Kata kunci terpenting dalam prasaran ini adalah karakter – kata serapan dari bahasa Inggris, character, yang belum dibakukan oleh Pusat Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yang ada dalam KBBI hanya padanannya, yakni watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Padanan dari watak, menurut KBBI, adalah budi pekerti dan tabiat. Kata karakter justru diakomodasi oleh Leksikon Sastra Indonesia , dan dimaknai sebagai watak atau sifat-sifat kejiwaan (akhlak, budi pekerti, tabiat, etos) yang membedakan seseorang dengan orang lain.
Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak lahir (genetik), juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif, malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup) sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet, santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).
Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama” dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius, serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong (solider).
Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan karakter kolektif. Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan, dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan nilai dan chaos.
Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar karena tidak dapat bersikap tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman edan” seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.
Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Dulu, ketika masih ada pelajaran budi pekerti, pembentukan karakter siswa dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan, selain tentu juga melalui pelajaran agama dan Pancasila – yang sila-silanya merupakan intisari dari nilai-nilai agama. Pelajaran yang juga dapat diandalkan perannya dalam ikut membentuk karakter siswa adalah apresiasi sastra. Peran pelajaran sastra makin penting ketika pelajaran budi pekerti dan Pancasila tidak diberikan lagi di sekolah, sementara waktu yang tersedia untuk pelajaran agama juga sangat terbatas dan rata-rata guru agama hanya sempat memberikan pengetahuan secukupnya tentang agama sehingga pemahaman dan penghayatan agama siswa rata-rata masih kurang.
Pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Sebut saja ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:
Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
Tentang potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya – meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan pragmatik berkeyanikan bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.
Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq berjuang keras agar siswa, dan kaum terpelajar bangsa ini, benar-benar melek sastra. Sementara, Kuntowijoyo, menggagas pentingnya dikembangan sastra profetik, yakni sastra yang membawa misi kenabian, atau sastra yang mencerahkan.
Lebih dari itu, kalangan pragmatik meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan. Orientasi penciptaan karya sastra, menurut Abrams (1981), memang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-literer. Dan, pandangan pragmatik itu sesuai dengan orientasi kedua Abram yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.
Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart) berkembang.
Pada orientasi kedua, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran social baru, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia. Karena itu, tidak berlebihan jika Mosye Dayan begitu takut pada sajak-sajak patriotik penyair Palestina, dan menangkapi penyair-penyair pejuang seperti Fatwa Tuqan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik.
Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.
Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino tadi, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’
Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama. Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya, termasuk kearifan sikap dan pemikirannya.
Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya, yang lebih baik.
Jika disarikan dan disederhanakan, maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran. Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya. Keenam,fungsi inspiratif, karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan. Ketujuh, fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.
Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.
Membangun sikap apresiatif
Membangun sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran sastra. Apresiasi -- berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang didasarkan pada pemahaman. Menurut Leksikon Sastra Indonesia, apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.
Sebaliknya, seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali. Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa yang namanya minat seseorang, termasuk minat pada karya sastra, tidak dapat dipaksakan. Karena, minat datang dari dalam hati. Begitu juga minat siswa pada sastra, tidak dapat dipaksanakan. Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi bukan harga mati. Sebab, minat seseorang, seperti halnya selera, dapat dibangun secara pelan-pelan tapi pasti. Begitu juga minat siswa pada sastra, dapat dibangun melalui praktek pengajaran sastra yang benar dengan menciptakan situasi pengajaran yang mampu mendorong siswa pelan-pelan meminati karya sastra.
Langkah pertama, adalah menciptakan suasana belajar-mengajar yang menarik dan menyenangkan agar siswa merasa enjoy di dalamnya, atau dapat menikmati proses belajar sastra dengan menyenangkan. Penciptaan situasi yang demikian ini menuntut kreativitas guru dalam mengajar, dan tidak bias hanya bertumpu pada cara mengajar yang konvensional di depan kelas. Cara-cara sebagai berikut dapat dipertimbangkan:
1. Mengajak siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak daun jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris kalimat yang puitis.
2. Belajar di luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.
3. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah. Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.
4. Dalam mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.
5. Setelah sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan sejarah sastra yang diperlukan.
Langkah kedua adalah memberi penghargaan pada siswa yang unggul dalam pelajaran sastra. Misalnya, memberi hadiah buku sastra pada siswa yang puisi atau cerpennya dinilai terbaik, juga pada siswa yang membaca puisi atau cerpennya dinilai paling bagus, serta pada siswa pembahasan atau pendapatnya paling pas saat membahas karya sastra. Nah, akan lebih seru lagi kalau dalam memilih yang terbaik itu melibatkan seluruh siswa. Misalnya, semua puisi siswa ditempel pada papan tulis dan semua siswa ikut menilainya.
Tapi, dalam menilai pembacaan puisi, tentu akan menghadapi problem waktu. Hal ini dapat diatasi dengan mengelompokkan siswa, misalnya ke dalam lima kelompok, dan masing-masing kelompok memilih seorang siswa wakilnya untuk beradu baca puisi dengan wakil kelompok lain. Dengan cara demikian, suasana bermain yang menyenangkan akan tercipta tanpa melupakan pokok pelajaran sastranya. Jadi, semi belajar sambil bermain.
Langkah ketiga adalah menyediakan ruang berekspresi bagi siswa yang berbakat di bidang sastra. Misalnya, menyediakan majalah dinding atau majalah sekolah untuk menampung karya-karya siswa, baik puisi, cerpen, esei, maupun resensi, dan yang karyanya dimuat mendapatkan hadiah buku sastra. Perlu juga diadakan lomba baca puisi tengah tahunan (menjelang libur atau awal liburan) untuk mendorong minat siswa dan menemukan bakat siswa dalam baca puisi.
Langkah berikutnya adalah meyakinkan pada siswa bahwa sastra itu penting untuk diapresiasi, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai positif yang penting diketahui dan dihayati oleh siswa. Yakinkan, bahwa manusia yang berbudaya adalah manusia yang cinta sastra, maka jika ingin dianggap manusia berbudaya, cintailah sastra dan bacalah karya-karya sastra. Yakinkan pula bagi yang berbakat menulis puisi atau cerpen agar terus menekuninya sebagai hobi yang positif, yang akan sangat bermanfaat dan member nilai plus bagi mereka kelak.
Selama ini, tampaknya pengajaran sastra di sekolah berlangsung kurang menarik, sehingga kurang mampu menumbuhkan minat siswa untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Mereka umumnya mengikuti pelajaran sastra ‘karena terpaksa’ hanya demi absensi. Pelajaran sastra juga cenderung dianggap sebagai momok, karena sulit, tapi tidak penting karena hasilnya tidak tercantum pada nilai rapor. Pelajaran sastra hanya merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, dan jika dipersentase nilai pelajaran sastra hanya menyumbang tidak sampai 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase lain disumbang oleh nilai keterampilan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, tata bahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya. Kecilnya persentase sumbangan nilai pelajaran sastra itu menjadi salah satu penyebab kurang bersungguh-sungguhnya siswa dalam mengikuti pelajaran sastra serta guru dalam mengajar apresiasi sastra.
Idealnya, seperti pernah diusulkan oleh Taufiq Ismail dan banyak sastrawan lain, pelajaran apresiasi sastra Indonesia dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, berdiri sendiri dan hasil prestasi belajar sastra siswa terwujud sebagai nilai tersendiri pada rapornya. Tetapi, ini memerlukan langkah besar yang dimulai dari kebijakan pemerintah pusat, yang memerlukan proses politik yang panjang. Karena itu, dari pada terus menerus ‘menunggu godot’ lebih baik kita mulai dari langkah-langkah kecil seperti di atas.
Indikator terpenting adanya sikap apresiatif terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku. Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat. Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra. Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.
Memisahkan pengajaran sastra
Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan juga sekarang pada era KTSP – yang di Jawa sering diplesetkan menjadi kurikulum terapno sak penake dewe.
Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.
Prestasi siswa dalam pengajaran sastra, yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.
Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan.
Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot (tokoh absurd dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett). Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau bahkan seperti teriakan di tengah padang pasir.
Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada minat dan kreativitas serta kesungguhan guru bahasanya. Karena itu, sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra, dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal, dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa.***
Jakarta, Februari 2011
Daftar Pustaka:
1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
2. Hasanuddin WS, Prof. Dr., dkk., Leksikon Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung, cetakan kedua, 2008.
3. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menyoal Pengajaran Seni dan Sastra di Sekolah”, makalah untuk Talk Show Pengajaran Seni dan Sastra dalam Tangerang Art Festival 2005.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Puisi dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Penulisan Puisi bagi Guru SMU, Pusat Bahasa, Jakarta, 2006.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Cerpen dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Menulis Cerpen bagi Guru SMU, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 2006.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Mengajarkan Apresiasi Sastra dengan Benar”, makalah untuk Diklat Pengajaran Apresiasi Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta, 2006.
7. Hatikah, Tika, dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005.
8. Kurniawati, Diyan, dkk, Bahasa Indonesia, Intan Pariwara, Solo, 2003.
9. Sukartinah, Dra., N, Bahasa dan Sastra Indonesia, untuk SMU Semester I, CV Thursina, Bandung, cetakan kedua, 2003.
10. Rendra, “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”, teks pidato saat menerima gelar Doktor Honoris Causa, di UGM, 4 Maret 2008.
11. Berbagai artikel di internet tentang pengembangan pengajaran sastra berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP).
Ahmadun Yosi Herfanda: Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia, Pasca-Sarjana Universitas Gunungjati, Cirebon, 19 Februari 2011.
Karakter atau watak seseorang, selain bawaan sejak lahir (genetik), juga terbentuk oleh pendidikan, sejak pendidikan di dalam keluarga sampai di sekolah, serta pengaruh nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat dan lingkungan yang menumbuhkannya. Karena tiap orang memiliki bawaan genetik yang berbeda, serta tumbuh dalam lingkungan pendidikan dan pergaulan yang relatif berbeda, maka tumbuh pula karakter-karakter tertentu yang melekat pada sosok-sosok pribadi yang unik, sejak karakter yang lemah dan buruk (konsumtif, malas, gampang menyerah, kasar, suka menerabas, pembohong, khianat, dan korup) sampai karakter yang baik dan unggul (kreatif, rajin, pekerja keras, ulet, santun, jujur, amanah, adil, dan bertanggung jawab).
Selain karakter individu yang unik dan berbeda-beda itu, ada pula karakter kolektif yang dibangun oleh nilai-nilai yang bersifat universal seperti nilai-nilai agama, dan nilai-nilai yang menjadi semacam ”kesepakatan bersama” dalam hidup bermasyarakat dan diwariskan secara turun-temurun oleh para orang tua kepada yang lebih muda. Karakter kolektif ini menjadi semacam watak komunal suatu masyarakat atau bangsa. Misalnya, karakter masyarakat yang religius, serta karakter masyarakat yang santun, peduli dan suka bergotong-royong (solider).
Di tengah karakter kolektif itulah watak-watak individu berada dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi, baik antar individu maupun dengan karakter kolektif. Jika karakter individu yang baik dan unggul dominan, dan kooperatif terhadap karakter koletif yang positif, maka akan terjadi harmoni yang dinamis di dalam masyarakat. Tetapi, ketika karakter individu yang buruk menang, dan abai terhadap karakter kolektif, maka akan terjadi disharmoni, pelanggaran terhadap nilai-nilai dan hukum, atau bahkan kekacauan nilai dan chaos.
Jika karakter individu yang buruk itu terbawa secara dominan ke dalam wilayah politik dan kekuasaan, maka yang muncul adalah pemerintahan yang korup dan tidak amanah, merajalelanya mafia hukum dan pajak, serta penjungkirbalikan kebenaran yang menempatkan kepentingan kelompok dan kekuasaan sebagai segalanya. Ketika wibawa pemerintah pudar karena tidak dapat bersikap tegas, dan apalagi terindikasi terlibat suatu kasus, maka kekacauan nilai akan semakin parah. Dan, jika suatu era sudah menunjukkan tanda-tanda sebagai ”zaman edan” seperti pernah diramalkan oleh Ranggawarsita, maka suatu bangsa tinggal menunggu keterpurukannya. Semoga saja ini tidak terjadi pada bangsa Indonesia, meskipun maraknya berbagai kasus mafia hukum dan kekerasan politik dewasa ini sudah menunjukkan tanda-tanda zaman gila.
Membentuk karakter siswa
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan seperti apa wajah bangsa Indonesia di masa depan sangat tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak sekarang. Ketika kita seperti kehilangan harapan pada para elit politik dan pemimpin bangsa (penguasa) saat ini, maka harapan kita tinggal bergantung pada para pemilik masa depan itu. Karena itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan makin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang dijajah serta ”diperbudak” oleh bangsa lain yang lebih adidaya.
Dulu, ketika masih ada pelajaran budi pekerti, pembentukan karakter siswa dapat dilakukan oleh guru yang bersangkutan, selain tentu juga melalui pelajaran agama dan Pancasila – yang sila-silanya merupakan intisari dari nilai-nilai agama. Pelajaran yang juga dapat diandalkan perannya dalam ikut membentuk karakter siswa adalah apresiasi sastra. Peran pelajaran sastra makin penting ketika pelajaran budi pekerti dan Pancasila tidak diberikan lagi di sekolah, sementara waktu yang tersedia untuk pelajaran agama juga sangat terbatas dan rata-rata guru agama hanya sempat memberikan pengetahuan secukupnya tentang agama sehingga pemahaman dan penghayatan agama siswa rata-rata masih kurang.
Pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai positif, sejak nilai-nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga agama. Karena potensi nilainya itu kaum romantik meyakini bahwa karya sastra mengandung pesan kebenaran yang setara dengan kitab suci. Setidaknya, filosof Aristoteles menyejajarkan sastra, khususnya puisi, dengan filsafat (konsep tentang kebijaksanaan hidup). Bahkan dia menganggap sastra lebih filosofis dibanding sejarah. Sebab, sejarah hanya mentatat kejadian atau peristiwa terpenting yang kasat mata dan berpusat pada kekuasaan. Sedangkan sastra dapat mengungkap hal-hal yang tersembunyi di balik peristiwa, termasuk tersembunyi di dalam batin manusia (para pelaku sejarah), sekaligus ”meramal” apa yang bakal terjadi di masa depan. Sebut saja ”ramalan” sekaligus peringatan tentang zaman edan dalam ”Serat Kalathida” karya Ranggawarsita, yang tetap relevan hingga sekarang – terjemahan bebasnya sbb:
Hidup di zaman edan,
gelap jiwa bingung pikiran
turut edan hati tak tahan
jika tak turut
batin merana dan penasaran
tertindas dan kelaparan
tapi janji Tuhan sudah pasti
seuntung apa pun orang yang lupa daratan
lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.
Tentang potensi sastra itu, kaum pragmatik -- yang cenderung memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya – meyakini bahwa karya sastra memiliki potensi untuk menjadi sumber nilai ataupun sumber inspirasi untuk meningkatkan kualitas kecendekiaan kaum terpelajar. Kalangan pragmatik berkeyanikan bahwa karya sastra memang dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Sifat komunikasinya yang langsung menyentuh perasaan dan pikiran tiap individu yang menikmatinya, membuat karya sastra memiliki daya sugesti yang cukup kuat untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan tiap pembacanya.
Jika kecendekiaan dipahami sebagai kualitas diri yang cerdik-pandai, peduli dan arif-bijaksana, maka kegiatan membaca karya sastra dapat ikut meningkatkan kualitas kecendekiaan tiap orang. Sebab, pada karya sastra, sebagai refleksi kehidupan, tersaji nilai-nilai moral dan estetika serta berbagai kearifan hidup yang teraktualisasi secara imajinatif melalui bahasa sastra yang menarik dan inspiratif. Sastrawan seperti Taufiq Ismail dan Kuntowijoyo, misalnya, meyakini bahwa tokoh masyarakat yang banyak membaca karya sastra akan lebih arif dan bijaksana dibanding yang jauh dari karya sastra. Karena itulah, Taufiq berjuang keras agar siswa, dan kaum terpelajar bangsa ini, benar-benar melek sastra. Sementara, Kuntowijoyo, menggagas pentingnya dikembangan sastra profetik, yakni sastra yang membawa misi kenabian, atau sastra yang mencerahkan.
Lebih dari itu, kalangan pragmatik meyakini bahwa karya sastra mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik. Dalam bahasa media, karya sastra mampu membangun semacam opini publik. Jika bangunan opini publik itu menguat dan meluas, maka proses perubahan sosial akan dapat digerakkan. Orientasi penciptaan karya sastra, menurut Abrams (1981), memang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan non-literer. Dan, pandangan pragmatik itu sesuai dengan orientasi kedua Abram yang memandang karya sastra sebagai media untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya.
Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya. Pada orientasi keempat inilah prinsip seni untuk seni (lart pour lart) berkembang.
Pada orientasi kedua, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk membangun kesadaran politik tertentu, atau untuk mendorong munculnya kesadaran social baru, seperti novel Max Havelar karya Multatuli dan sajak-sajak kritik sosial Rendra. Dalam orientasi ini, sajak-sajak Rabendranat Tagore juga dipercayai ikut mendorong semangat patriotisme kaum terpelajar India untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Ingris. Sementara, sajak-sajak Kahlil Gibran ikut menyebarkan kearifan hidup bagi jutaan pembacanya di seluruh dunia. Karena itu, tidak berlebihan jika Mosye Dayan begitu takut pada sajak-sajak patriotik penyair Palestina, dan menangkapi penyair-penyair pejuang seperti Fatwa Tuqan. Seperti diyakini GL Morino, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik.
Dapat disebut juga sajak-sajak cinta tanah air Mohammad Yamin dan Ki Hajar Dewantara yang ikut memupuk rasa kebangsaan anak-anak muda generasi 1920-an dan 1930-an dan sangat mungkin menjadi salah satu sumber inrspirasi lahirnya Sumpah Pemuda. Sementara, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar, seperti Diponegoro, Kerawang-Bekasi, Kepada Bung Karno, ikut menyemangati generasi 1940-an untuk merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada ketiga sajak tersebut pesan Chairil begitu jelas bagi pembaca untuk memenangkan perjuangan dan mengisi kemerdekaan dengan kebermaknaan:
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah kini yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan, dan harapan. Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata.
Dari kacamata politik-kekuasaan, sajak-sajak patriotik Chairil Anwar sebenarnya sangat subversif terhadap kekuasaan penjajah Belanda, dan bisa lebih berbahaya dibanding slogan-slogan perjuangan. Seperti diyakini GL Morino tadi, sebuah sajak patriotik mampu merangsang seratus perbuatan heroik. Jika menyadari bahaya itu, barangkali Belanda sudah menangkap dan memenjarakan Chairil, sebagaimana militer Israel pada era Mosye Dayan yang menangkapi dan memenjarakan para penyair Palestina karena dianggap berbahaya. Mungkin juga tidak terlalu bergurau jika mendiang mantan presiden AS John F Kennedy pernah berujar, ‘’jika politik bengkok, maka puisi akan meluruskannya.’’
Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut menyumbang bagi peningkatan kualitas kecendekiaan pembacanya. Karya sastra yang melukiskan keindahan alam, misalnya, secara tidak langsung akan mengajak pembacanya untuk menghayati kebesaran Sang Pencipta. Begitu juga karya-karya sastra yang bersemangat melawan penindasan, dengan efektif akan mempengaruhi pikiran pembaca untuk bersikap sama. Demikian juga karya-karya sastra yang mengajarkan kearifan hidup, akan mengajak pembacanya untuk memiliki kearifan yang sama. Bahkan, ada pendapat bahwa para novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karena, novelis mampu mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokoh novelnya sampai sedetil dan sedalam-dalamnya, termasuk kearifan sikap dan pemikirannya.
Dengan begitu, karya sastra tidak sekadar mampu merefleksikan realitas diri (batin) pengarang dan masyarakatnya, tapi juga dapat menjadi salah satu sumber inspirasi, pencerahan, sekaligus agen perubahan sosial. Di sini pula pentingnya kaum terpelajar membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra yang mencerahkan guna meningkatkan kualitas kecendekiaannya agar dapat mengambil bagian lebih besar dalam ikut membawa bangsanya ke arah keadaan sosial, politik, dan budaya, yang lebih baik.
Jika disarikan dan disederhanakan, maka karya sastra setidaknya memiliki 10 fungsi bagi kehidupan. Pertama, fungsi cultural, karena karya sastra dapat menjadi media pewarisan nilai-nilai dan kekayaan budaya masyarakat sekaligus meninggikan harkat kebudayaan suatu bangsa. Kedua, fungsi estetis karena karya satra memiliki unsur-unsur dan nilai-nilai keindahan yang dapat meningkatkan rasa keindahan (sence of aesthetic) pembacanya. Ketiga, fungsi didaktis karena karya sastra mengandung potensi yang bersifat mendidik dan mengandung unsur kebaikan serta kebenaran. Keempat, fungsi moralitas karena karya sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah.
Kelima, fungsi religius karena karya sastra mampu memberikan pesan-pesan religius kepada para pembacanya. Keenam,fungsi inspiratif, karena karya sastra yang baik dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya untuk menghasilkan karya baru, pemikiran baru, dan bahkan mendorong proses perubahan. Ketujuh, fungsi psikologis, karena karya sastra dapat membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Karya sastra dapat menjadi media pelepasan atau katarsis. Kedelapan, fungsi humanis, karena karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan kepada pembacanya. Kesembilan, fungsi penyadaran dan pencerahan, karena karya sastra dapat menjadi media penyadaran dan pencerahan hati nurani dan intelektualitas pembacanya. Dan, kesepuluh, fungsi rekreatif, karena karya sastra mengandung unsur-unsur yang menyenangkan pembacanya.
Dengan mewariskan fungsi-fungsi sastra itu kepada siswa melalui pengajaran sastra, maka pengajaran sastra akan ikut berperan dalam membentuk karakter yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.
Membangun sikap apresiatif
Membangun sikap apresiatif siswa pada sastra pada dasarnya adalah membangun minat atau rasa cinta siswa pada karya sastra, dan inilah tujuan terpenting pengajaran sastra. Apresiasi -- berasal dari bahasa Inggris appreciation – adalah penghargaan yang didasarkan pada pemahaman. Menurut Leksikon Sastra Indonesia, apresiasi sastra adalah kemampuan untuk memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra. Dengan demikian, di dalam kegiatan apresiasi sastra diperlukan kemampuan untuk menikmati, menilai, menghargai, dan mencintai karya sastra.
Apresiasi sastra akan berjalan baik jika didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra. Minat, menurut KBBI Daring , adalah kecenderungan hati yang tinggi atau gairah terhadap sesuatu. Maka, ‘minat pada sastra’ dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi (gairah) pada sastra, yakni seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menggauli sastra, baik mencipta maupun sekadar menikmatinya sebagai rekreasi batin. Seseorang yang meminati sastra akan merasa hampa jika dalam waktu tertentu tidak bersentuhan dengan sastra, dan karena itu ia akan selalu rindu untuk membaca karya sastra.
Sebaliknya, seseorang yang tidak meminati sastra, tidak akan terdorong untuk membaca, dan apalagi mencipta, karya sastra. Orang yang demikian, umumnya memiliki apresiasi sastra yang rendah, bahkan banyak yang tidak memiliki apresiasi sama sekali. Jika karakter yang demikian ada pada siswa, atau sebagian besar siswa, maka kita akan berhadapan dengan para siswa yang sulit untuk diajak mengapresiasi karya sastra, apalagi belajar menciptanya Rendahnya minat siswa pada sastra itulah sebenarnya tantangan utama pengajaran sastra di sekolah, tantangan yang pertama-tama dihadapi oleh guru sastra, selain hambatan kurikulum dan sistem pengajaran sastra, kurangnya buku-buku sastra di perpustakaan sekolah, rendahnya kualitas buku pelajaran sastra, dan rendahnya kualitas sang guru sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa yang namanya minat seseorang, termasuk minat pada karya sastra, tidak dapat dipaksakan. Karena, minat datang dari dalam hati. Begitu juga minat siswa pada sastra, tidak dapat dipaksanakan. Pendapat tersebut memang ada benarnya, tetapi bukan harga mati. Sebab, minat seseorang, seperti halnya selera, dapat dibangun secara pelan-pelan tapi pasti. Begitu juga minat siswa pada sastra, dapat dibangun melalui praktek pengajaran sastra yang benar dengan menciptakan situasi pengajaran yang mampu mendorong siswa pelan-pelan meminati karya sastra.
Langkah pertama, adalah menciptakan suasana belajar-mengajar yang menarik dan menyenangkan agar siswa merasa enjoy di dalamnya, atau dapat menikmati proses belajar sastra dengan menyenangkan. Penciptaan situasi yang demikian ini menuntut kreativitas guru dalam mengajar, dan tidak bias hanya bertumpu pada cara mengajar yang konvensional di depan kelas. Cara-cara sebagai berikut dapat dipertimbangkan:
1. Mengajak siswa ke luar kelas, ke taman atau kebun terdekat. Cara ini dapat dicoba untuk mengajar menulis puisi. Dalam belajar menulis puisi, para siswa dapat diperkenalkan dengan berbagai fenomena alam yang puitis, seperti gerak daun jatuh, desir suara angin, bunga yang mekar, burung yang bermain-main di dahan, atau kepak sayap kupu-kupu yang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lainnya. Siswa diminta untk menuliskan fenomena alam itu dengan baris-baris kalimat yang puitis.
2. Belajar di luar ruang juga dapat dipilih untuk mengajarkan menulis cerpen, misalnya ke kantin, taman, kebun, atau pinggir jalan. Siswa dapat diminta mengamati dan memilih satu potret kehidupan yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak penyemir sepatu, lalu diminta membayangkan anak itu rajin bekerja untuk mengumpulkan uang guna pengobatan ibunya yang sakit di rumah. Nah, siswa diminta mengembangkan imajinasinya ini menjadi sebuah cerita pendek.
3. Dalam mengajarkan apresiasi sastra, misalnya membahas puisi, cerpen atau novel, bias saja siswa diajak ke suatu tempat untuk mendiskusikannya secara santai dan terbuka. Untuk cerpen dan novel, tentu siswa perlu membacanya dulu di rumah. Jika ingin tetap di dalam kelas, tentu guru perlu menciptakan suasana diskusi yang menyenangkan dan membuat anak berani berbicara.
4. Dalam mengajarkan membaca puisi, berbagai cara dapat dipilih. Misalnya, menayangkan dulu video penyair terkenal sedang membaca puisi, menghadirkan deklamator terkenal ke depan kelas, atau menyiasatinya dengan berbagai model penyajian puisi yang langsung melibatkan anak, seperti membaca puisi secara kolektif dan musikalisasi puisi, yang dapat membuat anak gembira.
5. Setelah sesi-sesi di atas masing-masing dilalui, barulah siswa dikumpulkan di dalam kelas, diberi pengetahuan sastra yang sesuai dengan masing-masing sesi tersebut di atas. Dari sini, pengetahuan sastra anak dapat diperluas ke teori dan sejarah sastra yang diperlukan.
Langkah kedua adalah memberi penghargaan pada siswa yang unggul dalam pelajaran sastra. Misalnya, memberi hadiah buku sastra pada siswa yang puisi atau cerpennya dinilai terbaik, juga pada siswa yang membaca puisi atau cerpennya dinilai paling bagus, serta pada siswa pembahasan atau pendapatnya paling pas saat membahas karya sastra. Nah, akan lebih seru lagi kalau dalam memilih yang terbaik itu melibatkan seluruh siswa. Misalnya, semua puisi siswa ditempel pada papan tulis dan semua siswa ikut menilainya.
Tapi, dalam menilai pembacaan puisi, tentu akan menghadapi problem waktu. Hal ini dapat diatasi dengan mengelompokkan siswa, misalnya ke dalam lima kelompok, dan masing-masing kelompok memilih seorang siswa wakilnya untuk beradu baca puisi dengan wakil kelompok lain. Dengan cara demikian, suasana bermain yang menyenangkan akan tercipta tanpa melupakan pokok pelajaran sastranya. Jadi, semi belajar sambil bermain.
Langkah ketiga adalah menyediakan ruang berekspresi bagi siswa yang berbakat di bidang sastra. Misalnya, menyediakan majalah dinding atau majalah sekolah untuk menampung karya-karya siswa, baik puisi, cerpen, esei, maupun resensi, dan yang karyanya dimuat mendapatkan hadiah buku sastra. Perlu juga diadakan lomba baca puisi tengah tahunan (menjelang libur atau awal liburan) untuk mendorong minat siswa dan menemukan bakat siswa dalam baca puisi.
Langkah berikutnya adalah meyakinkan pada siswa bahwa sastra itu penting untuk diapresiasi, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai positif yang penting diketahui dan dihayati oleh siswa. Yakinkan, bahwa manusia yang berbudaya adalah manusia yang cinta sastra, maka jika ingin dianggap manusia berbudaya, cintailah sastra dan bacalah karya-karya sastra. Yakinkan pula bagi yang berbakat menulis puisi atau cerpen agar terus menekuninya sebagai hobi yang positif, yang akan sangat bermanfaat dan member nilai plus bagi mereka kelak.
Selama ini, tampaknya pengajaran sastra di sekolah berlangsung kurang menarik, sehingga kurang mampu menumbuhkan minat siswa untuk mengikutinya dengan sungguh-sungguh. Mereka umumnya mengikuti pelajaran sastra ‘karena terpaksa’ hanya demi absensi. Pelajaran sastra juga cenderung dianggap sebagai momok, karena sulit, tapi tidak penting karena hasilnya tidak tercantum pada nilai rapor. Pelajaran sastra hanya merupakan bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, dan jika dipersentase nilai pelajaran sastra hanya menyumbang tidak sampai 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase lain disumbang oleh nilai keterampilan membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, tata bahasa, dan pengetahuan kebahasaan lainnya. Kecilnya persentase sumbangan nilai pelajaran sastra itu menjadi salah satu penyebab kurang bersungguh-sungguhnya siswa dalam mengikuti pelajaran sastra serta guru dalam mengajar apresiasi sastra.
Idealnya, seperti pernah diusulkan oleh Taufiq Ismail dan banyak sastrawan lain, pelajaran apresiasi sastra Indonesia dipisahkan dari pelajaran bahasa Indonesia, berdiri sendiri dan hasil prestasi belajar sastra siswa terwujud sebagai nilai tersendiri pada rapornya. Tetapi, ini memerlukan langkah besar yang dimulai dari kebijakan pemerintah pusat, yang memerlukan proses politik yang panjang. Karena itu, dari pada terus menerus ‘menunggu godot’ lebih baik kita mulai dari langkah-langkah kecil seperti di atas.
Indikator terpenting adanya sikap apresiatif terhadap karya sastra adalah adanya minat baca yang tinggi terhadap karya sastra. Karya-karya sastra dikonsumsi dengan baik oleh masyarakat luas dan terjual dengan baik di toko-toko buku. Perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan karya sastra juga banyak dikunjungi peminat untuk membaca karya-karya tersebut. Karya-karya sastra yang menarik tidak menumpuk lama di toko buku atau lapuk di gudang penerbit. Sistem industri karya sastra berputar dengan sehat dan memberikan kesejahteraan yang sepadan bagi para pencipta karya sastra.
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat. Keluaran (out put) pengajaran sastra yang berhasil adalah minat baca yang tinggi dan kemampuan yang memadai untuk mengapresiasi karya sastra. Begitu lulus dari lembaga pendidikan tingkat menengah, mereka mencintai karya sastra dan ingin terus menikmati karya-karya sastra yang berkualitas dengan membeli buku-buku sastra. Jika setelah lulus, minat baca mereka tetap rendah dan tidak bersikap apresiatif terhadap karya sastra, berarti pengajaran sastra di sekolah telah gagal.
Memisahkan pengajaran sastra
Persoalan utama yang hingga kini masih menghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolah menengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra pada pengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastra hanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran bahasa – aspek-aspek lainnya adalah keterampilan membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan tata bahasa. Posisi melekat itu juga masih bertahan pada era Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan juga sekarang pada era KTSP – yang di Jawa sering diplesetkan menjadi kurikulum terapno sak penake dewe.
Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.
Prestasi siswa dalam pengajaran sastra, yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadi bagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.
Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan.
Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Godot (tokoh absurd dalam drama Waiting for Godot karya Samuel Beckett). Kita tidak tahu kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas), dirumuskan oleh penyusun kurikulum, dan dilaksanakan di sekolah. Wacana pemisahan itu sudah sering muncul sejak tahun 1980-an, tapi timbul tenggelam seperti suara siaran radio yang diterbangkan angin, atau bahkan seperti teriakan di tengah padang pasir.
Dalam posisi yang masih menyatu dengan pelajaran bahasa, pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada minat dan kreativitas serta kesungguhan guru bahasanya. Karena itu, sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra, dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal, dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa.***
Jakarta, Februari 2011
Daftar Pustaka:
1. Abrams, MH, A Glossary of Literary Lamps, Holt Rinehart and Winston, New York, 1981.
2. Hasanuddin WS, Prof. Dr., dkk., Leksikon Sastra Indonesia, Titian Ilmu, Bandung, cetakan kedua, 2008.
3. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menyoal Pengajaran Seni dan Sastra di Sekolah”, makalah untuk Talk Show Pengajaran Seni dan Sastra dalam Tangerang Art Festival 2005.
4. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Puisi dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Penulisan Puisi bagi Guru SMU, Pusat Bahasa, Jakarta, 2006.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Menulis Cerpen dengan Gampang”, makalah untuk Diklat Menulis Cerpen bagi Guru SMU, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 2006.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, “Mengajarkan Apresiasi Sastra dengan Benar”, makalah untuk Diklat Pengajaran Apresiasi Sastra, Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta, 2006.
7. Hatikah, Tika, dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia, Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2005.
8. Kurniawati, Diyan, dkk, Bahasa Indonesia, Intan Pariwara, Solo, 2003.
9. Sukartinah, Dra., N, Bahasa dan Sastra Indonesia, untuk SMU Semester I, CV Thursina, Bandung, cetakan kedua, 2003.
10. Rendra, “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”, teks pidato saat menerima gelar Doktor Honoris Causa, di UGM, 4 Maret 2008.
11. Berbagai artikel di internet tentang pengembangan pengajaran sastra berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP).
Ahmadun Yosi Herfanda: Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional Sastra Indonesia, Pasca-Sarjana Universitas Gunungjati, Cirebon, 19 Februari 2011.
Salam sastra
BalasHapus