Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PUISI. Tampilkan semua postingan

DOA RINAI HUJAN

rintik hujan itulah
yang senantiasa menyampaikan
kasihmu padaku, dan ika-ikan
selalu mendoakan keselamatanku
jika kau tanya makna goyangku
goyangku zikir tersempurna
di antara para kekasih jiwa
angin mengusap bening air telaga
mengazaniku sujud ke pangkuannya
burung-burung itulah
yang selalu menyampaikan
salamku padamu, ketika angin senja
mengusap suntuk zikirku
jika kau tanya agamaku
agamaku agama keselamatan
jika kau tanya makna imanku
imanku iman kepasrahan
hidupku mengakar di jantung tuhan
sukma menyala menyibak kegelapan

pandanglah putik bungaku
nur muhammad mekar sepenuh jiwa
pandanglah daun-daunku
jari-jari tahiyat terucap
tiap akhir persembahan
zikirku zikir kemanunggalan
diri lebur ke dalam tuhan


Jakarta, 1998/2003.
Baca Lengkapnya....

CATATAN SENJA

DI negeri kota: singapura

senja rebah di atap tampenis plaza
langit mengatup, mendekap negeri kota
dalam remang cahaya. gerimis jatuh
dan kau tiba-tiba berkata,

– bergegaslah, hai, pengembara.
saat pemberangkatan segera tiba, ke negeri jauh
tempat sejarah melintas dan bermula.

dalam tergesa, aku jadi lupa
memungut dua helai rambutmu
yang tersisa di lipatan jendela plaza
(dengan mulut bau pizza, tadi sempat
kukecup keningmu di balik temboknya)

tak kuduga, harum parfummu terbawa juga
melintas benua, ke pelataran ayasophia
tapi, siapa aku mesti memanggilmu nanti
ketika langkahku sampai ke negerimu lagi
mei hwa, clara, atau aisah saja?

dalam dirimu, tionghoa, melayu, dan eropa
menyatu jadi bangsa yang begitu
menghargai makna kerja

Singapura, 1997/1999.
Baca Lengkapnya....

CATATAN SENJA DI JENDELA BUS KOTA

Selalu saja berkelebat bayangmu
Di antara kesiur angin, kepul asap dan debu
Tak ada bau parfum yang tersisa
Tak pula patahan helai rambutmu
Tapi di pojok jendela bus kota
Masih mekar juga senyum mawarmu

Kutahu, duniaku sekotor debu
Sehina ketombe yang sesekali mengusam
Pada kilau rambutmu
Tapi pada jantung sekecil debu
Ingin kubingkai luas cakrawala
Bagi kerling matamu

Pernahkah kau rasa juga
Semua yang kurindu?
Ah, kutahu, kutahu, ingatan itu
Telah terhapus jadwal rendesvous
Yang tak terjangkau sisa usiaku

Jakarta, Februari 2007.
Baca Lengkapnya....

CATATAN DINI HARI

:labuhan bilik, riau

Debur ombak dan goyang perahu
Bermain sendiri dalam sepi
Semua yang hidup tertidur
Melipat diri dalam mimpi

Bintang berkaca dalam sunyi
Sebait bulan yang menemaniku
Pun hendak undur diri

Bersama angin dini hari
Kucoba untuk bernyanyi
Mengirim rindu termanis
Sebelum bunuh diri

Bulan pun pergi
Dan perahu nelayan
Tak pernah kembali

Rokan Hilir, Maret 2007.
Baca Lengkapnya....

INDONESIA, AKU MASIH TETAP MENCINTAIMU

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang negara
Yang terus menumpuk jadi beban bangsa?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika
Dan IMF, rentenir kelas dunia itu,
Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu?

Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Jakarta, 1997/2008
Baca Lengkapnya....

DI BAWAH LANGIT MALAM


——— purworejo
kucium kening bulan
dalam sentuhan dingin angin malam
ayat-ayat tuhan pun tak pernah bosan
memutar planet-planet dalam keseimbangan
langit yang membentang
menenggelamkanku ke jagat dalam
kutemukan lagi ayat-ayat tuhan
inti segala kekuatan putaran
jagad yang menghampar
membawaku ke singgasana rahasia
pusat segala energi dan cahaya
membebaskan jiwa
dari penjara kefanaannya
kucium lagi kening bulan
engkau pun tersenyum
dalam penyerahan

1983

(diambil dari buku : SEMBAHYANG RUMPUTAN karya Ahmadun Y Herfanda, penerbit Bentang Budaya, cetakan pertama, Mei 1996)
Baca Lengkapnya....

Sastra Perlawanan dan Ideologi Penciptaan

Dunia kaum pekerja (buruh) yang tertindas masih penting untuk disuarakan, agar jeritan mereka didengar dan nasib mereka menjadi lebih baik. Salah satu media terpenting untuk menyuarakan dunia kaum pekerja itu adalah sastra, terutama puisi, yang di kalangan buruh pabrik Tangerang, Banten, kini nyaris menjadi ekspresi sehari-hari untuk menyuarakan hati nurani mereka.
Dengan orientasi penciptaan yang cenderung pragmatik, di kalangan buruh pabrik Tangerang, sastra telah cukup lama menjadi semacam ‘media perlawan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum pekerja. Para aktifis ‘pembela kaum buruh’ seperti Wowok Hesti Prabowo dan Mahdi Duri (keduanya juga dikenal sebagai penyair buruh) berhasil memobilisasi cukup banyak buruh pabrik yang berbakat menulis puisi untuk memanfaatkan karya-karya mereka sebagai ‘media perlawanan’ itu.

Pemanfaatan puisi sebagai ‘media perlawanan’ tampak sekali, misalnya pada sajak-sajak Husnul Khuluqi — penyair buruh Tangerang terpenting saat ini. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Romansa Pemintal Benang (Komite Sastra Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia, 2006), dapat disebut sebagai contoh.

Berbeda dengan sajak-sajak para penyair buruh Tangerang pendahulunya, seperti Dingu Rilesta dan Wowok Hesti Prabowo — misalnya dalam Buruh Gugat (Wowok, 1998) yang rata-rata kurang berhasil mengemas ‘sajak-sajak buruh’ mereka secara apik — sajak-sajak Husnul Khuluqi memperlihatkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan. Tipografinya tertata rapi, dengan bait-bait dan baris-baris sajak yang teratur, dengan imaji-imaji yang lugas dan sederhana tapi utuh, serta dengan irama bahasa yang terjaga.

Sebagai bagian dari gerakan sastra buruh, orientasi pragmatik sajak-sajak Husnul Khuluqi memang terasa sangat kuat. Sajak (karya sastra) cenderung dianggap sebagai media untuk mencapai tujuan non-literer tertentu, misalnya, sebagai sarana penyadaran dan pendorong perubahan sosial di kalangan kaum buruh. Tapi, ia dapat mengimbangi tujuan pragmatik itu dengan orientasi estetik yang cukup kuat pula. Sehingga, meskipun kritiknya terhadap kaum majikan begitu tajam dan potretnya tentang nasib kaum buruh begitu mencekam, ia tetap dapat mengemasnya dalam sajak-sajak yang indah. Sajak-sajak Husnul dapat disejajarkan dengan sajak-sajak Jumari HS, tokoh ‘penyair buruh’ dari Kudus, yang juga menampakkan pencapaian estetik yang cukup mengesankan.

Dua kutipan sajak Husnul berikut ini, sebagai contoh, sederhana sekali, tapi sangat tajam dan mengesankan. Potret buruh yang tidak berdaya dalam tekanan kaum majikan (juragan) yang ‘mengusir’ Tuhan dari pabrik:

sering kurindu tuhan
dalam galau perasaan
tapi wajah juragan yang kutemukan
yang selalu menatap dingin
sedingin bebatuan
di dasar kali

(Sajak Di Pabrik, Wajah Tuhan Diganti Juragan)

Kalangan pragmatik — yang lebih memandang karya sastra dari sisi manfaat non-literernya — berkeyanikan bahwa karya sastra tidak hanya dapat memberikan pencerahan nurani dan intelektualitas pembacanya. Lebih dari itu, karya sastra juga diyakini mampu membangun suatu kesadaran sosial untuk mendorong terjadinya proses perubahan masyarakat dari kondisi buruk ke kondisi yang lebih baik.

Secara teoritis, orientasi pragmatik itu dapat dirujukkan pada pemikiran Abrams (1981) tentang orientasi penciptaan. Berdasarkan tujuan penciptaannya, Abrams mengelompokkan karya sastra ke dalam empat orientasi. Pertama, karya sastra sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Kedua, karya sastra sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan tertentu pada pembacanya. Ketiga, karya sastra sebagai pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawannya. Dan, keempat, karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari alam sekeliling, pembaca maupun pengarangnya.

Pada ‘orientasi kedua’ Abram tersebut, karya sastra dipandang sebagai media untuk tujuan-tujuan yang cenderung pragmatis. Misalnya saja, sastra untuk sosialisasi ajaran agama (sastra dakwah), sastra untuk penyadaran dan pendorong perbaikan nasib buruh (sastra buruh), atau sastra untuk membangun ideologi politik tertentu (sastra realisme sosial). Jika ‘sastra seksual’ seperti karya-karya Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu dengan sengaja memang ditulis untuk membongkar nilai-nilai moral, dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang liberal, sebenarnya dapat juga ditempatkan pada orientasi pragmatik itu.

Sebenarnya, apapun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, ia akan memiliki kemampuan tersembunyi (subversif) untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran, dan karena itu dapat ikut mendorong terjadinya proses perubahan, baik yang bersifat pencerahan, pembongkaran nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru, atau sebaliknya mempertahankan nilai-nilai lama itu dari gempuran nilai-nilai baru yang dianggap sebagai ancaman sehingga muncul semacam ‘konservatisme dalam sastra’.

Kenyataannya, selalu terjadi dialektika antara nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai-nilai yang ditawarkan karya sastra. Ketika masyarakat dianggap berada dalam ‘peradaban jahiliyah’ misalnya, maka munculnya sastra religius, termasuk sastra sufistik dan sastra Islami, akan dianggap menawarkan pencerahan untuk menyelamatkan masyarakat dari kehancuran moral. Ketika masyarakat dianggap berada dalam sikap konservatif yang cenderung jumud, maka karya sastra yang bersemangat membongkar nilai-nilai akan dianggap menawarkan pembaruan. Sebaliknya, karya sastra yang bersemangat membela kemapanan itu akan dianggap mendukung establishment.

Dalam situasi yang dialogis seperti itu, kadang-kadang kebenaran nilai tematik (isi) karya sastra menjadi relatif, tergantung di mana karya itu diposisikan dan peradaban masyarakat seperti apa yang dicita-citakan bersama. Bagi kaum Marxis (Lekra), misalnya, kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk membela politik kekuasaan dan ideologi Marxis, dengan semangat pertentangan kelas yang tajam.

Sebaliknya, bagi kaum Manifes (pendukung Manifes Kebudayaan) kebenaran karya sastra dilihat dari komitmennya untuk menyuarakan masalah-masalah kemanusiaan yang bersifat universal, sehingga bersifat lebih plural dan fleksibel dalam menyuarakan kebenaran. Kebenaran nilai karya sastra baru menjadi mutlak ketika sang pengarang menempatkan karyanya dalam sekat kepercayaan atau keberagaman secara tertutup (eksklusif), sehingga muncul apa yang disebut ‘sastra hitam putih’.

Dalam kasus sajak-sajak para ‘penyair buruh’ seperti Husnul, Wowok, Mahdi dan Dingu, yang sering terasa adalah ‘semangat perlawanan’ terhadap penindasan dan ketidakadilan yang menimpa kaum buruh. Buruh, di mata mereka, adalah kaum yang tertindas. Sedangkan majikan adalah penindas yang harus dilawan. Di mata mereka, kaum pekerja selalu berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya, selalu dikalahkan, dan bahkan dikorbankan untuk kepentingan kaum kapitalis (pemilik modal).

Terlihat ada semacam simplifikasi terhadap kondisi buruh dan perilaku majikan, yang tentu tidak selalu pas untuk semua kondisi perburuhan di Indonesia. Meskipun kaum buruh Indonesia umumnya masih tertindas dengan gaji kecil dan jaminan sosial yang kurang memadai, sudah banyak juga pekerja yang hidup sejahtera dan majikan yang adil serta bijaksana.

Pada salah satu sajaknya, Husnul Khuluqi bahkan mengibaratkan kaum buruh sebagai ‘kayu kering’ yang harus rela dibakar (dikorbankan) agar cerobong asap pabrik terus berasap — agar pabrik terus dapat beroperasi dan kaum majikan (kapitalis) dapat mengeruk keuntungan dari pengorbanan kaum buruh (pekerja):

di bawah cerobong asap, bertahun kita hanya
menemukan jejak-jejak hitam, catatan kelam, dan
luka menahun yang menggumpal di lorong-lorong
ingatan, mengekal di antara napas yang penuh sengal
di sini, ya di sini, kita hanya setumpuk kayu
api kering yang mesti rela dibakar agar cerobong
cerobong kekar itu terus menyemburkan asap, dan
kita akan mati dengan nasib yang sehitam arang
(Sajak Di Bawah Cerobong Asap, Kita hanya Kayu Kering)

Dengan sikap dan orientasi penciptaan seperti itu, sering tercium aroma ‘pertentangan kelas’ — kelas buruh dan kelas majikan — pada sajak-sajak penyair buruh yang realis-sosialistik itu. Tetapi, tentu, tidak setiap pembelaan terhadap kaum tertindas, tidak setiap perlawanan terhadap ketidakadilan, harus dikaitkan dengan ideologi Marxis. Sebab, masalah penindasan dan ketidakadilan sebenarnya juga menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Semua agama juga mengajarkan pembelaan (kepedulian) kepada kaum yang lemah dan tertindas. Islam, misalnya, mengajarkan persamaan derajat manusia, sehingga sangat menentang perbudakan, penindasan dan berbagai bentuk ketidakadilan.

Kuatnya sajak-sajak pembelaan terhadap nasib buruh dalam buku Husnul itu makin mengukuhkan posisi para penyair buruh di Indonesia pada umumnya ke dalam barisan ‘penyair pragmatik’ ataumeminjam istilah Ariel heryanto ‘penyair yang terlibat’. Karya sastra tidak sekadar diniatkan sebagai seni berbahasa, tapi juga sebagai media kesaksian, media penyadaran, media pencerahan, bagi pembacanya.
Baca Lengkapnya....

NYANYIAN SENJA SEORANG PENCINTA

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup tanah dan batu-batu
menumbuhkan pohonan di tamanmu
putik bunga pun bertemu benihku
membuahkan cintamu

jika kau haus, minumlah jiwaku
jika tubuhmu berdaki
mandilah dalam kasihku
ikan-ikan bahagia dalam asuhanku
kafilah gembira menemuku

tiadalah arti hidup jika sekadar hidup
tiadalah arti mati jika sekadar mati
jika hidup tiada sebatas hidup
jika mati pun tiada sebatas mati
(jika tak takut hidup jiwa pun tak takut mati
karena dalam mati jiwa menemu hidup sejati)

jika aku mati, luluhlah bagai air
menyusup akar belukar dan pohonan
katak-katak bahagia dalam sejukku
teratai pun tersenyum
dalam ayunan jiwaku

tiada makna hidup
jika tiada menghidupi
tiada nikmat hidup
jika tiada memberi arti
– jika engkau pelaut
layarkan perahumu
pada keluasan hatiku!

Yogyakarta, 1984/2007.
Baca Lengkapnya....

SAJAK EMBUN

hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu

siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau

hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
– ya allah, ampuni adaku padamu!

Yogyakarta, 1990/2007.
Baca Lengkapnya....

JALAN RINDU

Di jalan manakah engkau kini menunggu
Kekasih. Begitu panjang jalan kutempuh
Tapi, tak sampai-sampai juga padamu

Berapa abad lagi aku mesti
Menahan nyeri hati tanpamu
Kutanggung sendiri berwindu rindu
Kutahan sendiri sepi tanpamu

Di manakah kini engkau menunggu
Kekasih. Setelah kutinggal khianat tanpamu
Tak tahu lagi kini alamat bagi rinduku
Masih terbukakah pintu untuk kembali
Ke satu cinta hanya padamu?

Jakarta, 2007.
Baca Lengkapnya....

AYAT-AYAT ALAM

berabad-abad wajah tuhan bertaburan
jadi ayat-ayat alam yang berserak pada batu-batu
tiap perciknya menjelma wajah yang berbeda
berabad-abad wajah tuhan bertaburan
dalam serpihan cinta sekaligus sengketa

berabad-abad pula adam gelisah
mencoba menyatukan wajah tuhan
dalam gambaran seutuhnya. namun
selalu sia-sia ia. sebab, tuhan lebih suka
hadir dalam keelokan yang beraneka

pada keelokan pohon dan keindahan batu
pada keperkasaan ombak dan kediaman gunung
pada wajah suci seorang bayi dan hangat matahari
dan pada wajah manis seorang istri
tuhan hadir dalam senyum abadi

berabad-abad wajah tuhan bertebaran
pada ayat-ayat alam yang selalu
menemukan tafsir sendiri

Jakarta, 1995/2007.
Baca Lengkapnya....

REINKARNASI

kukembalikan dagingku pada ikan
kuserahkan darahku pada kerang
makanlah milikku, ambil seluruhku
kukembalikan tulangku pada tripang

jika aku mati
hanya tinggal tanah
jiwaku membumbung
ke kekosongan

bertahun-tahun aku mengail
berhutang nyawa pada ikan
berabad-abad aku minum
berhutang hidup pada laut
berwindu-windu aku berlari
berhutang api pada matahari
tiba saatnya nanti kukembalikan
semua hutangku pada mereka

kukembalikan jasadku pada tanah
sukmaku kembali ke tiada
: zat pemilik segalanya!

Jakarta, 1992.
Baca Lengkapnya....

MONOLOG SEORANG VETERAN YANG TERCECER DARI ARSIP NEGARA

Bendera-bendera berkibar di udara
Dan, orang-orang berteriak ‘’telah bebas negeri kita”
Tapi aku tertatih sendiri
Di bawah patung kemerdekaan yang letih
Dan tersuruk di bawah mimpi reformasi

Kau pasti tak mengenaliku lagi
Seperti dulu, ketika tubuhku terkapar penuh luka
Di sudut stasiun Jatinegara, setelah sebutir peluru
Menghajarku dalam penyerbuan itu
Dan negeri yang kacua mengubur
Sejarah dalam gundukan debu

Setengah abad lewat kita melangkah
Di tanah merdeka, sejak Soekarno-Hatta
Mengumumkan kebebasan negeri kita
Lantas kalian dirikan partai-partai
Juga kursi-kursi kekuasaan di atasnya
Gedung-gedung berjulangan
Hotel-hotel berbintang, toko-toko swalayan
Jalan-jalan layang, mengembang bersama
Korupsi, kolusi, monopoli, manipulasi,
Yang membengkakkan perutmu sendiri
Sedang kemiskinan dan kebodohan
Tetap merebak di mana-mana
Dan, aku pun masih prajurit tanpa nama
Tanpa tanda jasa, tanpa seragam veteran
Tanpa kursi jabatan, tanpa gaji bulanan
Tanpa tanah peternakan, tanpa rekening siluman
Tanpa istri simpanan

Meskipun begitu, aku sedih juga
Mendengarmu makin terjerat hutang
Dan keinginan IMF yang makin menggencet
Kebijakan negara.
Karena itu, maaf, saat engkau
menyapaku, “Merdeka!”
Dengan rasa sembilu
Aku masih menjawab, “Belum!”

Jakarta, 1998-2008.
Baca Lengkapnya....

SAJAK MABUK REFORMASI



tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
dalam pusingan anggur reformasi
menggelepar ditindih bayang-bayang diri
seember tuak kebebasan mengguyurku
membantingku ke ujung kakimu
luka-luka kepalaku, luka-luka dadaku
luka-luka persaudaraanku
luka-luka hati nuraniku

aku mabuk lagi, terkaing-kaing
di comberan negeriku sendiri. peluru tentara
menggasak-gasakku, pidato pejabat
merobek-robek telingaku, penggusuran
menohokku, korupsi memuntahiku
katebelece meludahiku, suksesi
mengentutiku, demonstrasi mengonaniku
likuidasi memencretkanku, kemiskinan
merobek-robek saku bajuku

tuhan, maafkan, aku mabuk lagi
menggelinding dari borok ke barah
dari dukun ke setan, dari maling ke preman
dari anjing ke pecundang, dari tumbal
ke korban, dari krisis ke kerusuhan
dari bencana ke kemelaratan!

aku mabuk lagi, mana maling mana polisi
mana pahlawan mana pengkhianat, mana
pejuang mana penjilat, mana mandor
mana pejabat, mana putih mana hitam
mana babi mana sapi, mana pelacur
mana bidadari, mana perawan mana janda
mana tuhan mana hantu? semua nyaris seragam
begitu sulit kini kubedakan

tuhan, maafkan, aku mabuk lagi!
berhari-hari, berbulan-bulan
tanpa matahari

Jakarta, Mei 1998/2007.
Baca Lengkapnya....

RESONANSI BUAH APEL



buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Dan, dengan kerlingnya
mata pisau sajakku berkata, ”Lihatlah, ada puluhan
ekor ulat besar yang tidur dalam dagingnya!”

memandang buah apel itu aku seperti
memandang tanah airku. Daging putihnya
adalah kemakmuran yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup

tahu makna tatapanku pisau itu pun berkata,
”Kau lihat seekor ulat yang paling gemuk
di antara mereka? Dialah presidennya!”

buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya
Jakarta, 1999/2003.
Baca Lengkapnya....

NYANYIAN KEBANGKITAN



Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu
Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya
Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku
Dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan
Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu
Akankah bersinar juga
Di langit kita?).

Mei 1985/2008.
Baca Lengkapnya....

DI BAWAH LANGIT MALAM


———— purworejo

kucium kening bulan
dalam sentuhan dingin angin malam
ayat-ayat tuhan pun tak pernah bosan
memutar planet-planet dalam keseimbangan

langit yang membentang
menenggelamkanku ke jagat  dalam
kutemukan lagi ayat-ayat tuhan
inti segala kekuatan putaran

jagad yang menghampar
membawaku ke singgasana rahasia
pusat segala energi dan cahaya
membebaskan jiwa
dari penjara kefanaannya

kucium lagi kening bulan
engkau pun tersenyum
dalam penyerahan

1983            
Baca Lengkapnya....