MATI TERTAWA

Lurah KRT Durna Diningrat merencanakan sesuatu yang aneh. Ia akan melarang warganya tertawa. Semua tontonan di desa yang bisa membuat para penontonnya tertawa pun akan dilarang. Ia akan membersihkan desanya dari lelucon-lelucon macam apa pun. Pokoknya, dia menginginkan desanya, Desa Konglorejo, bersih dari suara tawa yang dianggapnya mulai berbau subversif. Sekdes Raden Sastropetruk sangat terkejut ketika diminta lurahnya agar membuatkan eska larangan tertawa itu.
    Sastropetruk termenung sesaat sambil memandangi tubuh lurahnya yang sedang berjalan lamban meninggalkannya seperti seekor kerbau kekenyangan. Ia pandangi pantat lurahnya yang tepos dan pinggangnya yang hilang ditelan lemak perutnya yang gendut. Ia kemudian menatap secarik kertas di tangannya yang berisi perintah tertulis dengan tulisan tangan agar secepatnya membuatkan eska itu. Ia segera menyadari bahwa eska itu sangat penting dan mendesak, juga mengandung pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pribadi, sehingga lurahnya memerlukan datang sendiri padanya. Akan tetapi, dia sama sekali tidak paham, mengapa tiba-tiba lurahnya akan melarang warganya tertawa.
    “Maaf, Pak Lurah, saya belum berhasil merumuskan alasan yang tepat mengapa tertawa dilarang dan dianggap subversif,” kata Sastropetruk keesokan harinya ketika menghadap.
    “Kamu ini bagaimana? Begitu saja tidak bisa!”
    “Masalahnya bukan hanya soal bisa atau tidak bisa, Pak! Tetapi, kita kan perlu memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada warga desa kita agar mereka benar-benar paham kenapa tertawa dilarang dan dianggap subversif!”
    Sastropetruk menanggapi lurahnya dengan nada tinggi dan agak emosional. Tampaknya, tanpa disadarinya, kedongkolannya pada lurahnya yang sudah lama berdenyut-denyut di dalam dadanya meledak saat itu. Semalaman dia memang tidak bisa tidur. Kepalanya pusing mencari rumusan tentang hubungan antara tertawa dan subversif. Stabilitas emosinya menjadi terganggu.
    “Coba jelaskan dulu, Pak, tertawa subversif itu yang bagaimana?”
    Lurah Durna tidak menjawab. Akan tetapi, tiba-tiba dia meringis kesakitan sambil mendekap rahang kanan dan kirinya dengan kedua telapak tangannya. Sastropetruk menjadi ingat bahwa lurahnya sangat alergi pada suara keras, suara orang marah, bentakan dan tawa yang terlalu keras. Penyakit gigi dan darah tingginya bisa kambuh seketika karena itu. Ia teringat peristiwa yang terjadi di balai desa dua minggu yang lalu ketika diadakan festifal dagelan se-pedesaan. Ada satu kelompok peserta yang kelucuannya benar-benar luar biasa, sehingga seluruh penonton tertawa terbahak-bahak sampai menggetarkan daun-daun pintu dan jendela-jendela balai desa. Ketika itulah, tiba-tiba lurah Durna berdiri sambil mengaduh keras dan mendekap rahangnya, lalu sempoyongan dan jatuh terkapar di tengah-tengah penonton.
    Sastropetruk segara menduga, barangkali karena peristiwa itulah lurahnya bermaksud melarang warganya tertawa. Akan tetapi, dia menjadi ngeri membayangkan, bagaimana kalau penyakit lurahnya semakin parah dan alergi terhadap suara apa pun. Ia tidak tahu apakah warganya juga akan dilarang mengeluarkan suara apa pun, termasuk menyanyi, bersiul, batuk-batuk dan berbicara. Bagaimana jadinya suasana desanya nanti. Desa yang semula penuh senyum dan tawa, penuh tegur sapa keramahan, tiba-tiba sunyi dan berubah menjadi desa yang penuh dengan orang-orang gagu.
    Sastropetruk keluar dari ruang kerja lurah, lalu duduk di belakang meja kerjanya. Selama hampir satu jam dia merenung, tetapi tetap tidak sanggup membuat konsep eska larangan tertawa itu. Ia tidak berhasil merumuskan alasan yang masuk akal, yang menurut perhitungannya bisa diterima oleh warganya. Kepalanya malah pusing tujuh keliling. Akhirnya, dia pulang sebelum jam kerja habis, tanpa pamit pada lurahnya. Sampai di rumah dia langsung mengurung diri di dalam kamar. Esok harinya dia bolos tidak masuk kantor. Begitu juga esoknya, dan esoknya, sampai seminggu lebih.
    Sastropetruk kemudian merasa benar-benar terkejut. Ternyata eska larangan tertawa telah beredar. Eska itu telah dikirimkan ke setiap ketua erte di Desa Konglorejo. Banyak warganya yang mulai ribut, mengganggap larangan tertawa itu tidak masuk akal. Beberapa warga datang ke rumah Sastropetruk menanyakan kejelasan  eska larangan tertawa itu. Sastropetruk sangat terkejut melihat tanda tangannya telah dipalsukan pada eska itu. Tanda tangannya tertera jelas di kanan bawah eska itu. Padahal dia tidak pernah membuat dan menandatangani eska semacam itu.
    Ia buru-buru datang ke rumah ketua erte untuk mencegah agar eska itu tidak diumumkan dulu pada warga. Dia bermaksud melacak dulu siapa yang telah memalsukan tanda tangannya. Akan tetapi terlambat, ketua ertenya sudah terlanjur mengumpulkan warganya dan mengumumkan isi eska itu. Bahkan setiap kepala keluarga telah membawa pulang satu lembar fotokopi eska larangan tertawa itu. Sastropetruk buru-buru ke kantor kelurahan dan langsung menghadap lurahnya.
    “Pak Lurah ini bagaimana? Mengapa tanda tangan saya dipalsukan?”
    “Saya keburu pusing menunggumu. Disuruh membuat eska malah menghilang. Tidak ada jalan lain, saya suruh Kaur Kesra membuat dan memalsukan tanda tanganmu.”
    “Tetapi, mengapa tidak Bapak tanda tangani sendiri?”
    “Sejak semula sudah kukatakan, konsep eska pelarangan dan penjelasannya merupakan tanggung jawabmu, tetapi kau malah menghilang. Sudahlah. Relakan saja tanda tangan palsumu itu.”
    “Tetapi, bagaimana saya harus menjelaskan pada warga jika mereka bertanya tentang alasan larangan tertawa itu? Saya belum menemukan alasan paling pas. Saya khawatir, mereka akan bereaksi di luar perhitungan kita.”
    “Dikarang sajalah. Cari alasan yang kira-kira pas. Asal penyakit gigiku jangan dibawa-bawa.”
                ***   

     Benar juga dugaan Sastropetruk. Eska larangan tertawa itu cukup mengganggu stabilitas warga Konglorejo. Keresahan mulai muncul di mana-mana. Eska baru itu menjadi bahan pembicaraan di mana-mana, dari atas tempat-tempat tidur sampai tempat-tempat kerja, dari warung-warung kaki lima sampai restoran-restoran kelas menengah, dari ranjang pelacur pinggir jalan sampai ranjang wanita panggilan. Para seniman segara mengadakan pertemuan khusus, sementara para gali, pencopet, pelajar dan mahasiswa segara melakukan unjuk rasa. Mereka berkumpul di depan kantor kelurahan.
    Selama hampir tiga jam para pengunjuk rasa itu dibiarkan duduk di atas rumput halaman depan gedung tua kantor kelurahan itu. Merasa tidak ditanggapi, emosi anak-anak muda pengunjuk rasa itu meluap. Seperti dikomando, tiba-tiba secara serentak mereka tertawa terbahak-bahak sekeras-kerasnya. Tiba-tiba pula seseorang melemparkan batu ke kaca jendela kantor itu, “Pyarr!” kaca itu pun pecah berantakan. Seperti terpancing yang lain meledakkan kejengkelannya. Batu-batu, sandal, sepatu, botol minuman, dan apa saja yang ada di sekitar mereka tiba-tiba berhamburan menghantam kaca jendela serta pintu kantor tua itu.
   Lurah Durna, Sekdes Sastropetruk, dan semua aparat kelurahan itu segera berlindung di balik meja. Tiba-tiba Lurah Durna mendekap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, lalu mendekap rahangnya sambil mengaduh keras, lantas pingsan. Untung aparat keamanan segera turun tangan. Unjuk rasa itu dibubarkan. Sepuluh pemuda sempat ditangkap dan dimintai keterangan. Lurah Durna sendiri dan Sekdesnya sekeluarga diungsikan ke desa tetangga sampai situasi dianggap aman kembali.
    Kursi kepemimpinan desa menjadi kosong, dan dalam kekosongan inilah gejolak warga Konglorejo terus berkembang. Para cendikiawan, mahasiswa, seniman, budayawan, ulama, dan pastor berkumpul membahas hubungan antara tertawa dan subversif. Akhirnya, mereka mengambil suatu keputusan yang sangat controversial, bahkan dari kacamata ideologi bisa dianggap sangat ekstrem dan radikal, yakni membalik logika tertawa.
    “Kita selama ini sebenarnya hanya diperalat oleh sense of humor kita saja. Sebenarnya kita bisa saja bersikap sebaliknya, yakni bersikap serius terhadap hal-hal yang lucu dan tidak menertawakan segala macam humor. Sebaliknya, kita menertawakan hal-hal yang serius. Logika kita tentang tertawa sebaliknya kita balik saja secara total. Kita anggap segala macam dagelan dan humor sebagai sesuatu yang serius. Sebaliknya, menganggap segala yang serius dan doktriner, yang kultural edukatif, yang mengerutkan dahi, yang kontemplatif, atau apalah istilahnya, sebagai sesuatu yang menggelikan dan patut ditertawakan,” kata Robert Tukul, cendikiawan yang memimpin pertemuan itu, yang kebetulan baru saja meneliti hubungan antara tertawa dan logika manusia.
    Forum tampaknya menyetujui gagasan kontroversial itu. Mereka sepakat untuk membalik logika tertawa. Mereka bahkan akan menganggapnya sebagai bagian mendasar suatu gerakan budaya untuk menyehatkan kembali iklim keterbukaan dan demokrasi di desa tersebut. Kesepakatan itu kemudian dimasyarakatkan sampai ke tingkat erte. Dalam waktu singkat, semua warga Konglorejo pun menerima dan memahami gagasan itu. Bahkan, mereka bertekad untuk mengamalkannya.
    Karena segala macam lelucon tidak lagi mengundang tawa, orang akhirnya enggan melakukannya. Melucu, baik di pinggir jalan, di warung maupun di panggung dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia. Begitu pula segala macam nasihat, indoktrinasi, debat, diskusi, renungan, dan segala macam pembicaraan serius juga tidak dilakukan orang, karena hanya akan ditertawakan dan dianggap sia-sia. Desa Konglorejo benar-benar bersih dari suara tawa sekaligus bersih dari suasana serius. Suasana pergaulan terasa mengambang: lucu tidak, serius juga tidak.
    Bersihnya Konglorejo dari suara keras tawa itu dianggap merupakan kondisi paling aman bagi Lurah Durna dan Sekdesnya untuk kembali memegang tampuk pemerintahan. Untuk kembali merangkul para seniman dan menarik simpati para budayawan serta cendikiawan, Lurah Durna merencanakan pementasan ketoprak yang dari awal sampai akhir penuh nasihat-nasihat dan dikemas secara sangat serius. Ia ingin menunjukkan pada warganya bahwa itulah kesenian yang paling kultural edukatif. Sutradara pilihan dan sejumlah pemain andalan dilibatkan dalam pementasan. Di luar dugaan, balai desa tempat ketoprak itu digelar penuh sesak. Hampir semua warga ingin menyaksikan paket kesenian tersebut.
    Adegan pertama yang penuh dengan nasehat pun dimulai. Anehnya, hampir semua penonton, kecuali Lurah Durna, tertawa terbahak-bahak. Padahal, tidak ada satu adegan pun yang lucu. Lurah Durna bingung. Ia segera berdiri dan mencari sesuatu yang menjadi sasaran tertawaan orang. Akan tetapi, begitu dia berdiri tawa hadirin semakin membahana. Bahkan, deretan penonton di belakangnya sampai terpingkal-pingkal. Lurah Durna merasa dialah yang ditertawakan. Ia tidak tahu bahwa logika tertawa warganya telah terbalik. Ia mulai merasa tersinggung. Kepala dan giginya mulai terasa senut-senut. Sambil mendekap rahangnya, dia berjalan sempoyongan menuju mimbar yang terletak di sebelah kiri panggung. Ia bermaksud memarahi warganya.
    Begitu Lurah Durna sampai di mimbar, justru dia tertawa terbahak-bahak melihat konde palsu salah seorang pemain ketoprak copot dan menggelinding dari panggung menuju penonton, sementara pemiliknya jatuh terjerembab ketika bermaksud menangkap konde yang menggelinding cepat itu. Tawa Lurah Durna pun makin membahana bagai tidak terbendung. Bersamaan dengan itu, tawa penonton justru berhenti. Mereka bersikap serius sambil memandang lurah dan pemain wanita itu sacara bergantian dengan kening berkerut.
    Melihat penonton bersikap berlawanan dengan dirinya, Lurah Durna makin tersinggung. Namun, karena perasaan gelinya, ledakan tawanya benar-benar tidak bisa dibendung. Antara rasa geli dan marah akhirnya berbaur menjadi satu dalam dirinya. Ini justru membuat kepalanya semakin senut-senut dan sakit giginya terasa makin menggigit. Ia lalu berjalan sempoyongan meninggalkan mimbar seperti orang mabuk berat, sambil terus tertawa dan mengacungkan tangannya ke arah tubuh pemain wanita yang terjerembab itu.
   Tiba-tiba kaki sang lurah terperosok di anak tangga. Ia pun terjerembab keras. Dahinya membentur lantai semen. Aparat desanya segera menghambur ke arahnya. Mereka membalik tubuh lurahnya. Mereka meraba detak jantungnya. Detak jantung Lurah Durna sudah berhenti. Akan tetapi mulutnya masih tetap menganga seperti orang tertawa. Rupanya lurah yang membenci tawa itu justru mati sambil tertawa.

Yogyakarta, Februari 1991
*Dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 3 Februari 1991

1 komentar: