LEK WAR

Semua warga kampungku yakin, lelaki bujang berusia 30 tahun itu buta. Matanya memang terbuka. Setiap orang yang menatapnya pasti hanya akan menangkap bulatan berselaput putih penuh guratan dan bintik-bintik merah darah. Namun, lelaki yang biasa dipanggil Lek War itu tidak pernah sedetikpun merasa buta. Dalam dirinya ada suatu keyakinan bahwa dunia ini memang gelap dan serba hitam.
    Ia sudah amat sering mendengar cerita ataupun penjelasan dari ayah-ibunya, saudara-saudara, dan para tetangganya tentang wajah dunia yang sebenarnya: tentang matahari yang bagai pijar panas menyilaukan, tentang laut dan langit yang berwarna kebiruan, tentang pohon-pohonan yang berdaun hijau, tentang kulitnya yang coklat kehitaman, tentang kucingnya yang berkaki empat dan berbulu putih kecoklat-coklatan, dan tentang apa saja yang ada disekelilingnya.
    Tapi, Lek War sama sekali tidak percaya itu semua. Ia menganggap semua itu hanyalah bayangan-bayangan mereka saja. Sama seperti ketika dia membayangkan nasi hangat yang dimakannya setiap hari berwarna merah kekuning-kuningan, telapak tangannya biru kehijau-hijauan, atau air kamar mandinya berwarna merah kecoklatan. Ia amat yakin yang ada hanyalah kegelapan. Dalam kegelapan itulah dia menganggap setiap orang bebas membayangkan bentuk dan warna apa saja tentang benda-benda yang dikenalnya sesuka hatinya. Orang bebas membayangkan telapak tangannya berwarna merah atau hijau, kakinya coklat atau biru, dan kepalanya hitam atau putih.
    Dengan keyakinan pada kemampuan penglihatannya itu Lek War merasa bisa bebas bergerak ke manapun tanpa bantuan orang lain. Ia juga sangat yakin mengenal bentuk setiap margasatwa dan liku-liku lingkungan di sekelilingnya melalui rabaan tangannya. Dengan keyakinan dan cara itulah dengan sangat cepat dia bisa mengenal keadaan dan hampir semua benda di rumahnya, bahkan situasi di sekitar rumahnya. Kemampuan ini membuatnya semakin yakin bahwa dirinya memang benar-benar tidak buta. Oleh karena itu, tiap pergi ke mana pun dia tidak mau dibimbing oleh siapa pun.
    "Anwar, kau harus diantar adikmu agar tidak tersesat, agar tidak menabrak-nabrak," kata ibunya ketika Lek War pamit untuk pergi ke masjid yang terletak sekitar dua ratus meter di seberang kampungnya.
    "Tidak usah, Bu. Aku sudah sering ke sana. Aku bisa berjalan sendiri," jawab Lek War yakin.
    "Lho, kamu ini buta, Anwar. Banyak parit dan selokan yang harus kamu lewati. Kalau kamu kecebur selokan, bagaimana?"
    "Ibu ini bagaimana? Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku ini tidak buta. Aku seperti ibu dan adik-adik. Aku bisa melihat masjid itu. Bisa melihat selokan. Bisa melihat semuanya. Sudahlah! Ibu jangan terlalu khawatir. Aku bukan anak kecil lagi!"
    "Ya sudah kalau tidak mau diantar. Tetapi pakailah tongkat ini untuk membantu perjalananmu agar tidak kecemplung selokan."
    "Wah, apalagi pakai tongkat, Bu. Aku malu. Apa memangnya aku sudah kakek-kakek, harus pakai tongkat segala. Aku kan masih muda. Lihat ini, aku belum bungkuk. Aku masih bisa berdiri tegak dan berjalan dengan tegap," jawab lelaki buta itu sambil menegakkan tubuhnya. "Tongkatnya saya kempit saja, Bu," kata Lek War akhirnya setelah sang ibu berhasil memaksanya agar dia selalu membawa tongkat kayu bulat itu.
    Dengan langkah tegap sambil mengempit tongkat, Lek War pun berangkat menuju masjid di seberang kampung. Anak-anak kecil yang melihat segera menguntit dan menggodanya. Mereka tahu persis bahwa lelaki yang biasa mereka panggil Lek War itu paling marah kalau dikatakan atau disindir bahwa dirinya buta. Namun, mereka justru senang memancing kemarahan lelaki itu.
    "Lek War, sore-sore begini mau ke mana?" tanya seorang anak.
    "Saya tuntun ya, Lek War," kata yang lain sambil menggandeng pergelangan tangan lelaki itu.
    "Apa? Dituntun? Memangnya saya tidak bisa jalan sendiri! Memangnya saya ini buta!" jawab Lek War agak marah sambil melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman anak itu.
    "Banyak selokan lho, Lek War. Nanti kalau kecebur bagaimana?" anak itu menggoda lagi.
    "Apa? Kecebur selokan? Memangnya saya ini tidak bisa melihat selokan?"
    "Lho, Lek War sudah melihat selokan, ya? Selokan itu apa toh, Lek?"
    "Selokan itu kan tanah yang banyak rumputnya, toh?"
    "Wah, Lek War ngawur. Selokan itu yang banyak airnya, bukan banyak rumputnya."
    "Lha iya. Maksudku tadi ya banyak airnya. Tapi, kan banyak rumputnya juga toh?"
    "Benar juga, Lek. Di tepi selokan memang banyak rumputnya. Lek War ternyata pintar juga."
    "Memangnya kalian saja yang pintar. Sudah sana, kalian pulang saja. Jangan mengikuti aku terus. Nanti bisa-bisa aku dikira tukang topeng monyet! Kalau ada yang nanggap, apa kalian mau jadi monyetnya?!"
    “Wah, Lek War ngeledek. Masak kita disuruh jadi monyet!” sahut anak-anak.
    “Lho, jadi monyet kan enak, ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas!” timpal Lek War lagi.
    “Ngawur, Lek War! Masak, monyet ke mana-mana naik mobil mewah, pakai dasi dan jas pula. Memangnya Lek War pernah melihat monyet?”
     “Sering! Aku sering melihat monyet pakai dasi dan jas kok!’’
     “Seperti apa?”
     “Ya kira-kira seperti kamulah!”
     “Lek War ngawur! Yang ke mana-mana naik mobil mewah, dan selalu pakai jas dan dasi itu konglomerat! Bukan monyet!’’
     “Jadi, monyet itu beda ya dengan konglomerat?”
     “Beda, Lek!”
     “Tapi, sama-sama suka merebut makanan orang lain, kan?”
     “Yang suka merebut makanan orang itu monyet, bukan konglomerat!”
     “La iya, sama, kan!”
     “Dasar…!”
     Sambil asyik berdebat dengan anak-anak, Lek War terus berjalan dengan langkah mantap lurus ke arah barat. Namun, baru berjalan sekitar lima puluh meter dia tercebur masuk selokan yang cukup dalam dan penuh air. Rupanya dia lupa bahwa jalan itu berbelok dan di tepinya ada selokan yang cukup lebar dan dalam.
    Kurang ajarnya, anak-anak tidak memperingatkan Lek War tentang adanya selokan itu. Mereka malah tertawa ngakak melihat Lek War terjerembab. Mereka segera mendekatinya untuk memberikan pertolongan sambil melihat reaksi lelaki itu. Tapi, dengan kepercayaan penuh pada kemampuannya sendiri, Lek War buru-buru bangkit dengan seluruh tubuh basah kuyup.
    "Lha, itu namanya selokan, Lek War," goda anak-anak.
    "Lha iya. Siapa bilang ini lapangan bola? Benar, kan, banyak airnya?"
    "Benar, Lek! Tetapi kenapa Lek War masuk selokan? Nggak melihat ya, Lek?"
    "Wah, kalian ini kok tidak tanggap. Saya kan memang mau mengukur dalamnya selokan ini dengan tongkat saya. Ternyata cukup dalam, ya? Lihat ini tongkat saya basah sampai ke pangkalnya. Tubuh saya juga ikut basah."
    "Wah, Lek War ini bagaimana toh? Sudah jelas-jelas kecebur selokan masih mungkir juga. Makanya, kalau dituntun jangan menolak!"
    "Kalian kok tidak percaya toh? Saya ini tidak kecemplung, tetapi memang sengaja menceburkan diri untuk menjajaki kedalaman selokan ini. Anak kecil jangan suka ngeyel toh!"
    Lelaki buta itu kemudian mencoba naik kembali ke jalan. Anak-anak itu membantunya dengan menarik tangan Lek War. Kali ini dia tidak menolak bantuan tersebut. Anak-anak juga membantu mengambilkan sandal jepitnya dan memasangkan di kakinya. Ia mulai tampak menggigil kedinginan karena hampir seluruh tubuhnya basah kuyup. Untung selokan itu tidak berisi air comberan, melainkan air irigasi untuk mengairi puluhan petak sawah di sebelah selatan kampungnya.
    "Pulang saja dulu, Lek War. Ganti pakaian dulu, nanti masuk angin," saran anak-anak itu.
    Kali ini Lek War menurutinya. Ia berjalan pulang ke rumahnya, tetap tidak mau dituntun. Bahkan, ditemani jalanpun ia tidak mau. Ia melangkah tegap dan mantap sendirian sambil mengempit tongkatnya seperti seorang pejabat militer yang sedang menginspeksi pasukan.
  Beberapa saat kemudian anak-anak menyadari bahaya baru mengancam Lek War. Arah jalannya tidak lurus ke rumahnya lagi, tetapi melenceng beberapa derajat ke kiri.
    "Lek War, awaaas! Menabrak pohon!" teriak anak-anak itu.
    Terlambat. Lelaki itu benar-benar manabrak pohon asam besar di tepi jalan. Ia terjatuh ke sisi pohon. Cepat-cepat ia berdiri dan merangkul pohon tersebut, bahkan kemudian memeluk pohon itu dengan kedua tangannya. Anak-anak kampung yang melihatnya tertawa dan segera merubungnya.
    "Lek War gimana toh? Wong jalan kok nabrak pohon?" goda anak-anak itu.
    "Nabrak dengkulmu! Aku hanya mau mengukur besarnya pohon ini dengan tanganku. Kalian tidak tahu ya. Pohon ini dulu yang menanam aku bersama bapakku, ketika aku masih kecil. Aku ingin tahu sekarang besarnya sudah seberapa."
    Sambil menutup keningnya yang sedikit terluka dan benjol akibat benturan itu dengan telapak tangan kirinya, Lek War berjalan lagi ke arah rumahnya. Anak-anak kampung mengikuti di belakangnya. Kali ini Lek War membisu saja, hanya sesekali tampak meringis kesakitan sambil memijit-mijit keningnya.
                             ***
    Semakin sering Lek War pergi ke luar rumah semakin sering dia mengalami kecelakaan yang menyedihkan sekaligus menggelikan. Hampir tiap hari ada-ada saja tragedi kecil yang menimpanya: tercebur selokan, tercebur ke sawah penuh lumpur, menabrak orang lewat, menabrak pagar, menabrak pohon, menabrak tiang listrik, menabrak orang yang sedang jongkok buang air besar di tepi selokan, tertabrak sepeda, terpeleset kulit pisang, digigit kucing karena menginjak ekornya, dan bahkan pernah menabrak penjual es dawet sampai dagangannya tumpah ruah di jalan.
    Namun, Lek War tidak kapok untuk tetap keluyuran kemana-mana dan tetap ngotot untuk berjalan sendiri dengan langkah tegap sambil mengempit tongkatnya. Hingga pada suatu hari warga sekampungnya geger karena tiba-tiba lelaki buta itu lenyap dari peredaran. Mula-mula ibunya yang dibuat kaget. Ketika terbangun pada dinihari dia sudah tidak melihat Lek War di tempat tidurnya, di ruang tengah rumah. Padahal, biasanya dia masih meringkuk di sana dan baru bangun sekitar pukul setengah lima pagi untuk mengumandangkan azan subuh di musala depan rumahnya.
    Bukan kebiasaan Lek War untuk keluyuran pada malam hari dan dinihari. Aktivitasnya di luar rumah selalu dimulai pada waktu subuh dengan menjadi muazin di musala kecil itu. Oleh karena itu, Mbok Partinah -- wanita kurus tua yang melahirkan Lek War --merasa terkejut dan agak cemas. Apalagi malam itu hujan deras. Ia segera mencarinya di kamar mandi, di WC, di dapur, di kolong tempat tidur, dan di lumbung padi. Siapa tahu dia ngelindur dan tersesat ke lumbung, pikirnya. Mbok Parti juga mencarinya di musala, gardu ronda, dan semua tempat yang biasa dipakai untuk nongkrong anaknya. Akan tetapi, ia tidak menemukan anaknya yang buta itu.
    Dengan tergopoh-gopoh wanita tua itu kembali ke gardu ronda dan membunyikan kentongan yang tergantung di terasnya keras-keras sambil berteriak "Tolong! Tolooong! Anakku hilang! Anakku hilaaang!"
    Beberapa saat kemudian orang kampung berbondong-bondong ke gardu ronda. Mereka mengerumuni Mbok Parti yang masih terus memukul kentongan keras-keras sambil berteriak-teriak histeris.
    "Ayo kita cari Lek War!" teriak seorang pemuda tiba-tiba di tengah kerumunan itu.
   “Ayo kita cariii!”
   Seperti dikomando, orang-orang kampung pun segera berpencar mencari Lek War. Mereka melacak lelaki buta itu ke seluruh sudut kampung. Bahkan, ke kuburan, selokan-selokan, sawah-sawah, dan sepanjang tanggul sungai yang sedang banjir.
    "Saya menemukan sandal di tepi kali! Jangan-jangan ini sandal Lek War! Jangan-jangan Lek War tenggelam di kali dan terseret banjir!" teriak seseorang tiba-tiba sambil menenteng sebuah sandal jepit yang putus talinya dan berjalan buru-buru ke arah beberapa orang yang masih mengerumuni Mbok Parti di gardu ronda. Begitu sampai dia langsung memperlihatkan sandal jepit itu pada Mbok Parti.
    "Ya, ini sandal anak saya," sahut wanita tua itu dengan nada sangat terkejut. "Anwar pasti hanyut di kali!"
    "Lek War hanyut di kali!" teriak yang lain ikut terkejut.
    "Tolong! Tolong! Anakku hanyut di kali! Tolooong! Tolooong!" teriak wanita itu lebih histeris sambil bangkit dan memukul kentongan lebih keras lagi.
    Orang-orang segera berbondong-bondong menuju tanggul sungai yang melintas di sebelah utara kampung itu. Kemudian, dengan bantuan petromaks, lampu senter, dan obor, mereka menyusur kali mencari Lek War. Beberapa orang yang pandai berenang langsung melepas pakaian dan mencebur ke kali. Dengan bantuan tali mereka menyelam ke dasar kali di sekitar tempat ditemukannya sandal jepit Lek War.
    Sampai matahari terbit, pencarian terhadap Lek War terus dilakukan. Beberapa polisi setempat juga sudah datang untuk ikut membantu pencarian. Bahkan, satu regu SAR Brimob dari kota juga ikut sibuk menyusur kali dengan perahu karet, tali panjang, dan peralatan selam. Seakan-akan pagi itu semua orang mencurahkan seluruh perhatian, daya, dan tenaganya untuk mencari Lek War. Hampir sepanjang tanggul sungai itu dipenuhi manusia. Semuanya mencemaskan nasib Lek War.
    Di puncak kecemasan Mbok Parti, ketika orang-orang mulai kelelahan mencari Lek War dan air banjir di kali itu sudah agak surut, tiba-tiba bayangan Lek War muncul di ujung jalan bagian timur kampung.
    "Itu Lek War!" teriak seseorang.
    "Itu Lek War!" teriak yang lain.
    ”Ya, itu Lek War!”
    Orang-orang pun berbondong-bondong ke arah Lek War yang sedang berjalan tegap dan mantap lurus ke rumahnya sambil mengempit tongkatnya, layaknya seorang komandan yang baru kembali dari medan perang yang dimenangkannya. Orang-orang langsung mengerumuninya.
    "Dari mana, Lek War?!" tanya orang-orang bagaikan koor.
    "Nonton wayang," jawab lelaki buta itu sambil nyengir dan terus berjalan tegap menuju rumahnya, tanpa mempedulikan orang-orang kampung yang mencemaskannya.
    Malam itu memang ada pergelaran wayang kulit semalam suntuk di kampung seberang, sekitar satu kilometer dari rumah Lek War.
    "Wong edan!" gerutu orang-orang kampung sambil ngeloyor pulang ke rumah masing-masing. Kali ini mereka merasa 'dikerjai' oleh lelaki buta itu.

Yogyakarta, 1992           

* Cerpen ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 10 Oktober 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar