Menyorot Bahasa Indonesia dalam Film Kita

Ada indikasi bahwa bahasa dalam film kita tidak mencerminkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Adalah peneliti dari Pusat Bahasa Depdiknas, Yayah B Lumintang, yang mengemukakan indikasi itu pada diskusi Bahasa dalam Film Kita dalam rangka Festival Film Indonesia (FFI) 2008, di Gedung Film, Jakarta, pekan lalu.
Setelah melakukan serangkaian penelitian, Yayah menemukan banyak bukti bahwa bahasa dalam film-film nasional banyak diwarnai bahasa gaul (slank dan prokem) serta kuatnya pengaruh bahasa asing. Menurutnya, agar menarik, bahasa film tidak harus demikian. Dia mencontohkan film Gee yang bahasa Indonesianya sangat bagus namun tetap menarik.

Ada sedikit perbedaan persepsi tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film. Perbedaan ini terasa sekali dalam diskusi. Kalangan pakar bahasa, seperti Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, menginginkan agar bahasa dalam film sedekat mungkin dengan bahasa baku, meskipun tidak harus diseragamkan. Semangat senada juga tampak dari prasaran pembicara lain, Direktur Perfilman Depbudpar Ukus Kuswara.

Sementara, kalangan praktisi perfilman memandang bahwa bahasa Indonesia dalam film bersifat fleksibel, sesuai kebutuhan karakterisasi tokoh cerita, latar sosial-budaya, dan kepentingan pasar. Artis, produser, dan sutradara Lola Amaria, bahkan cenderung memandang pasar sebagai yang utama. Karena itu, baginya, untuk merebut pasar, sah-sah saja dialog dalam film banyak memunculkan bahasa gaul, dan memakai bahasa asing (Inggris) untuk judulnya.

Di tengah perbedaan itu, pengusaha bioskop dan produser film, Chand Parves Servia, memilih bersikap moderat. Film, menurutnya, adalah cermin keseharian masyarakat, termasuk keseharian masyarakat dalam berbahasa. “Bahasa dalam film bisa dianggap mencerminkan penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari,” katanya.

Karena itu, menurutnya, prinsip bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film tidak dapat ditafsirkan secara kaku, tetapi harus secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan karakterisasi dan realitas keseharian tokoh cerita serta latar sosial-budaya yang hendak digambarkannya.

Dari sinilah tampak ada tarik-menarik antara keinginan untuk mencerminkan bahasa sehari-hari masyarakat yang diangkat ke dalam film dan kepentingan untuk memenuhi prinsip berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, Parves tetap sutuju perlunya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Dua sisi

Penggunaan bahasa dalam film, menurut Parves, dapat dilihat dari dua sisi, yakni bahasa lisan (dialog dan narasi) serta bahasa tulis (judul dan credit tittle). Bahasa lisan dalam film yang diangkat dari skenario yang ditulis oleh penulis yang penguasaan bahasanya baik, akan menghasilkan bahasa lisan (dialog) yang baik pula — kecualai diubah oleh sutradara yang penguasaan bahasanya kurang baik. Namun, bila penguasaan bahasa sutradaranya baik, maka film yang diangkat dari skenario yang bahasanya kurang baik pun dapat menghasilkan film dengan bahasa yang baik.

Bahasa lisan dalam film kita, menurut Parves, sesungguhnya sudah dapat dikatakan baik. Namun, kadang-kadang masih terdapat kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, terutama berkaitan dengan logika bahasa. Sering ada tokoh yang mengucapkan dialog yang tidak sesuai dengan karakternya, misalnya tukang becak menggunakan bahasa orang gedongan. Selain itu, dalam penggunaan bahasa tulis, film kita juga sering salah ejaan.

Selain sebagai media hiburan, menurut Parves, film juga menjadi ‘guru bahasa’. Kekurangan atau kesalahan bahasa dalam film kita, sangat besar pengaruhnya terhadap anak-anak dan remaja yang banyak ‘berguru’ pada film bioskop dan sinetron. “Dengan keseriusan bersama, kesalahan penggunaan bahasa dalam film akan dapat dihindari,” katanya.

Parves yakin, untuk menghasilkan film-film dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak perlu ahli bahasa. Yang diperlukan, tegasnya, adalah kemauan bersama para insan film. Semangat inilah yang cukup menggembirakan Dendy Sugono dan Ukus Kuswara, yang sama-sama mengharapkan penggunaan bahasa Indoensia yang baik dan benar dalam film-film kita.

Namun, Dendy tidak akan menyeragamkan bahasa film. Sebab, menurutnya, pengeritan bahasa Indonesia yang baik dan benar (dalam film) bersifat fleksibel, dinamis, wajar, dan kontekstual. “Bahasa adalah cermin dinamika kehidupan. Film juga cermin dinamika kehidupan. Bahasa yang berkembang di masyarakat tercermin dalam film,” katanya.

Meskipun begitu, Dendy mengingatkan pentingnya politik identitas dalam film kita, dengan bersikap setia pada kosa kata bahasa Indonesia, dan sedapat mungkin menghindari bahasa asing, termasuk pada judul film. Sebab, semakin banyaknya bahasa asing pada film kita sama artinya dengan makin lunturnya identitas kebangsaan kita.

Untuk meningkatkan kualitas bahasa Indonesia dalam film, forum lantas mengajukan beberapa kesimpulan dan rekomendasi penting. Salah satunya, merekomendasikan agar Festival Film Indonesia (FFI) tetap mempertahankan penghargaan untuk kategori film berbahasa Indonesia terbaik, yang pada FFI 2007 diraih oleh film Kala produksi MD Pictures.

Forum juga mengusulkan agar Pusat Bahasa Depdiknas, dalam rangka kegiatan Bulan Bahasa, yang digelar tiap tahun, dapat memberikan penghargaan bagi film dengan bahasa Indonesia terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar