Buku, Ombak, dan Laut

DI sekitar peringatan empat tahun bencana tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya (28 Desember), beberapa buku tentang laut dan ombak diluncurkan. Ada buku yang secara khusus mengangkat bencana tsunami Aceh. Ada pula yang membahas laut sebagai sumber daya alam yang sangat kaya dan belum dikelola secara maksimal.
Dua di antara buku-buku tersebut adalah novel Aotar atau Amuk Ombak Tanah Rencong karya Chavchay Syaifullah, serta Pemuda dan Kelautan karya Dr Adhyaksa Dault MSi keduanya diluncurkan di Jakarta, pekan lalu.Perpusat pada upaya para relawan tsunami Aceh dalam mengevakuasi mayat-mayat dan para korban yang selamat, novel Aotar< tidak hanya mengangkat bencana alam maha dahsyat tersebut sebagai latar utama cerita, tapi juga mengorek sejarah pergulatan rakyat Aceh sejak masa kerajaan, masa kolonial, masa penindasan pada era Daerah Operasi Militer (DOM), sampai menjelang tsunami.

Novel ketiga Chavchay itu juga menjadi semacam postcriptum yang kembali merangsang pembacanya untuk mengorek nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa sebelum dan di balik bencana alam tersebut. Prediksi sejumlah ahli bencana alam sebelum tsunami terjadi yang diabaikan oleh pemerintah dan masyarakat pun dihadirkannya sebagai peringatan bagi kita agar tidak abai lagi pada prediksi dan gejala alam yang terjadi sebelum bencana yang sesungguhnya menimpa.

Buku Adhyaksa Dault tentu berbeda dengan novel Chavchay. Novel Aotar jelas fiksi yang diangkat dari realitas dan kisah nyata di seputar bencana tsunami Aceh. Sedangkan buku Adhyaksa adalah sebuah wacana ilmiah yang mengangkat potensi kelautan kita yang sangat kaya.

Dan, sebagai menteri pemuda dan olahraga, tentu wacana utama yang dikemukakan Adhyaksa adalah bagaimana menyiapkan para pemuda sebagai SDM yang terampil dan berwawasan luas dalam mengelola kekayaan sumber daya kelautan kita. Di sinilah, Adhyaksa menampakkan kepakarannya dalam pemberdayaan pemuda dan pengelolaan potensi kelautan kita.

Dimulai dari wacana tentang peran pemuda secara umum dan peran pemuda dalam membangun laut di Nusantara, Adhyaksa lantas menguraikan secara detail sekaligus panjang lebar tentang berbagai potensi dan kekayaan laut kita serta pengelolaannya selama ini dan bagaimana seharusnya pengelolaan untuk masa yang akan datang.

Laut adalah sumber daya besar kita yang selama ini belum dikelola dan dieksplorasi secara baik. Sebagaian besar wilayah Indonesia pun terdiri dari laut. Tapi, sumber devisa negara kita selama ini lebih banyak bergantung pada daratan. Pengembangan kekuatan militer kita pun lebih terfokus pada angkatan darat. Sehingga, penjagaan keamanan laut kita kurang memadai. Tak heran, jika penyelundupan lewat laut meraja-lela, dan pulau-pulau terpencil kita satu demi satu diklaim orang lain.

Agak aneh, memang, wacana-wacana tentang kelautan kita selama ini jarang terdengar. Dan, anehnya lagi, yang rajin melontarkan wacana tentang kelautan kita justru seorang penyair, yakni WS Rendra, dalam banyak forum diskusi dan seminar. Menurut Rendra, budaya Mataram yang banyak menjadi kiblat Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat potensi besar kelautan kita agak terlupa.

Sebagaimana masa Kerajaan Mataram, kultur ekonomi yang dominan pada masa Orde Baru adalah ekonomi pertanian. Memang cukup berhasil dengan program swasembada beras. Tapi, potensi laut menjadi terbengkelai, dan kekuatan angkatan bersenjata kita pun lebih terkonsentrasi di darat, sehingga kekuatan angkatan laut kita menjadi rapuh, dan sumber daya kelautan kita pun agak terlupakan.

Di tengah kenyataan itu yang kurang menggembirakan itu, kita layak menyambut gembira hadirnya buku Pemuda dan Kelautan karya Adhyaksa Dault itu. Buku ini tidak hanya mewacanakan peran pemuda dan potensi kelautan kita, tapi juga mencoba mengajak kita untuk mulai lebih peduli pada masalah kelautan. Sebab, di laut, ribuan triliun kekayaan kita masih terpendam dan menunggu untuk dikelola bagi kesejahteraan bersama.

Laut yang mengamuk lewat gelombang ombak raksasanya, seperti tergambar pada novel Aotar, dan terjadi pada tsunami Aceh empat tahun lalu (28 Desember 2004), adalah ‘pembunuh’ yang tak kenal ampun. Betapa tidak. Lewat satu sapuan gelombang tsunami, Aceh dan sekitarnya porak-poranda dan sekitar 200 ribu nyawa menjadi korbannya.

Tetapi, laut yang tenang adalah sahabat bagi nelayan dan siapa saja yang ingin mencicipi kekayaan dan keindahannya. Melalui bukunya itu, Adhyaksa membeberkan potensi kekayaan lautan kita sekaligus tantangan untuk meraup dan mendayagunakannya bagi kesejahteraan anak-anak bangsa.

Esai ini pernah dimuat di Republika, 28 Des 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar