Bukavu, Cerpen-cerpen Puitis Helvy Tiana Rosa

Cerpen tak sanggup membatalkan Helvy Tiana Rosa dari seorang penyair.

Komentar pendek (endorsement) Putu Wijaya itu memang tidak tepat benar, tapi cukup mewakili gaya  beberapa cerpen Helvy Tiana Rosa yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Bukavu: puitis.
Helvy tidak bermaksud menulis puisi dalam Bukavu, tapi citarasa bahasanya sebagai penyair cukup mempengaruhinya dalam menuliskan cerpen-cerpennya, sehingga hasilnya adalah narasi-narasi puitis, yang kadang simbolik, konotatif, dan bermajas, layaknya baris-baris puisi.
Buku kumpulan cerpen Bukavu (Forum Lingkar Pena Publishing House, Depok, 2008) pun dibuka dengan cerpen yang di dalamnya ada kutipan puisi, yakni “Pertemuan di Taman Hening”, dan ditutup dengan cerpen, “Jaring-jaring Merah”, dengan narasi-narasi yang sangat puitis. Kutipan pada sampul Bukavu (dari cerpen “Kivu Bukavu”, hlm. 193) juga baris-baris yang sangat puitis:

Kivu, kau yang terindah
Bisik hemingway.
Aku ingin menangis,
Namun danau tak dapat menangis

Pada cerpen “Pertemuan di Taman Hening” selain terselip narasi-narasi puitis dalam baris-baris bermajas, juga ada kutipan puisi yang ditulis sang tokoh cerita (Kas, hlm. 7): Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyergap (hlm. 2). Sementara, cerpen “Jaring-Jaring Merah” (peraih penghargaan cerpen terbaik Horison) banyak ditaburi narasi-narasi puitis, yang jika dutulis dalam baris-baris pendek, akan sangat mirip puisi, dengan makna konotatif yang berlapis:

Hidup adalah cabikan luka
Serpihan tanpa makna
Hari-hari yang meranggas lara

Cita rasa bahasa yang puitis juga dapat kita rasakan pada cerpen “Lelaki, Kabut, dan Boneka” (hlm. 11), “Idis” (hlm. 21), “Dara Hitam” (hlm. 69), “Ketika Cinta Menemukanmu” (hlm. 119), “Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin” (hlm. 129), “Lelaki Semesta” (hlm. 151), “Pulang” (hlm. 183), dan “Kivu Bukavu” (hlm. 193). Pada cerpen-cerpen lain, jika kita cermati, narasi-narasi puitis pun kerap kita temukan terselip di antara narasi-narasi realistik. Memang, narasi-narasi puitis itu tidak berdiri sendiri, tapi berpadu dengan gumam, gejolak perasaan tokoh cerita, deskripsi latar, atau narasi adegan. Coba kita simak “sisipan” narasi puitis, dalam bahasa yang prismatis, berikut ini.

 Sungguh sudah lama sekali aku merindukan seruan itu. Seruan Hemingway, saat ia berteriak padaku: “Kivu, kaulah yang terindah!”
Namun kini, adakah di dunia ini yang dapat merasakan kepedihanku? Kegetiran dalam riak gelombang dan hempasan angin malam?
                (Cerpen “Kivu Bukavu”, alinea 1-2, hlm. 193)

Kadang, baris-baris puitis dalam cerpen Helvy juga dapat muncul dari “kutipan tidak langsung” sebuah dialog, atau dialog langsung yang disamarkan, dan bercampur dengan gumam, atau gerak batin (inner action) tokoh cerita. Misalnya, pada alinea 1-2 cerpen “Jaring-Jaring Merah” berikut ini.

Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini, atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu.

Dalam dorongan untuk bertutur secara puitis itu, barangkali, imajinasi Helvy lantas sering jadi liar, seliar imajinasi penyair. Namun, semangat Islaminya, membuat tuturannya tetap terkendali, tetap santun, dan tidak terseret pada vulgarisasi kekerasan dan pornografi. Padahal, cerpen-cerpen Helvy umumnya mengangkat kekerasan terhadap kaum perempuan, dan nasib perempuan di tengah tragedi kemanusiaan, dan tentu dengan latar realitas yang keras dan pahit, seperti konflik bersenjata Aceh (“Jaring-Jaring Merah”), bom Bali (“Lelaki, Kabut, dan Boneka”), dan perang saudara di Rwanda (“Kivu Bukavu”).
Dalam gaya bertutur yang puitis itu imaji-imaji mengalir liar tapi terkendali, atau lincah tepatnya, namun tetap mampu membongkar batas-batas makna kata dan realitas yang lazim. Narasi-narasi puitis itu menyatu dengan gambaran-gambaran realitas yang mencekam, pahit, dan kadang mengerikan, namun tetap terasa mengalir enak, menghanyutkan sampai akhir cerita.
Pada salah satu bagian cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, sang tokoh cerita (aku), yang mengalami depresi berat akibat kekerasan Aceh, mengimajinasikan dirinya sebagai seekor burung:

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi mera si loreng dan kubakar.

Sebenarnya, materi cerita cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Cerpen “Jaring-Jaring Merah”, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen “Kivu Bukavu” berlatar konflik bersenjata di Rwanda, serta “Lelaki, Kabut dan Boneka” berlatar tragedi bom Bali..
Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun ikut tersamar. Pembaca hanya dapat meraba siapa tokoh “aku” dalam “Jaring-Jaring Merah”, siapa Kivu dalam “Kivu Bukavu”, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga Sunyi) dalam “Lelaki Kabut dan Boneka”, dan baru tertebak setelah dibaca berulang.
        ***

Begitulah! Gaya bertutur yang puitis menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy, selain tentu juga pilihan temanya. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri. Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis.
Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis itu, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.

                                Pamulang, 8 Mei 2008

----- raster --------
Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa.n red

2 komentar: