Sastra, Planet Senen, dan Potret Buram Bangsa

MESKI bergerak ke arah perbaikan, negeri ini masih banyak menyisakan potret buram. Dan, itulah yang disorot oleh sastrawan Taufiq Ismail pada orasi sastranya dalam acara Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka di plasa Gelanggang Remaja Jakarta Pusat, di Planet Senen, Jumat, 29 Agustus 2008, yang lalu.
“Sesudah enam puluh tiga tahun merdeka, apabila kita berharap akan keadilan, masih bisakah saudaraku menemukan keadilan di Indonesia hari ini, setelah pincang, tersaruk digebrak krisis, dihantam bencana, dan kehabisan angka kita menghitungnya,” katanya. Ungkapan Taufiq itu tentu bukan untuk membuat kita pesimis, tapi menyadarkan kita betapa masih banyaknya pekerjaan yang harus kita selesaikan untuk mengisi kemerdekaan, betapa masih banyak tugas para pemimpin bangsa untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan, keadilan dan kemakmuran.

Setelah dilanda krisis dan berbagai kerusuhan pada masa akhir kekuasaan Soeharto, bertubi-tubi negeri ini dilanda bencana alam yang dahsyat, sejak tsunami Aceh hingga gempa Yogya. Belum lagi berbagai kasus korupsi dan penggelapan uang negara dalam kasus BLBI dan dana BI misalnya.Melonjaknya harga minyak dunia pun ikut melonjakkan harga BBM dalam negeri yang berakibat makin tergencetnya nasib rakyat oleh kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara, beban hutang negara Rp 1.600 triliun pun menjadi beban tersendiri, yang menyita hampir 40 persen APBN untuk mencicilnya.

Jadinya memang tidak mudah untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman kebangkrutan ekonomi dan kehancuran budaya. Seperti disorot oleh Taufiq pada orasinya itu, akhlak berbagai kalangan masyarakat juga mengalami kemerosotan, termasuk kalangan anggota Dewan, pejabat, penegak hukum, dan sastrawan. Berbagai kasus korupsi dan perselingkuhan melanda Dewan, sementara dari kalangan sastrawan banyak yang mengagungkan kebebasan seks dengan dalih kebebasan berekspresi.

“Akhlak merosot, budaya permisif serba boleh menjadi-jadi. Narkoba, alkohol, nikotin, dan pornografi. Hak pakai alat kelamin di badan orang lain tak dihormati. VCD biru dalam kata-kata menjadi gaya fiksi masa kini, asyik dengan masalah selangkangan dan sekitar ini, diusung dengan rasa kagum kronis pada teori-teori neo-liberalisme,” kata Taufiq. Pada akhir orasinya, Taufiq bertanya, masih adakah harapan bagi kita, manusia Indonesia? Dan, ia menjawabnya sendiri, “Mudah-mudahan masih ada. Ya, masih ada. Dengan kerja keras diiringi khusyuknya doa, dari atas sampai ke bawah. Berpeluh dalam kerja, menangis dalam doa. Semoga Indonesia kita tetap disayangiNya, selalu dilindungiNya.”

Kawasan Planet Senen, yang pada tahun 1960-an menjadi semacam oase budaya bagi kota Jakarta, dan banyak melahirkan seniman besar, belakangan pun terkena polusi moral. Kawasan tempat nongkrong dan tumbuhnya Wim Umboh, Sukarno M Nur, Misbah Yusa Biran, Hamsad Rangkuti, Ajip Rosyidi dan SM Ardan itu belakangan kehilangan citranya sebagai oase budaya. Citra yang melekat pada kawasan Senen, tinggal kawasan bisnis, premanisme dan pelacuran.

Kesadaran untuk merevitalisasi fungsi kultural Planet Senen dan mengembalikan citranya sebagai salah satu oase budaya bagi kota Jakarta, akhir-akhir ini mencul dari beberapa penyair seperti Imam Maarif, Irman Syah, Ahmad Sekhu dan Giyanto Subagio. Mereka mencoba mendenyutkan kembali aktivitas kesenian sastra, tari, lukis, dan teater — dari Gelanggang Remaja Jakarta Pusat yang menempati kawasan Planet Senen.

Untuk mendukung upaya itu pula Nongkrong Sastra dan Musik Merdeka digelar di plasa gelanggang remaja tersebut, atas kerja sama antara Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Komunitas Planet Senen (KoPS), serta dukungan penuh Dedy Mizwar, Misbah Yusa Biran dan Taufiq Ismail. “Senen dulu banyak melahirkan seniman besar. Di sini pula dimulainya teater modern Indonesia,” kata Misbah.

“Kegiatan ini positif sekali untuk mengembalikan citra dan fungsi kawasan Senen, bukan hanya sebagai kawasan bisnis, tapi juga oase kesenian bagi kota Jakarta,” kata walikota Jakarta Pusat Dr Hj Sylviana Murni pada sambutan yang dibacakan wakilnya, Dadang Effendi. “Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini,” tambah Kasubdin Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta Pusat, Bambang Subekti.

Diawali dengan diskusi bertajuk Sastra Urban dan Kemerdekaan dengan pembicara Irman Syah, Helvy Tiana Rosa, dan Agus R Sarjono, acara dipuncaki orasi sastra oleh Taufiq Ismail. Sebelum orasi, panggung diisi pentas baca puisi oleh Ahmad Sekhu, Widodo Arumdono, Diah Hadaning, Aby Nuh, Medy Loekito, Misbah Yusa Biran, Jamal D Rahman, Giyanto Subagio, dan Viddy AD Daery, serta baca cerpen oleh Yohana Gabe Threenov Siahaan.

Panggung yang dipasang di sebelah patung perjuangan kemudian diisi baca puisi, antara lain oleh Rukmi Wisnu Wardani, Mustafa Ismail, Sihar Ramses Simatupang, Amien Kamil, A Badri AQT, dan baca cerpen oleh Hamsad Rangkuti. Sejumlah penyair, seperti Imam Maarif, sempat naik ke atas balkon patung untuk membacakan sajaknya. Sejumlah grup musik, seperti Prasta dari Bogor pimpinan Uthe dengan vokalis Irma, serta performance arts Asep Sutajaya dan Abah Bopeng, menyempurnakan acara hingga larut malam.

Kesenian telah kembali menggeliat di Planet Senen, kembali menghamparkan oase sejuk di tengah kota Jakarta yang makin gerah, bising, sibuk, macet, dan penuh dekadensi moral. Semoga saja, kesenian-kesenian yang digelar di Senen adalah seni yang menjaga moral, yang mencerahkan hati nurani, dan menyempurnakan harkat serta martabat kemanusiaan publiknya, bukan yang sebaliknya.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 7 Sep 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar