Menuju Metode Pengajaran Sastra yang Ideal*

Pendidikan seni di sekolah (SMU) yang selama ini paling banyak mendapat sorotan adalah pengajaran seni-sastra. Almarhum HB Jassin, misalnya, sudah mengeluhkan buruknya sistem pengajaran sastra di sekolah sejak tahun 1970-an. Menurut Jassin, pengajaran sastra di sekolah hanya menitikberatkan pada hafalan nama angkatan, nama pengarang dan judul karya mereka. Sehingga, yang didapatkan siswa hanya sebatas pengetahuan sejarah sastra, dan bukan apresiasi sastra. Padahal, peningkatan apresiasi sastra yang seharusnya menjadi tujuan utama pengajaran sastra di sekolah.

Sinyalemen yang sama juga dilontarkan beberapa sastrawan dan pakar pengajaran sastra dalam tahun 1980-an, antara lain oleh Suminto A. Sayuti. Dan, sekitar 30 tahun kemudian, tahun 2000-an, penyair Taufiq Ismail masih juga mengeluhkan hal yang sama. Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara XIII di Surabaya, 27 September 2004, misalnya, ia masih mengatakan bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya.

Berbeda dengan pengajaran cabang-cabang kesenian lain, seperti seni lukis, dan nyanyi, pengajaran sastra tidak menitik-beratkan pada praktek membuat karya sastra. Pada pelajaran menggambar, misalnya, lazimnya siswa mendapatkan sedikit teori dan banyak praktek menggambar. Begitu juga pada seni musik atau karawitan, jika ada. Sementara, dalam seni sastra, siswa lebih banyak mendapatkan pengetahuan dan sejarah sastra. Sebab, ini pula yang dibutuhkan siswa ketika menghadapi ujian akhir ataupun Ebtanas. Selain itu, pelajaran sastra juga melekat pada pelajaran bahasa Indonesia, bukan berdiri sendiri seperti halnya pelajaran menggambar.

Posisi pengajaran sastra yang melekat pada pengajaran bahasa itulah yang sampai dewasa ini banyak dikritik oleh para sastrawan dan pengamat pengajaran sastra seperti Taufiq Ismail. Mereka, antara lain mengusulkan agar pengajaran sastra dipisahkan dari pengajaran bahasa, menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Sebab, dengan melekat pada pengajaran bahasa, seperti yang terjadi selama ini, pengajaran sastra kurang mendapat porsi dan perhatian yang memadai dari guru-guru bahasa Indonesia.

Dengan posisi melekat seperti itu, pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangat tergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastra juga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jika gurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memiliki apresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastra cenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materi yang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untuk bersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan minat baca siswa terhadap karya sastra.

***

Meskipun masih menjadi bagian dari pengajaran bahasa Indonesia, pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karya para siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit Majalah Horison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.
Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi,  Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, Jawa Pos).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah minimnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

***

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20% nilai bahasa Indonesia pada rapornya – persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

                            Cipasera, 25 Februari 2005

WACANA

Kreativitas Guru, Tumpuan Pengajaran Sastra
Ahmadun Yosi Herfanda
Sastrawan dan wartawan Republika

Saya selalu merasa bahagia tiap kali membaca karya-karya siswa SMU, puisi maupun cerpen, yang dimuat di suplemen //Kaki Langit// Majalah //Horison//. Meskipun di satu sisi, suplemen tersebut kerap dianggap memerosotkan wibawa majalah tersebut, tetapi di sisi lain suplemen tersebut cukup menggairahkan budaya menulis kreatif di kalangan siswa. Suplemen tersebut juga menjadi bukti makin banyaknya siswa SMU yang kini gemar dan mahir menulis karya sastra.

Jika dikaitkan dengan persoalan pengajaran sastra, yang selama ini sering dikeluhkan, karya-karya siswa SMU pada suplemen tersebut menjadi salah satu bukti bahwa pelaksanaan pengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidak seburuk yang diduga. Banyak sekolah maupun guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagi peningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidak hanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untuk menulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstra kurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah.

Upaya yang sungguh-sungguh untuk memperbanyak porsi pengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni //Bahasa Indonesia// (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, //Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia// (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempati porsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yang seimbang.

Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadi obyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpa meninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku //Bahasa Indonesia 1A//, misalnya, siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo,  Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, Slamet Sukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, Popi Sopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini, Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta Sriwibawa, Ahmad Tohari, Ahmadun Yosi Herfanda, Pandir Kelana, Amal Hamzah, Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman Budhi Santosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan pada karya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo, Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma, Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles, Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis, Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YB Sudarmanto, dan Marah Rusli.

Sementara, pada buku //Membina Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia// jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswa dikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, Bakdi Sumanto, Puntung CM Pudjadi,  Rendra, sampai Hikayat Sri Rama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMU semester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya Motinggo Boesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, Ernest Hemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelas III SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karya Umar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto, Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanya dikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra di SMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyak nama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip juga diambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisi peristiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin terlalu inginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra dengan perkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu), Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati (puisi) dan Djisno Zero (cerpen, dikutip dari //Jawa Pos//).

Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkali adalah masih kurangnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan pada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.
    ***

Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat ini sudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastra terkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaan sekolah.

Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka pada bidang sastra memang rendah.

Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra, bertumpu pada kreativitas guru bahasanya. Jika sang guru bahasa tidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi dan pengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akan melaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif dan efektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetap menuai kegagalan. Kenyataannya, rata-rata lulusan SMU saat ini memiliki minat baca dan apresiasi sastra yang sangat rendah.

Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

Namun, sembari menunggu kebijakan 'pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa' -- yang belum jelas akan disetujui atau tidak -- alangkah baiknya jika para guru bahasa dapat memaksimalkan pengajaran sastra di sekolah masing-masing. Meskipun hanya menyumbang 20 persen pada nilai bahasa Indonesia, pengajaran sastra perlu diefektifkan dengan menekankan pada apresiasi.

Langkah sederhananya adalah mendorong atau mewajibkan siswa lebih banyak membaca karya sastra, seperti memberi penugasan pada siswa untuk membuat resensi karya sastra sebanyak mungkin. Sementara, siswa-siswa yang berbakat menulis kreatif dapat dipupuk melalui kegiatan ekstra kurikuler di luar jam pelajaran resmi.

Tradisi kompetitif dengan memberi penghargaan pada karya siswa, baik resensi sastra maupun karya kreatif (cerpen dan puisi), dapat juga dipilih untuk merangsang budaya baca dan tulis siswa. Dalam hal ini, kreativitas guru dalam mengajarkan sastra menjadi tumpuan utama. Hanya dengan kesungguhan, kecintaan, dan kreativitas guru, kualitas pengajaran sastra di sekolah dapat didongkrak secepatnya, agar apresiasi sastra kaum terpelajar kita bisa ditingkatkan lagi.n
_

* Makalah untuk Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007 Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 10 April 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar