardik gadis itu.

"Tenang, Pak. Bapak kan ingin mendapatkan kakap besar. Umpannya juga harus besar!" jawab Monika dari seberang.

"Omong apa lagi kamu?! Kakap kakap! Mana buktinya?! Kamu ini memang tuyul edan! Tuyul rusak! Kamu tidak mendapatkan duit, tapi malah menghabiskan duit!!"

"Aduh, jangan teriak-teriak begitu, Pak! Nanti didengar orang, rahasia kita bisa bocor."

"Biarin! Kamu memang tuyul edan! Tuyul rusak! Tuyul gendeng!!"

"Dengar dulu, Pak. Saya sedang mengincar beberapa proyek besar, dan hampir berhasil. Percayalah, Pak. Dalam satu dua hari ini pasti sudah ada hasilnya. Uang satu setengah milyar tidak ada artinya dibanding keuntungan yang bakal kita dapatkan. Perusahaan Bapak saya jamin segera menggelembung jadi raksasa. Kalau saya gagal, Bapak boleh bakar padepokan saya di tepi hutan itu."

"Tapi, gaji karyawan kita bagaimana? Besok mereka harus gajian. Kalaupun tidak, mereka hanya bisa mentolerir keterlambatan satu hari. Labih dari itu mereka pasti akan ribut. Aku tak mau kalau di perusahaan kita sampai ada unjuk rasa segala."

"Jangan khawatir, Pak. Saya sudah mengajukan kredit 100 trilyun ke bank. Hari ini direksi bank sedang merapatkannya. Kalau di-acc, besok sebagian dana sudah dapat dicairkan."

"Gila! Kredit 100 trilyun?!"

"Ya."

"Untuk apa uang sebanyak itu?"

"Lho, kita kan bakal menangani proyek-proyek dan pabrik-pabrik besar. Mana bisa jalan kalau hanya dengan modal recehan."

"Aku tak mau ikut pusing-pusing memimpikan yang tidak-tidak begitu. Pokoknya besok karyawan harus gajian. Kau harus mengusahakan uang gaji mereka. Saya tunggu hasilnya hari ini juga."

"Beres, Pak!"
                                    ***

Matahari sudah sudah condong jauh ke barat. Si gendut gelisah menunggu kabar dari Monika. Sekali-sekali ia mondar-mandir di ruang kerjanya. Sekali-sekali berteriak memanggil Pardi, menanyakan apakah gadis itu sudah menampakkan batang lehernya. Sekali-sekali pula ia meminta pada bendaharanya untuk mengecek rekening banknya lewat telepon, apakah sudah ada uang masuk dari Monika. Semuanya masih nihil. Selebihnya, si gendut menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya, mencoba meredakan kegelisahannya dengan membaca komik Satria Baja Hitam.
Sore sudah mengambang ketika gadis centil itu muncul dengan senyum khasnya. Si gendut langsung menyambarnya: "Bagaimana, Monika, hasilnya?"

"Beres, Pak."

“Beres-beres, bagaimana?!”

"Lihat ini." Monika menyerahkan berkas-berkas yang dibawanya.

"Gila! Kita mendapat kredit 100 trilyun?" Mata si gendut terbelalak melihat angka yang tercantum pada berkas dari bank itu.

"Ya,"

"Bagaimana kamu bisa membuat bank percaya untuk memberikan kredit sebesar itu pada kita?"

"Saya kan punya katebelece."

"Katebelece? Apa kamu mau mengulang kasus Eddy Tansil?"

"Jangan khawatir, Pak. Monika lebih lihai daripada Eddy Tansil. Semuanya sudah saya atur rapi."

"Kamu memang benar-benar tuyul hebat!" Serta merta si gendut menyalami dan memeluk gadis itu. Monika menyerah saja.

"Bapak mau lihat daftar proyek yang telah kita menangkan tendernya."

Si gendut melepaskan pelukannya. Monika mengeluarkan setumpuk map dari tasnya. "Ini proyek pengurugan Rawa Pening untuk disulap menjadi lapangan golf, ini proyek penggundulan sebagian hutan Irian Jaya untuk diekspor ke Jepang, ini proyek penggusuran seluruh kawasan kumuh Tanjung Priok untuk disulap jadi kondominium, dan ini proyek terowongan bawah laut lintas Selat Sunda. Semuanya bernilai 90 trilyun."

"Gila kamu. Bagaimana kita bisa mengerjakan proyek edan-edanan seperti itu?"

"Jangan khawatir, Pak. Saya bisa mengerahkan seribu jin untuk ikut menyelesaikan proyek-proyek itu tepat pada waktunya."

"Jadi kita juga harus berkolusi dengan para jin?"

"Betul. Itulah cara yang telah saya rancang agar perusahaan kita bisa tumbuh jadi raksasa."

"Seperti Bandung Bandawasa ketika membangun Candi Seribu itu?"

"Ya, begitulah kira-kira. Tapi tentu, proyek-proyek itu tidak harus kita selesaikan dalam semalam. Ya, agar orang percaya bahwa proyek-proyek itu memang murni karya kita, berkat kehebatan teknologi canggih yang telah kita kuasai."

"Memang benar-benar edan kamu, Monika."

"Bapak setuju, kan!"

"Tentu saja, Monika. Lelaki mana yang mau berlaku bodoh dengan menolak kesempatan untuk menjadi besar."

"Ha ha ha." Monika tertawa.

"Ha ha ha ."

Si gendut juga tertawa.

"Tapi tunggu dulu, Pak." Kali ini wajah Monika berubah serius. Ia mundur selangkah dan duduk di atas meja, persis di depan si gendut yang masih berdiri setengah bersandar pada sandaran kursinya.

"Tunggu apa lagi?"

"Agar kredit itu benar-benar bisa mengucur dan proyek-proyek itu bisa berjalan lancar, ada satu syarat yang harus Bapak penuhi."

"Syarat apa?"

"Bapak harus mengawini saya dan menjadi bapak anak yang akan saya lahirkan."

"Kenapa harus begitu?"

"Ya, karena anak yang akan segera saya lahirkan harus punya bapak yang jelas."

"Lho! Memangnya kamu hamil?" wajah si gendut tampak terperangah.

"Ya."

"Aduh, Monika. Kenapa tidak kamu gugurkan saja?"

"Tak ada dokter maupun dukun yang sanggup menggugurkan kandungan tuyul. Sekarang terserah Bapak, mau menjadi Bapak anak saya, atau semuanya gagal dan selesai sampai di sini." Monika mulai menantang.

"Kalau memang harus begitu, ya apa boleh buat, Monika. Aku akan menjadi Bapak anak yang kau kandung. Aku tak perlu tahu, itu anak siapa. Tapi, tolong sementara dirahasiakan dulu. Jangan sampai istriku tahu."

Mendengar jawaban itu, Monika langsung melompat turun dari meja dan menghambur ke dada Pak Saliman. Si gendut terkejut sesaat, tapi lantas menyongsong gadis itu dengan pelukan.
                                          ***

Kredit 100 trilyun rupiah itu mengucur juga. Bahkan keesokan harinya sebagian sudah bisa dicairkan. Pada malam harinya si gendut langsung mengadakan pesta bersama seluruh staf dan karyawannya. Kesibukan terus meningkat pada hari-hari berikutnya. Lowongan kerja pun dia buka untuk merekrut para insinyur dan karyawan baru. Sejumlah insinyur asing segera didatangkan untuk menyiapkan pelaksanaan proyek-proyek besar itu.
Monika pun tetap hilir mudik seperti biasa. Namun pada hari keenam tiba-tiba ia menghilang dan pada hari ketujuh datang kejutan dari Mbah Sastro untuk si gendut lewat telepon:

"Kau harus datang kepadepokanku sekarang juga. Sangat penting!" suara pawang tuyul itu dari jauh.

"Memangnya ada apa, Mbah?"

"Monika melahirkan hari ini."

"Lho, bukannya usia kandungannya baru tiga Minggu."

"Ya, usia kandungan tuyul memang hanya duapuluh satu hari."

"Baiklah, Mbah."

Sampai di padepokan, si gendut langsung menuju kamar Monika. Ia penasaran, ingin tahu bagaimana wajah anak tuyul cantik itu. Begitu membuka pintu, si gendut terperangah. Pemandangan menakjubkan terpampang di depannya: Monika berbaring miring setengah telanjang, dikelilingi puluhan orok gundul sebesar lengan bayi. Beberapa diantaranya sedang bere-butan menetek pada tuyul cantik itu.

"Ini semua anak-anak kita," kata Monika sambil tersenyum. "Jumlah mereka ada tujuh puluh sembilan, sesuai dengan jumlah pendekatan khusus yang saya lakukan untuk mendapatkan kredit bank dan proyek-proyek besar itu."

"Tujuh puluh sembilan?!" sahut si gendut dengan mulut menganga dan mata terbelalak.

Untuk beberapa saat si gendut berdiri terpaku dengan ekspresi terperangah. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung dan ambruk ke lantai. Kali ini Monika tidak hanya memberikan kejutan bagi si gendut, tapi sekaligus membuatnya tewas akibat serangan jantung!*

Jakarta, Akhir Juni 1994

* Cerpen ini pernah dimuat di Percakapan Senja, bonus kumpulan cerpen Majalah Sarinah, No. 309, 22 Agustus-4September 1994.
Baca Lengkapnya....