Kebermaknaan Sajak-sajak Dhenok dan Nana

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, ketua Komite Sastra DKJ

Seseorang yang memiliki bakat dan kecerdasan puitik, biasanya akan tergoda untuk menuliskan kegelisahan pikiran dan perasaannya, serta apapun yang mengesankan dan menggugah rasa empatinya, secara puitis. Puisi atau “metode puisi” (puitika), setidaknya kalimat-kalimat yang puitis, akan menjadi media perekam, sejak detik-detik yang paling indah dan mengesankan, sampai saat-saat yang paling mencemaskan, hingga perasaan religius yang mengharukan, dalam hidupnya. Maka, apakah dia dengan sadar memanfaatkan metode puisi ataupun tidak (spontan), biasanya semua yang ditulisnya itu akan menjadi puisi yang indah dan bermakna.

Lalu, apa sebenarnya yang disebut sebagai puisi? Secara singkat, tokoh gerakan romantik Amerika, Edgar Allan Poe (1809-1849),  menyebut puisi sebagai kata-kata yang disusun secara indah, berirama dan bermakna. Terkesan sederhana, tetapi di dalam definisi Allan Poe itu sebenarnya terkandung teori atau konsep puitika yang cukup rumit. Kata kunci pertama, yakni indah, misalnya, mengandung pesan tentang pentingnya estetika bahasa, atau susunan bahasa dengan metafor tertentu, agar puisi menjadi indah. Begitu juga kata kunci kedua, berirama, menyimpan pesan tentang pentingnya unsur-unsur pembentuk irama dalam sajak, sejak konsep tentang persamaan bunyi (rima) sampai metode pengelompokan kata dan paralelisme serta repetitio untuk membangun irama bahasa agar sebuah sajak terasa indah saat dibaca.  Sedangkan kata kunci ketiga, bermakna, mengandung pesan bahwa bahasa puisi yang indah itu hendaknya tetaplah bermakna atau menyampaikan pesan tertentu yang bermanfaat bagi pembaca.

Banyak definisi lain tentang puisi, sejak definisi dari zaman romantik sampai pasca-modern, sejak yang rumit sampai yang sederhana. Di antara yang sederhana itu, yang  nyaris tanpa pesan konseptual tentang puitika, adalah definisi yang dikemukakan oleh penyair romantik Ingris, Percy Bysshe Shelley (1792-1822), bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, dan percintaan. Pada sajak-sajak kontemporer, atau era pasca-modern, seperti terlihat pada sebagian besar sajak yang dimuat di Majalah Sastra Horison, dan Bentara Kompas, konsep rima dan ritme yang ketat pun sudah ditinggalkan. Keindahan sajak lebih banyak dibangun oleh cintraan-citraan yang hidup, unik, dan (syukur) juga membangun susunan imaji yang indah.

Sajak-sajak dalam buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini ditulis oleh dua penyair dari era 1980-an, kebetulan keduanya berjenis kelamin perempuan, Dhenok Kristianti dan Nana Ernawati. Karena keduanya menyebut karya-karya mereka sebagai puisi, dan sengaja menyiapkannya untuk sebuah buku antologi puisi, maka karya-karya mereka itu memang ditulis dengan sengaja sebagai puisi. Bukan sekadar penggalan-penggalan catatan harian, ataupun sekadar catatan perjalanan, meskipun banyak di antara sajak-sajak keduanya berupa catatan harian dan catatan perjalanan yang puitis.

Dan, memang, catatan-catatan puitis mereka sering menembus dimensi ruang dan waktu, menembus kenangan jauh ke masa lalu, untuk kemudian melesat ke depan, kadang disertai perenungan yang dalam hingga menyentuh relung-relung religiusitas, dengan upaya pemaknaan atas berbagai fenomena kehidupan di sekitar mereka secara empatik dan imajinatif, sekaligus kritis terhadap kecenderungan sikap hidup yang kurang benar. Coba kita simak kutipan dua sajak religius Dhenok dan Nana berikut ini:

Dua ribu pengunjung gereja memainkan satu peran:
    Meski serigala mengaum di dada,
    mari kenakan bulu domba!

Mereka berpakaian putih bersih,
penutup kemaluan yang kian legam

Yesus tersalib di podium gereja
Ia tundukkan kepala,
Ia pejamkan mata, berdoa :
“Ya, Abba! Kasihanilah mereka!”

Orang-orang menerima komuni
Mencabik, menyayat daging Sang Kristus
untuk sarapan pagi hari

Darah pencuci dosa
menetes-netes dari hati-Nya yang luka
Umat nadahkan cawan dengan nafsu membara
Minum, dan mabuklah mereka :
    “Sepotong daging, seteguk darah Kristus
    belum usir laparku, dahagaku
    Mana dagingmu? Mana darahmu?
    Berikan padaku!”

Di podium gereja Yesus tersalib
Ia palingkan wajah,
Ia sembunyikan mata-Nya yang basah

(Sajak “Minggu Pagi di Suatu Gereja” karya Dhenok Kristianti)

Terasa langit tak terlalu tinggi dan membahana
Terasa lautan tak terlalu dalam dan luas
Terasa cintaku tak terlalu besar padamu
Karena pada-MU segala-galanya
Yang aku miliki, milik-MU

Begitu lama aku menyusuri gang-gang panjang
Bau apek, sampah, asap rokok, kemelaratan dan sakit hati.
Lama sekali aku berkubang dalam kubangan tanpa dimensi
Menyebut nama-MU tanpa berbalas, gema berbalas gema
Airmata tidak cukup pantas untuk diucapkan
Terlampau  sederhana untuk mengungkapkan permintaan

Sekarang aku lebih mengerti
Mengapa langit harus putih
Mengapa matahari di barat, mengapa dia juga ada di timur,
Mengapa lazuardi tetap lurus
Mengapa tiap cinta harus teguh
Aku mencintaimu
Tapi aku kini lebih mencintai-MU

Aku tidak berhenti berjalan, dengan kegagahan kakiku
Dengan kesombonganku yang akhirnya
Terpatahkan
Dengan tangan dan kaki terbelenggu
Aku sudah semakin dekat
Aku tidak ingin tak menampak-MU

(Sajak “Pengakuan” karya Nana Ernawati)

Meskipun tidak menampakkan upaya untuk mencoba konsep estetika puisi (puitika) yang rumit, jika dirujukkan pada definisi Allan Poe, sajak-sajak di atas setidaknya cukup memenuhi kata kunci indah dan bermakna. Memang, dari zaman romantik hingga sekarang, yang disebut puisi yang bagus atau yang berkualitas adalah puisi yang indah dan bermakna, atau kebermaknaan dalam keindahan, keindahan dalam kebermaknaan. Hanya, citarasa keindahan itu yang sering bergeser (berkembang) sesuai tuntutan zaman dan citarasa masyarakat tempatan. Pada zaman sastra Melayu lama, misalnya, puisi yang bagus adalah yang berbentuk pantun, dengan pola persajakan yang ketat. Pada zaman Pujangga Baru, pola puisi berubah karena pengaruh sonata, seperti tampak pada sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan ada pula yang mulai bebas seperti sajak-sajak J.E. Tatengkeng. Bentuk sajak makin bebas pada era pra-kemerdekaan (1940-an), seperti terlihat pada sajak-sajak Chairil Anwar.

Dan, kini bentuk dan pola pengucapan puisi-puisi Indonesia makin beragam karena berbagai pengaruh dan upaya pencarian bentuk-bentuk puitika baru, sejak yang rumit dan gelap semisal sajak-sajak Afrizal Malna sampai yang lugas dan sederhana semisal sajak-sajak Diah Hadaning dan Taufiq Ismail. Ada pula yang penuh perlambang (simbolik) semacam sajak-sajak Abdul Hadi WM dan Subagio Sastrowardoyo, dan ada pula yang imajis semisal sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Dorothea Rosa Herliany. Dari sini, dengan mudah, pembaca dapat melihat ada di mana kecenderungan puitik sajak-sajak Dhenok dan Nana yang terkumpul dalam buku ini.

Terlihat, sajak-sajak Dhenok dan Nana umumnya memiliki bahasa yang cenderung lugas dan sederhana (komunikatif) dengan pola puitika yang sering tidak terlalu ketat, sehingga cukup pas jika dirujukkan pada definisi puisi Shelley. Memang, seperti kebanyakan perempuan penyair dari era 1970-an dan 1980-an, semisal Diah Hadaning,  Medy Loekito, dan Lastri Fardani Sukarton,  sajak-sajak Dhenok dan Nana mengesankan penyairnya percaya bahwa untuk menciptakan keindahan dalam sajak tidak perlu melalui bahasa yang rumit dan gelap serta penuh lambang-lambang yang sulit ditebak maknanya. Mereka percaya, bahwa keindahan sajak dapat juga dibangun dengan ungkapan-ungkapan yang sederhana, komunikatif, dan akrab dengan pembaca.

Meskipun begitu, banyak juga sajak-sajak mereka yang menghadirkan metafor-metafor yang segar, dengan citraan-citraan yang hidup, unik dan indah. Coba kita simak kutipan sajak Dhenok dan Nana berikut ini.

Aku mau jadi garam yang larut dalam tiap masakan
Memberi rasa sedap bagi siapa saja yang mencecap
Garam tak peduli ujud kristalnya sirna,
ia hanya ingin memberi tanpa meminta

Aku mau jadi garam yang mengawetkan ikan-ikan
agar tidak cepat rusak di tempat penyimpanan
Bisakah aku seperti garam yang mencegah kehancuran?

Aku mau jadi garam,
yang tak pernah bertanya masakan apa yang harus diasinkan
Aku mau jadi garam,
yang tak memilih untuk mengawetkan apa atau siapa

Sungguh, aku mau jadi garam
karena garam mengerti untuk apa ia dicipta

(Dhenok Kristianti, “Aku Mau Jadi Garam”)

Aku kepompong yang tak pernah jadi kupu, mungkin metamorfosaku
Tidak berjalan semestinya,
Aku bergulung, menggeliat, di dalam ruang ringan, rapuh itu
Ujudnya tidak berubah
Tetap buruk, melingkar, lembek tanpa tulang
Sampai kapan aku sembunyi di sini, menghitung kegagalan demi kegagalan
Kepedihan, kegetiran, atau canda hari Minggu tanpa kesudahan.
Aku kepompong yang tak ingin jadi kupu
Kegelisahan itu membahagiakan
Ketakutan itu menghidupkan seluruh otot, nafas kehidupan

(Nana Ernawati, “Aku tak Ingin Jadi Kupu”)

Kita adalah sekumpulan serigala lapar,
yang lebih buruk dari serigala
kita makan apa saja, juga bangkai sahabat kita

Kita adalah penari topeng,
yang lebih buruk dari penari topeng
kita pakai topeng siapa saja
dan tidak pernah mengembalikannya

Kita adalah air bah yang marah
yang lebih buruk dari air bah
kita terjang siang dan malam
segala waktu buat keserakahan yang tiada habisnya

(Nana Ernawati, “Sajak Pengakuan”)

Dengan uraian dan contoh-contoh puisi tersebut di atas, pengantar ini memang sengaja hanya melihat keunggulan-keunggulan dan potensi-potensi positif sajak-sajak yang terkumpul dalam buku antologi puisi Dhenok dan Nana ini. Tentu, ada sejumlah kelemahan di dalamnya, seperti terlalu lugasnya beberapa sajak mereka, sehingga terkesan asal ditulis begitu saja tanpa dibungkus kaca prisma estetika. Tapi, bukanlah tugas seorang pemberi kata pengantar untuk mengkritisinya. Biarlah itu nanti menjadi pekerjaan para kritikus sastra yang membacanya.

Lebih dari itu, ada hal lain – non-literer -- yang menarik pada buku antologi puisi bertajuk Dua di Batas Cakrawala ini, yakni menyatunya dua perempuan yang berbeda agama dalam satu buku. Dhenok adalah seorang Kristiani, sedangkan Nana adalah seorang Muslimah yang kini berjilbab. Puisi telah menyatukan dua hati yang berbeda keyakinan ke dalam sebuah buku kumpulan sajak yang penuh isyarat rasa persaudaraan, dengan binar-binar hikmah dan pencerahan.

Memang, pada banyak momentum dan kesempatan, puisi berpeluang untuk membuka dialog antar-budaya dan antar-keyakinan yang berbeda, untuk kemudian meminimalisir perbedaan itu, guna membangun rasa saling memahami dan saling menghormati satu sama lainnya. Di sinilah puisi dapat berperan untuk ikut menciptakan perdamaian dalam keharmonisan hidup umat manusia.***

Jakarta, 28 Maret 2011

5 komentar:

  1. yang bagus juga analisisnya.... propiciate, ditunggu analisis yang lainnya

    BalasHapus
  2. Harmonis sekali. Ini Ibu-ibuku yang baik dan selalu menyayangi satu sama lain. Salam sayang, Ibu... Salam hormat pak Ahmadun.

    BalasHapus