Dunia kepenyairan punya banyak ‘orang gila’. Salah satunya, Arsyad Indradi. Salah satu kegilaan penyair senior Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ini adalah rela menjual tanahnya untuk membiayai penerbitan buku antologi puisi. “Dia sampai harus menjual tanahnya untuk buku itu,” kata penyair Banjarmasin, Micky Hidayat. Antologi puisi yang dibiayai Arsyad dengan sebidang tanahnya itu memang bukan buku sembarangan. Buku bertajuk 142 Penyair Menuju Bulanyang diterbitkan melalui Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (KSSB) yang didirikannya itu berisi 426 puisi karya 142 penyiar Nusantara sejak yang baru muncul sampai yang paling senior. Termasuk, sajak-sajak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri.
Di tengah tebaran ratusan buku antologi sajak di Tanah Air, kehadiran buku 142 Penyair Menju Bulan itu tentu menjadi sangat penting, karena merangkum hampir semua penyair Indonesia dari semua generasi. Buku tersebut tidak hanya telah mendokumentasikan karya-karya mereka untuk diabadikan, tapi juga untuk dapat menjadi rujukan penting penulisan sejarah perkembangan perpuisian di Nusantara. Karena itu, pengorbanan dan dedikasi Arsyad (semoga) tidaklah sia-sia.
Selain Arsyad, dunia kepenyairan Indonesia banyak memiliki penyair yang sering menunjukkan pengorbanan dan dedikasi yang luar biasa pada sastra Indonesia. Di Mataram, NTB, misalnya, ada penyair senior Dinullah Rayes, yang sering harus menjual kudanya untuk biaya kegiatan sastra dan mengikuti acara sastra di luar kota. Luar biasanya, meskipun rumahnya belum lama ini ludes terbakar, Dinullah masih saja dengan penuh semangat menghadiri acara-acara sastra di Jawa secara swadaya.
Jika inti kepahlawanan adalah kerelaan berkorban untuk bangsanya, maka Arsyad Indradi dan Dinullah Rayes adalah pahlawan sastra. Keduanya rela mengorbankan apa saja untuk ikut memajukan kesastraan bangsanya, tanpa peduli waktu, jarak, dan usia. Apalagi sekadar berkorban harta, mereka akan rela-rela saja.
Karena itulah, ketika menjadi pembicara pada The 1st International Poetry Gathering di Medan tahun lalu, saya sempat mengusulkan agar pemerintah dapat memberikan penghargaan khusus untuk penyair-penyair seperti Arsyad dan Dinullah. Dirjen Nilai Budaya, Seni dan Film, Mukhlis Pa’Eni, yang saat itu tampil sebagai keynote speaker, menyambut baik ide tersebut. Namun, realisasinya memang masih harus kita tunggu.
Sejak tradisi penulisan puisi tumbuh subur di Indonesia, sejak akhir dasawarsa 1980-an, khasanah sastra Indonesia sudah disemaraki buku-buku antologi puisi (bersama) dan kumpulan puisi (tunggal) yang diterbitkan secara swadaya, sejak edisi stensilan sampai cetak mewah.
Buku-buku semacam itu makin marak saja ketika kantong-kantong dan komunitas-komunitas sastra bertumbuhan di Tanah Air, sejak awal dasawarsa 1990-an. Tiap kantong dan komunitas sastra seakan belomba-lomba menerbitkan buku antologi puisi secara swadaya, baik secara patungan maupun atas bantuan sejumlah donatur. Tidak kurang pula jumlah penyair yang menerbitkan karya-karya sendiri dengan biaya sendiri.
Jika dihitung secara cermat, jumlah buku semacam itu mungkin sudah mencapai ribuan. Pada periode antara 1992 sampai 1994 (dua tahun) saya pernah mencoba mengumpulkan buku-buku puisi swadaya semacam itu untuk bahan kajian. Tapi, karena jumlahnya membludak, saya kewalahan. Akhirnya, banyak yang terpaksa saya relakan untuk pemulung, dibawa siapa saja yang tertarik, dan sisanya hanya teronggok bisu di dalam sejumlah kardus.
Sebenarnya sangat menarik untuk meneliti dan mengkaji sajak-sajak yang terkumpul dalam buku-buku swadaya semacam itu. Saya yakin, di dalamnya tersimpan kanon-kanon yang potensial untuk menjadi tonggak perkembangan perpuisian Indonesia. Tetapi, memang dibutuhkan kerja berat yang pasti sangat melelahkan.
Mungkin karena itu, hingga kini belum ada peneliti maupun akademisi sastra yang mengkaji sajak-sajak dalam buku-buku puisi swadaya itu secara sungguh-sungguh dan komprehensif. Ada yang sempat membicarakan kesemarakan buku-buku puisi itu, memang, semisal Budi Darma. Tetapi, mungkin karena hanya berdasar pembacaan sepintas dan kurang menyeluruh, hasil analisisnya kurang memuaskan.
Di dunia penerbitan komersial, buku kumpulan sajak mendapat stigma sebagai buku yang tidak laku. Karena itu, buku kumpulan sajak dari penerbit komersial jumlahnya sangat terbatas. Karena itu pula, justru buku-buku antologi dan kumpulan puisi swadayalah yang sebenarnya lebih mewakili realitas perkembangan perpuisian Indonesia.
Namun, sayangnya, buku-buku puisi swadaya justru cenderung terlewat dari perhatian pengamat, akademisi, dan lembaga pemberi penghargaan sastra. Karena itu, sejarah perpuisian Indonesia yang disusun oleh akademisi sastra bisa jadi hanya ‘sejarah semu’. Sebab, fakta sejarah yang paling mendekati kebenaran justru tersimpan dalam buku-buku puisi swadaya yang terlewat dari perhatian para penyusun sejarah sastra kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar