Tradisi, Lokalitas, dan Urbanitas Cerpen Indonesia

Dibanding puisi dan novel,  cerita pendek (cerpen)  – dalam prototip estetika konvensional -- terbilang sebagai bentuk ekspresi sastra modern (asal Barat) yang paling belakang masuk ke Indonesia.  Puisi modern sudah mulai ditulis oleh Amir Hamzah dan JE Tatengkeng dalam dasawarsa 1920-an, dengan masuknya pengaruh soneta dan ‘puisi bebas’ yang ‘membongkar’ estetika puisi tradisional Melayu.

Novel bahkan sudah mulai ditulis jauh sebelum itu, yakni dalam tahun 1890-an, yang ditandai dengan terbitnya novel realistic Nyai Isah karya F. Wiggers, Nyai Dasima karya G. Francis, Nona Leonie karya HFR Kommer, dan Rosina karya FDJ Pangemanan.  Sedangkan cerpen baru hadir ke khasanah sastra Indonesia dalam paruh akhir dasawarsa 1930-an, dengan hadirnya cerpen-cerpen Muhammad Kasim dan Suman HS, lalu disusul cerpen-cerpen Hamka, Armijn Pane dan Idrus.

Meskipun datang paling belakang, tradisi penulisan cerpen, terutama pada masa post-kolonial (masa kemerdekaan), berkembang begitu pesat di Indonesia. Laju perkembangan tersebut makin tampak setelah terbit majalah cerpen pertama di Indonesia Kisah (1953-1957), disusul majalah cerpen Sastra (1961-1964) dan majalah sastra Horison (1966-sekarang). Produktivitas penulisan cerpen kemudian mengalami booming setelah mendapatkan tempat terhormat di media massa cetak – surat kabar dan majalah – sejak tahun 1970-an sampai kini.

Pesatnya perkembangan cerpen dalam khasanah sastra Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, masyarakat (manusia) pada dasarnya menyukai dongeng. Cerpen yang dapat dianggap sebagai metamorfosis dongeng  dengan cepat dapat menemukan penggemarnya di kalangan masyarakat banyak, terutama masyarakat terpelajar. Kedua, gaya cerpen yang umumnya realistik menjadi media refleksi yang pas bagi masyarakat yang sedang bergerak menuju perubahan untuk menemukan jati dirinya sebagai individu yang modern maupun sebagai bangsa yang berdaulat.

Ketiga, dalam bentuknya yang relatif pendek, cerpen bisa memenuhi kebutuhan bacaan masyarakat terpelajar perkotaan (komunitas urban) yang cenderung makin sibuk dan hanya memiliki waktu yang terbatas untuk memenuhi hasratnya pada dongeng-dongeng (fiksi) kontemporer. Dan, keempat, cerpen merupakan karya sastra yang paling dimanjakan di media-media massa cetak – hampir semua media massa cetak Indonesia memiliki rubrik cerpen – sehingga produktivitas dan kreativitas para cerpenis  terpacu dengan cepat.
      
Dari Tradisi ke Urban
Sejak diperkenalkan oleh ‘bapak cerpen Indonesia’  – Muhammad Kasim, Suman HS, Hamka, Armijn Pane, dan Idrus -- cerpen sudah membawa cita rasa yang sangat urbanistik dan menjadi bagian dari bentuk ekspresi masyarakat terpelajar perkotaan. Karena itulah, ketika harus berbicara tentang tradisi dan lokalitas cerpen Indonesia, kita akan lebih banyak berbicara tentang tradisi dan lokalitas (warna lokal) yang 'diserap' cerpen Indonesia, bukan yang menjadi akar pertumbuhannya. Cerpen menjadi media baru untuk menuturkan kembali tradisi dalam cita rasa modern, dan lebih dari itu adalah menafsirkan kembali, mendialogkan, mempertanyakan, atau bahkan menggugatnya.

Upaya untuk mengangkat tradisi dan lokalitas ke dalam cerita pendek telah dimulai oleh Muhammad Kasim dan Suman HS dengan menggali dan mengangkat cerita-cerita rakyat ke dalam cerpen. Upaya Muhammad Kasim dapat kita lihat pada cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam Teman Duduk (1936), dan upaya Suman HS dapat kita lihat dalam Kawan Bergelut (1938). Mereka mengeksplorasi kekayaan dan tradisi lokal untuk disajikan kembali dengan citarasa modern dalam karya sastra bertipologi cerita pendek yang lebih merujuk pada tipologi short story dalam khasanah sastra Barat. Namun, belum tampak adanya upaya untuk menggugat tradisi, selain menafsirkannya kembali dengan citarasa baru yang lebih dekat dengan citarasa masyarakat terpelajar perkotaan (urban).

Sementara, cerpen-cerpen Hamka dalam Di Dalam Lembah Kehidupan (1940) dan Idrus dalam Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948) lebih banyak mengangkat persoalan sosial yang aktual pada zamannya, sehingga makin memberi citarasa urban pada tradisi cerpen Indonesia. Begitu juga cerpen-cerpen Armijn Pane dalam Kisah Antara Manusia (1953) yang lebih banyak mengangkat persoalan psikologis masyarakat urban yang sedang menghadapi proses perubahan zaman, sehingga lebih mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat kota, yang nyaris tidak menampakkan akar sama sekali pada tradisi dan lokalitas.

Cerpenis penting yang muncul kemudian, A.A. Navis, dalam cerpen monumentalnya, Robohnya Surau Kami (1956), dengan lugas menggugat tradisi kaum santri yang lebih mengutamakan ritual agama dan cenderung melupakan urusan dunia. Tokoh Haji Saleh yang rajin beribadah justru dimasukkan Tuhan ke neraka, karena miskin dan tidak dapat beramal kepada sesamanya. Sang haji sempat protes pada Tuhan, tapi malaikat menghalaunya kembali ke neraka. Koreksi terhadap tradisi kaum santri yang hanya mementingkan kesalehan ritual itu saya kira tetap relevan sampai sekarang, karena kinipun mayoritas kaum santri kita masih cenderung hanya mengutamakan ritual, dan ke sanalah orientasi dakwah para dai kita pada umumnya sehingga malah cenderung membawa umat ke keterbelakangan.

Dalam sepanjang sejarah perkembangan cerpen di Indonesia upaya untuk berdialog dengan tradisi dan kekayaan lokal terus dilakukan oleh sejumlah cerpenis kita, baik yang mencoba menafsir kembali maupun yang menggugatnya. Beberapa cerpenis terkini, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Khairil Gibran, misalnya, mencoba menggali serta menafsir kembali tradisi dan kearifan lokal. Begitu juga beberapa cerpenis yang lebih senior, seperti Kuntowijoyo dan Danarto, yang menggali nilai-nilai kedalaman spiritual tasawuf (mistik) Jawa. Sementara, Oka Rusmini banyak mengkritisi tradisi masyarakat Hindu Bali.

Namun, lagi-lagi, yang dominan adalah cerpen-cerpen yang mengangkat persoalan masyarakat perkotaan yang makin mengentalkan citarasa cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban. Seno Gumira Ajidarma, misalnya, meskipun dalam Kitab Omong Kosong (Bentang, 2004) mengangkat lakon-lakon dalam pewayangan (Jawa), namun dalam kumpulan-kumpulan cerpen lainnya seperti Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), dan Saksi Mata (1995) lebih banyak mengangkat persoalan masyarakat perkotaan dan mewakili citarasa masyarakat urban. Begitu juga cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember (2000) dan Bibir Dalam Pispot (2002), Kurni Effendi dalam Bercinta di Bawah Bulan (2004), Hudan Hidayat dalam Orang Sakit (2000) dan Keluarga Gila (2002), serta cerpen-cerpen Linda Cristanti dalam Kuda Terbang Mario Pinto (2003).

Citarasa ‘urbanistik’ makin mengental ketika tradisi penulisan cerpen Indonesia dimaraki karya para perempuan penulis yang dengan gamblang mengangkat persoalan-persoalan seksual dengan sikap ‘memberontak’ dari batas-batas moral tradisional dan ketabuan, seperti diperlihatkan Djenar Maesa Ayu dalam Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) dan Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2003). Dengan pemberontakannya itu, mereka seperti menegaskan ketidakberpihakannya pada tradisi dan menempatkan cerpen sebagai ekspresi masyarakat urban yang liberalistik.

Dari kalangan perempuan santri, seperti Abidah el Khalieqy, Pipiet Senja, Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia, memang juga banyak ditulis cerpen-cerpen yang berpihak pada moral, tetapi tetap lebih mewakili citarasa masyarakat perkotaan atau Islam kosmopolitan daripada masyarakat tradisional ataupun pedesaan. Cerpen-cerpen Abidah dalam Menari di Atas Gunting (2001) – dan di berbagai buku lain -- yang ‘nyastra’ tentu adalah konsumsi masyarakat terpelajar perkotaan. Begitu juga cerpen-cerpen Asma Nadia, yang tersebar di berbagai buku, seperti cerpen Ranti Menderas, meskipun Islami tapi umumnya mengangkat persoalan kaum perempuan muda Muslim perkotaan (Islam kosmopolitan), dan karena itu sangat pas disebut sebagai ‘chicklit Islami’ dan menjadi konsumsi masyarakat (perempuan) perkotaan.

Para cerpenis yang masih intensif berdialog dengan tradisi dan lokalitas umumnya adalah mereka yang masih tinggal di daerah, seperti Taufik Ikram Jamil, Khairul Jasmi, Mustofa W Hasyim, dan Oka Rusmini. Kalaupun mereka hijrah ke Jakarta, setidaknya sudah dimatangkan oleh daerahnya dan relatif terhindar dari ‘pertarungan hidup’ kota metropolitan sehingga tetap membawa nuansa tradisi dan kekayaan lokal. Namun, jumlah mereka tidaklah banyak. Geliat peradaban urban yang lebih dominan di Jakarta membuat para cerpenis umumnya lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan masyarakat urban dari pada persoalan daerah asalnya ataupun misalnya warna Betawi yang sudah terpinggirkan bersama kekayaan budayanya.

Industri penerbitan dan media massa cetak juga sangat kuat pengaruhnya dalam ikut menyeret produksi cerpen ke citarasa yang sangat urbanistik. Kenyataannya, pasar terbesar industri media massa cetak dan buku sastra (kumpulan cerpen) memang masyarakat terpelajar perkotaan. Cerpen-cerpen yang dimuat di majalah-majalah wanita seperti Femina, Sarinah, dan Kartini, serta surat-surat kabar besar seperti Kompas, Repulika, Media Indonesia, Suara Pembaruan, dan Jawa Pos, adalah cerpen-cerpen yang umumnya dikemas sesuai citarasa masyarakat terpelajar perkotaan tersebut.

Begitu juga buku-buku kumpulan cerpen yang banyak beredar di toko-toko buku yang umumnya memang ada di kota-kota besar, yang orientasi pasar penerbitannya memang masyarakat terpelajar perkotaan. Dan, memang merekalah yang memiliki daya beli yang tinggi dan minat baca yang terus membaik. Lebih-lebih, cerpen-cerpen yang kemudian mengerucut menjadi semacam chicklit, teenlit, dan fiksi-fiksi seksual.

Proses Kreatif dan Kekayaan Lokal
Ketika menulis cerpen, seorang cerpenis sesungguhnya hampir tidak mungkin hanya berdiri sebagai ‘manusia tekstual’ yang hanya mengeksplorasi imaji-imaji personal yang asing dari lingkungannya, setidaknya dari teks-teks yang telah ada sebelumnya. Cerpen memang fiksi, dan fiksi adalah dunia rekaan. Tetapi, saat melahirkannya, seorang cerpenis akan lebih banyak berperan sebagai ‘manusia kontekstual’ yang mencoba memaknai dunia sekelilingnya. Karena itu, wajar jika para cerpenis Indonesia yang tinggal di perkotaan lebih banyak mengeksplorasi persoalan-persoalan manusia kota dan lingkungan perkotaan. 

Dan, karena itu pula wajar jika sensibilitas lokal lebih banyak ditampakkan oleh mereka yang tinggal di daerah, atau setidaknya, memiliki kesadaran untuk dengan sengaja menggali tradisi dan kekayaan lokal dari daerah asalnya atau budaya etnis lain yang menarik perhatiannya. Cerpen-cerpen Oka Rusmini, yang berproses kreatif di Denpasar, misalnya, sangat kental warna budaya etnis Bali. Begitu juga cerpen-cerpen Azhari – yang berproses kreatif di Aceh – kental warna sosial dan konflik-bersenjata di Aceh. Bisa disebut juga cerpen-cerpen Taufik Ikram Jamil yang berproses kreatif di Riau dan kental warna sosial-budaya Melayu (Riau). Sementara, cerpen-cerpen Danarto, meskipun berproses kreatif di Jakarta, banyak yang kental warna tasawuf (mistik) Jawa, sehingga ia sering disebut-sebut sebagai salah satu tokoh ‘gerakan kembali ke Timur’ dalam sastra Indonesia. 

Epilog
Karena tradisi penulisan cerpen berasal dan lebih banyak bertumbuh di tengah masyarakat urban, dan bahkan menjadi bentuk ekspresi masyarakat urban, maka sesungguhnya membawa lokalitas (warna lokal) ke dalam cerpen sama artinya dengan memasukkan kekayaan lokal ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban. Kenyataannya, yang umumnya terjadi memang bukan bagaimana melokalkan cerpen, tapi sebaliknya meng-urban-kan lokalitas ke dalam cerpen. Yakni, bagaimana mengemas lokalitas ke dalam cerpen sesuai dengan citarasa masyarakat urban – ke dalam bentuk cerpen yang menarik dan memenuhi selera masyarakat terpelajar perkotaan.

Demikianlah sesungguhnya yang terjadi dalam sastra Indonesia, lokalitas diusung ke dalam bingkai ekspresi masyarakat urban, sebab sesungguhnya sastra Indonesia lebih mewakili peradaban masyarakat urban. Karena itu, tidak salah jika ada anggapan bahwa untuk menjadi sastrawan Indonesia ternama harus menjadi bagian dari masyarakat urban, harus hijrah dari desa ke kota. Jika bukan orangnya, setidaknya, karya-karyanya.

Bisa saja seseorang sastrawan Indonesia tetap tinggal di desa, tetapi karya-karyanya harus dipasarkan kepada masyarakat urban -- baik melalui media massa maupun penerbitan buku -- sebab merekalah yang punya apresiasi dan daya beli. Fenomena tersebut masih akan berlangsung lama mengingat lambannya pemerintah dalam mengatasi berbagai kesenjangan -- sosial-budaya-ekonomi – antara desa dan kota, serta antara daerah dan pusat.

Proyek-proyek pengadaan buku dan kepustakaan, seperti penerbitan ‘kitab-kitab sastra’ Horison, buku Inpres dan peningkatan buku perpustakaan sekolah, memang cukup berhasil memeratakan buku sastra ke daerah-daerah. Mungkin juga meningkatkan minat baca masyarakat terpelajar (siswa), tapi bukan menaikkan daya beli masyarakat terhadap buku-buku sastra. Apalagi, pasca-kenaikan harga BBM, masyarakat kelas menengah ke bawah kembali dijerembabkan ke urusan perut, dan buku-buku sastra yang makin mahal kembali menjadi barang mewah bagi mereka.

Meskipun merupakan ‘sastra pendatang’, cerpen sebenarnya dapat menjadi media dialog yang efektif antara nilai-nilai lama (tradisi) dan nilai-nilai baru (modernitas) agar proses modernisasi bangsa tetap memiliki jati diri. Cerpen juga dapat menjadi media yang efektif untuk menggali dan mereaktaualisasikan nilai-nilai dan kearifan lokal agar bangsa ini tetap memiliki jati diri, dan tidak tercerabut sepenuhnya dari akar budaya Nusantara. Tetapi, hal itu tidak akan terjadi tanpa upaya intensif dari para cerpenis untuk terus menggali, mereaktualisasi, dan mendialogkan nilai-nilai serta kearifan lokal ‘budaya ibu’ masing-masing.
                               
Jakarta, Oktober 2005

Daftar Pustaka
1. Ajidarma, Seno Gumira, Kitab Omong Kosong, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2004).
2. Danarto, Adam Makrifat kumpulan cerpen (Pustaka Jaya, Jakarta, 1982)
3. Danarto, Setangkai Melati di Sayap Jibril, kumpulan cerpen (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001)
4. Eddy, Nyoman Tusthi, Kamus Istilah Sastra Indonesia (Nusa Indah, Ende, 1991).
5. Hasanuddin WS, dkk., Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004).
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Dokumen Jibril, antologi cerpen penulis perempuan Indonesia (Penerbit Republika, Jakarta, 2004).
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Pembisik, antologi cerpen Republika (Penerbit Republika, Jakarta, 2002).
8. Herfanda, Ahmadun Yosi, ed., Kota yang Bernama dan Tak Bernama, antologi cerpen Temu Sastra Jakarta 2003 (Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, 2003).
9. Herfanda, Ahmadun Yosi, dkk., ed., Yang Dibalut Lumut, antologi cerpen Sayembara Penulisan Cerpen CWI 2003 (Direktorat Kepemudaan, Dirjen PLSP, Depdiknas, Jakarta, 2003).
10. Ismail, Taufiq, dkk., ed., Horison Sastra Indonesia: Kitab Cerpen (Horison dan The Ford Foundation, Jakarta, 2001).
11. Rampan, Korrie Layun, Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia (Grasindo, Jakarta, 2005).
12. Sumardjo, Jakob, Segi Sosiologi Novel Indonesia (Pustaka Prima, Bandung, 1981).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar