Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BERANDA. Tampilkan semua postingan

Kebermaknaan Sajak-sajak Dhenok dan Nana

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ketua Komite Sastra DKJ

Seseorang yang memiliki bakat dan kecerdasan puitik, biasanya akan tergoda untuk menuliskan kegelisahan pikiran dan perasaannya, serta apapun yang mengesankan dan menggugah rasa empatinya, secara puitis. Puisi atau “metode puisi” (puitika), setidaknya kalimat-kalimat yang puitis, akan menjadi media perekam, sejak detik-detik yang paling indah dan mengesankan, sampai saat-saat yang paling mencemaskan, hingga perasaan religius yang mengharukan, dalam hidupnya. Maka, apakah dia dengan sadar memanfaatkan metode puisi ataupun tidak (spontan), biasanya semua yang ditulisnya itu akan menjadi puisi yang indah dan bermakna.

Lalu, apa sebenarnya yang disebut sebagai puisi? Secara singkat, tokoh gerakan romantik Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849),  menyebut puisi sebagai kata-kata yang disusun secara indah, berirama dan bermakna. Terkesan sederhana, tetapi di dalam definisi Allan Poe itu sebenarnya terkandung teori atau konsep puitika yang cukup rumit. Kata kunci pertama, yakni indah, misalnya, mengandung pesan tentang pentingnya estetika bahasa, atau susunan bahasa dengan metafor tertentu, agar puisi menjadi indah. Begitu juga kata kunci kedua, berirama, menyimpan pesan tentang pentingnya unsur-unsur pembentuk irama dalam sajak, sejak konsep tentang persamaan bunyi (rima) sampai metode pengelompokan kata dan paralelisme serta repetitio untuk membangun irama bahasa agar sebuah sajak terasa indah saat dibaca.  Sedangkan kata kunci ketiga, bermakna, mengandung pesan bahwa bahasa puisi yang indah itu hendaknya tetaplah bermakna atau menyampaikan pesan tertentu yang bermanfaat bagi pembaca.

Banyak definisi lain tentang puisi, sejak definisi dari zaman romantik sampai pasca-modern, sejak yang rumit sampai yang sederhana. Di antara yang sederhana itu, yang  nyaris tanpa pesan konseptual tentang puitika, adalah definisi yang dikemukakan oleh penyair romantik Ingris, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, dan percintaan. Pada sajak-sajak kontemporer, atau era pasca-modern, seperti terlihat pada sebagian besar sajak yang dimuat di Majalah Sastra Horison, dan Bentara Kompas, konsep rima dan ritme yang ketat pun sudah ditinggalkan. Keindahan sajak lebih banyak dibangun oleh cintraan-citraan yang hidup, unik, dan (syukur) juga membangun susunan imaji yang indah.

Sajak-sajak dalam buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini ditulis oleh dua penyair dari era 1980-an, kebetulan keduanya berjenis kelamin perempuan, Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati. Karena keduanya menyebut karya-karya mereka sebagai puisi, dan sengaja menyiapkannya untuk sebuah buku antologi puisi, maka karya-karya mereka itu memang ditulis dengan sengaja sebagai puisi. Bukan sekadar penggalan-penggalan catatan harian, ataupun sekadar catatan perjalanan, meskipun banyak di antara sajak-sajak keduanya berupa catatan harian dan catatan perjalanan yang puitis.

Dan, memang, catatan-catatan puitis mereka sering menembus dimensi ruang dan waktu, menembus kenangan jauh ke masa lalu, untuk kemudian melesat ke depan, kadang disertai perenungan yang dalam hingga menyentuh relung-relung religiusitas, dengan upaya pemaknaan atas berbagai fenomena kehidupan di sekitar mereka secara empatik dan imajinatif, sekaligus kritis terhadap kecenderungan sikap hidup yang kurang benar. Coba kita simak kutipan dua sajak religius Dhenok dan Nana berikut ini:

Dua ribu pengunjung gereja memainkan satu peran:
    Meski serigala mengaum di dada,
    mari kenakan bulu domba!

Mereka berpakaian putih bersih,
penutup kemaluan yang kian legam

Yesus tersalib di podium gereja
Ia tundukkan kepala,
Ia pejamkan mata, berdoa :
“Ya, Abba! Kasihanilah mereka!”

Orang-orang menerima komuni
Mencabik, menyayat daging Sang Kristus
untuk sarapan pagi hari

Darah pencuci dosa
menetes-netes dari hati-Nya yang luka
Umat nadahkan cawan dengan nafsu membara
Minum, dan mabuklah mereka :
    “Sepotong daging, seteguk darah Kristus
    belum usir laparku, dahagaku
    Mana dagingmu? Mana darahmu?
    Berikan padaku!”

Di podium gereja Yesus tersalib
Ia palingkan wajah,
Ia sembunyikan mata-Nya yang basah

(Sajak “Minggu Pagi di Suatu Gereja” karya Dhenok Kristianti)

Terasa langit tak terlalu tinggi dan membahana
Terasa lautan tak terlalu dalam dan luas
Terasa cintaku tak terlalu besar padamu
Karena pada-MU segala-galanya
Yang aku miliki, milik-MU

Begitu lama aku menyusuri gang-gang panjang
Bau apek, sampah, asap rokok, kemelaratan dan sakit hati.
Lama sekali aku berkubang dalam kubangan tanpa dimensi
Menyebut nama-MU tanpa berbalas, gema berbalas gema
Airmata tidak cukup pantas untuk diucapkan
Terlampau  sederhana untuk mengungkapkan permintaan

Sekarang aku lebih mengerti
Mengapa langit harus putih
Mengapa matahari di barat, mengapa dia juga ada di timur,
Mengapa lazuardi tetap lurus
Mengapa tiap cinta harus teguh
Aku mencintaimu
Tapi aku kini lebih mencintai-MU

Aku tidak berhenti berjalan, dengan kegagahan kakiku
Dengan kesombonganku yang akhirnya
Terpatahkan
Dengan tangan dan kaki terbelenggu
Aku sudah semakin dekat
Aku tidak ingin tak menampak-MU

(Sajak “Pengakuan” karya Nana Ernawati)

Meskipun tidak menampakkan upaya untuk mencoba konsep estetika puisi (puitika) yang rumit, jika dirujukkan pada definisi Allan Poe, sajak-sajak di atas setidaknya cukup memenuhi kata kunci indah dan bermakna. Memang, dari zaman romantik hingga sekarang, yang disebut puisi yang bagus atau yang berkualitas adalah puisi yang indah dan bermakna, atau kebermaknaan dalam keindahan, keindahan dalam kebermaknaan. Hanya, citarasa keindahan itu yang sering bergeser (berkembang) sesuai tuntutan zaman dan citarasa masyarakat tempatan. Pada zaman sastra Melayu lama, misalnya, puisi yang bagus adalah yang berbentuk pantun, dengan pola persajakan yang ketat. Pada zaman Pujangga Baru, pola puisi berubah karena pengaruh sonata, seperti tampak pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan ada pula yang mulai bebas seperti sajak-sajak J.E. Tatengkeng. Bentuk sajak makin bebas pada era pra-kemerdekaan (1940-an), seperti terlihat pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Dan, kini bentuk dan pola pengucapan puisi-puisi Indonesia makin beragam karena berbagai pengaruh dan upaya pencarian bentuk-bentuk puitika baru, sejak yang rumit dan gelap semisal sajak-sajak Afrizal Malna sampai yang lugas dan sederhana semisal sajak-sajak Diah Hadaning dan Taufiq Ismail. Ada pula yang penuh perlambang (simbolik) semacam sajak-sajak Abdul Hadi WM dan Subagio Sastrowardoyo, dan ada pula yang imajis semisal sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Dorothea Rosa Herliany. Dari sini, dengan mudah, pembaca dapat melihat ada di mana kecenderungan puitik sajak-sajak Dhenok dan Nana yang terkumpul dalam buku ini.

Terlihat, sajak-sajak Dhenok dan Nana umumnya memiliki bahasa yang cenderung lugas dan sederhana (komunikatif) dengan pola puitika yang sering tidak terlalu ketat, sehingga cukup pas jika dirujukkan pada definisi puisi Shelley. Memang, seperti kebanyakan perempuan penyair dari era 1970-an dan 1980-an, semisal Diah Hadaning,  Medy Loekito, dan Lastri Fardani Sukarton,  sajak-sajak Dhenok dan Nana mengesankan penyairnya percaya bahwa untuk menciptakan keindahan dalam sajak tidak perlu melalui bahasa yang rumit dan gelap serta penuh lambang-lambang yang sulit ditebak maknanya. Mereka percaya, bahwa keindahan sajak dapat juga dibangun dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana, komunikatif, dan akrab dengan pembaca.

Meskipun begitu, banyak juga sajak-sajak mereka yang menghadirkan metafor-metafor yang segar, dengan citraan-citraan yang hidup, unik dan indah. Coba kita simak kutipan sajak Dhenok dan Nana berikut ini.

Aku mau jadi garam yang larut dalam tiap masakan
Memberi rasa sedap bagi siapa saja yang mencecap
Garam tak peduli ujud kristalnya sirna,
ia hanya ingin memberi tanpa meminta

Aku mau jadi garam yang mengawetkan ikan-ikan
agar tidak cepat rusak di tempat penyimpanan
Bisakah aku seperti garam yang mencegah kehancuran?

Aku mau jadi garam,
yang tak pernah bertanya masakan apa yang harus diasinkan
Aku mau jadi garam,
yang tak memilih untuk mengawetkan apa atau siapa

Sungguh, aku mau jadi garam
karena garam mengerti untuk apa ia dicipta

(Dhenok Kristianti, “Aku Mau Jadi Garam”)

Aku kepompong yang tak pernah jadi kupu, mungkin metamorfosaku
Tidak berjalan semestinya,
Aku bergulung, menggeliat, di dalam ruang ringan, rapuh itu
Ujudnya tidak berubah
Tetap buruk, melingkar, lembek tanpa tulang
Sampai kapan aku sembunyi di sini, menghitung kegagalan demi kegagalan
Kepedihan, kegetiran, atau canda hari Minggu tanpa kesudahan.
Aku kepompong yang tak ingin jadi kupu
Kegelisahan itu membahagiakan
Ketakutan itu menghidupkan seluruh otot, nafas kehidupan

(Nana Ernawati, “Aku tak Ingin Jadi Kupu”)

Kita adalah sekumpulan serigala lapar,
yang lebih buruk dari serigala
kita makan apa saja, juga bangkai sahabat kita

Kita adalah penari topeng,
yang lebih buruk dari penari topeng
kita pakai topeng siapa saja
dan tidak pernah mengembalikannya

Kita adalah air bah yang marah
yang lebih buruk dari air bah
kita terjang siang dan malam
segala waktu buat keserakahan yang tiada habisnya

(Nana Ernawati, “Sajak Pengakuan”)

Dengan uraian dan contoh-contoh puisi tersebut di atas, pengantar ini memang sengaja hanya melihat keunggulan-keunggulan dan potensi-potensi positif sajak-sajak yang terkumpul dalam buku antologi puisi Dhenok dan Nana ini. Tentu, ada sejumlah kelemahan di dalamnya, seperti terlalu lugasnya beberapa sajak mereka, sehingga terkesan asal ditulis begitu saja tanpa dibungkus kaca prisma estetika. Tapi, bukanlah tugas seorang pemberi kata pengantar untuk mengkritisinya. Biarlah itu nanti menjadi pekerjaan para kritikus sastra yang membacanya.

Lebih dari itu, ada hal lain – non-literer -- yang menarik pada buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini, yakni menyatunya dua perempuan yang berbeda agama dalam satu buku. Dhenok adalah seorang Kristiani, sedangkan Nana adalah seorang Muslimah yang kini berjilbab. Puisi telah menyatukan dua hati yang berbeda keyakinan ke dalam sebuah buku kumpulan sajak yang penuh isyarat rasa persaudaraan, dengan binar-binar hikmah dan pencerahan.

Memang, pada banyak momentum dan kesempatan, puisi berpeluang untuk membuka dialog antar-budaya dan antar-keyakinan yang berbeda, untuk kemudian meminimalisir perbedaan itu, guna membangun rasa saling memahami dan saling menghormati satu sama lainnya. Di sinilah puisi dapat berperan untuk ikut menciptakan perdamaian dalam keharmonisan hidup umat manusia.***

Jakarta, 28 Maret 2011
Baca Lengkapnya....

PSN dan Energi Baru Sastrawan

Sebagai forum sastra negara-negara serumpun Melayu, PSN selama ini, seperti diakui oleh Sekretaris Majelis PSN Prof Madya Tan Sri Ismail Hussein, lebih diutamakan sebagai forum bersilaturahmi, berinteraksi, dan bertukar informasi antarsastrawan.

Meskipun begitu, seperti diakui penyair Taufiq Ismail, tiap PSN selalu dapat membangkitkan gairah baru bagi para sastrawan untuk berkarya. Karena itu, ia melihat PSN XIII di Surabaya ibarat //charge// dengan dinamo yang besar bagi para sastrawan.

Menurut tokoh Angkatan 66 ini, banyak persoalan yang mesti dipecahkan di even kesusastraan tingkat Asia Tenggara itu. Salah satu persoalan yang perlu dicarikan jalan keluarnya adalah lalu lintas buku-buku sastra yang selama ini belum lancar. Dan, ini pula yang dikeluhkan oleh Tan Sri Ismail Hussein.


''Saya memimpikan ke depan hendaknya karya-karta sastra yang ditelurkan para sastrawan di Malaysia, Singapura, serta Brunai Darussalam dan negara lain akan dengan mudah didapatkan toko-toko buku di Indonesia. Itu belum terjadi di saat sekarang ini,'' kata Taufiq dalam sambutan pembukaan PSN XIII di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Senin (27/09) malam.

Ada kabar pelaksanaan PSN XIII ini nyaris gagal karena dana. ''Sampai seminggu menjelang pelaksanaan belum ada dana sama sekali, sementara hanya sekitar 40 persen peserta yang mau membayar,'' kata Ketua SC PSN XIII Dr Setya Yuwana Sudikan. ''Pusat Bahasa juga sama sekali tidak mau menyumbang dana. Untung, akhirnya Pemda Provinsi Jatim dan Jawa Pos bersedia menaggung pembiayaan,'' tambah Ketua Panitia M Shoim Anwar.

Peresmian PSN XIII ditandai dengan pemukulan gong oleh Gubrnur Jatim Imam Utomo didampingi Taufiq Ismail dan Tan Sri Ismail Hussein. Prosesi pembukaan dimulai dengan sajian tari Zafin oleh Raff Dance Company. Menutup acara pembukaan, sekitar 20 penari dari Sanggar Sastra Bali pimpinan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang muncul di panggung dengan gaya penari kecak, kemudian secara serempak mengucapkan "Pertemuan Sastrawan Nuswantoro".

Sebagai pamungkas kegiatan PSN XIII, panitia mengajak sejumlah peserta mengunjungi Museum Purbakala di Trowulan Mojokerto. Dengan dipandu penyair Viddy AD Daery, rombongan satu bus yang terdiri atas 15 peserta dan sekitar 30 partisipan melakukan napak tilas sejarah Majapahit melalui studi lapangan dan pustaka.

Rombongan juga sempat dijamu makan siang di rumah dinas Wali Kota Abdul Gani Suhartono. Ketua DKM Kristri Nugraheni Bachtiar ikut menyambut mereka. Sementara, sejumlah anggota DKM menyajika teaterikalisasi puisi berbahasa Jawa karya Ismaniasita.n ayh
Baca Lengkapnya....

Identitas Melayu dalam Sastra Serumpun

Sastra, menurut Umar Kayam, adalah refleksi dari masyarakatnya. Karena itu, identitas suatu bangsa, antara lain dapat dilihat pada karya sastranya. Atau, sebaliknya, ketika suatu bangsa membutuhkan penguatan identitas, karya sastra berpeluang untuk memberikannya.

Maka, ketika suatu bangsa terancam kehilangan identitasnya akibat serbuan budaya-budaya global (Barat), revitalisasi nilai-nilai budaya melalui karya sastra menjadi sangat penting. Tetapi, karena nilai-nilai budaya dalam karya sastra bersifat dinamis dan menebar, maka diperlukan forum untuk mengkaji dan merangkum nilai-nilai itu, kemudian merumuskannya menjadi identitas bersama yang lebih pas.

Dan, itulah yang sesungguhnya saat ini diperlukan oleh bangsa Melayu yang menebar di negara-negara serumpun, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand dan Filipina. Karena itu, ketika sebuah forum sastra besar bernama //Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII// melupakan masalah itu, penyair Binhad Nurrohmat mengingatkannya. ''Forum seperti ini lebih berguna dipakai untuk merumuskan identitas Melayu, daripada sekadar romantisme antarsastrawan,'' katanya dalam seminar internasional PSN XIII di Graha Pena Surabaya, pekan lalu.

Pada forum dua tahunan yang berlangsung pada 27-30 September 2004 itu memang tidak ada sesi yang secara eksplisit ditujukan untuk mengkaji dan merumuskan identitas Melayu. Jelasnya, PSN tidak dengan terus-terang dipakai sebagai forum peneguhan 'politik identitas' seperti dikehendaki Binhad dan beberapa peserta lain.

Tetapi, dengan rutinnya diselenggarakan PSN dan banyak ditampilkannya karya-karya para sastrawan negara-negara serumpun, sejak yang berpola pantun sampai yang kontemporer, sebenarnya secara tidak langsung PSN telah menjadi ajang peneguhan politik identitas itu. Apalagi, para sastrawan Malaysia, Singapura dan Brunei, selalu getol membacakan pantun-pantun (Melayu) kontemporer hampir pada tiap pentas seni PSN, seperti yang terjadi di Surabaya.

Pertunjukan-pertunjukan seni PSN XIII di Taman Budaya Surabaya, seperti teaterikalisasi puisi oleh sanggar sastra asuhan I Gusti Putu Bawa Samar Gantang yang terpengaruh tari kecak Bali, tari zafin Raff Dance Company, musikalisasi //Bledhek Sigar// Bengkel Muda Surabaya, drama //Daerah Perbatasan// Teater Gapus, pembacaan puisi Diah Hadaning, Rusli Marzuki Saria, Aming Aminudin, D Zawawi Imron, dan Masruri, serta buku-buku sastra yang dipamerkan di lobi Graha Pena, barangkali juga dapat dianggap sebagai bagian dari proses peneguhan identitas Melayu itu.

***

Meskipun tidak eksplisit dan konseptual, persoalan identitas Melayu juga terbaca pada makalah-makalah yang disajikan dalam sesi seminar dua hari di Graha Pena Jawa Pos yang diikuti sekitar 200 sastrawan negara-negara serumpun itu. Sebab, selain membahas tema-tema universal yang menjadi persoalan bersama, seminar juga mengkaji tema-tema lokal yang menjadi perhatian masing-masing negara, bahkan kelompok etnis di dalam negara itu.

Dari penyair Negeri Singa Jamal Tukimin, misalnya, kita dapat melihat tradisi nusantara dalam sastra Singapura, yang sangat beridentitas Melayu. ''Pengaruh paling besar dan berkesan dalam perjuangan kreativiti dan penulisan sastera di Singapura adalah tradisi kemelayuan,'' kata Jamal Tukimin. ''Sastrawan Singapura yang lebih tua, seperti Suratman Markasan, juga meletakkan isu kemelayuan sebagai //subject matter// karya-karya mereka. Begitu juga sastrawan yang lebih muda, yang kini sedang membina citra Melayu Baru,'' tambahnya.

Identitas Melayu dalam sastra Singapura juga diungkap Mohd Pitchay Gani MA, dan Masruri SM. Sementara tentang identitas Melayu dalam sastra Brunei dibeberkan oleh Awang Kamis Hj Tua, Dr Hj Hashim bin Hj Abd Hamid, Dr Ampuan Hj Brahim bin Ampuan Hj Tengah, Hj Jawawi bin Hj Ahmad, dan Dr Hj Morsidi bin Muhammad. ''Genre sastra modern para penulis Brunei tetap mengakar kepada jati diri bangsa Melayu yang mempunyai pegangan ketuanan Melayu dengan tradisi agungnya sebagai sebuah negara Kesultanan Melayu Islam,'' tutur Hj Hashim bin Hj Abd Hamid.

Agak berbeda dengan sastrawan Singapura yang sedang membangun identitas Melayu dan sastrawan Brunei yang kukuh pada tradisi ketuanan Melayu, para sastrawan Malaysia justru lebih banyak memotret berbagai pergeseran nilai akibat perubahan zaman. Ini terbaca pada prasaran-prasaran Dr Noriah Mohamed, Dr Siti Zainon Ismail, Prof Dr Dato Zainal Kling, Dato Dr Hj Ahmad Kamal Abdullah, Prof Zainal Abidin Borhan, dan Dr Hashim Ismail. Bahkan, menurut Kamal Abdullah, puisi-puisi Malaysia kontemporer cenderung menantang tradisi, dan kini terancam terpinggirkan oleh sastra Ingris Malaysia. Sementara, Siti Zainon melihat bergesernya pandangan para penyair perempuan Malaysia tentang etika dan budi pekerti.

Tema yang lebih beragam diangkat oleh para pembicara dari Indonesia. Abidah el Khalieqy, misalnya, membahas gagasan-gagasan feminin dalam sastra Indonesia. Sementara, Sri Widati lebih menukik pada feminisme dalam sastra Jawa, Viddy AD Daery mengungkap sastra zaman Majapahit dan zaman kesunanan Jawa, Akhudiat membahas sastra lisan pesisiran, D Zawawi Imron menyorot sastra pesantren, dan Taufik Ikram Jamil membahas pengaruh kelisanan dalam sastra Indonesia modern.

Pembicara lain, Ayu Sutarto membahas cerita-cerita rakyat Jawa Timur, dan Roell Sanre mengupas pemetaan sastra Melayu di Sulawesi Selatan, Taufiq Ismail membahas masalah sastra dan dunia pendidikan, Dendy Sugono membahas tentang sastra dan identitas bangsa, Budi Darma tentang sastra multikultural, dan Ahmadun Yosi Herfanda membahas tentang evolusi, genre dan realitas sastra koran.

***

Beragamnya tema yang diangkat, dan tidak adanya satu alur untuk merumuskan satu identitas bersama, memang mengakibatkan identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun menjadi menebar dan kabur. Barangkali, baru anugerah kesamaan bahasa, yakni bahasa Melayu, seperti dikatakan Taufiq Ismail, yang menyatukan atau membingkai identitas Melayu dalam sastra negara-negara serumpun.

Tetapi, di Malaysia, seperti diungkap oleh Kamal Abdullah, identitas bahasa itupun kini terancam oleh makin menguatnya tradisi sastra Ingris Malaysia. Karena itu, memang ada benarnya usulan untuk mengemas PSN menjadi forum yang lebih serius dan terarah dalam membahas persoalan bersama guna merumuskan identitas bersama (Melayu) itu.

Identitas Melayu, tentu, tidak harus homogen, karena wilayah negara-negara Melayu serumpun didiami oleh berbagai etnis dan agama, yang masing-masing memiliki bentuk ekspresi budaya yang berbeda. Pemaksaan identitas yang homogen hanya akan mengakibatkan semacam 'tragedi kultural' seperti pemaksaan identitas budaya nasional yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru yang mematikan banyak ekspresi budaya dan tradisi etnis. Akan lebih konyol jika pemaksaan identitas yang homogen itu terjadi pada budaya ataupun sastra negara-negara serumpun yang lebih membutuhkan identitas yang relatif berbeda sesuai dengan realitas masyarakat masing-masing negara. Identitas Melayu mestilah bersifat dinamis dan heterogen. n ahmadun yh
Baca Lengkapnya....

Evolusi, ‘Genre’ dan realitas sastra koran*

Sebelum beranjak jauh, kiranya perlu dijelaskan lebih dulu dua istilah kunci dalam bahasan ini, yakni ‘genre’ dan ‘sastra koran’. Menurut Ensiklopedi Sastra Indonesia, ‘genre’ berasal dari bahasa Prancis yang berarti ‘jenis’ atau ‘ragam’, dan  dalam bahasa Ingris disebut ‘type’.1 Jadi, genre sastra adalah jenis karya sastra yang memiliki bentuk (pola), teknik estetik, atau isi (tematik) yang bersifat tetap dalam suatu ragam sastra.
Sedangkan ‘sastra koran’ adalah istilah yang digunakan untuk menyebut karya-karya sastra, baik cerpen, novel, puisi maupun esei, yang dimuat (dipubli-kasikan) di surat kabar.2 Dengan demikian, sebenarnya istilah ‘sastra koran’ tidak dimaksudkan untuk menunjuk adanya sebuah genre sastra, tapi menunjuk karya-karya sastra yang memanfaatkan koran sebagai media publikasi pertama. Istilah ini sejajar dengan istilah ‘sastra saiber’ (cyber) yang sejauh ini masih hanya menunjuk ruang saiber (cyber space, internet) sebagai media publikasi karya.
Sebab, sejauh ini belum ada penelitian yang dilakukan secara komprehensif dan menemukan adanya ciri-ciri spesifik dan signifikan terhadap sastra koran – juga sastra saiber -- untuk membedakannya dengan ‘sastra buku’ sehingga dapat disebut sebagai ‘genre’ tersendiri, seperti misalnya ‘genre novel pop’  atau ‘genre fiksi Islami’ yang dikembangkan oleh para penulis Annida dan mereka yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena.
Tetapi, betulkah sastra koran tidak menunjukkan ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan sastra buku atau sastra majalah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu lebih dulu mengungkap realitas sastra koran, baik realitas estetik maupun tematiknya, yang menebar di berbagai surat kabar harian maupun mingguan, khususnya yang terbit di Indonesia,3 dan lebih khusus sejak dasawarsa 1970-an ketika koran-koran di Indonesia makin dimaraki karya-karya sastra terbaru dan menjadi rujukan alternatif pemikiran sastra.

Evolusi Sastra Koran
Di dalam rentang panjang sejarah sastra Indonesia (Melayu), evolusi sastra koran dapat dilacak sejak masa pra-sastra Indonesia modern. Buku-buku sejarah kesastraan Indonesia menyebut novel Si Djamin dan Si Djohan hasil saduran Merari Siregar dari novel Jan Smees karya Justus van Maurik sebagai novel Indonesia pertama yang terbit pada awal abad ke-20 (l9l9). Baru kemudian lahir novel asli Indonesia yang pertama (?), Azab dan Sengsara (l920), juga karya Merari Siregar.
Tetapi, sebelum Merari Siregar, pada akhir abad ke-l9, sebenarnya telah cukup banyak muncul prosa-prosa 'penceritaan kembali' yang dikerjakan oleh orang-orang Cina-Melayu dan Indo-Belanda, seperti Sobat Anak-anak (l884) oleh Lie Kim Hok, dan Seribu Satu Malam (l886) yang dikerjakan oleh Kim Hok dan wartawan F. Wiggers, serta puluhan buku novel saduran lainnya dari Cina dan Eropa. Baru mulai tahun l890 terbit novel-novel asli Melayu dalam bahasa Melayu-Cina yang ditulis oleh kaum wartawan, seperti Nyai Isah karya F. Wiggers, Nona Leonie karya H.F.R. Kommer, dan Rosina karya F.D.J. Pangemanan, serta Nyai Dasima karya G. Francis.4
Dari contoh-contoh karya di atas, dapat disebut bahwa sebelum masa Pujangga Baru, pada akhir abad ke-l9, kehidupan sastra berbahasa Melayu -- masa awal sastra Indonesia modern -- memang sangat ditopang oleh penerbitan buku. Namun, surat kabar mulai menunjukkan peranannya dalam menopang kehidupan sastra dengan banyak melahirkan penulis-penulis novel dari kalangan wartawan. Ini bahkan dapat dilacak sejak terbitnya surat kabar pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan tulisan latin, yakni Surat Kabar Bahasa Melaijoe tahun 1856 dan beberapa surat kabar lain sesudah itu yang memunculkan penulis-penulis Tionghoa. Penulis-penulis ini kemudian melahirkan sastra Melayu-Tionghoa, baik berupa karya asli, saduran maupun terjemahan.
Memasuki masa Pujangga Baru, dalam dasawarsa l930-an, selain penerbitan buku, majalah-majalah khusus, seperti majalah Poedjangga Baroe, Wasita dan Pusara, mulai ikut mengambil peranan itu, bersama surat kabar (Pewarta Deli dan Suara Indonesia). Tokoh-tokoh sastra Indonesia modern, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, mulai dikenal luas, selain melalui buku-buku novelnya, juga melalui pemikiran-pemikirannya yang dilansir dalam majalah-majalah tersebut.
Memanfaatkan majalah dan surat kabar itu pula sebuah tonggak pemikiran kebudayaan Indonesia modern dibangun melalui sebuah polemik panjang yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan -- polemik pertama tentang kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam tahun l935 sampai l936 dan diulang pada tahun l939.
Memasuki dasawarsa l940-an (masa Angkatan 45), majalah sastra menampakkan peranan yang makin dominan dalam membangun tradisi sastra Indonesia modern, termasuk pemikiran-pemikiran tentang kesastraan. Pemikiran-pemikiran 'wali penjaga sastra Indonesia' H.B. Jassin, misalnya, banyak disosialisasikan melalui majalah-majalah (sastra), seperti Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah dan Sastra.
Dari tulisan-tulisan lepas dimajalah-majalah itu buku-buku Jassin umumnya lahir. Buku Tifa Penyair dan Daerahnya, misalnya, merupakan kumpulan tulisan Jassin yang dimuat di Mimbar Indonesia. melalui majalah-majalah itu pula, terutama arus pemikiran dan kecenderungan sastra Indonesia dibangun, termasuk 'penobatan' penyair Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh Jassin. Majalah sastra/budaya mulai tumbuh menjadi semacam pusat sekaligus kiblat pertumbuhan sastra Indonesia.
Masa kekuasaan 'rezim majalah sastra' itu berlangsung sampai pada era majalah Horison (perlu disebut juga majalah Budaya Jaya dan Basis) yang terbit pertama kali pada tahun l966. Sejak terbit, terutama sepanjang l970-an sampai awal l980-an, Horison mampu membangun citra dirinya sebagai majalah sastra yang benar-benar berwibawa. Para penyair, cerpenis, eseis/kritikus dan pengamat sastra pada umumnya, seperti kurang lengkap referensi bacaannya jika tidak membaca Horison. Keberadaan mereka -- penyair, cerpenis, eseis dan kritikus sastra -- juga seperti belum sah jika belum mampu menembus gawang Horison untuk mempublikasikan karya-karya mereka di majalah tersebut. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki, Horison menjadi semacam forum legitimasi (penobatan), karena disanalah, menurut anggapan banyak penyair daerah, para 'dewa sastra' bersemayam.
Jadilah, Horison, ketika itu, tidak hanya menjadi kiblat atau standar kualitatif karya sastra, tapi juga menjadi pusat nilai-nilai sastra -- estetik maupun tematik -- yang mampu melahirkan mainstream ataupun narasi besar (grand narration) sastra Indonesia. Munculnya fenomena sajak-sajak imajis pada akhir l970-an dan hampir sepanjang dasawarsa l980-an yang dituding Emha Ainun Najib sebagai 'rezim anutan tunggal' misalnya, tidak terlepas dari kecenderungan Sapardi Djoko Damono selaku penjaga gawang puisi Horison untuk lebih banyak menurunkan sajak-sajak bergaya demikian.
Namun, memasuki dasawarsa l980-an (sudah terasa gejalanya sejak l970-an), peranan majalah sastra mulai terbagi oleh rubrik-rubrik sastra yang menjamur di hampir semua surat kabar pusat dan daerah. Bukan hanya koran-koran mingguan yang menyediakan halaman untuk puisi, cerpen, esei sastra dan novel (cerita bersambung), tapi juga surat-surat kabar harian seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas5, Sinar Harapan, dan Media Indonesia. Di tangan 'Presiden Malioboro' Umbu Landu Paranggi, Pelopor Yogya bahkan telah memulai tradisi sastra koran sejak l970-an dan sempat ikut mengantarkan nama-nama besar seperti Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan dan Linus Suryadi AG.
Koran-koran nasional terkemuka, seperti Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Tempo, Republika6, Pelita, dan Berita Buana7,  menyediakan sedikitnya sehalaman penuh tiap edisi Ahad untuk sastra. Kompas bahkan masih menambah rubrik Bentara untuk sastra tiap Rabu, seperti pernah juga dilakukan oleh Republik dengan Siesta-nya tiap Sabtu. Halaman untuk sastra juga disediakan oleh hampir semua surat kabar daerah, seperti Suara Merdeka (Semarang), Kedalatan Rakyat (Yogyakarta), Jawa Pos (Surabaya), Bali Post (Denpasar), Pikiran Rakyat (Bandung), Lampung Post (Lampung), dan Banjarmasin Post (Banjarmasin). Koran-koran mingguan, seperti Minggu Pagi, Simponi dan Swadesi8 bahkan menjadikan halaman sastra sebagai salah satu konten andalan.9
Dasawarsa l980-an sampai awal l990-an benar-benar menjadi era kekuasaan 'rezim sastra koran'.10 Rubrik sastra surat kabar yang seperti mengambil alih fungsi-fungsi penting majalah sastra, termasuk menobatkan penyair muda untuk diakui keberadaannya secara nasional. Horison dan Basis dengan 'susah payah' memang tetap terbit. Tapi, kesediaan surat kabar untuk memberikan honor yang relatif lebih besar dibanding majalah sastra, dan frekuensi terbitnya yang jauh lebih tinggi, menjadi daya tarik tersendiri bagi para penyair, eseis/kritikus maupun cerpenis, untuk mempublikasikan karya-karya mereka ke rubrik sastra di surat kabar.
Seperti halnya Horison, rubrik sastra di surat kabar juga mampu mempengaruhi munculnya mainstream atau kecenderungan dominan dalam sastra. Surat kabar tidak hanya berperan memberikan informasi tentang berbagai peristiwa sastra, tidak juga hanya memuat karya-karya sastra terpilih dari para pengirimnya, tapi juga turut membangun suatu fenomena dan mendorong 'arus besar' dalam perkembangan sastra.

‘Genre’ Sastra Koran
Dari uraian di atas, sudah terlihat bahwa koran atau surat kabar, dan media massa cetak pada umumnya, memiliki peran yang cukup sentral dalam sejarah perkembangan sastra di Nusantara. Di Indonesia, media massa cetak -- sejak koran sampai majalah -– bahkan cukup 'memanjakan' karya sastra. Hampir semua media massa cetak yang terbit di Indonesia -– juga akhbar-akhbar di Malaysia -- menyediakan ruang khusus untuk karya sastra. Paling tidak, ada ruang untuk cerita pendek dan roman/novel.11
Peran media massa cetak di Indonesia, khususnya koran, dalam menyiarkan karya dan pemikiran sastra bahkan  jauh lebih besar daripada peran majalah khusus sastra seperti Horison12. Dan,  tentu juga dalam ikut mendorong pertumbuhan sastra, termasuk memunculkan fenomena ataupun mainstream baru. Mainstream sastra (puisi) sufistik, misalnya, dipompa oleh penyair Abdul Hadi WM melalui rubrik Dialog di Harian Berita Buana hampir sepanjang dasawarsa 1980-an. Fenomena puisi gelap juga ‘ditemukan’ melalui polemik di Harian Republika. Begitu juga ketika kita menyebut cerpen-cerpen seksual belakangan ini, banyak yang lahir di koran. Tentu kita juga tidak dapat menafikan peran koran Kompas, Media Indonesia, dan Tempo dalam mempengaruhi kecenderunan estetik cerpen-cerpen mutakhir Indonesia. 
 Melihat dominannya peran koran itu, maka sebenarnya sastra Indonesia lebih merupakan ‘sastra koran’13 -- bukan ‘sastra majalah’.  Juga bukan ‘sastra buku’, mengingat sebagian besar karya sastra Indonesia yang dibukukan adalah karya-karya yang lebih dulu dipublikasikan di koran, dan ‘koran kecil’ (tabloid). Untuk buku-buku kumpulan cerpen yang terbit di Indonesia dewasa ini, misalnya, berdasarkan perhitungan kasar, sekitar 80 persen cerpen di dalamnya berasal dari  cerpen yang dimuat di koran. Hanya sekitar 20 persen yang pernah dimuat di majalah (termasuk Horison dan Annida) dan sedikit cerpen yang belum pernah dipublikasikan.14 Bahkan banyak buku kumpulan cerpen yang 100 persen cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran.15 Sementara, untuk buku-buku kumpulan puisi penyair ternama, rata-rata sekitar 60 persen pernah dimuat di surat kabar. 
Pertanyaannya, apakah dominannya ‘sastra koran’ dalam pertumbuhan sastra Indonesia itu telah melahirkan sebuah genre tersendiri, dengan ciri-ciri yang khas yang berbeda dengan sastra majalah dan sastra buku, sehingga pantas disebut ‘genre sastra koran’? Juga, apakah genre itu telah membangun kecenderungan besar dalam sastra Indonesia? Ataukah koran hanya  menjadi media perluasan sosialisasi karya, agar lebih cepat menjangkau publiknya, karena keterbatasan jangkauan media buku dan majalah?
Berdasarkan pengamatan yang cukup seksama, agak sulit untuk menyebut ‘sastra koran’ sebagai ‘genre’ tersendiri, yang memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kesulitan ini terjadi karena beberapa faktor, sbb.
Pertama, ciri ‘sastra koran’ sangat beragam, tergantung segmen pembacanya, ‘ideologi’ media yang menjadi dasar filosofinya, serta selera dan visi estetik redakturnya. Untuk puisi, misalnya, sajak-sajak yang masuk ke Bentara Kompas, Republika  atau Media Indonesia (MI), misalnya, relatif berdeda dengan sajak-sajak yang masuk ke Koran mingguan seperti Simponi dan Swadesi. Kompas, Republika  dan MI menerapkan standar estetik relatif ketat, karena untuk kalangan pembaca yang berkelas. Sedangkan Simponi dan Swadesi relatif longgar, sehingga banyak puisi remaja, atau yang baru belajar menulis sajak, dapat dimuat, karena memang untuk segmen pembaca remaja. Begitu juga untuk cerpen.
Keberagaman juga dipengaruhi oleh ideologi media yang bersangkutan. Koran yang berediologi Islam seperti Republika, akan cenderung memilih karya-karya sastra yang Islami. Meskipun tetap dapat memuat karya-karya bertema humanisme-universal, tapi akan tegas menghindari karya-karya sastra masokis, serta sastra seksual yang vulgar dan serba terbuka, seperti misalnya cerpen-cerpen Hudan Hidayat, Djenar Maesa Ayu, dan sajak-sajak Binhad Nurrahmad. Meskipun, bisa saja karya-karya mereka masuk ke Koran yang lebih liberal, seperti Media Indonesia.16 Hal ini juga mempengaruhi pemilihan tema karya sastra yang dimuat. Begitu juga selera dan visi estetik redakturnya. Kompas, Suara Pembaruan dan Republika, misalnya, cenderung lebih menyukai cerpen-cerpen realistic. Sementara MI, cenderung ke cerpen-cerpen eksperimental.17
Kedua, ciri-ciri estetik maupun tematik ‘sastra koran’ relatif tidak dapat dibedakan dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Rata-rata cerpenis atau penyair, misalnya, cenderung tidak membedakan karyanya yang dikirim ke majalah sastra Horison, misalnya, dengan yang dikirim ke koran harian seperti Kompas, Suara Pembaruan, atau Tempo. Dan, karya-karya,  terutama cerpen, yang sudah dimuat di Koran dan majalah sastra itulah umumnya yang kemudian mereka terbitkan menjadi buku. Kalau mau dicari perbedaannya, barangkali, hanya terletak pada kepadatan dan kepanjangannya. Khusus untuk Republika, karena keterbatasan ruang, hanya dapat memuat cerpen sepanjang sekitar 8-9 ribu karakter. Sedangkan untuk majalah Horison bisa 14 ribu karakter. Tetapi, cerpen sepanjang sekitar 12 ribu karakter juga dapat muncul di Kompas dan Suara Pembaruan. Jadi, dari sisi inipun tidak ada perbedaan yang signifikan.  
Ketiga, belum tampak adanya semangat bersama dari para redaktur sastra koran  untuk menjadikan rubriknya sebagai ‘media sastra garda depan’ (avant gardei) guna membangun ciri estetik secara kuat dan konsisten agar menjadi mainstream baru sastra Indonesia. Barangkali, memang ada di antara redaktur sastra koran yang bervisi estetik seperti itu, tetapi karena kurang konsisten atau hanya berjuang sendiri, maka perjuangan estetiknya kurang berpengaruh luas pada perkembangan sastra Indonesia, dan karena itu tidak mampu membangun sastra koran menjadi genre sastra tersendiri.
Dan, keempat, rata-rata redaktur sastra koran, barangkali, memang sengaja bersikap moderat dan terbuka terhadap keberagaman (berbagai kemungkinan) estetik dan tematik karya-karya sastra yang dimuatnya. Dia tidak ingin memaksakan selera dan visi estetiknya sendiri terhadap karya-karya sastra yang dipilih untuk dimuatnya, dan sengaja membiarkan rubrik sastra yang dikelolanya sebagai semacam ‘taman bunga’ yang ditumbuhi aneka macam dan warna bunga yang berbeda-beda tapi sama-sama harum dan indahnya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, maka akan sulit untuk menarik garis tegas tentang ciri-ciri khas sastra koran untuk dapat disebut sebagai sebuah genre tersendiri, karena tidak ada ciri yang bersifat tetap, baik mengenai bentuk, teknik estetik, maupun isi (tematik), pada sastra koran, yang membedakannya dengan ‘sastra majalah’ dan ‘sastra buku’. Kalaupun ada yang menyebut ‘kepadatan’ dan ‘kependekan’ sebagai ciri umum ‘sastra koran’ – pada cerpen maupun puisi – ciri yang hanya bersifat teknis ini kurang signifikan untuk menyebutnya sebagai genre tersendiri. Apalagi, kini cerpen maupun puisi yang dimuat Horison dan terkumpul dalam buku juga cenderung pendek-pendek, sehingga relatif tidak berbeda dengan puisi dan cerpen koran.

Penutup
Di atas telah diuraikan secara panjang lebar bahwa koran memiliki peran yang sangat besar dan sentral dalam ikut menumbuh-kembangkan sastra Indonesia. Tetapi, tidak ditemukan indikasi yang signifikan pada sastra koran untuk membangun ciri-ciri khas yang kuat agar sastra koran dapat disebut sebagai genre tersendiri.
Dengan kecenderungan seperti itu, di satu sisi, sastra koran kurang memiliki kekuatan untuk membangun mainstream estetik tertentu yang dominan dalam tradisi kreatif sastra Indonesia. Tetapi, di sisi lain, kecenderungan yang mengarah ke heterogenitas sastra itu justru menguntungkan, karena berbagai kemungkinan pencapaian estetik baru tetap akan terbuka dalam iklim kreatif sastra Indonesia. Kita tinggal memanfaatkan peluang estetik yang sangat terbuka itu, dan berharap akan berlahiran masterpiece-masterpiece baru sastra Indonesia.***  
                  Jakarta, 2004/2005

Daftar Rujukan:
1. Ayu, Djenar Maesa, Mereka Bilang Saya Monyet, kumpulan cerpen, Gramedia, Jakarta, 2002.
2. Darma, Budi, Prof., Dr., Kritik Cerpen: Seni, esei di Kompas edisi Minggu, 8 Juni 2003.
3. Effendi, Kurnia, Bercinta di Bawah Bulan, kumpulan cerpen, MataBaca, Jakarta, 2004.
4. Hasanuddin WS, Prof., Dr., Ensiklopedi Sastra Indonesi, Titian Ilmu, Bandung, 2004.
5. Herfanda, Ahmadun Yosi, Dari Rezim Sastra Koran ke Sastra Digital, dalam buku Panorama Sastra Nusantara, Taufiq Ismail dkk., ed., Balai Pustaka, Jakarta, 1997, halaman 375-392.
6. Herfanda, Ahmadun Yosi, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
7. Herfanda, Ahmadun Yosi, Badai Laut Biru,  kumpulan  cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004
8. Hidayat, Hudan, Keluarga Gila, kumpulan cerpen, CWI, Jakarta, 2004.
Sudjiman, Panuti, ed., Kamus Istilah Sastra, Gramedia, Jakarta, 1984.
9. Kelana, Irwan, Kelopak Mawar Terakhir, kumpulan cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004.
10. Sumardjo, Jakob, Drs., Segi Sosiologi Novel Indonesia, Pustaka Prima, Bandung, 1981.
11. Berbagai koran, majalah, dan tabloid terbitan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

------------- biografi -------------

AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Sejak tahun 1979 banyak menulis cerpen, puisi dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi karya yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), Paradoks Kilas Balik (kumpulan cerpen, Radio Nederland, 1989), Pagelaran (kumpulan cerpen, Bentang, 1993), Lukisan Matahari (antologi cerpen, Bernas, 1993), Secreets Need Words (antologi puisi, Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001),  Waves of Wonder (antologi puisi dunia, Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World  (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant  (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995). Beberapa kali sajak-sajaknya dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda).

Tahun 1992 ia memenangkan sayembara menulis cerpen (juara pertama) Suara Merdeka Awards, dan juara pertama lomba menulis puisi Islami Yayasan Iqra Jakarta. Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura). Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX di Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir. Agustus 2003 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. Tahun 2003 ia menjadi pembicara dalam Temu Sastra Jakarta di TIM. Dan, tahun 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya.

Ahmadun juga sering diundang untuk menjadi panelis dalam berbagai diskusi dan seminar sastra lainnya di berbagai kota di Tanah Air. Buku-bukunya yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996),  Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997),  Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Bening Publishing, Jakarta, 2004) dan The Worshipping Grass (puisi dwi-bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2004).

Selain menulis dan menjalani profesi sebagai wartawan, alumnus sastra Indonesia FPBS IKIP Yogyakarta ini juga aktif di berbagai organisasi. Antara lain, di HMI dan ICMI. Ia juga pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002), dewan pendiri Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) dan anggota Dewan Penasihat Forum Lingkar Pena (FLP). Sehari-hari kini ia redaktur sastra Harian Umum Republika. Karya-karya dan tentang dirinya, kini juga dapat ditemukan di www.poetry.com, www.google.com, www.yahoo.com, dan www.cybersastra.net.  Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Mobile: 081315382096. Email: ahmadun21@yahoo.com.*
Baca Lengkapnya....

Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.

Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya  beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis.
Helvy tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.
Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni “Pertemuan di Taman Hening”, dan ditutup dengan cerpen, “Jaring-jaring Merah”, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen “Kivu Bukavu”, hlm. 193) juga baris-baris yang sangat puitis:

Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen “Pertemuan di Taman Hening” selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm. 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm. 2). Sementara, cerpen “Jaring-Jaring Merah” (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:

Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen “Lelaki, Kabut, dan Boneka” (hlm. 11), “Idis” (hlm. 21), “Dara Hitam” (hlm. 69), “Ketika Cinta Menemukanmu” (hlm. 119), “Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin” (hlm. 129), “Lelaki Semesta” (hlm. 151), “Pulang” (hlm. 183), dan “Kivu Bukavu” (hlm. 193). Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak “sisipan” narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

 Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: “Kivu, kaulah yang terindah!”
Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam?
                (Cerpen “Kivu Bukavu”, alinea 1-2, hlm. 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari “kutipan tidak langsung” sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen “Jaring-Jaring Merah” berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (“Jaring-Jaring Merah”), bom Bali (“Lelaki, Kabut, dan Boneka”), dan perang saudara di Rwanda (“Kivu Bukavu”).
Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.
Pada salah satu bagian cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen “Kivu Bukavu” berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta “Lelaki, Kabut dan Boneka” berlatar tragedi bom Bali..
Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh “aku” dalam “Jaring-Jaring Merah”, siapa Kivu dalam “Kivu Bukavu”, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam “Lelaki Kabut dan Boneka”, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.
        ***

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri. Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.
Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

                                Pamulang, 8 Mei 2008

----- raster --------
Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.n red
Baca Lengkapnya....

Bahasa Pers, Antara Ketaatan dan Pengingkaran*

Abstract:

As public reading, mass media, aspecially newspaper, is most intensive information media dialogue with society (reader). Newspaper not only presenting any important information, but also various ideas to smart and enableness of society. Added by control function, newspaper become important media to forming public opinion, and even agent change of social.

In running the function of as information media, media control and forming of public opinion, and also agent change of that social, national newspaper exploit Indonesian. In consequence, what until to reader not merely newspaper content, but also follow the example of or byword in have Indonesian. Realized or not, newspaper become one of the reference of is necessary for society in have correct and good Indonesian to.

Especial guidance of journalese, or which was often referred as " mass media Ianguage", is standard Indonesian. But, in practice him, each newspaper develop "language style" alone, so that expand immeasurable mass media Ianguage variant. That variant not only in elocution and presentation of article, but also in spelling, especially in writing of absorption words of foreign Ianguage, like Arab Ianguage, English, and Latin.

Difference of mass media Ianguage variant or style will immeasurable more and more if us perceive writing of absorption words of other foreign Ianguage. Also if us perceive news title stylistic which eliminating many suffix and prefixes, and also trespass principle forming of word (morphology). Not to mention if us perceive elocution in writing of news. So that, in mass media Ianguage variant found by variant again, typically the each newspaper.

So far, mass media circle tend to to assume that mass media Ianguage style as equity, with argument that mass media Ianguage is true as separate vaian. There is also from mass media circle assuming that setlement of Ianguage conducted by Pusat Bahasa Depdiknas tend to dropped behind, so that they intend placed x'self in " front line" development of Indonesian, including pioneering setlement of absorbent new terms of vernacular and foreign Ianguage.

Among them there even exist which isn't it " setlement" with his own principle. Is seen from Indonesian dynamics side as Ianguage which is life and continue to spring up, role of just the journalese of course the best of. But, seen from important side of him permanence of Indonesian, straggling of variation of in that mass media Ianguage variant of flange can bewilder society of Indonesian. And, what most harm is society which subscribe to newspaper which the was Indonesian of ugly mean or far below the mark correct and good Indonesian. On a long term, condition of like that potential to of course follow to destroy growth of Indonesian as a whole.

Because that ugly possibility, presumably Pusat Bahasa require to construction of Ianguage by intensive again to journalist circle and newspaper editor, to be more obedient them at principles have correct and good Indonesian. While to depress tendency and straggling of mass media Ianguage variation, circle organizer of national newspaper require to "formulation with" mass media Ianguage style having the national character, to become guidance with. Will far better if national mass media have Ianguage style which relative uniform and do not each other differing one another.


***





Pendahuluan

Istilah pers, menurut Haris Sumadiria, mengandung dua arti.1 Arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, pers hanya menunjuk kepada media cetak berkala, yakni surat kabar, tabloid, dan majalah. Sedangkan dalam arti luas, istilah pers tidak hanya menunjuk pada media cetak berkala, tapi juga mencakup media elektronik auditif dan audiovisual berkala, yakni radio, dan televisi, serta media on line, yakni internet. Dalam arti luas, pers juga disebut media massa.

Karena itu, pengertian bahasa pers dalam arti luas juga menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang dipakai oleh media massa. Namun, karena terlalu luasnya ruang lingkup bahasa pers, maka pembahasan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada bahasa pers dalam pengertian sempit tersebut, yakni bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh media cetak berkala, seperti surat kabar, tabloid, dan majalah, khususnya surat-surat kabar nasional. Kalaupun dalam pembahasan nanti kadang-kadang juga menyebut bahasa Indonesia di media on line (internet), hanya dimaksudkan untuk memperluas cakupan pemakaian istilah tertentu guna melihat saling pengaruh ataupun dampak pemakaian bahasa tersebut secara lebih luas.

Dalam pengertian yang lebih spesifik, bahasa pers sering juga disebut bahasa jurnalistik.2 Istilah spesifik -- bahasa jurnalistik -- ini hanya menunjuk pada bahasa (Indonesia) yang digunakan oleh wartawan atau jurnalis dalam menulis karya-karya jurnalistik yang berupa berbagai tipologi berita, seperti berita langsung (straight news), berita investigatif (investigative news), berita komprehensif (comprehensive news), dan berita kisah (feature). Karena itu, pembicaraan tentang bahasa jurnalistik tidak pernah memasukkan tipologi tulisan di luar berita, seperti artikel ilmiah popular dan esei (opini), kolom, advertorial, serta fiksi (cerpen dan novel), yang juga banyak terdapat di media cetak.3

Pemanfaatan bahasa pers secara spesifik tentu tidak lantas mencerabutnya dari bahasa Indonesia baku. Bagaimanapun, bahasa pers tetap merupakan bagian dari “keluarga besar” bahasa Indonesia, bersama anggota-anggota keluarga lainnya, seperti bahasa sastra, bahasa ilmiah, bahasa politik, bahasa gaul, dan bahasa komedi. Dengan kata lain, bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia. Karena itu, meskipun berkembang dengan karakter khas – singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif4 -- bahasa pers tetap berinduk pada bahasa Indonesia baku. Artinya, dalam pengembangannya, seprogresif apapun dalam memperkenalkan kosa-kosa kata baru, bahasa pers tetap harus menjadikan bahasa Indonesia baku sebagai rujukan utama, serta tetap harus taat pada kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.


Posisi bahasa pers

Posisi atau kedudukan bahasa pers dapat dilihat dari dua sisi. Dari sisi keudukannya terhadap bahasa Indonesia baku, bahasa pers adalah salah satu varian, di samping varian-varian yang lain, seperti bahasa sastra, bahasa gaul, bahasa ilmiah, bahasa politik, dan bahasa komedi. Sedangkan dari sisi kedudukannya di tengah masyarakat pemakai bahasa Indonesia, bahasa pers adalah salah satu rujukan penting, dan bahkan “guru bahasa” bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Indoensia yang baik dan benar. Dengan demikian, baik-buruknya perkembangan bahasa Indonesia di masyarakat juga ikut ditentukan oleh bahasa pers.

Posisi bahasa pers yang sangat strategis tersebut tidak terlepas dari fungsi dan peran pers bagi masyarakat. Sebagai bacaan publik sehari-hari, media massa cetak, khususnya surat kabar, merupakan media informasi yang paling intensif berdialog dengan masyarakat (pembaca). Surat kabar tidak hanya menyajikan berbagai informasi penting, tapi juga berbagai gagasan pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat. Ditambah fungsi kontrol yang diembannya, surat kabar menjadi media penting pembentukan opini publik, dan bahkan agen perubahan sosial.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, media kontrol dan pembentukan opini publik, serta agen perubahan sosial itu, surat kabar nasional memanfaatkan bahasa Indonesia. Karena itu, yang sampai kepada pembaca bukan hanya isi surat kabar bersangkutan, tapi juga contoh atau keteladanan dalam berbahasa Indonesia. Surat kabar akan menjadi salah satu rujukan penting bagi masyarakat dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Secara universal, dan diadopsi ke dalam UU Pokok Pers, pers memiliki lima fungsi utama. Pertama, fungsi informasi (to inform), yakni memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat secepat-cepatnya. Kedua, fungsi edukasi (to educate), yakni apapun informasi yang disebarluaskan oleh pers hendaknya dalam rangka mendidik masyarakat.

Ketiga, fungsi koreksi (to influence) atau juga sering disebut fungsi kontrol, yakni ikut mengontrol kekuasaan legislatif, eksekitif, dan yudikatif, agar tetap berjalan pada rel (aturan main) yang benar. Keempat, fungsi rekreasi (to entertain), yakni pers juga harus bisa menjadi wahana hiburan yang sehat dan mencerahkan. Dan, kelima, fungsi mediasi (to mediate), yakni pers harus dapat menjadi mediator untuk menyampaikan kabar tentang berbagai peristiwa penting yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam kaitannya dengan fungsi edukasi itu pula pers dituntut untuk dapat mendidik pembacanya dalam pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebab, fungsi edukasi tidak saja harus tercermin pada materi isi berita, gambar, fiksi dan artikel-artikelnya, tetapi juga harus tampak pada bahasanya. Dalam hal ini, pada tingkat wacana, semua pakar dan praktisi pers sepakat, bahwa bahasa yang dipakai oleh pers, ataupun media massa, harus merujuk pada bahasa Indonesia baku, yakni bahasa Indonesia resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa dan pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya.5

Dewasa ini pers, dengan berbagai rubrikasinya, juga semakin dianggap sebagai salah satu sumber terpenting ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, tentu juga sumber ilmu pengetahuan bahasa sekaligus contoh praktek berhasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam posisi ini, dan dalam kaitannya dengan fungsi edukasi tadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pers adalah “guru bahasa” yang langsung mencontohkan praktek berbahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat luas, dan contoh prakteknya adalah bahasa pers itu sendiri.

Dengan demikian, sesungguhnya bahasa pers menempati posisi yang sangat strategis sebagai rujukan dan teladan berbahasa bagi masyarakat luas. Fungsi keteladanan bahasa pers akan semakin fital, jika mengingat intensitas dan frekuensinya yang tinggi dalam berdialog dengan masyarakat (pembaca). Karena itu, tidak ada kata lain bagi bahasa pers untuk tidak menaati kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kaidah yang dimaksud meliputi kaidah penyusunan kalimat yang benar (sintaksis), kaidah pembentukan kata yang benar (morfologi), sampai kaidah pengejaan dan pedoman pembentukan istilah serta penyerapan kata-kata dari bahasa asing. Sedangkan etika berbahasa menyangkut kesantunan berbahasa sesuai dengan cita rasa budaya Indonesia. Misalnya, menghindari kata-kata yang tidak sopan, vulgar, porno, dan berselera rendah.

Pada tingkat wacana, para pakar dan praktisi pers umumnya sepakat bahwa bahasa pers yang berkualitas adalah bahasa pers yang tetap taat pada kaidah-kaidah bahasa baku, selalu menaati prinsip-prinsip dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesepakatan ini sering kita dengar dalam berbagai forum pembahasan dan buku-buku tentang bahasa pers. Tetapi, dalam praktek masih sangat sering terlihat kenyataan yang berbeda: terjadi banyak pengingkaran terhadap kesepakatan ideal tersebut.


Jutaan kesalahan

Pada uraian sebelum ini telah dijelaskan bahwa bahasa pers adalah salah satu varian dari bahasa Indonesia, dan karena itu tetap harus taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Tesis tersebut juga mengisyaratkan bahwa bahasa pers adalah satu varian – bukan banyak varian – dari bahasa Indonesia. Dengan demikian, mestinya varian bahasa semua pers – semua surat kabar, semua tabloid, semua majalah, dan semua media on line – berada dalam satu varian bahasa yang sama, dan sama-sama taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku.

Namun, dalam prakteknya, masing-masing surat kabar mengembangkan “gaya bahasa”6 sendiri, termasuk dalam penulisan kata-kata serapan, sehingga berkembanglah varian bahasa pers yang beragam. Dengan kata lain, di dalam varian bahasa pers juga muncul varian-varian tersendiri, atau yang lebih tepat disebut sub varian. Sehingga, gaya bahasa tiap media massa cetak dan media massa on line cenderung berbeda-beda. Misalnya, ada “gaya bahasa” khas Republika, ada “gaya bahasa” khas Koran Tempo, ada “gaya bahasa” khas Kompas, dan bervariasi pula “gaya bahasa” media-media on line.

Keberagaman varian itu tidak hanya dalam gaya bertutur dan penyajian tulisan untuk memenuhi prinsip-prinsip bahasa pers -- singkat, padat, jelas, lugas, menarik, demokratis, dan progresif -- tetapi juga dalam ejaan, terutama dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing, seperti bahasa Arab, Inggris, dan Latin. Dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing itu tidak ada keseragaman antar-pers, sehinga banyak kata-kata serapan yang ditulis dalam dua sampai tiga versi.

Ironisnya, sebagian besar penulisan kata-kata serapan itu tidak mengikuti pedoman pembentukan istilah yang telah dirumuskan oleh Pusat Bahasa Depdiknas. Bahkan, banyak yang melakukan pengejaan sendiri yang berbeda dengan ejaan kosa kata yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dengan kata lain, banyak praktisi pers yang mengingkari komitmen untuk taat pada kaidah dan etika bahasa Indonesia baku. Jika dicari dan dihitung melalui google, jumlah pengingkaran (kesalahan) seperti itu bahkan dapat mencapai jutaan kasus.

Sebagai contoh aktual adalah dalam penulisan kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni kata-kata yang sebenarnya telah dikenal selama berabad-abad dan menjadi keseharian masyarakat, seperti salat, takwa, wudu dan ustaz, masing-masing surat kabar memilih ejaan yang berbeda-beda. Untuk kata salat, misalnya, Koran Tempo dan Kompas, memilih cara penulisan yang telah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni salat. Sedangkan Republika memilih mengembalikannya pada transliterasi7 langsung dari Arab ke Latin, yang lebih dekat dengan pengucapan Arabnya, yakni shalat. Bahkan, sejak bulan Ramadhan yang lalu, khususnya pada rubrik Dunia Islam, Republika menulis salat dengan sholat. Begitu juga untuk kata takwa, Koran Tempo dan Kompas mengikuti cara penulisan yang telah dibakukan dalam KBBI, yakni takwa. Sedangkan Republika, sama dengan kasus kata salat, memilih taqwa.8

Tetapi, Kompas dan Koran Tempo juga tidak selalu benar. Dalam penulisan kata ustaz justru yang benar (sesuai dengan yang dibakukan dalam KBBI) hanya Koran Sindo dan Suara Merdeka, yakni ustaz. Sedangkan Kompas dan Koran Tempo memilih ustad, dan Republika lagi-lagi berpedoman pada prinsip transliterasi Arab-Latin, yakni ustadz. Sedangkan untuk penulisan kata wudu, tidak ada satupun surat kabar yang mengikuti KBBI, dengan menulis wudu. Rata-rata surat kabar menulis wudhu, atau wudlu. Begitu juga media-media on line.9

Perbedaan gaya atau varian bahasa pers, atau lebih tepatnya ketidakseragaman penulisan kata-kata serapan, akan makin terlihat parah kalau kita mengamati penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing lainnya, terutama kata-kata asing yang berasal dari bahasa Inggris, seperti iven (event) dan gender, dua istilah yang relatif baru dan banyak dipakai di media massa. Rata-rata surat kabar menulis jender, padahal yang benar menurut KBBI adalah gender. Sedangak untuk kata iven – belum dibakukan dalam KBBI – hanya Republika yang menulis iven. Sedangkan Kompas, Koran Tempo, dan Jawa Pos, memilih even.

Dari fakta-fakta tersebut di atas sudah terlihat betapa masih simpang siurnya sistem penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia, dan betapa banyak kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Jika dihitung, dalam sehari mungkin ada puluhan, bahkan ratusan, kesalahan penulisan kata serapan yang terjadi di pers atau media massa Indonesia. Sebab, pelacakan melalui google, dengan memilih pencarian dalam bahasa Indonesia, menemukan jutaan kesalahan penulisan kata-kata serapan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, pada jutaan materi tulisan yang dapat diakses.

Untuk kata salat, misalnya, ditemukan 3.000.000 materi tulisan dengan kata shalat dan 746.000 materi tulisan dengan kata sholat, termasuk materi-materi tulisan yang dimuat Republika. Berarti ada 3.746.000 kesalahan penulisan kata salat. Untuk penulisan kata ustaz, ditemukan 2.280.0000 materi tulisan dengan kata ustad dan 694.000 materi tulisan dengan kata ustadz, termasuk materi tulisan di Kompas, Koran Tempo, dan Republika. Berarti ada 2.974.000 kesalahan penulisan kata ustaz. Sedangkan untuk penulisan kata takwa, ditemukan 887.000 materi tulisan dengan kata taqwa. Dan, untuk penulisan kata wudu, ditemukan 331.000 materi tulisan dengan kata wudhu, dan 59.800 materi tulisan dengan kata wudlu.

Jika dijumlah, terhitung sampai tanggal 20 September 2008, ketika pencarian dilakukan, hanya dalam penulisan empat kata serapan saja – salat, ustaz, takwa, dan wudu – terjadi 7.997.000 (hampir delapan juta) kesalahan penulisan di berbagai media masaa cetak dan on line berbahasa Indonesia yang dapat diakses melalui google. Jumlah kesalahan penulisan kata serapan akan lebih banyak lagi jika ditambah semua kata serapan yang ada dalam bahasa Indonesia dan juga ditambah yang terjadi di media-media yang tidak dapat diakses melalui google.

Jika pengamatan diperluas lagi, akan banyak ditemukan lagi gaya penulisan judul berita yang banyak menghilangkan awalan dan akhiran, serta menyalahi kaidah pembentukan kata jadian (morfologi). Belum lagi kalau kita mengamati gaya bertutur dalam penulisan berita di berbagai surat kabar, yang sering dipenuhi kalimat-kalimat yang tidak logis dan tidak baku. Begitu juga kalau kita mencermati media-media cetak bersegmen remaja, yang ditaburi gaya bahasa gaul yang sama sekali tidak baku, tidak hanya pada kutipan langsung tapi juga pada narasi-narasi yang mestinya menggunakan bahasa Indonesia baku.

Ketidakbakuan, atau ketidakseragaman, menjadi parah terutama karena keterbatasan kemampuan wartawan dan redaktur masing-masing media massa dalam berbahasa tulis, serta kurangnya wawasan dan persepsi mereka tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang lebih banyak mereka sumbang bisa jadi adalah “kesalahan” berbahasa, tapi pembaca bisa jadi menganggapnya sebagai contoh berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau bahasa Indonesia yang sedang tren, sehingga mereka tiru begitu saja. Dan, di sinilah letak bahayanya, karena tanpa sadar media massa dan masyarakat secara bersama-sama akan merusak bahasa Indonesia.


Penyebab dan solusi

Jika ditelusur dan dikaji dengan seksama, ada beberapa faktor penyebab terjadinya pengingkaran oleh kalangan pers terhadap kaidah bahasa Indonesia baku.

Pertama, perbedaan pedoman pembentukan istilah yang diserap dari bahasa asing, khususnya Arab, ke bahasa Indonesia. Beberapa surat kabar dan media on line, seperti Republika dan eramuslim.com, berpedoman pada kaidah transliterasi internasional, yakni sebatas penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, yakni dari abjad Arab ke abjad Latin. Jadi, kata-kata seperti sholat hanya diganti huruf-hurufnya dari abjad Arab ke abjad Latin, sehingga pengucapannya tetap dibiarkan dalam pengucapan bahasa aslinya. Dengan kata lain, kata-kata tersebut tidak diindonesiakan.

Sedangkan KBBI berpedoman pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dengan semangat mengindonesiakan atau menyerap penuh kata-kata tersebut menjadi kata-kata dalam citarasa bahasa Indonesia. Karena dalam dalam EYD tidak dikenal gabungan konsonan sh, maka shalat ditulis salat. Tapi, karena Republika berpedoman pada prinsip transliterasi tadi, maka tetap menulisnya dengan shalat atau sholat. Jadi, kata tersebut tidak diindonesiakan, tapi hanya disalin abjadnya saja.

Kedua, KBBI mengubah cita rasa kata sholat dari cita rasa bahasa Arab ke cita rasa bahasa Indonesia, sehingga menulisnya dengan salat. Sedangkan Republika dan beberapa media lain, khususnya media yang sangat kental semangat Islamnya, tetap mempertahankan cita rasa bahasa aslinya, yakni bahasa Arab, sehingga menulisnya dengan sholat.

Ketiga, ada semacam kekhawatiran di kalangan praktisi media Islam, dan sementara cendekiawan Muslim, jika kata sholat sepenuhnya diindonesiakan menjadi salat, maknanya akan terdistorsi, sehingga kesan sakralnya menjadi hilang. Jadi, ada semacam alasan ideologis di antara mereka. Begitu juga halnya dengan kata taqwa dan ramadhan, dengan alas an ideologis yang sama juga dipilih yang tetap memiliki cita rasa bahasa aslinya, tanpa sepenuhnya diindonesiakan. Belakangan, bahkan beberapa media massa Islam, cetak maupun on line, lebih memilih kata saum daripada puasa. Sedangkan Pusat Bahasa, dalam melakukan pembakuan ke dalam KBBI kurang mempertimbangkan aspek-aspek non-kebahasaan tersebut, sehingga terlalu “nasionalis”.

Keempat, khusus untuk kata-kata serapan baru, yang dewasa ini bertaburan di media massa dan komunikasi masyarakat sehari-hari, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa gaul dan bahasa daerah, seperti iven (event), dan jomblo, Pusat Bahasa dengan KBBI, yang diperbaharui hanya lima tahun sekali, terkesan tertinggal atau terlambat, sehingga media massa melakukan pembakuan sendiri dengan cara masing-masing.

Dan, faktor penyebab kelima, tentu adalah kurangnya wawasan dan kemampuan para wartawan serta redaktur media massa dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga tulisan-tulisan mereka tidak mencerminkan sebagai contoh bahasa tulis yang baik dan benar.

Selain fator-faktor tersebut di atas, selama ini juga banyak kalangan pers yang cenderung menganggap bahwa keberagaman gaya bahasa pers sebagai kewajaran, dengan argumentasi bahwa bahasa pers memang merupakan vaian tersendiri yang dipraktekkan secara luwes, progresif dan kontekstual, agar bahasa pers selalu menarik dan sangat dekat dengan realitas bahasa yang berkembang di masyarakat. Dan, persoalan sering muncul, karena dalam praktek tersebut banyak kalangan pers yang mengabaikan kaidah-kaidah bahasa Indonesia baku..

Tidak kurang pula dari kalangan pers yang menganggap bahwa media massa memang merupakan “pelopor” pengembangan dan pembakuan bahasa Indonesia, sehingga mereka sengaja menempatkan diri di “garis depan” pengembangan bahasa Indonesia, termasuk memelopori pembakuan istilah-istilah baru yang diserap dari bahasa asing dan bahasa daerah guna memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Hanya masalahnya, sekali lagi, mereka melakukan “pembakuan” dengan aturan sendiri, sehingga menyalahi prosedur pembakuan yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Dilihat dari sisi dinamika bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan terus bertumbuh, peran kebahasaan media massa yang progresif tersebut tentu baik-baik saja asal tetap berpedoman pada kaidah yang baku dan ada keseragaman antar-media massa. Jika tidak ada keseragaman, dilihat dari sisi pentingnya kebakuan bahasa Indonesia, keliaran variasi di dalam varian bahasa pers itu tentu dapat mengarah pada pijinisasi bahasa dan dapat membingungkan masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Dan, yang paling dirugikan adalah masyarakat yang berlangganan surat kabar yang bahasa Indonesianya rata-rata buruk atau jauh di bawah standar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena mengganggap bahasa surat kabar yang dibacanya adalah benar -- padahal penuh kesalahan -- maka bahasa Indonesia mereka bisa ikut rusak. Dalam jangka panjang, kondisi seperti itu tentu potensial ikut merusak perkembangan bahasa Indonesia secara keseluruhan.

Karena kemungkinan buruk itulah, kiranya Pusat Bahasa perlu melakukan pembinaan bahasa secara lebih intensif lagi terhadap kalangan wartawan dan redaktur media massa, agar mereka lebih taat pada kaidah-kaidah dan etika berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Untuk menekan kecenderungan pijinisasi dan keliaran variasi bahasa pers, kalangan pengelola media massa nasional juga perlu melakukan semacam “perumusan bersama” gaya bahasa pers yang bersifat nasional, untuk menjadi pedoman bersama.

Sedangkan untuk mengurangi ketertinggalan, kiranya Pusat Bahasa perlu memperpendek frekuensi pembakuan kata-kata serapan baru, yang semula lima tahun sekali menjadi setahun sekali. Hal ini sangat dimungkinkan dengan telah adanya KBBI on line, agar dapat menjadi rujukan yang tetap aktual bagi semua pemakai bahasa Indonesia, khususnya kalangan pers, guna menghindari kesimpangsiuran penulisan kata-kata seraan baru. Hal yang juga sangat penting adalah memasyarakatkan KBBI on line secara lebih luas dan intensif.


Penutup

Meskipun tetap diperlakukan sebagai varian bahasa tersendiri, tetap akan jauh lebih baik jika pers nasional memiliki gaya bahasa yang seragam, dan masing-masing surat kabar tidak mengembangkan gaya bahasanya sendiri yang saling berbeda satu sama lain. Tentu, gaya bahasa pers nasional yang disepakati bersama itu diupayakan betul-betul berdasarkan kaidah bahasa Indonesia baku, gaya bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti yang telah dipedomankan oleh Pusat Bahasa Depdiknas.

Bagaimanapun, Pusat Bahasa telah bekerja keras selama puluhan tahun untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia berdasarkan kaidah-kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan. Sangatlah tidak bertanggung jawab jika upaya tersebut malah diingkari oleh kalangan media massa, yang mestinya justru harus mendukung penuh upaya pembakuan tersebut.***

Jakarta, 20 September 2008



Daftar rujukan:

   1.

      Anderson, Douglas A., News Writing and Reporting for Today's Media, McGraw-Hill Inc, New York, 1994.
   2.

      Connery, Thomas B., A Sourcebook of American Literary Journalism, Greenwood Press, New York, 1992.
   3.

      Charity, Arthur, Doing Public Journalism, The Guilford Press, New York, 1995.
   4.

      Hadimaja, Aoh K., Seni Mengarang, Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
   5.

      Mansoor, Sofia, dan Nik Solihin, Peristilahan, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
   6.

      Mappatoto, Andi Baso, Teknik Penulisan Feature, Gramedia, Jakarta, 1992.
   7.

      PWI Pusat, Pers Nasional, Himpunan Peraturan dan Perundang-Undangan, Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional, Jakarta, 1989.
   8.

      Provost, Gary, 100 Cara untuk Meningkatkan Penulisan Anda, Dahara Prize, Semarang, 1987.
   9.

      Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), edisi III, 2008.
  10.

      Razak, Abdul, Kalimat Efektif, Struktur, Gaya dan Variasi, Gramedia, Jakarta, 1986.
  11.

      Republika, Redaksi, Gaya Bahasa Republika 2007, Republika, Jakarta, 2007.
  12.

      Rivers, William L., Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya, Gramedia, Jakarta, 1997.
  13.

      Siregar, Ashadi dkk., Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, Karya Unipress, Yogyakarta, 1982.
  14.

      Strentz, Herbert, Reporter dan Sumber Berita, Gramedia, Jakarta, 1993.
  15.

      Sudarsana, Gunawan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Indonesia Tera, Magelang, cetakan kelima, 2008.
  16.

      Sumadiria, AS Haris, Drs., MSi, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, Juli 2008.
  17.

      Tarigan, Henry Guntur, Menulis sebagai Keterampilan Berbahasa, Angkasa, Bandung, 1983.
  18.

      Tim Pustaka Widyatama, EYD Lengkap, Pustaka Widiatama, Yogyakarta, cetakan pertama, 2008.














Biografi:
AHMADUN YOSI HERFANDA, lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958. Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta ini menyelesaikan S-2 jurusan Magister Teknologi Informasi pada Universitas Paramadina Mulia, Jakarta. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia (HISKI, 1993-1995), dan ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (KSI, 1999-2002). Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana, mendirikan Creative Writing Institute (CWI).
Ahmadun juga sempat menjadi anggota Dewan Penasihat dan (kini) anggota Mejelis Penulis Forum Lingkar Pena (FLP). Tahun 2006 terpilih menjadi anggota DKJ, tapi kemudian mengundurkan diri. Tahun 2007 terpilih menjadi ketua umum Komunitas Cerpenis Indonesia (periode 2007-2010), dan tahun 2008 terpilih sebagai ketua umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Sehari-hari kini ia menjadi redaktur sastra Harian Umum Republika Jakarta, dan tutor sastra Pusat Bahasa Depdiknas.

Selain puisi, Ahmadun juga banyak menulis cerpen dan esei. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media sastra dan antologi puisi yang terbit di dalam dan luar negeri. Antara lain, Horison, Ulumul Qur’an, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana (Brunei), antaologi puisi Secreets Need Words (Harry Aveling, ed, Ohio University, USA, 2001), Waves of Wonder (Heather Leah Huddleston, ed, The International Library of Poetry, Maryland, USA, 2002), jurnal Indonesia and The Malay World (London, Ingris, November 1998), The Poets’ Chant (The Literary Section, Committee of The Istiqlal Festival II, Jakarta, 1995).

Beberapa kali sajak-sajak Ahmadun dibahas dalam Sajak-Sajak Bulan Ini Radio Suara Jerman (Deutsche Welle). Cerpennya, Sebutir Kepala dan Seekor Kucing memenangkan salah satu penghargaan dalam Sayembara Cerpen Kincir Emas 1988 Radio Nederland (Belanda) dan dibukukan dalam Paradoks Kilas Balik (Radio Nederland, 1989). Tahun 1997 ia meraih penghargaan tertinggi dalam Peraduan Puisi Islam MABIMS (forum informal Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura).

Sebagai sastrawan dan jurnalis, Ahmadun sering diundang untuk menjadi pembicara dan membaca puisi dalam berbagai seminar serta iven sastra nasional maupun internasional. Tahun 1998 ia diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam Festival Kesenian Perak di Ipoh, Malaysia. Tahun 1997 ia menjadi pembicara dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) IX Padang. Tahun 1999 ia mengikuti PSN X di Johor Baharu, Malaysia, dan menjadi pembicara pada Pertemuan Sastrawan Muda Nusantara Pra-PSN di Malaka. Tahun 2002 ia menjadi pembicara dan membacakan sajak-sajaknya dalam festival kesenian Islam di Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir.

Kemudian, pada Agustus 2003 Ahmadun diundang untuk membacakan sajak-sajaknya dalam simposium penyair The International Society of Poets di New York, AS. September 2004 menjadi pembicara dalam PSN XIII di Surabaya. Mei 2007 menjadi pembicara dalam Pesta Penyair Indonesia 2007, Sempena The 1st Medan International PoetryGathering, Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Oktober 2005 dan Oktober 2007 menjadi pembicara dan Kongres Cerpen Indonesia (KCI) IV di Pekanbaru, dan KCI V di Banjarmasin. Januari 2008 menjadi pembicara dan ketua siding pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.

Buku-buku Ahmadun yang telah terbit adalah Sang Matahari (puisi, Nusa Indah, Ende, 1984), Sajak Penari (puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, Yogyakarta, 1991), Fragmen-Fragmen Kekalahan (puisi, Penerbit Angkasa, Bandung, 1996), Sembahyang Rumputan (puisi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1996), Sebelum Tertawa Dilarang (cerpen, Balai Pustaka, Jakarta, 1997), Ciuman Pertama Untuk Tuhan (puisi dwi-bahasa, Logung Pustaka, 2004), Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (cerpen, Being Publishing, 2004), Badai Laut Biru (cerpen, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004), dan The Worshipping Grass (puisi dwi bahasa, Bening Publishing, Jakarta, 2005).

Buku-buku terbaru Ahmadun yang sedang dalam proses terbit, antara lain Resonansi Indonesia (kumpulan puisi), Metafor Cinta, Dialektika Antara Sastra, Alquran dan Tasawuf (esei panjang), Kolusi (kumpulan cerpen) dan Koridor yang Terbelah (kumpulan esei). Sajak-sajak dan tentang dirinya dapat ditemukan di www.wikipedia.com, www.poetry.com, www.yahoo.com, www.google.com, dan www.cybersastra.net. Kini tinggal di Vila Pamulang Mas Blok L-3 No. 9, Phone/Fax (62-21)-7444765, Pamulang, Ciputat 15415, Indonesia. Email: ahmadun21@yahoo.com. Mobile: 081315382096.*

1 Sumadiria, AS Haris, Jurnalistik Indonesia, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, cetakan ketiga, 2008, halaman 31.

2 Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadhily, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1992), jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.

3 Secara garis besar, berbagai macam tulisan di media massa cetak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni fakta (fact) berupa berbagai macam tipologi berita, opini (opinion) berupa artikel dan esei serta kolom, dan fiksi (fiction) berupa cerpen dan novel serta puisi. Hanya tulisan-tulisan dalam kelompok fakta yang dianggap menggunakan bahasa jurnalistik.

4 Dalam buku Jurnalistik Indonesia, AS Haris Sumadiria MSi, opcit, memberikan 11 ciri bahasa pers, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, mengutamakan kalimat aktif, menghindari kata atau istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Pakar-pakar pers lain, seperti Ashadi Siregar, umumnya hanya menyebut lima ciri bahasa pers, yakni singkat, padat, jelas, lugas, dan menarik. Saya kira ada satu ciri lagi yang perlu ditambahkan pada bahasa pers, yakni progresif. Sebab, bahasa pers selama ini menunjukkan ciri yang sangat progresif dalam menggali dan memperkenalkan kosa-kosa kata baru, baik yang diambil dari bahasa daerah, bahasa serumpun, maupun bahasa asing.

5 Sumadiria, AS Haris, opcit., halaman 58-59.

6 Pemakaian istilah “gaya bahasa” di sini tidak dalam pengertian majas, tapi meliputi gaya penuturan sampai penulisan kata-kata serapan, seperti terlihat pada buku Gaya Bahasa Republika 2007, yang mengatur sejak gaya penulisan judul berita, teras berita, tubuh berita, kutipan, tanda baca, gelar dan nama diri, sampai penulisan partikel, pengejaan, tata kalimat, dan penulisan kata-kata serapan.

7 Transliterasi dalam konteks ini adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu (Arab) ke abjad yang lain (Latin), tanpa penyesuaian dengan kaidah pembentukan istilah bahasa yang bersangkutan.

8 Bukti-bukti penyimpangan ini dengan mudah dapat ditemukan melalui mesin pencari kata, google. Sedangkan untuk menguji kebakuannya, atau memilih kata mana yang baku, dapat memanfaatkan KBBI on line di pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi.

9 Bukti-bukti penyimpangan ini juga dengan gampang dapat ditemukan melalui google.
Baca Lengkapnya....

PESONA CINTA

Tak sepatah kata mampu mengucap keindahannya
Puitika juga bertekuk lutut pada gerai rambutnya
Pada bening mata itu kulihat kau berenang
ke tengah telaga. Kutahu, kaupun memburu cinta

Di antara mawar yang menyubur di taman hatiku
Hanya engkau, pesona yang menggetarkan jiwa
Di garis purnama engkau menari, dalam denyar angin
Engkau kerdipkan matamu. O, pesona yang menjerat rindu
Cinta mengerjap pada kerling matamu

Tak sepatah pahat mampu memaknai keindahannya
Estetika juga takluk pada lekuk tubuhnya
Di sudut bibirmu aku pun mengaduh
Terbuai harum keringatmu

Jakarta, Agustus 2003
Baca Lengkapnya....

RAHASIA CINTA

Rahasia cinta ada pada bunga yang tak pernah ingkar
Memekarkan dirinya demi kupu-kupu
Yang membutuhkan madu untuk menitikkan serbuk sari
Pada benih hingga tumbuh buah ranum bagi kehidupan

Rahasia cinta ada pada kesetiaan pantai yang selalu
Sabar menunggu kecupan ombak, dan atas kesabarannya
Ombak selalu bergairah memberikan kecupan pada
Bibir sang pantai, hingga tak ada detik yang terlewat
Dari kasih sayangnya

Rahasia cinta ada pada gairah dan kesetiaan
Yang selalu mempertemukan dua hati yang saling
Merindu untuk bersua dan menyatukan nafas
Dalam kehidupan yang penuh makna

Rahasia cinta ada pada semua yang bersedia menyayangi
Tanpa berhitung bakal mendapat apa setelah memberi
Rahasia cinta ada pada hati yang terbuka untuk menerima
Bagai samodra yang selalu ikhlas menerima tiap gelisah muara,
Menghidupi berjuta nelayan dan memeram resah
Berjuta nakhoda yang selalu merindu dermaga

Rahasia cinta ada pada hati
Yang selalu bersedia berbagi
Dari luka hingga nikmat paling sejati
Rahasia cinta ada di dalam dada
Yang tulus menjadi samodra maaf
Dengan lautan pengertian
Bagi yang satu dengan lainnya

Kota Tua, 2010
Baca Lengkapnya....

KAU DAN AKU

bahagia saat kau kirim rindu
termanis dari lembut hatimu
jarak yang memisahkan kita
laut yang mengasuh hidup nakhoda
pulau-pulau yang menumbuhkan kita
permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku
berjuta tubuh satu jiwa

kau semaikan benih-benih kasih
tertanam dari manis cintamu
tumbuh subur di ladang tropika
pohon pun berbuah apel dan semangka
kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku
berjuta kata satu jiwa

kau dan aku
siapakah kau dan aku?
jawa, cina, batak, arab, dayak
sunda, madura, ambon, atau papua?
ah, tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
berjuta wajah satu jiwa

ya, apalah artinya jarak pemisah kita
apalah artinya rahim ibu yang berbeda?
jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
tulus menyatu dalam dekapan
rahasia Cinta

Jakarta, 1999/2009
Baca Lengkapnya....

GENDON

Karena lelaki itu hampir selalu menghabiskan sepanjang harinya untuk tidur mlungker di serambi masjid, orang pun menjulukinya Gendon. Ia adalah lelaki tunanetra yang tidak begitu jelas asal usulnya. Tiba-tiba saja dia sudah berada di masjid kampungku dan menyerahkan seluruh hidup matinya pada warga di sekeliling masjid.
    Tidak seorang pun tahu pukul berapa ia datang, diantar siapa, dan berasal dari mana. Orang-orang kampung hanya mencatat dalam ingatan masing-masing, bahwa pagi itu, ketika waktu Subuh tiba, mereka dikejutkan oleh suara azan yang sangat aneh dari mesjid tua itu.
    Suara azan yang dikumandangkan dengan bantuan corong dari seng itu segera membangunkan warga sekitar masjid kecil yang lebih layak disebut sebagai mushalla. Orang-orang kaget karena sudah cukup lama masjid itu sepi dari suara azan subuh. Bahkan, hampir tidak pernah digunakan untuk sembahyang berjamaah kecuali pada hari Jumat.
    Begitu azan terdengar, Bu Malik, menantu almarhum Kiai Solikhin yang rumahnya bersebelahan dengan masjid, langsung terbangun. Ia merasakan seperti ada suara malaikat yang bergetar keras di telinganya dan menghentak seluruh syarafnya. Suara azan yang melengking tinggi itu seperti mengiris-iris hatinya sampai ngilu.
    Bu Malik lantas menengok suaminya. Ia rupanya juga sudah terbangun oleh suara azan itu. Dalam keremangan cahaya listrik lima watt, Pak Malik, anak tertua Kiai Solikhin, tampak duduk memeluk lututnya sambil memperhatikan suara aneh itu. Akan tetapi, kemudian dia menguap dan tidur lagi sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.
    Karena penasaran pada suara azan itu, Bu Malik keluar menuju masjid. Tanpa diduga, beberapa tetangganya yang tinggal di kanan kiri masjid juga ikut keluar untuk mengintip pemilik suara aneh yang menggetarkan hati itu.
    "Suara siapa itu, Bu," tanya seorang tetangganya.
    "Saya tidak tahu. Saya mau melihatnya," jawab Bu Anwar sambil bersijingkat ke jendela samping masjid.
    "Siapa, Bu?" tanya tetangganya lagi.
    Bu Malik hanya menggeleng.
    Para tetangganya kemudian ikut mengintip pemilik suara aneh itu. Namun, tidak seorangpun mengenal lelaki kurus bersarung dan berpeci lusuh yang dengan penuh perasaan mengalunkan azan Subuh.
    Selesai azan, lelaki itu membaca Shalawat Nabi. Cukup lama. Karena tidak ada seorang pun yang datang untuk berjamaah Subuh, baik imam maupun makmum, akhirnya lelaki itu mengumandangkan qomat.
    Bersamaan dengan geletar suara qomat, tiba-tiba muncul degupan aneh di dada Bu Malik. Degupan itu kemudian dengan begitu kuat menyeret langkahnya ke tempat wudu dan menggerakkan tangannya untuk berwudu serta melangkah kembali ke masjid. Ia lalu mengambil mukena di lemari masjid dan berdiri di belakang lelaki asing itu untuk menjadi makmumnya.
    Langkah Bu Malik rupanya diikuti oleh beberapa tetangganya yang ikut mengintip di jendela masjid. Mereka pun melakukan shalat Subuh untuk pertama kali di masjid itu sejak meninggalnya Kiai Solikhin dua tahun lalu.
    Usai shalat, orang asing itu menyalami Lek Sodikun, salah seorang tetangga Bu Malik yang ikut berjamaah. Mereka pun kaget melihat mata lelaki itu. Orang asing itu ternyata tuna netra.
    "Lho, Bapak tidak bisa melihat?" tanya Bu Malik.
    "Ya, Bu," jawab lelaki itu.
    "Bapak dari mana?" tanya Lek Sodikun.
    "Mengapa Bapak tiba-tiba ada di sini?" tanya yang lain.
    "Saya sendiri tidak tahu, saya ini berasal dari mana. Sejak kecil saya hidup dari masjid ke masjid. Sehabis sembahyang malam di masjid terakhir tempat saya tinggal yang tidak saya ketahui namanya dan daerah mana, tiba-tiba ada seseorang yang membawa saya. Saya di bawa naik mobil dan diturunkan di sini. Ketika saya tanya, siapa dia dan akan membawa saya ke mana, dia hanya bilang bahwa saya akan tahu sendiri nanti dan saya dilarang bertanya lagi. Setelah saya diturunkan dia hanya berkata, di sinilah tempatku yang baru," cerita lelaki buta itu.
    "Lantas, siapa namamu?" tanya Bu Malik.
    "Namaku Slamet, Bu."
    "Lalu, keluargamu di mana?"
    "Saya tidak punya siapa-siapa, Bu. Tidak punya keluarga, tidak ada yang tahu saya anak siapa. Sejak kecil saya buta dan sejak kecil pula saya tinggal dan hidup di masjid. Sejak kecil saya hidup dari belas kasihan orang-orang di sekitar masjid yang tiap hari secara bergiliran memberi makan saya," cerita Slamet.
    "Kalau begitu, tinggal saja di masjid ini. Sudah lama masjid ini tidak ada yang mengurus. Kalau waktu shalat tiba juga tidak ada yang azan. Soal makan, jangan khawatir. Saya akan memberimu setiap hari," kata Bu Malik.
    "Saya juga bersedia memberimu makan," sambung Lek Sodikun.
    "Saya juga," ujar yang lain.
    "Kalau begitu kami akan memberi makan secara bergiliran," ujar Bu Malik sambil menyentuh dengkul lelaki buta itu.
    Sejak hari itulah hidup mati Slamet menjadi tanggungan warga di sekitar masjid kampungku. Bu Malik mengatur giliran memberi makan Slamet sehari tiga kali. Mula-mula di mata warga setempat lelaki itu tampak menyenangkan. Ia sangat rajin mengurus masjid, azan tiap waktu shalat tiba dan mengaji hampir sepanjang hari. Masjid yang semula sepi dan terbengkelai itu menjadi ramai kembali.
    Anggapan masyarakat terhadap Slamet pun terus berkembang. Ia tidak lagi sekedar dianggap sebagai muazin dan pemakmur masjid, tetapi juga dianggap sebagai wali tiban. Orang-orang pun berebutan memberinya makan dan memanjakannya. Slamet semakin lama bertambah gemuk saja.
    Bukan begitu saja. Slamet, sebagai wali tiban, juga menjadi tempat tumpahan suka duka warga kampung. Bahkan, juga menjadi semacam konsultan agama, keluarga, dan segala macam persoalan kampung.
    Semakin lama Slamet makin sibuk melayani orang-orang kampung. Setiap hari selalu ada persoalan yang diadukan kepadanya. Bahkan, kemudian banyak juga yang menanyakan nomor buntut SDSB yang bakal keluar. Hal yang paling membuatnya tidak tahan adalah semakin banyaknya orang yang suka memancing-mancingnya untuk ngrasani warga kampung yang dianggap punya borok, ngrasani Lek Parto yang anaknya menjadi perawan tua, Surtiyem yang hamil tanpa suami, Pak Kasman yang kaya mendadak dan dianggap punya tuyul, Pak Kasno yang korupsi, atau Pak Kadus yang memanipulasi uang proyek irigasi, dan banyak lagi. Inilah yang membuat dia terpaksa memutuskan untuk menutup forum konsultasi gratisnya dan memilih tidur untuk mengisi waktu luangnya.
    Slamet segera minta tolong seorang pemuda kampung untuk menulis 'Mulai hari ini tidak terima tamu' pada selembar kertas karton. Kertas ini ia pasang pada dinding serambi masjid. Setiap habis makan pagi, makan siang, dan makan malam dia tidur di bawah tulisan itu. Ia hanya bangun tiap waktu azan tiba, kemudian sembahyang, makan dan tidur lagi. Ini berjalan sampai berbulan-bulan hingga warga kampung menjulukinya ‘Gendon’.
    "Untuk menghindari dosa lebih baik saya tidur," jawab Slamet ketika Bu Malik menanyakan perubahan kebiasaannya yang mendadak itu, tanpa mau menjelaskan dosa apa yang dimaksudnya.
    Semula orang-orang kampung maklum saja atas perubahan kebiasaan Slamet itu. Ini karena mereka terlanjur menganggapnya sebagai wali tiban. Mereka menganggap wajar, bahwa seorang wali kadang-kadang memang suka berbuat yang aneh-aneh. Mereka dengan suka rela tetap memberi makan pada Slamet sesuai giliran masing-masing. Sampai pada suatu ketika desa mereka dilanda musim paceklik, sawah-sawah diserang hama wereng, dan panen gagal total. Warga kampung mulai keberatan untuk memberi makan Slamet. Konflik tentang Slamet pun mulai muncul.
    "Maaf, Bu Malik, mulai besok saya tidak sanggup lagi memberi makan Slamet," kata Mbok Sodikun di serambi masjid seusai sembahyang Asar. "Sawah saya kena wereng semua, tidak bisa dipanen. Untuk makan sendiri saja repot, Bu."
    "Saya juga tidak bisa lagi, Bu," sambung Bu Pardi.
    "Saya juga tidak bisa," timpal yang lain lagi.
    "Aduh! Apa harus saya yang menanggung semuanya sekarang. Sawah saya juga kena wereng. Ibu-ibu ini bagaimana? Beban saya kan terlalu berat nanti. Apalagi sekarang Slamet makannya semakin banyak. Ibu-ibu dulu kan sudah sanggup untuk membantu," jawab Bu Malik dengan nada kecewa.
    "Habis bagaimana lagi, Bu. Keadaan kami sedang paceklik," kata Mbok Sodikun.
    "Bagaimana kalau Slamet kita suruh pindah saja ke masjid lain," usul Bu Pardi.
    "Ya, kita suruh pindah saja. Lagi pula dia sekarang kerjanya cuma tidur saja, mlungker seperti gendon," kata yang lain.
    "Apa tidak kasihan dia?"
    "Kasihan bagaimana? Kita sendiri sedang kekurangan makan."
    "Salah kita, dulu kita sanggup memberi makan dia."
    "Sudahlah! Biar saya saja yang memberi makan," kata Bu Malik akhirnya.
    Akan tetapi, keputusan Bu Malik itu menimbulkan konflik tersendiri dengan suaminya. Pak Malik keberatan untuk menanggung seluruh kebutuhan hidup lelaki tunanetra itu. Bahkan, Pak Malik kemudian memutuskan untuk memindahkan Slamet ke masjid lain.
    Sore itu, Pak Malik bermaksud 'membuang' Slamet ke luar kampung. Ia mengambil sepedanya untuk memboncengkan lelaki itu. Akan tetapi, begitu dia memegang stang sepedanya, tiba-tiba terdengar derum mobil yang berhenti di depan masjid. Sesaat kemudian, derum itu mengeras dan lenyap tiba-tiba.
    Pak Malik cepat-cepat memburu suara itu, tetapi tidak menemukan apa-apa di depan masjid. Dengan penasaran dia lantas menengok ke dalam masjid. Tidak ada siapa-siapa. Slamet, yang biasanya tidur di serambi masjid, juga tidak kelihatan lagi. Ia lantas mencarinya ke seluruh sudut masjid, WC, kamar mandi, dan tempat wudu. Tetap saja lelaki itu tidak ditemukan.
    "Bu, Slamet hilang!" teriak Pak Malik.
    Bu Malik pun segera ikut mencari Slamet, begitu juga orang-orang sekitar masjid. Bahkan, mereka juga mencarinya ke seluruh sudut kampung. Slamet tetap tidak ditemukan. Juga tidak ditemukan jejak ban mobil di depan masjid, padahal tanah di depan masjid basah karena baru saja turun hujan – hujan yang juga aneh karena tiba-tiba turun di tengah musim kemarau. Mereka makin terheran-heran ketika kemudian menemukan pesan Slamet tertulis pada selembar kertas yang tergeletak di pintu masjid:
    Bapak-Ibu tidak perlu repot-repot memikirkan makan saya lagi. Juga tidak perlu susah-susah memindahkan saya ke masjid lain. Sebab sang Gendon kini telah berubah menjadi Kwangwung. Dengan sayapnya kini sang Kwangwung terbang ke langit. Selamat tinggal. (Slamet)
    Warga kampungku semakin yakin bahwa lelaki tunanetra itu benar-benar wali tiban yang raib kembali karena tugasnya di masjid kampungku telah selesai.

Yogyakarta, 22 Maret 1992

*Cerpen ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Juni 1992, dan memenangkan juara harapan Suara Merdeka Awards ‘92.
Baca Lengkapnya....