Membaca ‘Indonesia-Australia’ dalam Cerpen

Membaca fiksi (cerita rekaan) tentang kehidupan, siapapun penulisnya, selalu menarik. Sebab, manusia pada dasarnya suka ‘bercermin’ untuk lebih mengenali dirinya sendiri dan lingkungannya. Dan, fiksi – cerita pendek (cerpen) maupun novel – seperti pernah dikatakan Umar Kayam, pada dasarnya adalah refleksi (cermin) kehidupan pengarang dan lingkungannya.

Sejak zaman nenek-moyang dulu sampai sekarang, manusia juga suka mendengar dan membaca dongeng. Dalam tradisi lisan, dulu, dongeng hidup dan diwariskan dari mulut ke mulut sampai berabad-abad. Kini, ketika tradisi mendongeng secara lisan lenyap, budaya audio-visual mengisi kebutuhan masyarakat akan dongeng melalui sinetron, telenovela, dan film impor.

Dunia rekaan yang disajikan dongeng pada umumnya adalah ‘mimpi-mimpi indah’ tentang kebahagiaan, yang mampu melambungkan perasaan dan imaji penikmatnya dari realitas keseharian yang pahit. Ke dalam ‘mimpi-mimpi indah’ itu manusia bertamasya secara imajinatif untuk sesaat melupakan realitas hidup sehari-hari yang getir. Karena itu, wajar saja, kalau yang selalu menempati rating tinggi adalah sinetron dan telenovela yang menjual mimpi.
Bagi masyarakat terpelajar yang memiliki budaya baca tinggi, fiksi, cerpen maupun novel, menggantikan kebutuhan mereka akan dongeng. Cerpen maupun novel, menurut Korrie Layun Rampan, sesungguhnya memang merupakaan metamorfosis dongeng. Maka wajar, kalau yang laris di pasar buku adalah fiksi-fiksi romantis yang cenderung ‘mendongeng’ (menjual mimpi) semacam novel pop, novel remaja dan kumpulan cerpen remaja.
Fiksi kontemporer yang disebut chicklit dan teenlit, yang sekarang marak di Amerika, Australia, dan merebak di Indonesia, sebenarnya adalah dongeng-dongen kontemporer yang berhasil memadukan dua kebutuhan di atas: kebutuhan masyarakat akan cermin diri sekaligus kebutuhan masyarakat akan ‘dunia mimpi’. Karena itu, chicklit dan teenlit cepat berkembang dengan banyak menemukan peminat.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar