LEDAKAN DI RUMAH EMAK

LEDAKAN DI RUMAH EMAK

Telepon bedering ketika aku sudah akan mengunci pintu kamar untuk berlari ke jalan raya mencari taksi. Aku bangun agak terlambat, sehingga harus buru-buru ke kantor untuk menghindari ocehan kepala bagianku yang cerewet. Dan, suara di telepon itu benar-benar membuatku sangat panik….

''Elyah, ini Emak. Pulanglah sekarang juga! Ada yang....'' suara Emak di seberang, tapi tiba-tiba terputus oleh suara ledakan, ''blaaarrr!!!'' keras sekali hingga gagang teleponku terasa ikut bergetar, kemudian terdengar jeritan Emak, ''Allahu Akbar!'' dan telepon terputus.

''Emak, Emaaaak! Apa yang terjadi?! Emaaak!'' teriakku. ''Emak! Emaaak!'' tak ada jawaban, kecuali suara ''tut tut tut....'' Aku buru-buru meletakkan gagang telepon, lalu kuangkat lagi, dan kuputar nomor rumah Emak, 0651-773679, tak ada jawaban, kecuali suara mesin otomatis dari Telkom, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan, untuk sementara tidak dapat dihubungi.''

Kuletakkan lagi gagang telepon, kuangkat lagi, kuputar lagi nomor itu, berulang-ulang, tapi yang terdengar tetap jawaban mesin yang sama. Aku menjadi sangat panik. Apa yang terjadi dengan Emak? Apakah rumah Emak terkena mortir, atau lemparan granat tentara? Atau bom rakitan GAM? Dan Emak jadi korban? Ya Allah, apa yang menimpa Emak sepagi ini? Ya Allah, selamatkanlah Emak!

Aku benar-benar merasa sangat cemas. Aku ingat, dua hari yang lalu terjadi kontak senjata antara GAM dan TNI di ujung kampung, tak jauh dari rumah Emak. Tiga hari sebelumnya, rumah Emak juga sempat digeledah oleh tentara karena dicurigai menjadi tempat persembunyian anggota GAM. ''Semua kamar diobrak-abrik sama anggota. Juga kamar Kakak. Emak diseret ke markas tentara, diinterogasi selama tiga jam, bahkan sempat dipukuli sampai wajah Emak biru-biru. Tapi dilepaskan lagi,'' cerita adikku lewat telepon dua malam yang lalu.

Apakah Emak akan senasib dengan Ayah yang tewas secara misterius sebulan lalu? Jasad Ayah, juga kata adikku lewat telepon, ditemukan di pinggir jembatan dengan luka-luka bekas tusukan senjata tajam di leher, dan dadanya robek. ''Ngeri sekali, Kak, kami semua jadi takut!'' kata Cut Khasanah, adikku itu.
Keesokan harinya kubaca di koran Jakarta, ayahku tewas akibat penganiayaan berat. Jelasnya, ayahku menjadi korban pembunuhan -- salah satu korban dari tujuh korban 'pembunuhan misterius' yang ditemukan pada pekan itu. Emakku, juga aku, sangat terpukul atas kejadian itu. Apalagi, sehari setelah itu, Emak diseret ke bukit di belakang rumah oleh tiga orang bertopeng dan nyaris diperkosa. Untung, aparat kemanan yang sedang patroli, bersama beberapa tetanggku, berhasil memburu dan menyelamatkannya. Orang-orang bertopeng itu menghilang dan Emak ditemukan terkapar pingsan di jalan setapak dengan pakaian robek-robek nyaris telanjang.

Emakku kini harus menjanda dengan empat anak, dan mengalami tekanan psikologis yang sangat berat berat. Sering mimpi buruk dan menjerit-jerit sendiri di tengah tidurnya. Hidup kami juga menjadi tidak tenang, seperti terus diintai oleh tangan-tangan maut yang entah berasal dari mana. Rumah emak dijaga ketat oleh tentara, dan Tjut Khasanah – satu-satunya adik perempuanku – diungsikan ke rumah saudara Ayah di Banda Aceh. Sedang aku sendiri menjadi takut pulang, dan hidup penuh was-was di Jakarta. Tapi, siapa pembunuh ayahku? Siapa tiga orang bertopeng yang nyaris memperkosa dan membunuh Emak? Polisi belum dapat menyingkapnya dengan jelas. Apalagi menangkap mereka.
                ***

Berlarutnya konflik di Serambi Mekah memang membuat 'negeri Fansuri' -- tempat kami lahir dan dibesarkan -- seperti menjadi rimba tak bertuan dan tanpa hukum yang pasti. Orang seakan dengan gampang dapat membunuh siapa saja atas nama apa saja. Tentara dengan gampang dapat melenyapkan seseorang atau sekelompok orang atas nama tugas negara, sementara mereka yang mengaku GAM -- dan dicap sebagai GPK oleh tentara -- tiap saat juga dapat mencabut nyawa siapa saja atas nama cita-cita dan kebebasan.

Dan, dua tahun terakhir ini keluargaku – terutama ayah dan emakku -- terjepit di antara dua tudingan yang memojokkan sekaligus membingungkan di tengah pertarungan dua kepentingan itu. Pihak tentara mencurigai ayahku sebagai aktivis GAM, tapi pihak GAM menuding ayahku sebagai mata-mata tentara. Kami sendiri, sekeluarga, tidak tahu mana yang benar. Yang kami tahu, ayah adalah seorang alumnus sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Ia seorang ustad yang saleh sekaligus petani yang sukses.

Tiap hari ayah pergi mengontrol ladang, menyetor hasil panen ke pasar, atau mencari bibit unggul di dinas pertanian. Sebelum Magrib Ayah biasanya sudah berada di rumah, mengimami mushalla di sebelah rumah kami, mengajar mengaji sampai waktu Isya tiba, dan selebihnya Ayah lebih banyak di rumah bersama kami. Begitu juga Emak, seorang santriwati yang dinikahi Ayah sebelum menyelesaikan pendidikan aliyah-nya di Banda Aceh, juga hanyalah seorang guru mengaji. Emak mengajar membaca Alquran pada anak-anak kampung tiap sehabis shalat Azhar di beranda rumah kami.

Jadi, apa kesalahan Ayah? Apa pula kesalahan Emak? Siapa pembunuh Ayah? Dan, siapa pula tiga lelaki bertopeng yang menculik dan mencoba memperkosa dan membunuh Emak? Dari pihak mana pembunuh itu, TNI atau GAM? Setan-setan atau hantu-hantu teroris dari mana mereka? Ataukah mereka dari kelompok – entah siapa otak di balik mereka – yang sengaja ingin memperkeruh keadaan untuk kepentingan tertentu? Atau, Ayah dan Emak hanya menjadi korban fitnah dan salah sasaran? Tidak ada jawaban yang jelas sampai sekarang. Lalu, apa yang terjadi dengan Emak pagi ini? “Ya Allah, lindungi Emak, lindungi keluarga kami, dari tangan-tangan zalim, hindarkan dari nasib yang lebih mengerikan!”

Aku benar-benar merasa sangat cemas. ''Elyah, pulanglah sekarang juga!'' kembali terngiang suara Emak. Tidak biasanya Emak memintaku pulang dengan cara begitu. Pasti ada apa-apa dengan Emak. Kuputar lagi nomor telepon Emak, 0651-773679, kembali terdengar suara, ''Nomor yang Anda hubungi sedang dalam perbaikan....'' Kuputar nomor telepon tetangga, terdengar suara yang sama. Kuputar nomor tetangga yang lain, suara yang sama terdengar juga. Ya Allah, apa yang terjadi dengan rumah Emak, apa yang terjadi dengan rumah para tetangga, apa yang terjadi dengan kampung kami? ''Elyah, pulanglah sekarang juga!''

Ya, aku harus pulang sekarang juga. Itu keputusanku. Tapi, apa yang harus kukatakan pada kepala bagianku di kantor. Bagaimana alasan pamitku? Aku pasti tidak akan diijinkan pulang oleh atasanku, yang cerewet, jika tidak ada alasan jelas untuk mudik mendadak. Apalagi pekerjaanku sedang menumpuk. Apa aku harus mengatakan Emak tewas, atau sakit keras? Tapi, apa benar itu yang menimpa Emak, dan apa ia percaya? Ah, tak peduli. Aku akan pamit lewat telepon saja. Aku harus pulang sekarang juga. Aku harus tahu apa yang terjadi dengan Emak.

Aku melangkah lagi, tergesa ke tepi jalan raya. Kusetop taksi dan kuminta agak ngebut, namun bukan ke kantorku tapi ke terminal bus antarkota. Ya, hanya cara ini yang bisa kulakukan untuk pulang kampung dari Jakarta, mengingat gajiku yang masih pas-pasan untuk hidup membujang saja. Berarti aku masih harus memperpanjang kecemasanku sampai hampir dua hari lagi, sekitar tiga puluh lima jam lagi. Perasaanku pasti sangat tersiksa, tapi apa boleh buat!

Di terminal kubeli beberapa koran ibukota. Aku ingin tahu pergolakan macam apa lagi yang terjadi di dekat kampungku, dan berapa korban yang jatuh akibat pergolakan itu. Aku ingin mendapat jawaban sementara, apa sebenarnya yang menimpa Emak dan kampungku, dan apakah Emak menjadi korban peristiwa itu. Tapi, ah semoga tidak. Kalaupun ledakan tadi suara granat atau mortir, semoga Emak selamat, dan hanya sambungan teleponnya yang terputus. Kalaupun Emak akhirnya ditangkap oleh GAM atau tentara, semoga sebuah keajaiban melindunginya dan cepat dilepaskan kembali. Kami sangat mencintai Emak. Adik-adikku masih butuh dampingan Emak.

Kubuka lembar demi lembar koran yang kubeli, kubaca semua judul pada tiap halamannya. Aku ingin membaca Aceh. Ya, Aceh, ada berita apa lagi tentang Aceh hari ini. Benar. Beberapa peristiwa tentang konflik di Serambi Mekkah terpampang dengan judul-judul yang cukup mencolok, ''Tentara Serbu Markas GPK, 12 Tewas'', ''Tentara Lakukan Sweeping, 56 Warga Ditangkap'', ''Tentara Tembak Mati Tujuh GPK, Dua di Antaranya Perempuan''.

Ya Allah, tentara lagi, tentara lagi. Kenapa para anggota masih main tangkap dan main tembak. Katanya mereka takkan menggunakan kekuatan militer sesudah DOM dicabut? Sudah tiga bulan status DOM untuk Aceh dicabut, tapi anggota TNI masih main tangkap dan tembak. Apa tidak ada cara lain, yang lebih beradab, untuk menyelesaikan konflik di tanah kelahiranku itu? Kadang-kadang aku jadi benci dan muak pada TNI, bahkan pada penguasa negeri ini, penguasa yang telah menguras kekayaan Aceh, tapi tidak pernah mampu menciptakan suasana damai di sana, apalagi mensejahterakan rakyatnya! Aku kecewa berat pada TNI yang tidak kunjung berhasil meredam kekerasan di tanah kelahiranku. Aku kecewa berat pada pemerintah yang tidak pernah becus mengurus negeri ini. Aku kecewa berat pada GAM yang hanya menambah persoalan makin runyam. Ayahku tewas. Keluargaku terus-menerus diteror. Dan, kini Emak.... Apa yang terjadi dengan Emak?! ''Ya Allah, lindungilah Emak. Lindungilah keluarga kami!''
            ***

Entah sudah berapa ratus kalimat tanya, berapa ribu ungkapan kecewa, dan berapa juta suku kata kecemasan, yang berputar-putar di benakku, berkecamuk antara tidur dan jaga, antara kantuk dan doa, antara harapan dan keputusasaan, tahu-tahu bus sudah masuk sebuah garasi di Jambi dan semua penumpang diminta turun. Kami harus ganti bus. Bus ini harus masuk garasi untuk diservis dan ganti ban. ''Bus pengganti baru datang sekitar satu jam lagi,'' kata seorang kru bus.
Aku buru-buru turun dan langsung mencari Wartel. Kucoba lagi menelepon rumah. Masih tetap jawaban mesin otomatis dari Telkom. Kutelepon rumah kosku, barangkali ada telepon dan pesan dari Emak, atau dari adikku. Tidak ada telepon dari siapa-siapa, kata ibu kosku. Aku jadi makin khawatir dan cemas. Apa yang sebenarnya menimpa Emak? Di mana pula adik-adikku? Apa pula yang menimpa mereka?

Pukul delapan pagi ketika ledakan itu terjadi, adik-adikku pasti sudah berada di sekolah masing-masing. Tapi, sekarang sudah sore, dan mereka pasti sudah pulang dan tahu apa yang menimpa Emak. Kenapa mereka tidak meneleponku? Ataukah rumah Emak sudah dikepung tentara sejak pagi buta karena memang ada GAM yang diketahui lari ke sana, sehingga adik-adikku tidak dapat keluar dan ikut tewas dalam ledakan itu? ''Ya Allah, lindungilah mereka!''

Kecemasanku makin menjadi-jadi. Kucoba lagi menghubungi nomor-nomor telepon tetanggaku. Jawaban yang kudengar sama saja, dari mesin penjawab otomatis Telkom. Aku jadi yakin, pasti ada sesuatu yang luar biasa terjadi di kampungku, menimpa keluargaku, menimpa tetangga-tetanggaku. Tapi apa? Pertempuran hebat yang menghancurkan semuanya? Kebakaran? Bencana alam? Aku tidak tahu. Bisa jadi kampungku sengaja dibumihanguskan, entah oleh siapa dan atas perintah siapa. Dalam konflik Aceh yang makin runyam, apapun bisa terjadi, atas nama apa saja dan dengan alasan apa saja. Beberapa hari yang lalu, misalnya, beberapa rumah penduduk dibakar oleh tentara karena diyakini menjadi basis kegiatan GAM. Sementara, pada hari yang lain, seorang warga dibunuh – entah oleh siapa – setelah beredar isu bahwa dia mata-mata TNI.

Aku harus cepat-cepat sampai rumah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, jam berapa akan sampai kalau perjalanan tersendat-sendat begini. Dan, kenapa pula harus ganti bus dan masih harus menunggu lagi? Waktu rasanya berjalan lambat sekali, detik demi detik hanya menggelesot bagai seorang invalid. Makan pun aku sampai tersedak-sedak karena kegelisahan mengetuk-ngetuk seluruh syarafku. Begitu masuk bus lagi, aku langsung menelan pil anti mabuk agak berlebih agar tertidur -- teman pembunuh kebosananku dalam tiap menempuh perjalanan panjang. Aku menyerah pasrah pada sopir bus untuk membawaku ke Aceh, berapa jam pun dia mau. Karena toh percuma saja aku bercemas-cemas sendiri ingin cepat sampai kalau kemampuan lari bus tua ini hanya rata-rata 50 km perjam. Apalagi, banyak jalan rusak, naik turun dan berliku-liku.

Dan aku tidak tahu, berapa kali lagi bus harus beristirahat untuk memberi kesempatan makan pada penumpang, tahu-tahu aku dibangunkan oleh kru bus karena sudah sampai di terminal Banda Aceh. Aku langsung mencari taksi, dan yang kudapat mobil omprengan, untuk membawaku langsung ke rumah, tanpa peduli harus membayar berapa.

''Ada peristiwa apa di Blangkejren kemarin, Pak?'' tanyaku pada sopir. Aku tak sabar untuk segera tahu.

''Apa Cut belum dengar, ada banjir dan tanah longsor. Banyak yang tewas.''

Banjir? Tanah longsor? Dan banyak yang tewas?! Ada kecemasan baru yang kini menyeragpku. Jangan-jangan Emak dan adik-adikku ada dalam daftar korban tewas itu. ''Cepat bawa aku ke sana, Pak. Keluargaku ada di sana!''

Mengerikan sekali. Kampungku lenyap tertimbun tanah. Tinggal puing-puing, akar-akar pohon tumbang, dan balok-balok kayu yang bercuatan di atas lumpur. Ini lebih gawat dari ledakan granat atau bom rakitan. Bencana alam dapat menghancurkan apa saja dan membunuh siapa saja tanpa ampun, tanpa peringatan dan tanpa pertanyaan-pertanyaan lagi. Ya Allah, apa dosa kami sehingga Engkau mengazab kami dengan cara begitu? Di mana pula Emak dan adik-adikku?

''Cut Elyah, tabahkan hatimu. Rumahmu hancur tertimbun lumpur. Tapi, Emak dan adik-adikmu sudah ditemukan. Sekarang ada di rumah sakit,'' Pak Kepala Desa merangkulku begitu aku keluar dari mobil omprengan di ujung kampung. Rumah Emak memang berada di tepi jalan kabupaten, di lereng bukit yang agak gundul. Kulihat banyak tentara di situ. Orang-orang berseragam loreng itu menggali-gali dan mencari-cari korban yang masih tertimbun.

Aku kembali masuk ‘taksi gelap’ dan meluncur ke rumah sakit. Kutemukan Emakku terbaring dengan seluruh kaki dibalut perban. Tampak kedua adikku duduk menungguinya. Tapi di mana Cut Khasanah? ''Kak Elyah!'' teriak adik-adikku begitu melihat aku datang.

''Alhamdulillah, kalian selamat!''

''Ya, Kak, kami diungsikan tentara sebelum longsor terjadi.''

''Bagaimana Emak, di mana Adik Cut?''

''Kaki Emak patah, Kak, tertimpa tiang rumah. Emak juga diselamatkan tentara. Tapi, Kak Khasanah....''

''Elyah, syukurlah kau sudah tiba! Emak sengaja tidak meneleponmu. Emak khawatir akan mencemaskanmu dan mengganggu tugasmu di tempat kerja.''

''Lho, bukankah Emak kemarin pagi menelepon Elyah?''

''Bukan Emak yang menelepon.''

''Lalu siapa? Suaranya sangat mirip Emak, dan mengaku Emak. Elyah juga mendengar suara ledakan... dan jeritan Emak.''

''Ah, sudahlah, Elyah. Yang penting kau sudah tiba.''

''Di mana Adik Cut?''

''Dia… dia… tewas, Kak. Kak Khasanah tertimbun bersama Emak,'' kata adikku. Di matanya menggantung butiran air mata.

''Innalillahi...,'' aku tidak kuasa meneruskan ucapanku. Serasa ada yang lepas dari diriku. Tubuhku terasa limbung dan nyaris roboh. Seorang adik yang paling dekat denganku, telah direnggut oleh kekuasaan yang tidak dapat dilawan oleh siapapun. Adik terkecilku, Nur Rahmah, segera mendekapku.

“Tabahkan hatimu, Elyah, semuanya sudah kehendak Allah.” Emak mencoba menenangkanku!

Betulkah semua sudah kehendak Allah? Benakku masih bertanya-tanya. Enak sekali selama ini orang mengkambinghitamkan Tuhan tiap terjadi bencana. Padahal, sering manusia juga yang menjadi akar penyebabnya. Ya, aku ingat, bukit-bukit di atas kampungku rata-rata sudah gundul karena pohon-pohon besarnya ditebangi. Program penghijauan pun tidak berjalan karena dananya banyak dikorupsi. Ya, lagi-lagi aku harus menuding oknum-oknum penguasa yang tidak becus mengurus negeri ini.

Ketika banjir bandang melanda desa sebelah atas, kata Emak dengan mata berkaca-kaca, tentara sudah berusaha mengungsikan semua warga kampung, karena khawatir banjir serupa akan menerjang kampung kami. Kedua adik terkecilku ikut mengungsi lebih dulu dengan truk tentara, sedang Emak dan Cut Khasanah bermaksud mengemasi serta menyelamatkan barang-barang yang diperlukan.

Namun, persis pukul delapan pagi ketika telepon di rumah kosku berdering, tanah longsor menerjang rumah kami, mengubur Emak dan Cut Khasanah. Sebuah keajaiban menyelamatkan Emak, tapi Cut Khasanah tidak tertolong.

Satu anggota keluarga kami tewas lagi di Tanah Rencong. Tentu, kali ini aku tidak bisa menuding tantara sebagai penyebabnya. Tapi, siapa yang meneleponku pagi itu dan ledakan apa yang menghentikan suara di telepon itu? Mungkinkah itu suara Cut Khasanah? Dan, mungkinkah itu ledakan bom rakitan yang tersimpan di rumahku? Sampai aku kembali lagi ke Jakarta, sampai hari ini, aku tidak pernah tahu!

Kaliwungu, 17 Nov. 2001

*Cerpen ini telah dimuat di Majalah Horison edisi Agustus 2002 dengan judul “Ledakan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar